Desa kecil di kaki gunung itu selalu menyambut senja dengan cara yang sama. Langit yang semula biru perlahan berubah menjadi lukisan jingga, danau yang tenang memantulkan warna-warna itu, dan burung-burung kembali ke sarang dengan kicauan merdu. Di sebuah gubuk kecil di tepi danau, seorang lelaki tua bernama Zefan duduk di beranda, menikmati pemandangan yang tak pernah membosankan itu.
Zefan bukan orang kaya. Gubuknya sederhana, hanya terdiri dari satu kamar, dapur kecil, dan beranda tempat ia menghabiskan sebagian besar waktunya. Pekerjaannya sebagai nelayan juga tak menghasilkan banyak uang. Namun, ia selalu tampak bahagia, seolah memiliki harta yang tak ternilai.
Suatu sore, seorang penulis muda bernama Nikel datang mengunjungi Zefan. Nikel sedang mencari inspirasi untuk novel barunya. Ia mendengar cerita tentang Zefan, seorang lelaki tua yang hidup sendiri di tepi danau dan selalu tampak bahagia.
"Selamat sore, Pak Zefan," sapa Nikel.
"Selamat sore, Nak Nikel. Silakan duduk," jawab Zefan sambil tersenyum.
Nikel duduk di kursi kayu di samping Zefan. Ia memandang danau yang berkilauan diterpa cahaya senja.
"Indah sekali pemandangannya, Pak," kata Nikel.
"Benar, Nak. Setiap hari, saya selalu menikmati senja di sini. Tak pernah bosan," jawab Zefan.
"Bapak hidup sendiri di sini?" tanya Nikel.
"Ya, istri saya sudah lama meninggal. Anak-anak saya sudah berkeluarga dan tinggal di kota," jawab Zefan.
"Apakah Bapak tidak merasa kesepian?" tanya Nikel lagi.
Zefan tersenyum. "Kesepian itu pilihan, Nak. Saya memilih untuk tidak kesepian. Saya memiliki danau, gunung, burung-burung, dan senja yang selalu menemani saya."
Nikel terdiam. Ia kagum dengan cara pandang Zefan terhadap kehidupan.
"Apa rahasia kebahagiaan Bapak?" tanya Nikel.
Zefan tertawa kecil. "Rahasia? Tidak ada rahasia, Nak. Saya hanya mensyukuri apa yang saya miliki. Saya tidak pernah membandingkan diri saya dengan orang lain. Saya hidup sederhana, tapi saya bahagia."
Nikel mengangguk-angguk. Ia mulai memahami apa yang dimaksud Zefan.
"Bapak tidak pernah merasa iri dengan orang-orang kaya di kota?" tanya Nikel.
"Iri? Untuk apa? Mereka memiliki harta, tapi belum tentu bahagia. Saya memiliki ketenangan dan kedamaian, itu lebih dari cukup," jawab Zefan.
Nikel terdiam lagi. Ia merasa malu dengan dirinya sendiri. Ia selalu merasa kurang, selalu ingin lebih. Ia lupa untuk mensyukuri apa yang sudah dimilikinya.
"Terima kasih, Pak Zefan. Bapak telah membuka mata saya," kata Nikel.
"Sama-sama, Nak. Jangan lupa untuk selalu bersyukur dan menikmati hidup," pesan Zefan.
Nikel berpamitan kepada Zefan dan kembali ke penginapannya. Ia merasa seperti mendapatkan pencerahan. Ia mulai menulis novelnya dengan semangat baru. Novelnya bercerita tentang seorang lelaki tua yang hidup bahagia di tepi danau.
Beberapa bulan kemudian, Nikel kembali mengunjungi Zefan. Ia membawa serta novelnya yang sudah terbit.
"Pak Zefan, ini novel saya. Saya terinspirasi dari Bapak," kata Nikel sambil menyerahkan novelnya.
Zefan menerima novel itu dengan senang hati. Ia membuka halaman demi halaman, membaca setiap kata dengan seksama.
"Bagus sekali, Nak. Bapak bangga padamu," kata Zefan.
Nikel tersenyum bahagia. Ia merasa lega karena telah memberikan sesuatu yang berharga kepada Zefan.
"Terima kasih, Pak. Tanpa Bapak, saya tidak akan bisa menulis novel ini," kata Nikel.
"Sama-sama, Nak. Ingatlah selalu pesan Bapak, bersyukurlah dan nikmati hidup," pesan Zefan.
Senja itu, Nikel dan Zefan duduk bersama di beranda, menikmati pemandangan danau yang indah. Mereka berdua merasa bahagia, karena telah menemukan makna hidup yang sebenarnya.
===================================
Cerita ini mengajarkan kita untuk selalu bersyukur atas apa yang kita miliki. Kebahagiaan tidak selalu datang dari harta benda, tetapi dari hati yang damai dan pikiran yang positif. Jangan pernah membandingkan diri kita dengan orang lain, karena setiap orang memiliki jalan hidupnya masing-masing.
Semoga cerpen ini bermanfaat dan menginspirasi Anda.