Langit malam itu gelap, hanya bulan yang menggantung di sana, bulat sempurna seperti bola perak yang dingin. Rian berdiri di jendela kamarnya, matanya terpaku pada bulan. Ia tidak tahu apa itu bulan, tapi ia tahu satu hal: ia ingin ke sana. Bulan, baginya, adalah tempat yang tenang. Tidak ada suara keras, tidak ada orang yang berbicara terlalu cepat, tidak ada dunia yang berlari terlalu kencang untuk dikejar.
Rian bukan anak biasa. Ia memandang dunia dengan cara yang tidak dimengerti orang lain. Ketika anak-anak lain bermain bola di lapangan, Rian sibuk mengumpulkan kertas timah dari dapur. Ia punya rencana besar. Ia akan terbang ke bulan. Kertas timah itu ia lipat dan tempelkan satu per satu dengan hati-hati, membentuk sayap besar yang berkilauan di bawah cahaya lampu kamar.
Hari itu datang. Rian membawa sayapnya keluar rumah dan berjalan menuju pohon mangga di halaman belakang. Pohon itu tinggi, menjulang seperti tangga menuju langit. Ia memanjat perlahan, setiap gerakan penuh kehati-hatian, seolah-olah ia sedang mendaki gunung terakhir sebelum mencapai bulan.
Di atas dahan tertinggi, Rian berdiri dengan sayap kertas timahnya terpasang di punggung kecilnya. Angin malam berhembus pelan, seolah-olah memberi dorongan terakhir untuk mimpi kecilnya. Ia melompat.
Tubuhnya jatuh cepat ke tanah. Sayap kertas timahnya robek saat menyentuh cabang-cabang pohon dalam perjalanan turun. Ketika tubuh kecilnya terbaring diam di tanah basah, bulan tetap bersinar terang di atasnya, tidak peduli apa yang terjadi di bawah sana.
Rian tidak pernah sampai ke bulan. Tapi dalam pikirannya yang polos dan penuh mimpi, ia sudah ada di sana—melayang di antara bintang-bintang, jauh dari dunia yang terlalu keras untuknya.