Selama tiga tahun di SMA, Arina selalu berlari di belakang satu nama—Rafael. Cowok populer dengan senyum menawan dan kepandaian luar biasa. Semua orang tahu kalau Arina menyukai Rafael. Dari cara ia mencuri pandang, mencari alasan untuk berbicara dengannya, hingga mengikuti berbagai kegiatan hanya demi bisa berada di dekatnya.
Namun, di sampingnya selalu ada Zayn—sahabatnya sejak SMP.
Zayn bukan tipe pria yang banyak bicara, tapi ia selalu mendengarkan. Setiap kali Arina bercerita tentang Rafael, Zayn hanya tersenyum tipis dan menyembunyikan sesuatu di balik tatapan matanya.
Hingga hari itu tiba.
Hari di mana Arina akhirnya mengumpulkan keberanian untuk menyatakan perasaannya.
Hujan turun pelan saat Arina berdiri di belakang gedung sekolah, menunggu Rafael datang. Jantungnya berdetak kencang, tangannya menggenggam ujung roknya.
Saat Rafael akhirnya datang, Arina menarik napas dalam dan mengungkapkan semuanya.
"Aku suka kamu, Rafael. Dari dulu."
Namun, yang ia terima hanyalah tawa kecil dan tatapan kasihan.
"Arina…" Rafael mengusap tengkuknya. "Aku udah punya pacar. Kayla."
Kayla. Primadona sekolah. Cantik, pintar, dan berasal dari keluarga terpandang. Dibandingkan dengannya, Arina bukan apa-apa.
Namun, bukan itu yang paling menyakitkan.
"Aku udah lama tahu kalau kamu suka aku. Tapi aku nggak pernah nganggep serius. Kamu terlalu… lugu buatku," lanjut Rafael, seolah yang baru saja ia katakan bukan sesuatu yang menghancurkan hati seseorang. "Aku nggak mau ngebiarin kamu berharap sesuatu yang nggak mungkin."
Arina merasa seluruh dunianya runtuh. Sakit. Lebih sakit dari yang ia bayangkan.
Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berlari meninggalkan Rafael, membiarkan hujan menutupi air matanya.
Ketika ia sampai di depan gerbang sekolah, seseorang menarik lengannya—Zayn.
"Arina, kamu kenapa?" tanyanya khawatir, melihat wajahnya yang basah bukan hanya karena hujan, tapi juga air mata.
Alih-alih menjawab, Arina hanya menatapnya kosong. Tanpa sadar, tubuhnya melemah, dan dalam sekejap, Zayn menariknya ke dalam pelukan.
Tak ada kata-kata, tak ada pertanyaan. Hanya kehangatan yang selama ini selalu ada.
Beberapa hari berlalu sejak kejadian itu.
Arina mengurung diri di kamar, membiarkan pikirannya tenggelam dalam berbagai pertanyaan. Kenapa selama ini ia begitu buta? Kenapa ia selalu mengejar seseorang yang tidak pernah benar-benar peduli?
Dalam keheningan itu, pikirannya kembali ke seseorang—Zayn.
Zayn yang selalu ada di sisinya.
Zayn yang mendengarkan setiap ceritanya tanpa menghakimi.
Zayn yang tanpa ragu memeluknya saat ia hancur.
Zayn yang selalu menemaninya, bahkan di saat ia terlalu sibuk mengejar Rafael.
Dadanya terasa sesak saat menyadari betapa bodohnya ia.
Perlahan, ia bangkit dari tempat tidurnya dan meraih ponselnya. Jemarinya ragu sejenak sebelum akhirnya mengetik pesan.
"Zayn, bisa ketemu sebentar?"
Tidak butuh waktu lama sebelum balasan datang.
"Tentu. Aku di tempat biasa."
Ketika Arina tiba di kafe kecil yang sering mereka datangi, Zayn sudah duduk di sudut ruangan, menunggunya.
Ia menatap sahabatnya itu—atau mungkin seseorang yang selama ini ia abaikan perasaannya.
Dengan napas dalam, ia akhirnya berkata, "Aku mau cerita sesuatu."
Zayn tersenyum, seperti biasa. "Aku dengerin."
Dan di saat itulah, Arina tahu—cinta yang selama ini ia cari ternyata tidak pernah jauh.
Ia hanya butuh waktu untuk menyadarinya.