Hujan turun deras malam itu, membungkus kota kecil dalam selimut dingin yang menusuk. Di sebuah gang sempit, seorang gadis muda berlari dengan napas terengah-engah. Rambutnya basah, wajahnya penuh ketakutan. Di belakangnya, langkah berat terdengar mendekat—seperti predator yang sabar menunggu mangsanya kelelahan.
Gadis itu menoleh, matanya menangkap sosok pria tinggi dengan jas hujan hitam. Wajahnya tak terlihat, hanya bayangan tubuhnya yang memanjang di bawah lampu jalan. "Tolong! Jangan!" teriak gadis itu, suaranya pecah di tengah hujan.
Pria itu tidak menjawab. Ia hanya mengangkat pisau panjang yang berkilat di bawah cahaya lampu. Dalam satu gerakan cepat, pisau itu menembus tubuh gadis itu. Darah mengalir deras, bercampur dengan air hujan yang membanjiri jalanan. Gadis itu jatuh ke tanah, tubuhnya tak lagi bergerak.
Pria itu berdiri diam di atas tubuhnya, memandang hasil karyanya dengan mata kosong. Ia merogoh saku jasnya dan mengeluarkan sebuah buku catatan kecil. Dengan tangan dingin, ia mencatat sesuatu di dalamnya: "Korban ke-7. Gadis muda, rambut panjang hitam. Lokasi: gang sempit dekat pasar."
Ia menutup buku itu dengan pelan dan melangkah pergi, meninggalkan tubuh gadis itu tergeletak di tengah genangan air.
Beberapa hari kemudian, seorang gadis lain ditemukan tewas di sebuah taman kota. Tubuhnya terikat pada bangku taman dengan bekas luka di leher dan dada. Polisi yang datang ke lokasi hanya bisa menggelengkan kepala—ini adalah korban kesembilan dalam dua bulan terakhir.
"Apa kita punya petunjuk?" tanya salah satu detektif kepada rekannya.
Rekannya menggelengkan kepala sambil memeriksa laporan. "Tidak ada sidik jari, tidak ada saksi mata. Pelaku ini seperti bayangan—dia datang dan pergi tanpa jejak."
Di sudut kota yang lain, pria berjas hitam itu duduk di sebuah kamar kecil yang gelap. Di hadapannya terdapat meja kayu tua dengan tumpukan buku catatan berserakan di atasnya. Ia membuka salah satu buku dan mulai menulis: "Korban ke-9. Gadis muda, rambut pirang pendek. Lokasi: taman kota."
Tangannya bergerak cepat, mencatat setiap detail pembunuhan dengan presisi yang mengerikan—cara korban berteriak, ekspresi ketakutan mereka sebelum mati, bau darah yang menyengat di udara.
Malam berikutnya, ia kembali berburu. Kali ini korbannya adalah seorang wanita muda yang sedang berjalan pulang dari kantor. Wanita itu tidak menyadari bahaya yang mengintai sampai pria berjas hitam muncul dari kegelapan.
"Tolong! Jangan bunuh aku!" teriak wanita itu sambil mencoba melarikan diri.
Pria itu tidak berkata apa-apa. Ia hanya mengikuti langkah wanita itu dengan tenang, seperti bayangan yang tak bisa dihindari. Dalam beberapa menit, wanita itu jatuh ke tanah setelah pisau tajam menghantam punggungnya.
Pria itu kembali mencatat: "Korban ke-10. Wanita muda, rambut cokelat lurus. Lokasi: jalan dekat gedung perkantoran."
Namun ada sesuatu yang berubah malam itu—sebuah rasa gelisah mulai menyelimuti dirinya. Ia merasa ada sesuatu yang salah, sesuatu yang tidak sesuai dengan rencananya.
Ia kembali ke kamarnya dan membuka semua buku catatannya. Ada lusinan nama korban di sana, lengkap dengan detail pembunuhan mereka. Tapi saat ia membaca satu per satu nama tersebut, ia merasakan kekosongan aneh dalam dirinya.
Ia berhenti sejenak dan memandang sekeliling kamar—tumpukan buku catatan berserakan di lantai; meja kayu tua penuh coretan; dinding kamar yang dipenuhi peta kota dan foto-foto korban.
Ia menarik napas dalam-dalam dan membuka laptop di atas meja. Di layar laptop itu terdapat dokumen berjudul "Bayangan di Balik Kata." Ia membuka dokumen tersebut dan mulai membaca kalimat-kalimat pertama:
"Hujan turun deras malam itu... seorang gadis muda berlari dengan napas terengah-engah..."
Pria itu tersenyum tipis sambil menatap layar laptopnya. Semua pembunuhan ini hanyalah bagian dari novel yang ia tulis—sebuah cerita kelam tentang seorang psikopat yang memburu gadis-gadis muda tanpa ampun.
Ia bukan pembunuh; ia hanyalah penulis yang tenggelam dalam dunia ciptaannya sendiri—dunia gelap penuh darah dan ketakutan yang terasa lebih nyata daripada kehidupan sebenarnya.
Namun saat ia menutup laptopnya malam itu, ia tidak bisa menghilangkan satu pertanyaan dari benaknya: "Apakah aku benar-benar hanya penulis? Atau aku telah menjadi karakter dalam ceritaku sendiri?"