Aku anak perempuan pertama yang hidup dalam kecangungan. Aku sebut itu kecangungan karna aku tidak bisa dekat sama sekali dengan ayahku. Mereka bilang anak perempuan adalah kesayangan ayah nya, tapi itu tidak berlaku dalam hidupku. Aku berusaha supaya kecangungan itu tidak ada dalam keseharian ku tapi seperti nya ayahku tidak menyukai ku smaa sekali. Aku berusaha mendapatkan nilai terbaik di kelas supaya dia merasa bangga, nyatanya aku hanya dipandang sebelah mata. Aku juga ingin diberikan suprise karna prestasi ku. Temanku yang punya nilai yang tidak sebaik diriku selalu mendapatkan pujian atas kerja keras nya. Apa ini belum cukup? Apa yang ayahku inginkan dari ku?
Pada hari kelulusanku saat itu bahkan ayahku tidak menghadiri acara kelulusanku. Aku mencoba mengerti bahwa dia sibuk bekerja di kebun, tapi hari kelulusan itu cuma sekali. Aku punya cita-cita yang besar setelah lulus, aku ingin masuk ke universitas favorit yang orang lain inginkan pada umumnya. Sebelumnya ayahku sudah berjanji akan membiayaiku untuk study ku selanjutnya, itu membuat ku semangat. Tapi janji itu tidak bertahan lama. Baru saja beberapa hari setelah kelulusanku ayahku bilang dia tidak sanggup membiayaiku. Yah, walaupun berat aku menerima itu tidak mungkin aku membebaninya dengan keinginan ku kupikir itu cukup egois dengan memaksakan kehendakku. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi merantau ketempat saudaraku. Aku bekerja di toko mainan milik saudaraku. Bodohnya aku sudah merencanakan gaji yangku peroleh nanti untuk biaya kuliah ku tanpa tau berapa nominal yang akan ku peroleh nanti nya. Dan ya, nominal yang aku dapat hanya setengah dari ekspektasi ku. Hal itu benar-benar membuatku patah semangat karna aku sudah berjanji akan bekerja untuk mereka selama setahun tanpa tahu nominal yang akan aku dapat. Aku bekerja keras tapi aku tidak menyukai pekerjaan tersebut karna nominal yang ku dapat hanya bisa untuk kebutuhan harianku. Aku berharap supaya waktu ini cepat berlalu dan aku ingin mencari pekerjaan baru di kampung halamanku. Waktunya telah tiba, yang seharusnya seorang perantau akan membawa pegangan ketika pulang kampung tapi tidak denganku yang hanya membawa pakaian pulang ke rumah. Jujur aku malu dengan keadaan ini tapi aku harus menerima kenyataan.
Sekarang aku belum mendapatkan pekerjaan baru ku dan aku masih ingin melanjutkan pendidikanku ke universitas yang aku inginkan kan. Masih ada beberapa bulan sampai aku bisa masuk universitas itu. Dan ini lah yang paling aku tidak suka, suasana rumah yang begitu suram. Tanpa aku ketahui ayahku semakin galak dirumah, bahkan sampai membanting barang-barang. Apakah ini selalu terjadi ketika aku tidak ada dirumah. Hal itu menumbuhkan rasa benciku terhadap ayahku karna selalu bersikap kasar terhadap ibuku. Dan tidak mau mendengarkan sedikit pun penjelasan. Bahkan aku sempat berpikir untuk tidak mau memiliki ayah lagi, tapi aku sadar walaupun tindakannya yang seperti itu dia tetap ayahku. Pertengkaran terjadi hari demi hari antara ayahku dan ibuku bahkan ayahku pernah bertengkar didepan adikku yang masih berumur 5 tahun. Aku tidak tahu kapan ini akan berakhir, aku takut hal ini akan menjadi masalah yang lebih besar suatu hari nanti.
Tanpa terasa hari itu datang, hal yang tidak aku inginkan terjadi ,dimana ayah ku membanting barang sampai beserakan hanya karna masalah sepele. Tak habis pikir hal hal kecil pun akan membuatnya marah besar.
Ibuku menceritakan semua yang terjadi kepada ku. Jujur aku sebagai anak perempuan pertama tidak bisa berbuat apa-apa. Aku ingin mengubah kenyataan ini tapi aku tau itu tidak semudah membalikkan tangan. Aku salut dengan ibuku yang kuat menghadapi ini semua. Aku sempat bertanya pada ibuku "apakah kau akan membiarkan ini terjadi ibu? Bagaimana jika kalian berpisah?"
Dengan pikiran dangkal tiba-tiba aku menanyakan hal tidak masuk akal itu
"Kalau kami berpisah kamu dan adik-adikmu tidak akan punya ayah!"