"Ma, itu siapa? Ada anak laki-laki di dekat pot bunga Mama," tanya Primrose pada suatu sore.
Primrose adalah putri bungsu saya. Sekarang dia sudah berusia 12 tahun. Ketika peristiwa ini terjadi, Primrose baru berusia 5 tahun.
"Ada anak laki-laki? Di mana?" tanya saya.
"Halaman belakang," jawab Primrose.
Yang dimaksud halaman belakang sebenarnya hanyalah bidang terbuka di dekat dapur dan kamar mandi belakang. Bidang terbuka itu fungsinya untuk sirkulasi udara. Jika ingin mencapai bidang terbuka itu, orang harus melalui pintu depan, atau memanjat tembok tetangga. Perasaan sejak tadi saya tidak melihat ada orang lain masuk
"Siapa yang masuk?" tanya saya. "David, teman Mpim, masuk ke rumah? Main di halaman belakang?"
Mpim adalah panggilan untuk Primrose. David adalah anak tetangga sebelah yang usianya setahun lebih muda dari Primrose.
"Bukan, Ma. Mana mau David diajak masuk," kata Primrose. "Ini anak laki-laki yang lain lagi, enggak tahu siapa. Pakai baju putih, berdiri di dekat pot bunga Mama."
Deg! Tengkuk saya jadi meremang. Tidak ada siapa-siapa di tempat yang ditunjuk oleh Primrose. Iya, sih, katanya anak-anak usia segitu masih bisa melihat yang tak kasat mata. Akan tetapi, waktu itu kami sudah dua tahun tinggal di rumah ini, dan perasaan selama itu tidak ada sesuatu yang aneh atau ganjil. Kalau beneran ada hantu atau makhluk halus lainnya, kenapa baru ada sekarang?
Saya pun tidak lagi menghiraukan ucapan Primrose yang berkali-kali mengatakan kalau ada anak laki-laki di halaman belakang. Mungkin dia sedang bermain dengan teman khayalannya. Sampai pada suatu hari, sulung saya menginap di rumah.
Sulung saya bernama Fajri. Saat itu dia berusia 22 tahun dan belum menikah, tetapi sudah tinggal terpisah. Sulung saya itu orang yang paling tidak percaya akan adanya hantu dan makhluk halus lainnya. Di malam itu, ia terbangun lewat tengah malam dan harus pergi ke kamar mandi. Besok paginya dia bilang begini, "kenapa ya, Ma, Aji jadi merinding waktu ke kamar mandi semalam? Kayak ada yang merhatiin, tapi begitu dilihat enggak ada siapa-siapa. Hanya saja Aji ngerasa kalau yang merhatiin itu berdiri di dekat pot bunga Mama yang itu tuh."
Pot yang ditunjuk oleh Fajri sama dengan pot yang ditunjuk oleh Primrose beberapa hari sebelumnya. Sebenarnya itu bukan pot bunga. Itu adalah pot berisi tanaman jambu air tabulampot, tetapi di bawah pohon jambu air itu ada semak bunga krokot putih yang sedang bagus-bagusnya berbunga. Saya pun menghela napas berat. Pasti bunga ini yang jadi penyebab hadirnya makhluk tak kasat mata tersebut.
Saya tinggal di satu kota kecil di mana banyak sekali terdapat lahan pemakaman. Nah, di sebelah barat permukiman tempat saya tinggal, ada satu kompleks perumahan di mana antara permukiman tempat saya tinggal dan kompleks perumahan itu dibatasi oleh pemakaman umum yang cukup luas. Pemakaman umum ini dibuka, areanya dibelah untuk dijadikan jalan pintas yang bisa dilalui oleh motor. Jadi jangan kaget, kalau datang ke tempat saya akan terlihat lalu lintas sepeda motor yang cukup padat di tengah pemakaman umum. Pemakaman ini juga kerap disebut dengan nama Kuburan Gede.
Saya tidak bisa naik motor. Kalau mau ke mana-mana dan jarak tujuan saya tidak terlalu jauh, maka saya ke akan berjalan kaki ke situ. Saya kerap berjalan kaki melintasi jalan umum yang ada di tengah pemakaman umum tersebut. Pada suatu hari, saya melihat sekuntum bunga krokot putih di pinggir jalan pintas itu, bukan di kuburannya. Bunga krokot adalah jenis bunga yang sangat gampang tumbuh. Kita ambil batangnya yang merambat, kita tancapkan di pot atau tanah, maka akan tumbuh rumpun krokot baru.
Waktu saya mau mengambil batang dan bunga krokot tersebut, ada petugas kebersihan makam di sekitar situ. Saya pun bertanya, apa saya boleh mengambil bunga krokot putih ini. Dijawab, "ambil saja, Bu."
Ya, sudah saya ambil. Toh, sepertinya juga tak akan ada yang peduli dengan sekuntum bunga di tepi jalan. Saya tancapkan batang bunga krokot itu di pot berisi pohon jambu air. Ternyata batang itu tumbuh subur dan berbunga banyak. Sayangnya, walaupun pada akhirnya rumpun krokot putih yang saya tanam ini berbunga dengan bagus dan rimbun, tetapi akhirnya saya cabuti juga rumpun itu karena cerita Primrose dan Fajri.
Karena penasaran, saya lalu kembali ke pemakaman umum yang juga disebut Kuburan Gede tersebut. Saya kemudian menengok ke titik di mana saya mengambil batang dan bunga krokot yang saya tanam. Ada batang dan bunga baru di situ. Saya ikuti alurnya, mencari akar utamanya. Ternyata, krokot putih ini berasal dari makam seorang anak laki-laki yang berusia 7 tahun ketika ia meninggal. Saya tinggalkan rumpun dan bunga krokot yang sempat tumbuh di pot jambu air saya di atas makam anak itu. Saya membaca doa sebentar dan kemudian pulang. Halaman belakang saya tidak lagi membuat tengkuk merinding setelah itu.
TAMAT