Pov Author.
Lima tahun sebelumnya, mereka tiga orang sahabat yang sangat dekat. Dua diantara-Nya cewek, yang satu cowok. Salsa Anisfya, Diana Carla, dan Lucas Julian. Masa SMA mereka habiskan begitu indah, selalu bersama hingga dua cewek itu menyukai sahabat cowok mereka bersamaan. Salsa, cewek yang suka mendam dan Diana si ugal-ugalan. Dia tidak malu bercerita, meski memang hanya cerita pada Salsa saja. Hingga waktu makin berlalu, masa itu berlalu dan mereka bertiga sudah tidak saling menghubungi satu sama lain 5 tahun terakhir. Ketiganya sibuk, Salsa bekerja, Lucas juga bekerja dan Diana sudah menjadi guru di sebuah sekolah yang ada di kampungnya.
Pov Salsa.
Pulang kerja, ku rebahkan tubuhku di atas ranjang yang tidak seberapa ukurannya. Menatapi langit-langit kamar, aku kembali mengingatnya.
“Haisss, aku mungkin sudah gila,” umpatku pada diri sendiri. Satu bulan lalu, Lucas membalas Story Whatsapp-ku dengan bertanya kabar. Tanganku keringat dingin tentunya, ya itu adalah reaksi tubuhku jika sudah berkabaran dengannya. Ini gila, dulu padahal kita sering bersama.
Memang sekarang kita sangat jarang balas pesan bahkan saling kontakkan, tapi tak ayal saat itu aku sangat senang ketika bertahun-tahun los kontak tapi dia menghubungiku lebih dulu.
Kamu belum punya pacar kan? Tanyanya basa basi. Di tanya seperti itu tentu saja membuatku berpikir bahwa dia sebenarnya suka sama aku.
Hmmm, Balasku sangat singkat. Begitulah, aku tidak pernah balas pakai kalimat panjang, bukan hanya padanya tapi pada semua orang yang berkomunikasi denganku, aku bisa di bilang gadis yang irit bicara, aku menyadarinya.
Dretttttttt
Di tengah lamunanku, dering ponsel cukup menyita. Itu adalah panggilan dari Raga, cowok yang dua tahun terakhir mendekati bahkan selalu setia menemaniku.
“Iya,”
“Udah sampe? Kok nggak ngabarin?” terdengar sangat posesif. Aku tersenyum tipis, sedikit nyaman dengan perhatiannya, hanya saja hatiku masih ntahlah.
“Aku udah sampai di kos, Raga” ucapku memberitahunya. Dia terkekeh pelan, tawa yang sangat hangat.
Saat aku terus bercengkrama dengannya, lebih tepatnya mendengar cerita romantis bahkan komedi dari Raga, ya hanya mendengar karena aku bukan orang yang antusias menanggapi, hanya hmmm, terus dan oh, kalimat andalanku. Diana yang tidak pernah lagi mengirimku pesan tiba-tiba menelpon.
.
Pov Diana.
Aku sedang serius di depan laptop. Membuat soal ulangan untuk hari senin.
Ting
Aku hanya melihat ponsel yang sedari tadi mendapatkan notif, entah dari siapa. Karena sudah berapa kali, akhirnya aku membuka.
Menghela nafas kasar, saat mengetahui siapa yang mengirim pesan. Lucas, pria itu selalu saja menganggu di jam yang tak tepat.
Aku sibuk! Balasku padanya. Tak lama, ponselku berdering terus-menerus membuatku mengumpat dalam diam.
“Apa lagi Lucas?,” tanyaku.
“Aku merindukannya,” ujarnya dengan wajah sendu. Aku menatap pahatan sempurna pria itu, dia benar benar sempurna.
“Terus? Hubungi kalau kangen, bukan malah mengangguku!” titah ku memberi saran. Aku mendengarnya menghela nafas kasar.
“Aku tidak bisa, dia sudah punya pacar, aku sudah tidak punya harapan, Dian..” berujar lirih.
“Masih pacar kan? Belum menikah, jadi masih banyak harapan!” aku menguatkannya. Sudah Jauh hari pria itu menyimpan perasaan sukanya terhadap sahabatku yang entah gimana kabarnya. Aku sudah tidak pernah chat dengannya lagi, dia terlalu sibuk bahkan mungkin waktunya sudah hilang.
“kenapa nggak kamu aja yang menghubungi dia? Setelah tersambung nanti, sambung denganku” dia memberi saran membuatku terkekeh pelan. Selalu saja begini, pria di dalam layar ponsel itu terlalu cupu. Bagaimana tidak, dia bahkan berwajah sangat tampan, tapi tidak pernah berani mengungkapkan perasaannya pada sahabatku itu. Takut di tolak, padahal belum pernah ada cewek yang menolak pesonanya. Dia perfect, meskipun gadis yang dia incar juga sama saja, cantik dan idaman semua pria.
Bersyukur banget aku pernah menjadi bagian dari mereka, yang tahu satu persatu cerita mereka karena akulah tempat curhat itu. Ya meski sahabat cewekku nggak terlalu banyak curhat sih, dia terlihat cuek bahkan irit bicara.
Aku mulai menggulirkan, mencari nomor ponsel sahabatku itu. Aku ragu memencet nya, aku pikir dia mungkin sudah ganti nomor ponsel karena aku tidak pernah lagi melihat storynya.
Satu, dua hingga panggilan ketiga baru terhubung. Aku gugup karena tiba-tiba saja menelponnya.
.
.
Pov Lucas.
Sakit merindu, itu yang aku rasakan lima tahun terakhir. Saat ini aku sedang menunggu sambungan dari Diana yang akan menelepon gadisku itu.
📞 Hai Diana, apa kabar? Terdengar suara yang sangat lembut dari seberang sana. Jantungku berpacu cepat, seiring dengan tanganku yang kini gemetar serta air mata yang luruh begitu saja.
Sungguh aku ingin mendengar suara itu setiap hari, tapi sekarang kami bahkan sangat asing.
“Salsa.... Aku sangat baik, kamu gimana disana?” teriak Diana dengan suara cemprengnya. Aku diam membisu, menunggu jawaban Salsa.
📞Aku juga baik, Di. Tumben kamu nelfon?” yang sekarang bukan lagi basa basi, langsung tanya tujuan dari Diana menghubunginya. Aku tidak lagi mendengar suara Diana, hanya deheman singkat, dan hening kembali. Mungkin Diana sudah tidak ada bahan untuk di bahas, terlalu canggung, aku memahaminya.
“Hai Salsa,” Sapaku. Seketika panggilan ku alih ke mode Video, aku sudah dalam tahap tidak hanya rindu suaranya, tapi wajah cantik yang menenangkan itu. Ku tatap lekat wajah cantik itu, masih sama hanya bedanya sekarang sudah tambah dewasa.
📞 Lucas, Dia tidak sama sepertiku yang sangat merindukannya. Terlihat biasa saja bahkan hanya menyapaku begitu, kemudian beralih ngobrol dengan Diana. Cukup lama aku hanya menjadi pendengar curhatan mereka yang panjang lebar, sampai pada akhirnya Diana memutuskan sambungannya.
Tersisa kami berdua, canggung. Aku hanya menatap wajah itu untuk beberapa detik, hingga sadar setelah dia berdehem.
📞em, Lucas. Aku tersentak, kemudian tersenyum padanya.
“Iya,”
📞 Ada lagi yang mau kamu bicarakan? Kalau tidak ada aku tutup teleponnya,” ujarnya terlihat tak nyaman.
Aku berdelik tak suka, “Aku masih kangen,” entah keberanian dari mana, aku mengucapkan kata itu. Salsa dari seberang hanya terkekeh pelan, kemudian menatapku lamat.
📞udah ya—
“Jangan tutup dulu Sa, aku masih rindu, tolong..” pintaku. Aku bisa mendengar helaan nafasnya, mungkin dia keberatan tapi masih meladeni ku.
“kalau kamu lelah boleh tidur, tapi teleponnya tidak perlu dimatikan” Aku semakin berani, membuat Salsa mendelik dari seberang sana.
📞 kenapa aku harus meladenimu? Ingat, kita tidak sedekat itu Lucas! Dan satu lagi, bukankah kamu bilang sudah punya pacar, lantas kamu tidak takut dia marah karena telepon sahabatnya begini? Dia merasa tidak nyaman, dan aku merutuki kebodohanku saat itu. Aku mengaku punya pacar padanya hanya untuk melihat bagaimana reaksi Salsa. Apakah dia cemburu atau tidak, nyatanya selama bertahun-tahun hanya cinta bertepuk sebelah tangan.
“Aku tidak pernah punya pacar, aku hanya berbohong padamu,” Salsa hanya memutar bola matanya malas.
“Kamu sudah punya pacar? Aku melihatmu dekat dengan cowok,” sambung ku dengan dada yang mulai sesak.
📞hmmmm. Seperti biasa, aku tidak mengerti apa arti dari hmmm itu. Jawaban macam apa seperti itu.
“Kenapa kamu sangat dingin sekarang?”
📞Lucas, aku ngantuk. Bisa di matikan teleponnya?
“Aku sudah bilang, kalau kamu ngantuk ya tidur. Tapi nggak usah matiin!” kekeuh ku. Dan tampaknya Salsa menyerah, dia tertidur lelap tanpa mematikan sambungannya. Aku tersenyum tipis, ingin sekali ku dekap tubuh itu, tapi apalah, kami berdua cukup jauh.
Lama aku memandangi wajahnya, tidurnya sangat cantik. Rasa rinduku terobati meski dia tak menanggapi ku. Hingga perlahan, mataku ikut tertutup saat puas memandangi wajah Salsa. Cukup cepat, tidak biasanya aku tidur secepat ini.
.
.
Pov Salsa.
“Kamu kenapa datang jemput?” Aku menatap Raga yang kini sudah standby di depan kos, dengan pakaian rapi serta motor yang siap mengantarku ke tempat kerja.
Setelah semalam aku mematikan sambungan teleponnya sepihak, karena harus menerima telepon dari Diana, aku jadi tidak enak pada Raga. Padahal pria itu masih menyambutku dengan senyuman hangatnya, tapi entah kenapa aku merasa bersalah.
“Emang udah nggak boleh?” lihatlah, dia hanya menanggapi wajah serius ku dengan candaan. Memakaikan helm ke wajahku, aku tersentuh di perlakukan seperti itu, tapi kembali lagi aku tidak bisa meladeni perasaan nya. Adik, itu yang aku rasakan padanya, tidak lebih.
“Naik, bisa nggak?”
“Bisa,” menaiki motornya yang sangat tinggi, aku merasa kesusahan. Dia menarik tanganku untuk memeluknya erat.
Di lampu merah, aku tak sengaja melihat seseorang. Seketika aku melepaskan tangan dari Raga.
Mata itu, dia menatap ke arahku sangat tajam. Aku gugup, berkali-kali mengedip mata berharap ini hanya halusinasi karena terus memikirkannya. Hingga motor kembali berjalan, aku jadi tidak berniat untuk memeluk Raga lagi.
.
.
Pov Lucas.
Panas, aku merasakan itu padahal AC di dalam mobil cukup dingin. Melihatnya berpelukan dengan cowok tampan itu, tentu saja aku cemburu.
Mengikuti motor itu hingga aku ikut masuk ke dalam supermarket. Aku sudah lama memantau Salsa, dan memang disini tempat kerjanya.
Aku menyelinap ke ruang ganti, rasa cemburuku membawa kesana.
“Khemmm..” Salsa yang sedang merapikan pakaiannya terkejut mendengar suara cowok. Menoleh, mata kami bertemu pandang. Antara mata yang menyala karena cemburu dan mata gugup dan syok.
“Lu-lucas,” suaranya gemetar, aku merasakannya. Mendekat ke arahnya, ingin sekali aku memeluk tubuh yang sudah lama hanya ku tatap dari jauh. Tapi lupakan tentang itu, aku masih dilanda cemburu.
“Kamu ngapain disini, kamu tahu nggak kalau ini ruang ganti? Sopankah begitu?” teriak Salsa menekankan suaranya. Aku bergeming, ku pikir mata berkaca-kaca itu lantaran rindu, ternyata karena marah.
Tak membiarkan Salsa terus meneriaki ku, aku membungkam mulutnya dengan ciuman. Katakanlah ini hal gila yang aku lakukan, memang benar adanya. Jantungku, detaknya begitu cepat dan aku sangat malu kalau sampai Salsa mendengarnya.
Tapi tunggu dulu, meski tangan Salsa memukul dada bidangku, dia tampak membalas ciuman ku. Seketika aku berharap, menggigit bibirnya, dengan berani menjelajahi mulut ranum itu.
Tidak ku sangka, dia membalas ciuman ku meski masih pasif.
Cukup lama, aku menyadari kalau dia hampir kehabisan oksigen. Melepaskan pangutan itu, aku menyengir berbarengan dengan air mata.
“Barusan..”
“Itu yang kamu mau kan? Kamu menganggap aku murahan, kamu menganggap aku cewek—“
“shutttt” aku meletakkan telunjuk di bibirnya agar dia tidak terus ngelantur. Menarik tubuhnya untuk masuk dalam dekapanku, memeluknya sangat erat. Sungguh aku sangat merindukannya, lima tahun berpisah bukan waktu yang cepat. Memantau setiap kerjaannya dari jauh, itu sangat menyiksa.
“Lepas Lucas! Aku bukan wanita murahan, asal kau tahu!” membentak, dia mengeluarkan air mata, hal itu sangat menyakitkan bagiku. Tidak pernah di pikiranku menganggapnya murahan, justru aku melakukan itu karena Cinta dan sayang.
“Kamu dengan sangat berani masuk ke ruang ganti, aku bukan pelacur, aku..” isak tangisnya kali ini begitu lama, aku kembali membungkam mulutnya.
“Sa, aku tidak pernah menganggapmu begitu, aku hanya kangen, rindu, cinta, sayang dan cemburu. Aku cemburu kamu boncengan sama cowok tadi, sungguh Salsa. Itu yang membuatmu nekat,”
“Apa hakmu cemburu? Kamu bukan siapa-siapa, ingat itu!” bentaknya.
“Aku cinta Salsa, aku sayang, aku mencintaimu, aku tidak peduli kamu menganggap aku apa, tapi yang jelas kamu milikku, itu saja!” Aku menekankan setiap kalimat, mengklaimnya milikku. Dia terkekeh pelan sembari mengusap air matanya, jujur itu adalah ekspresi yang tidak aku sukai sama sekali.
“Kamu mah kemana?”
“Kerja, aku kesini untuk kerja. Aku bukan kamu yang mau apa saja bisa Lucas, aku tidak ada waktu sekarang, jadi awas!” hendak keluar, aku memegang pergelangan tangannya.
“Bagaimana dengan kalimatmu barusan, aku serius Salsa,” aku begitu greget dengan ekspresi biasa saja nya. Setelah jantungku di buat berpacu, dia hanya biasa saja.
“Kamu mau apa? Tubuhku?” singkatnya. Aku berdelik,
“Salsa.. Kenapa kamu tidak bisa memahami perasaanku, aku tersiksa lima tahun ini, sungguh” gumamku lirih berhasil membuatnya terdiam.
“Dan kamu tidak akan memaksa jika aku tidak punya perasaan apa-apa sama kamu kan? Kita hanya sahabat, itu saja!” mengucapkan itu, dia menunduk.
“Tapi tadi kamu membalas ciuman ku, apa arti itu semua, Salsa?”
“Aku hanya penasaran gimana ciuman, dan harusnya kamu senang karena berhasil mengambil ciuman pertamaku, okey, aku kerja dulu!” dia melenggang keluar, meninggalkan aku yang kini sendiri sesak mendengarnya.
Ini yang aku takutkan sejak dulu, di tolak. Ya, aku benar-benar di tolak olehnya, dan itu sungguh sakit. Tidak peduli jika orang lain, tapi ini adalah Salsa, gadis yang tidak pernah lepas dari pikiranku sejak dulu bahkan sampai sekarang hal itu menggebu.
.
.
.
Pov Salsa.
Aku hanya menatap punggung tegap itu keluar dari Supermarket. Jujur saja aku ingin sekali berlari memeluknya dari belakang, membohongi perasaan sendiri nyatanya sangat sakit. Apalagi melihat wajah Lucas yang berkaca-kaca tadi, membuat hatiku teriris. Tapi kembali lagi, ada hubungan yang harus aku jaga agar tidak renggang.
Lupakan tentang semua yang terjadi hari ini, aku kembali bekerja seperti biasa meski masih banyak pertanyaan dan keingintahuan tentang dia, karena sudah ku lewatkan beberapa tahun terakhir.
Pov Author.
Jika Salsa di sibukkan dengan pekerjaan, Lucas sendiri berbeda. Dua minggu telah lewat dari hari itu, tapi rasa sakit pria itu masih saja belum hilang. Sangat sulit untuk menerima kenyataan bahkan melupakan cinta yang bersarang sejak lama.
Dia melakukan hal-hal aneh, seperti motoran dan masih banyak lainnya. Malam ini, pria itu sudah berada di club malam, minum-minum sekaligus menghibur hatinya.
Mabuk, dia berjalan keluar dari club dengan langkah sempoyongan. Melakukan motornya di jalan yang cukup ramai pada malam hari, pria itu terus saja meracau, menyebut nama Salsa.
Hingga, sebuah mobil dari arah berlawanan, melaju cepat dan—
Brakkkkk!!!
Motor Lucas terpelanting jauh, hancur lebur. Pria tampan itu kini tergeletak di jalanan dengan darah mengucur dari kepalanya.
.
.
Pov Salsa.
Ini tidak terduga, setelah beberapa hari lalu aku nekat menghubungi Diana kembali, menceritakan semua tentang Lucas yang datang ke ruang ganti dan menciummu saat itu, akh meminta maaf pada Diana. Tapi reaksi Diana di luar dugaan, dia hanya tertawa renyah saat berkali-kali aku memohon maaf karena tidak menjaga perasaannya.
“Sa, aku tidak pernah menyukai Lucas, serius!” ujarnya saat itu. Aku tidak percaya, karena jauh-jauh hari, aku adalah tempat curhat Diana. Bagaimana gadis itu yang terus menceritakan Lucas, dia menyukai Lucas, Diana ceritakan semuanya tanpa ada di tutup-tutupi.
“Aku serius Sa, saat itu aku sengaja memberitahumu bahwa aku menyukai Lucas, itu karena aku di suruh olehnya. Dia mah tahu bagaimana perasaan kamu jika tahu bahwa ada gadis lain yang menyukai nnya. Dia ngetes apakah kamu suka sama dia, apakah kamu cemburu jika ada orang lain menyukainya,” aku tak percaya. Berarti selama ini Lucas selalu menguji perasaanku, dia bilang punya pacar itu hanya untuk membuatku cemburu? Ah, dia pikir aku orangnya peduli? Tentu aku cuek.
“Jadi, bagaimana pendapatmu sekarang, Dian?” tanyaku saat itu.
“Dia sudah lama mencintaimu, Sa. Sangat, aku sangsi dari perasaannya. Dia selalu curhat selama ini, aku bisa membaca ketulusannya, cintanya di level lain pada kamu. Dia tidak pernah punya pacar, sama sekali tidak. Dan asal kamu tahu, dia selalu memantaumu lima tahun. Dia tahu semua apa yang kamu kerjakan, termasuk kedekatan kamu dengan cowok itu,” sambung Diana dan aku menyadarinya setelah dua minggu lalu Lucas ke tempat kerjaku.
Saat ini aku terus kepikiran, di layar ponsel, aku sedang scrool media sosial Lucas. Aku hendak menghubunginya, tapi cukup sulit karena aku sangat malu.
“Ah, aku kenapa jadi tak tenang begini, ingin minta maaf, tapi besok aja deh..” gumamku membaringkan tubuh di ranjang.
Dering ponsel di jam yang hampir larut, setengah 12 malam, membuatku terbangun dan heran. Belum ada sebelumnya yang menghubungiku jam segini.
“Iya, siapa?” Rasa ngantuk membuatku malas melihat siapa itu.
📞”Sa, Lucas kecelakaan. Sekarang dia ada di rumah sakit X” suara tangisan Diana dari seberang membuatku syok. Tanganku gemetar hebat, ponsel itu jatuh dengan sendirinya dan air mata tidak bisa ku bendung.
Segera aku memakai jaket, keluar dari kamar dan bertolak ke rumah sakit tersebut. Demi apapun ini adalah perasaan hancur dan terpuruk yang aku alami paling berat. Rasa menyesal dan bersalah menyelimuti hatiku.
Sampai di rumah sakit, aku melihat beberapa keluarga Lucas, termasuk Diana yang berdiri di sana. Dia merentangkan tangannya saat melihatku, aku langsung berhambur ke pelukannya dengan tagihan yang tiada henti.
“Lucas akan baik-baik saja..” lirih diana menguatkanku. Aku mengangguk, memang harusnya dia baik-baik saja. Dia kuat, aku terus menyemangati diriku sendiri.
Tapi hanya sebentar, karena setelah dokter keluar, aku kembali lemah tak berdaya. Dokter bilang, kecelakaan ini cukup parah dan Lucas koma. Dia masih harus melewati masa kritis dan tidak tahu kapan sembuhnya.
“Dia akan sembuh kan Dian? Lucas akan bangun kan? Aku harus minta maaf sama dia, tolong bangun, hiks..” aku terisak dalam pelukan hangat Diana.
Aku berjalan pelan, menghampiri jendela kaca. Menatap ke dalam ruangan ICU, dimana Lucas berbaring dengan banyak alat medis pada tubuhnya. Sekelabat ingatan dua minggu lalu menghantuiku, aku sungguh menyesal. Menunggu di sini dan terus memandangi nya, berdoa semoga dia akan segera sadar.
.
.
Pov Author.
Sudah satu bulan berlalu, tidak ada perkembangan dari kondisi Lucas. Rupanya pria tampan itu sangat betah tidur panjang di rumah sakit. Salsa menjalani hari-harinya dengan tidak semangat sama sekali. Pagi hari dia harus ke tempat kerja, sorenya pulang dan ke rumah sakit. Itu adalah kegiatan rutinnya satu bulan terakhir.
Sama halnya malam ini, dia kembali ke ruangan Lucas dengan wajah sendu. Di tatap nya pria itu, air mata Salsa terus keluar jika sudah di sini.
“Kapan bangunnya, hmm?” dia meraih tangan Lucas, menciumnya berkali-kali.
“Kamu marah sama aku? Ayolah bangun, aku tidak akan menolakmu lagi, janji,” bisik Salsa di telinga pria itu. Berharap di alam bawah sadarnya Lucas mendengar dan mengindahkan setiap bisikkannya.
“Aku minta maaf karena tidak peka, maaf sayang,”
“Ya udah kalau memang tidak mau bangun, berarti kamu sudah menyerah dan tidak menginginkanku, baiklah,” dia mengecup kening Lucas. Air matanya jatuh di pipi pria itu. Sangat lelah, Salsa berlalu ke sofa, tidur di sana.
.
.
Pov Author.
Lucas membuka matanya perlahan, pandangannya tertuju ke arah sofa, dimana gadis cantik itu meringkuk Damai di sana.
“Ayolah bangun, aku tidak akan menolakmu lagi, janji,” kalimat itu terngiang di kepala Lucas. Dia tersenyum tipis.
“shttttt” dia meraba-raba nakas, mencari barangkali ada air di sana, karena sejatinya Lucas sangat haus. Segelas air yang mungkin sudah di siapkan sama Salsa, dia meneguk nya hingga tandas, kemudian kembali memperbaiki posisi agar terlihat nyaman.
Keesokan paginya, Salsa terbangun. Hal pertama yang dia lakukan adalah menghampiri ranjang Lucas. Memberi beberapa kecupan di kening serta pipi pria itu.
“Betah banget tidurnya, satu minggu ke depan nggak bangun, aku nikah duluan!” guman Salsa ambigu, kembali meneteskan air matanya.
“Aku pulang dulu ya, mau kerja. Cepat bangun sayang,” kembali satu kecupan dia layangkan, kali ini di bibir pucat Lucas. Setelahnya Salsa keluar kamar, dia berpapasan dengan Om Abian, papa Lucas di lorong.
“Selamat pagi, Om” sapanya.
“Selamat pagi, Salsa. Udah mau pulang? Nggak sarapan dulu?” tanya pria itu tersenyum lembut. Salsa menggeleng,
“Om antar ya” tawarnya.
“Tidak usah, Om. Sudah ada yang jemput,” tolak Salsa lembut, kemudian pamit. Di depan sudah ada Raga yang juga satu bulan ini selalu datang mengantar dan menjemputnya.
Singkatnya, Sore ini Salsa datang cepat ke rumah sakit. Baru jam 3, Lagi-lagi dia di antar Raga.
Di depan rumah sakit, Raga kini ikut masuk menjenguk Lucas yang katanya belum sadar juga sedari sebulan. Ya, memang selama ini dia yang ngantar jemput Salsa, tapi Raga tidak pernah masuk.
.
.
Di dalam ruangan, Lucas yang sejak tadi sudah tampak baik-baik saja setelah di periksa oleh Dokter, hanya berbaring. Luka di tubuhnya juga sudah pulih, tinggal mungkin beberapa hari ke depan dia keluar dari rumah sakit. Berhubung semua teman dan ayahnya kerja, jadi siang hari hanya asisten rumah tangga yang menemaninya.
Dan barusan Bibi Dira kembali ke rumah untuk mengambil pakaian ganti untuk Lucas.
Menyadari suara pintu yang terbuka, Lucas memejamkan matanya kembali. Jantungnya berdetak kencang saat melihat Salsa, gadis itu tumben datangnya cepat. Biasanya jam 7 malam dia baru datang.
Tapi perasaan senang Lucas perlahan hilang usai mendengar suara bariton seorang pria yang menyusul Salsa ke dalam.
“Dia belum pernah sadar?” tanya Raga dan mendapati gelengan dari Salsa.
“Tapi terlihat sudah baik-baik saja,” Sambung Raga dengan kening mengernyit heran. Salsa tak menganggapi, dia menghampiri ranjang Lucas, berbisik “Selamat sore, sayang” jujur saja Lucas yang sedang pura-pura merasa hangat. Ini yang dia inginkan sejak dulu, mendengar suara lembut nan manja menyapanya dengan sebutan sayang. Lupakan tentang itu, Lucas kembali di buat kesal mendengar tutur kata Raga,
“Kamu cinta sama dia, Sa? Apa lebihnya dia dari aku?” tanya Raga, Lucas menunggu jawaban Salsa, tapi..
“Kamu pulang aja ya. Sudah lihat kondisinya kan?” dengan lembut, Salsa mengusir Raga halus.
Raga mengangguk, dia keluar di antar oleh Salsa sampai di depan pintu.
.
.
Usai mengantar Raga, Salsa kembali masuk dan duduk di kursi sebelah ranjang Lucas. Tangannya bergerak untuk mengusap pelan wajah tampan itu, wajah yang sejak dulu tidak pernah hilang dari ingatannya. Pria yang selalu berhasil membuatnya keringat dingin lantaran gugup, pria pertama yang berhasil membuat Salsa jatuh cinta.
“Aku tidak akan pernah berhenti berbisik, bangun sayang, kamu sudah satu bulan tidur terus,” tangannya bergerak memegangi hidung mancung Lucas, beralih ke mata, rahang tegas, dan bibir seksi itu.
“Setelah mencuri ciuman pertamaku, kamu tidak mau tanggung jawab?” percayalah, Lucas yang mendengar gerutuan itu ingin sekali terbahak, tapi dia ingin mendengar ocehan Salsa lagi. Kapan lagi begini, Salsa gadis irit bicara itu sekarang ngoceh panjang lebar.
“Raga tampan, perhatian, dan lembut. Sudah aku bilang dia adalah kandidat pengganti yang sangat cocok untukku,” Sambungnya membuat Lucas panas kembali. Di saat seperti ini Salsa berani menyebut nama pria itu.
Saat tangan lentik itu berhenti di depan bibirnya, secara cepat Lucas menggigitnya membuat Salsa berdesis dengan mata melotot.
“Jadi namanya Raga?” suara serak yang tampak sangat mengintimidasi. Salsa masih belum menjawab, dia syok dengan Lucas yang tiba-tiba berbicara.
“Ka-kamu sudah bangun? Dok, dokter....” teriak Salsa memanggil petugas medis, Lucas menarik tangannya, membekap mulut itu dengan bibir yang baru saja Salsa pegang.
“Kamu membuat ku cemburu dengan membawa bocah itu kesini, baby,” guman Lucas mengusap bibir basah Salsa.
“Jadi, kamu sudah bangun? Sejak kapan?” tanya Salsa pelan. Matanya berkaca-kaca.
“Sejak semalam, di kecup terus gimana nggak bangun,” jawab Lucas santai hendak duduk. Salsa membantunya.
“Jadi sedari semalam? Terus kenapa pura-pura, kamu pikir ini lucu? Hiks, hiks..” Salsa tak kuasa menahan air mata. Tangisannya luruh, dia memukuli dada Lucas pelan, membuat pria itu terkekeh.
“Kamu peduli?” tanya Lucas menarik gadis itu ke pelukkan nya. Dia mengusap air mata itu pelan.
Mendengar pertanyaan itu, Salsa mengeratkan pelukannya. Membenamkan kepalanya di dada bidang Lucas.
“Aku takut, aku khawatir, aku sedih, aku tidak sanggup mendengar semua ini, tolong jangan ulangi! Aku mencintaimu,” Ah, ini adalah kalimat yang ingin Lucas dengarkan. Dan semua ini adalah yang dia tunggu, di mana gadis itu mengakui bahkan mengkhawatirkannya.
“Jadi aku masih kandidat yang kuat kan?” tanya Lucas di sertai cekikikan di belakangnya.
Salsa mendongak, bibirnya mengerucut ke depan, ini begitu gemas di mata Lucas.
“Baru saja berpikir membuka hati untuk orang lain,” Canda Salsa tapi di tanggap serius sama pemilik pahatan sempurna itu.
“Jangan coba-coba sayang, atau kau mau aku bunuh diri?”
“Dih, amit-amit.” Tatapan mereka terkunci sejenak. Lucas menangkup kepala gadis itu, melabuhkan ciuman lembut, yang perlahan mulai panas dan bergairah.
Tangan Lucas tidak tinggal diam, meraba-raba kaus Salsa, menyingkap nya, kemudian masuk mengelus punggung gadis cantik itu.
“Shhht,” desis Salsa menahan geli. Setelah mengelus punggung, dengan nakal tangan itu beralih ke depan, dua buah pucuk yang masih di tutupi bra.
Tangan Salsa juga tidak tinggal diam, meraba dada bidang di balik pakaian berwarna hijau itu, sementara bibir masih berperang, saling melumat memberi rasa rindu yang kian menggebu dari kedua sejoli itu.
“Shtttt, jangan di remas,” mata Salsa membulat saat tangan kekar itu meremas pucuknya dari balik kain penutup.
Lucas mana peduli, dia sudah di landa gairah yang menggelora. Bagian bawahnya jangan di tanya, Salsa bisa merasakan sesuatu yang berdiri tegak. Gadis itu lekas menyudahi ciuman panas itu, memperbaiki pakaiannya.
“ntar kebablasan,” Salsa menyengir, usai meremas batang itu kuat.
“Nakal kamu, tanggung jawab nggak!” Ah, ini membuat kepala Lucas pening. Gadis itu ternyata sangat nakal.
Salsa hanya terbahak, mendekatkan dirinya kembali, kemudian melumat bibir itu. Saat mereka terlena, deheman dari arah pintu membuat keduanya sadar dan kikuk.
“Lucas dah nggak tahan, setidaknya pulang dari rumah sakit dulu lah. Salsa juga, mau di cium sama cowok yang satu bulan ini nggak sikat gigi,” celoteh Diana dengan wajah memberengut.
“Mulutku nggak bau, kamu iri kan sebenarnya?” timpal Lucas, hanya kedikan bahu sebagai jawaban dari Diana.
“Jadi, kamu tahu Lucas sudah bangun?” cecar Salsa menatap sahabatnya itu.
“Tau, tadi pagi aku kesini,”
“Kalian berdua sama saja, suka ngerjain orang lain!” Salsa merajuk.
“Dih, kirain kamu sudah tahu. Kamu nginap kan semalam?”
“hmm” singkat, dia kembali ke pelukan Lucas.
.
.
Pov Salsa.
Semenjak pulangnya Lucas dari rumah sakit, hubungan kami makin erat dan romantis tentunya. Aku mencintainya, dan dia juga mencintaiku, ini yang aku impikan sejak dulu.
Untuk Raga, dia tetap aku anggap adik, karena perasaan sayangku semata sebagai kakak untuknya, tidak lebih.
Meski begitu, Lucas tetap saja cemburu. Dia yang posesif dan protektif merasa bahwa Raga telah mengambil sebagian waktu ku.
Lupakan tentang itu, aku suka saat dia cemburu, itu berarti cintanya luar biasa besar untukku. Dia sangat menjaga jarak pada wanita ulat yang berusaha menggodanya, itu agar aku tidak merajuk, hehehe.
Berminggu-minggu, bulan-bulan kami lalui. Tepat di bulan ke tujuh, dia melamar ku, bahagia bukan? Tentu saja.
Tidak ada yang lebih bahagia saat cinta yang di pupuk sedemikian rupa terbalaskan, dan bahkan kami berjanji di depan Altar Gereja, suatu hal yang aku dambakan sejak pertama kali melihatnya.
Sehidup semati, tak tercerai kan, baik dalam hidup susah maupun senang, kami akan selalu bersama. Itu adalah janji yang di berkati, dan aku menitikkan air mata saat mengucapkan itu.
Aku tersenyum penuh haru saat Diana datang memeluk dan mengucapkan selamat atas pernikahan aku dan Lucas. Eh, tapi.. Aku baru menyadari sesuatu, tangan Diana yang terpaut dengan Raga. Ada apa ini? Apa jangan-jangan..
“kalian berdua?” Diana hanya tersenyum tipis.
“Selamat kak,” Raga berucap tulus. Aku mau memeluknya tapi segera Lucas menarikku ke dalam pelukannya.
“Cepat nikahi bocah ini, Dian! Dia meresahkan soalnya!” titah Lucas dingin membuatku tergelak. Bagaimana bisa Diana yang menikahi Raga, bukankah sebaliknya?
“Dia masih kecil,” jawab Dian terkikik geli saat di tatap tajam oleh Raga.
“Aku bisa buat bayi loh kak,” jawabnya jutek membuat kami kembali tergelak. Syukurlah Raga cepat dapat pawangnya, aku bersyukur.
Kami bahagia, pesta pernikahan di adakan dengan mewah dan elegant.
Tamat~~~