Hujan deras mengguyur desa terpencil bernama Pagerwangi. Angin berdesir kencang menerpa rumah-rumah tua yang berdiri kokoh di antara pepohonan rindang. Di sebuah gubuk kecil yang reyot, seorang nenek tua bernama Nenek Asih duduk termenung di samping perapian yang hampir padam. Rambutnya yang putih terurai kusut, wajahnya keriput dan pucat. Ia tampak menunggu sesuatu, atau seseorang.
Di luar, suara petir menggelegar mengiringi gemuruh hujan. Tiba-tiba, terdengar ketukan pelan di pintu. Nenek Asih tersentak. Ia sudah lama tidak kedatangan tamu. Dengan langkah gontai, ia membuka pintu. Di luar, berdiri seorang gadis muda, basah kuyup dan ketakutan. Gadis itu bernama Laras.
"Nenek... tolong saya," lirih Laras, suaranya gemetar.
Nenek Asih menatap Laras dengan mata sayu. Ia melihat ketakutan yang terpancar dari wajah gadis itu. "Ada apa, Nak?" tanyanya lembut.
Laras menceritakan kisahnya. Ia tersesat di hutan saat pulang dari rumah temannya. Ia mendengar suara-suara aneh, melihat bayangan gelap bergerak di antara pepohonan, dan merasakan hawa dingin yang menusuk tulang. Ia ketakutan dan berlari sekencang mungkin hingga menemukan gubuk Nenek Asih.
Nenek Asih mengundang Laras masuk dan memberikannya pakaian kering serta segelas teh hangat. Ia mendengarkan cerita Laras dengan saksama. Semakin ia mendengarkan, semakin ia merasa ada yang tidak beres. Hutan itu terkenal angker, dihuni oleh makhluk-makhluk halus yang jahat. Dan cerita Laras, menurutnya, lebih dari sekadar tersesat.
"Nak," kata Nenek Asih pelan, "aku rasa kau bukan hanya tersesat. Ada sesuatu yang mengikuti mu."
Laras semakin ketakutan. Ia merasakan hawa dingin yang semakin menusuk. Rambutnya berdiri ketika ia mendengar suara bisikan samar dari luar. Suara-suara itu seperti memanggil namanya, dengan nada yang mengerikan.
Nenek Asih mengambil sebuah kalung dari peti kayu tua di sudut ruangan. Kalung itu terbuat dari batu giok hijau tua, memancarkan cahaya redup. "Ini pusaka keluarga," kata Nenek Asih. "Pakailah ini, Nak. Semoga dapat melindungi mu."
Laras mengenakan kalung itu. Seketika, ia merasakan hawa dingin itu sedikit mereda. Namun, suara-suara bisikan itu semakin keras. Bayangan-bayangan gelap mulai terlihat di dalam gubuk.
Nenek Asih mulai berdoa, membacakan mantra-mantra kuno. Cahaya redup dari kalung giok semakin terang, mengusir kegelapan. Pertempuran antara kebaikan dan kejahatan pun terjadi. Suara-suara mengerikan, bayangan-bayangan gelap, dan hawa dingin yang menusuk tulang melawan cahaya dan doa Nenek Asih.
Pertarungan itu berlangsung lama dan menegangkan. Laras melihat Nenek Asih kepayahan, namun ia tetap berjuang. Akhirnya, dengan kekuatan doa dan pusaka keluarga, Nenek Asih berhasil mengusir makhluk-makhluk jahat itu. Hawa dingin menghilang, suara-suara bisikan pun berhenti. Hujan pun mulai reda.
Laras merasa lega, namun juga lelah. Ia berterima kasih kepada Nenek Asih. Nenek Asih tersenyum, namun senyumnya terlihat sedikit lesu. Ia tahu, pertempuran itu telah menguras seluruh tenaganya. Dan ia tahu, kejahatan itu mungkin akan kembali lagi suatu saat nanti. Desa Pagerwangi menyimpan banyak rahasia gelap yang terkubur di bawah tanah dan pepohonan rindang. Dan Nenek Asih, sebagai penjaga desa, harus selalu siap untuk melawannya.