"Astaga kamu masih percaya itu?" Ujar Alia.Di sebuah kafe kecil dekat universitas, dua orang ilmuwan duduk berhadapan. Buku-buku berserakan di meja mereka, secangkir kopi sudah setengah dingin, dan perdebatan semakin memanas.
Dr. Adrian, seorang fisikawan teoretis, menyilangkan tangan di dadanya. Wajahnya penuh skeptisisme. Di seberangnya, Dr. Alia, seorang sejarawan sastra, tersenyum penuh percaya diri.
"Aku tetap yakin bahwa Mary Shelley bukan wanita pertama yang menulis novel," kata Adrian, matanya berbinar penuh tantangan. "Tapi orang-orang terus-terusan menyebut *Frankenstein* sebagai tonggak pertama novel yang ditulis oleh seorang wanita. Itu keliru."
Alia mendesah pelan, lalu menyesap kopinya. "Tentu saja itu keliru, tapi aku tidak pernah bilang Mary Shelley adalah yang pertama. Jika kamu mau bicara fakta, kita harus kembali ke abad ke-11. *The Tale of Genji* oleh Murasaki Shikibu di Jepang adalah novel pertama yang diketahui ditulis oleh seorang wanita."
Adrian mengangkat alis. "Itu pun masih debatabel. Definisi novel pada masa itu berbeda dengan yang kita kenal sekarang. Bisa saja itu hanya kumpulan kisah yang lebih mirip epik daripada novel modern."
Alia tersenyum sinis. "Oh, jadi sekarang kamu ingin mendebat definisi novel juga? Baiklah. Kalau begitu, kita ambil contoh dari Eropa. Pada abad ke-17, ada *The Countess of Montgomery's Urania* yang ditulis oleh Mary Wroth. Itu jelas-jelas sebuah novel dalam format modern."
Adrian mengangguk, lalu menuliskan sesuatu di buku catatannya. "Itu menarik, tapi secara naratif, bukankah novel-novel awal cenderung berbasis cerita sejarah atau surat-menyurat? Kalau begitu, *Love-Letters Between a Nobleman and His Sister* karya Aphra Behn juga bisa masuk hitungan."
Alia terkekeh. "Dan kamu baru saja membuktikan kalau Mary Shelley memang bukan yang pertama. Tapi orang tetap mengingatnya karena dia membawa genre baru: novel gotik yang berbasis sains."
Adrian tersenyum miring. "Jadi sekarang ini bukan soal siapa yang pertama, tapi siapa yang paling berpengaruh?"
Alia mengangguk. "Sejarah lebih peduli pada dampak dibanding sekadar urutan waktu. Lagipula, kalau kita bicara sains, bukankah begitu juga prinsipnya? Einstein bukan orang pertama yang bicara soal relativitas, tapi dialah yang mengubah cara kita memahami alam semesta."
Adrian terdiam sejenak. "Baiklah, aku mengaku kalah dalam argumen ini."
Alia menaikkan alis. "Serius? Seorang fisikawan menyerah pada sejarawan?"
Adrian tersenyum, matanya menatap Alia dengan cara yang berbeda. "Bukan menyerah. Aku hanya memilih untuk menikmati bagaimana caramu menang."
Alia terdiam, lalu tertawa kecil. Untuk pertama kalinya sejak perdebatan dimulai, mereka tidak lagi berbicara sebagai ilmuwan—tetapi sebagai dua orang yang saling menghargai kecerdasan satu sama lain.
Di ruang tamu rumah mereka yang penuh dengan buku dan jurnal penelitian, Dr. Adrian dan Dr. Alia duduk di sofa, menghadap ke keranjang bayi yang berisi seorang manusia mungil yang baru saja mereka bawa pulang dari rumah sakit.
"Ini keputusan paling sulit dalam hidup kita," gumam Adrian, sambil menatap si kecil yang tertidur pulas. "Kita bisa memahami relativitas umum, bisa menelusuri sejarah peradaban, tapi memberi nama manusia baru? Ini... rumit."
Alia tertawa kecil. "Akhirnya, sesuatu yang tidak bisa kamu selesaikan dengan persamaan diferensial."
Adrian mendesah, lalu membuka catatannya. "Baiklah, aku punya daftar. Aku pikir kita bisa menamai dia Lise, dari Lise Meitner, fisikawan brilian yang menemukan fisi nuklir."
Alia mengangkat alis. "Lise memang keren, tapi bagaimana kalau dari sisi sejarah sastra? Aku suka nama Murasaki, dari Murasaki Shikibu. Novel pertamanya bahkan lebih tua dari teori kuantum mana pun!"
Adrian menyipitkan mata. "Murasaki Adrianova? Hmm... agak sulit diucapkan."
Alia tertawa. "Oke, bagaimana kalau kita ambil dari penulis wanita Eropa? Mary, dari Mary Shelley?"
Adrian mengerutkan dahi. "Nama Mary terlalu umum. Lagipula, aku tidak mau anak kita tumbuh dengan tekanan harus menciptakan sesuatu sekelas *Frankenstein* hanya karena namanya."
Alia memutar bola matanya. "Jadi menurutmu Lise tidak akan merasa tertekan kalau tumbuh dengan nama seorang fisikawan perintis?"
Adrian tersenyum tipis. "Touché."
Mereka terdiam sejenak, memandangi bayi mereka yang masih terlelap.
"Bagaimana kalau Hypatia?" kata Adrian tiba-tiba. "Seorang filsuf, matematikawan, dan astronom dari Alexandria. Dia melampaui zamannya."
Alia mengangguk perlahan. "Itu nama yang indah. Punya sejarah, punya makna."
Adrian tersenyum. "Jadi, Hypatia Adrianova?" Alia menyeringai. "Jangan bercanda. Hypatia Alianova lebih bagus."
Adrian menghela napas. "Dan di sinilah kita kembali berdebat."
Mereka berdua tertawa, sementara bayi mereka tetap tidur nyenyak, tak menyadari bahwa bahkan sebelum dia bisa berbicara, kedua orang tuanya sudah berargumen demi nama terbaik untuknya.
Hypatia Adrianova—atau Tia, begitu dia lebih suka dipanggil—menghela napas panjang. Sudah delapan belas tahun dia hidup dengan dua orang tua yang jenius, luar biasa cerdas... dan sama sekali tidak bisa berhenti berdebat.
Dia duduk di meja makan, mengaduk-aduk serealnya dengan malas. Di seberangnya, seperti biasa, dua orang yang bertanggung jawab atas keberadaannya di dunia ini tengah tenggelam dalam perdebatan yang—menurutnya—sama sekali tidak penting.
"Kamu tidak bisa menyebut Newton sebagai bapak fisika modern, Alia!" seru Adrian sambil meletakkan sendoknya. "Einstein-lah yang merevolusi segalanya dengan relativitas!"
Alia mengangkat alis, lalu menyilangkan tangan di dada. "Tentu saja bisa! Tanpa Newton, Einstein bahkan tidak akan punya dasar untuk bekerja. Kamu tidak bisa bilang seseorang lebih penting hanya karena dia muncul belakangan!"
"Ya, tapi teori gravitasi Newton sudah terbukti tidak sempurna! Relativitas umum Einstein jauh lebih akurat!"
Alia mendengus. "Tapi itu tidak berarti Newton tidak layak disebut sebagai bapak fisika modern. Itu seperti bilang Herodotus bukan bapak sejarah hanya karena metodenya masih diperdebatkan!"
Tia menutup matanya dan memijat pelipisnya.
"Astaga," gumamnya. "Kalian ini orang dewasa atau anak TK?"
Dua pasang mata jenius itu menatapnya, terkejut.
"Kalian sadar nggak sih," lanjut Tia dengan kesal, "kalau kalian selalu bertengkar tentang hal-hal yang... *serius banget*, tapi juga konyol? Kalian udah berdebat soal siapa yang pertama menulis novel, siapa penemu sebenarnya dari listrik, bahkan soal apakah kucing Schrödinger itu hidup atau mati!"
Adrian mengangkat tangan. "Tunggu, itu memang topik yang valid. Eksperimen Schrödinger adalah—"
Tia menutup wajahnya dengan tangan. "Ayah, aku mohon... Bukan sekarang."
Alia tertawa kecil. "Tia, ini cuma diskusi intelektual, sayang. Bukan bertengkar."
Tia mendelik. "Diskusi intelektual yang selalu berakhir dengan Mama dan Papa saling membuktikan siapa yang lebih benar. Aku nggak tahu apakah ini pernikahan atau debat abadi."
Adrian dan Alia saling berpandangan, lalu tertawa.
"Kami memang begitu sejak dulu, Tia," kata Adrian, tersenyum. "Mungkin ini alasan kenapa kami masih bersama. Kalau kita setuju terus, hidup pasti membosankan."
Tia menghela napas. "Terserah. Tapi bisakah kita makan pagi tanpa perdebatan akademik, walau cuma sekali?"
Alia tersenyum, lalu mengambil sepotong roti panggang. "Baiklah. Tidak ada perdebatan."
Hening.
Dua menit kemudian, Adrian membuka mulutnya. "Tapi tetap saja, Newton—"
Tia berdiri. "Aku makan di kamar!"
Sementara dia berjalan pergi, Alia dan Adrian kembali tertawa. Ya, mungkin perdebatan mereka tidak akan pernah berhenti. Tapi setidaknya, mereka punya satu penonton tetap—meskipun penonton itu sering frustrasi dengan mereka.
Tahun-tahun berlalu. Hypatia—yang akhirnya mereka panggil "Tia"—tumbuh menjadi anak yang cerdas, kombinasi sempurna antara rasa ingin tahu seorang fisikawan dan pemahaman sejarah seorang sejarawan. Namun, seperti yang bisa diduga, Adrian dan Alia tidak berhenti berdebat.
Suatu malam, di ruang kerja mereka yang penuh dengan buku dan papan tulis, Adrian duduk sambil mengetik di laptopnya. Di seberangnya, Alia menatap layar komputer dengan ekspresi serius.
"Aku rasa ini saatnya kita melakukan sesuatu yang berbeda," kata Alia sambil melipat tangannya.
Adrian mengangkat alis. "Berbeda bagaimana?"
Alia menyeringai. "Bagaimana kalau kita meneliti satu sama lain?"
Adrian terkekeh. "Kamu mau bilang, kita menjadikan satu sama lain sebagai subjek penelitian?"
Alia mengangguk penuh semangat. "Kita sudah bertahun-tahun berdebat soal sejarah versus fisika, jadi kenapa tidak membuat penelitian lintas disiplin? Kau meneliti bagaimana sejarawan berpikir, dan aku meneliti bagaimana fisikawan mengambil keputusan."
Adrian terdiam sejenak, lalu matanya berbinar. "Itu... brilian. Kita bisa menggabungkan analisis historis dengan model statistik. Bisa jadi ini pertama kalinya ada studi tentang interaksi antara dua bidang yang begitu berbeda."
Alia tersenyum puas. "Lihat? Sejarah itu penting. Tanpa sejarah, kamu bahkan tidak akan punya ide untuk memulai sesuatu yang baru."
Adrian menyipitkan mata. "Dan tanpa fisika, kamu tidak akan bisa memahami bagaimana dunia bekerja pada tingkat fundamental."
Mereka saling bertatapan, lalu tertawa.
Malam itu, dua ilmuwan yang selalu berargumen akhirnya menemukan titik temu: mereka mungkin berbeda dalam cara berpikir, tetapi bersama-sama, mereka bisa menciptakan sesuatu yang benar-benar unik.
Dan mungkin, untuk pertama kalinya dalam sejarah, seorang fisikawan dan seorang sejarawan bisa sepakat—setidaknya untuk sementara.
Hujan deras mengguyur kota, menutupi suara sirene ambulans yang berhenti di depan rumah Adrian dan Alia. Tia berdiri kaku di ambang pintu, tubuhnya gemetar. Tangannya masih penuh dengan sisa air mata yang dia hapus paksa.
Di dalam rumah, suara debat klasik itu tidak terdengar lagi.
Semua berawal dari hal kecil—seperti biasa. Kali ini, argumen mereka adalah tentang siapa yang lebih dahulu memahami konsep relativitas: Einstein atau Henri Poincaré. Adrian bersikeras bahwa relativitas spesial sepenuhnya adalah gagasan Einstein. Alia, seperti biasa, menantangnya, mengatakan bahwa Poincaré sudah lebih dulu menyusun dasar-dasarnya.
"Kalau Poincaré memang lebih dulu, kenapa dia tidak mendapatkan pengakuan?" suara Adrian terdengar tajam.
Alia mendengus. "Karena dunia sains selalu punya bias! Kau sendiri tahu itu!"
Tia mendengar perdebatan itu dari lantai atas, tapi dia sudah terlalu lelah untuk peduli. Sudah bertahun-tahun dia hidup dalam lingkaran ini—dua orang jenius yang tidak pernah bisa berhenti mencoba membuktikan siapa yang lebih benar.
Lalu, ada suara kaca pecah.
Disusul suara tubuh yang jatuh.
Tia langsung berlari ke bawah.
Dan di sanalah dia menemukan ibunya tergeletak di lantai, kepala membentur ujung meja. Adrian berlutut di sampingnya, wajahnya penuh keterkejutan dan ketakutan. Tangan Alia berusaha meraih sesuatu—atau mungkin seseorang—tapi semakin lama gerakannya semakin lemah.
"Tia, panggil ambulans!" suara Adrian terdengar panik.
Dunia menjadi kabur setelah itu. Tia hanya ingat bagaimana tubuhnya bergerak otomatis, tangannya meraih ponsel, suaranya memanggil pertolongan. Dia tidak tahu apakah dia menangis atau tidak. Semua terasa seperti mimpi buruk yang terlalu nyata.
Dan sekarang dia berdiri di depan rumah, menatap saat ibunya dibawa pergi dengan tandu. Adrian ingin ikut, tapi paramedis menghentikannya. "Kami butuh ruang," kata mereka.
Adrian berbalik ke arah Tia, matanya dipenuhi rasa bersalah yang begitu dalam. "Aku... aku tidak bermaksud..."
Tia menatap ayahnya, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya.
Sebab, kali ini, tidak ada argumen yang bisa memenangkan apa pun.
"Dua bulan berlalu ayah dan ibu tak lagi beradu argument aku bisa melihat betapa sunyi nya rumah... Tapi ini lebih tenang dari yang seharusnya, ayah dan ibu sudah berdamai dengan keadaan walaupun aku belum rasa nya ada yang hilang... Hari-hari ku tak lagi sama Tapi ini lebih baik untuk masa yang akan datang. Dua orang jenius mereka adalah orang tuaku yang akan selalu menjadi panutan ku.. Mereka orang jenius,tapi emosi dan ego akan tetap ada dalam diri seseorang.."
*Tia menulis kan isi hati nya di buku diary milik nya, di meja makan sambil melihat kedua orang tua nya yang sedang bercengkrama dan tertawa. Ia tersenyum kecil,dan ikut dalam pembahasan orang tuanya walaupun ia tak paham apa yang mereka bicarakan.*
__TAMAT__