Rumput bergoyang disapu angin. Dedaunan menari dililit angin. Terbentang hamparan hijau yang luas dan indah dipandang. Berjajar bunga beraneka warna, berbaris rapi pepohonan, dan rumput-rumput tingginya sama setelah dipangkas. Angin berlalu-lalang menyebarkan semerbak wangi bunga. Suara ranting bertabrakan dan nyaringnya kicauan burung melengkapi suasana sore ini. Tampak sang surya kan pulang ke peranduannya dengan meninggalkan jejak jingga di langit.
Di tengah hamparan hijau yang luas terdapat sebuah air mancur. Suara gemercik air membawa ketenangan. Air keluar dari puncak kemudian terjun ke bawah, bergabung dengan air yang tertampung di bagian bawah. Juga ayunan dan kursi taman turut menghiasi tempat itu. Taman ini adalah tempat yang tepat untuk menikmati sore bersama seseorang. Tempat ini tepat di belakang bangunan putih yang megah dan indah.
Aku dan seorang temanku tak sabar tuk singgah di taman belakang rumahku ini. Kami berlarian menuju pintu belakang. Sesampainya di depan pintu tanpa berpikir panjang kami segera membukanya. Pintu tadi berdecit dan berhenti ketika pintu telah sepenuhnya terbuka. Kami berdua keluar meninggalkan bangunan putih dengan berlarian. Rambut kami berkibar saat berlari. Wajah kami merasakan sejuk saat angin menyapunya. Jeritan dan tawa kami memenuhi taman. Tanpa aba-aba kami menjatuhkan diri di atas rerumputan. Tawa kami semakin menjadi sampai akhirnya kami lelah dan berhenti tertawa.
Mata kami menatap langit jingga. Untuk beberapa saat kami baik-baik saja dan masih dalam posisi terbaring. Tak lama aku merasakan sesuatu. Aku baru ingat bahwa ada suatu hal yang aku lewatkan. Hal ini memaksaku untuk bangkit. Temanku yang berada di sampingku heran melihat tingkahku yang berubah tiba-tiba. Akhirnya dia pun ikut bangkit. Kini kami berdiri dan saling bertatapan. Aku tahu temanku ini pasti bingung. Dia pun segera melontarkan pertanyaan padaku “Kamu kenapa La? Apa ada masalah?”
“Enggak kok,” jawabku singkat.
“Terus itu tadi kenapa?” tanyanya.
“Apanya? Enggak kenapa-napa apanya?” tanyaku balik.
“Kamu tadi tiba-tiba berdiri,” jawabnya.
“Oh itu cuma... ,” aku mengurungkan mengatakan alasan yang sebenarnya.
“Lha iya kenapa La? Udahlah nggak usah bohong! Kamu itu kalau mau bohong kelihatan banget tahu,” jelasnya.
“Nana!” panggilku.
“Iya Lala teman terbaikku, ada apa?” tanya Nana yang terlihat tak sabar untuk segera mendapat jawaban dariku.
“Aku... aku... aku....” kataku tersendat.
“Iya kamu kenapa?” tanyanya sekali lagi karena belum juga mendapat jawaban.
Aku tidak tau mengapa lidah ini terasa kelu saat ingin membicarakan hal itu padanya. Aku tidak tega kalau melihatnya sedih karena aku akan segera pindah ke kota tepatnya ke Jakarta. “Bagaimana ini?” kataku dalam hati.
“Lala!” panggilnya membuatku sedikit terkejut.
“Eh iya Na,” jawabku gugup.
“Ada apa sih? Cerita aja!” kata Nana.
“Tapi kalau aku cerita kamu jangan sedih apalagi marah sama aku ya!” kataku.
“Iya iya,” jawab Nana cepat.
“Janji dulu donk!” pintaku.
Kami saling mengaitkan jari kelingking. Setelah itu, dengan berat hati aku menceritakan rencana perpindahanku.
“Maaf ya Na, aku bakalan pindah ke Jakarta. Soalnya pekerjaan orang tuaku dipindah ke sana. Jadi kita bakalan pisah tapi kamu nggak usah khawatir kok, kita pasti ketemu lagi,” jelasku.
Aku melihat raut wajah Nana berubah menjadi sedih. Pemandangan ini tak ingin ku lihat sebelum diriku pergi. Matanya yang tadi diliputi sinar kebahagiaan telah berganti menjadi sinar kesedihan. Perlahan butiran bening bermunculan di kedua sudut matanya. Tak perlu menunggu waktu lama butiran itu jatuh ke pipinya. Dia menangis. Hatiku perih menyaksikan hal ini. Aku tak kuasa menahannya, dan segera memeluknya. Akhirnya aku pun juga ikut menangis.
Kami telah lama berteman dan kini mungkin saatnya kami berpisah. Memang berat untuk anak kecil seusia kami karena di saat itulah kami belajar tentang berteman. Tak luput dengan banyaknya hal yang kami lakukan bersama. Semua itu adalah hal indah. Jika perpisahan ini benar terjadi kami akan kehilangan keindahan itu, meski pun suatu saat nanti akan ada keindahan seperti ini lagi hanya saja berbeda dari sebelumnya.
Dalam dekapan satu sama lain, satu hal yang ada di angan, apalagi kalau bukan pengganti di lain tempat. Banyak orang memiliki teman tapi teman masa kecil lebih berarti. Di mana saat itu kita saling memaknai arti dari kata teman. Pipi kami sudah basah oleh air mata. Dada kami serasa sesak membayangkan perpisahan yang akan terjadi.
Perlahan pelukan kami mulai merenggang dan akhirnya terlepas. Kami masih berhadapan. Saling menatap wajah satu sama lain yang penuh mendung hitam. Terlihat jejak air mata di kedua pipi kami. Mata kami pun sembab karena banyaknya air mata yang keluar. Tiada yang ingin berucap, hening sudah menyelimuti kami.
Tiba-tiba terdengar panggilan dari seorang wanita paruh baya yang mengejutkan kami. “Lala! Nana! Kalian ada di sini rupanya, ”ujarnya. Kami tak menjawab panggilannya, justru kami malah cepat-cepat menghapus jejak air mata di pipi kami tadi. Melihat tingkah kami yang mengundang tanya, dia pun berjalan mendekati kami dengan tatapan lurus. Sesampainya di depan kami dia bertanya “Kalian habis nangis ya?”
“Enggak kok Bun,” jawabku mengelak.
“Terus kalau bukan nangis apa? Cerita aja ke Bunda Nak!” pintanya.
Aku memberikan kode kepada Bunda berupa tatapan yang penuh permohonan untuk tidak mempertanyakan hal itu. Tak perlu waktu lama bagi Bunda untuk mengerti maksudku. Dia pun berusaha mengendalikan suasana dengan mengajak kami masuk ke rumah, “Ayo kita masuk dulu! Kita bicara di dalam aja ya!”
Tak ada jawaban dariku mau pun Nana. Kami membisu tapi kami menuruti perintahnya. Kami bertiga berjalan saling menjajari. Perlahan langkah kaki kami mendekati pintu, lalu kami masuk ke dalam rumah. Tak lupa Bunda menutup pintu sebelum kami beranjak ke ruang tamu. Langkahku terasa berat begitu pun yang dirasakan Nana.
Belum sampai di ruang tamu, kami melihat dari kejauhan tampak dua orang pria dan seorang wanita paruh baya. Mereka menatap kami yang menuju ke arahnya. Tiba di ruang tamu kami bertiga duduk berdampingan. Entahlah aku tak mengerti apa maksud dari semua ini. Terdengar suara berat dari seorang pria, “Jadi bagimana?” tanyanya.
Pria itu menatapku, dia ingin segera tahu jawabannya. “Sudah Yah,” jawabku singkat. Meski begitu hatiku sedih karena harus berpisah dengan Nana.
“Baik sekarang kami hendak pamit karena malam ini jadwal keberangkatan kami,” lanjut ayahku.
“Hati-hati di jalan ya Pak Rudi dan Bu Santi juga Lala,” ujar pria yang satunya. Dia adalah ayah Nana namanya Pak Tono.
“Iya hati-hati ya kalian. Semoga selamat sampai tujuan,” sambung wanita paruh baya di samping Pak Tono yang tak lain adalah istrinya. Dia bernama Bu Indah.
Aku tak habis pikir secepat inikah diriku harus berpisah dengan Nana. Ku tatap Nana yang ada di sampingku, dia hanya diam sembari menundukkan kepalanya. Aku harus memberikan sesuatu untuknya agar dia tak merasa kehilanganku. Aku berpikir sebentar mencoba mengingat-ingat sesuatu. Dan ku temukan sebuah ide.
Tanpa pamit aku berlari menuju kamarku. Meninggalkan mereka yang menatap penuh keheranan. Memang aku harus berpisah dengan Nana saat ini tapi aku yakin suatu saat pasti bisa bertemu dengannya lagi. Tiba di depan sebuah pintu kamar yang masih terbuka sejak aku keluar. Aku masuk ke dalam menuju sebuah meja. Di situ terdapat sebuah kotak. Aku menyambarnya lalu berlari lagi menuju ruang tamu.
Kehadiranku mengejutkan mereka yang tengah membicarakanku. “Nana!” panggilku. Dia mendongakkan kepalanya, matanya menatapku. Ku balas tatapan itu dengan senyuman. Sayangnya dia tak mengerti. “Nana sini!” perintahku. Dia pun beranjak dari tempat duduk dan mendekatiku.
“Ada apa La?” tanyanya.
“Aku punya sesuatu untuk kamu,” kataku penuh semangat.
“Oh ya. Kamu nggak bohong kan?” tanyanya meragukanku.
“Iya. Ini buktinya,” jawabku sembari menyodorkan sebuah kotak padanya.
Nana masih ragu sehingga dia tak berniat menerima kotak itu. Karena itu aku terpaksa yang membuka kotaknya. Dia terperangah mendapati isi kotak itu. Sepasang kalung emas dengan liontin berbentuk mawar berwarna kuning.
“Ini buat kamu. Semoga kamu suka. Dan jangan lupain aku ya!” ujarku sambil mengulurkan sebuah kalung padanya.
Nana menerimanya dengan senang hati. Semua terlihat jelas dari senyumannya. Raut wajahnya pun tak sesedih tadi. Lega rasanya jika aku meninggalkannya tanpa ada tangisnya. Aku pun tersenyum melihatnya.
“La!” panggilnya.
“Apa Na?” tanyaku.
“Pasangin donk!” pintanya malu-malu.
“Iya,” jawabku sambil meletakkan kotak tadi di atas meja. Kemudian berbalik menghadap Nana.
“Sini kalungnya!” pintaku.
“Ini La,” katanya sembari mengulurkan kalung itu. Aku menerimanya dan segera memasangkannya di leher Nana.
“Sudah,” kataku sembari menjauh dari Nana. “Kalau diliat-liat kamu cantik juga ya pakek kalung itu,” pujiku.
“Iya dan kamu harus pakek juga La biar sama-sama cantiknya,” ujarnya sembari mengambil kalung yang satunya dari kotak tadi. Lalu dipasangkannya di leherku. Setelah itu dia melangkah mundur sambil memujiku, “ Tu kan kamu cantik juga.”
Aku hanya tersenyum melihat tingkah temanku ini. Sementara kedua orang tua kami menatap geli ulah kami berdua. Bundaku menegurku, “Kamu pinter ya Nak pilih kalungnya. Mawar kuning itu artinya persahabatan. Kenapa kamu nggak kasih bunga mawar kuning ke Nana juga biar ditanam di rumahnya.”
“Iya ya Bun,” jawabku.
“Di taman kan ada bunga itu. Ayo kita ambil aja!” usul Nana yang tak sabar.
Belum sempat aku mengiyakan permintaan Nana, orang tuanya memintanya untuk pulang.
“Nana ini udah malem, kita pualng yuk!” ajak ibunya.
“Tapi bunganya gimana Bu?” tanya Nana yang merasa sedikit kecewa dengan ajakan sang ibu.
“Besok saja ambilnya,” kata ayahnya.
Nana tak punya pilihan lain ia hanya menurut apa yang dikatakan kedua orang tuanya yang memintanya untuk ikut pulang. Dengan berat hati dia melangkah menuju pintu keluar rumahku didampingi kedua orang tuanya. Aku masih membeku di tempatku berpijak. Aku menyaksikan kepergiannya. Dia temanku dan sekarang menjadi sahabatku tapi kenapa kami harus berpisah.
Tepat di depan pintu mereka berhenti. Nana membalikkan badan. Dia menatapku dengan senyuman. Lalu berlari menuju ke arahku. Aku tak menyangka dia akan melakukan itu. Dipeluknya diriku olehnya, aku pun membalasnya. Dia membisikkan sesuatu padaku “Kita dulu teman sekarang kita jadi sahabat. Jadi jangan lupain aku ya! Oh ya aku juga yakin kok suatu saat nanti kita bakal ketemu lagi.” Aku mengiyakan apa yang dikatakannya.
Pelukan itu terlepas, Nana segera berlari ke kedua orang tuanya. Sebelum hendel pintu mereka buka, mereka menatapku dan kedua orang tuaku. “Kami pamit ya,” kata ayah Nana. Aku hanya membalasnya dengan anggukkan kepala sementara kedua orang tuaku mengiyakan kata mereka sembari mengingatkan untuk berhati-hati di perjalanan pulang.
Pintu itu terbuka, mempersilahkan mereka untuk keluar dari bangunan putih itu. Mereka berjalan menuju sedan hitam lalu masuk ke dalamnya. Sedan itu menderu dan berjalan meninggalkan pelataran depan rumahku. Tepat saat sedan itu menyentuh jalanan aspal aku berteriak dan berlari. Aku berusaha mengejarnya. “Nana! Nana tunggu!” teriakku sambil berlari menyusuri jalan beraspal.
Pak Tono yang mendengar teriakkanku segera menghentikan laju sedannya. Nana segera turun dari mobilnya. Keluarnya Nana tepat saat aku ada di dekat sedannya. Kami berhadapan dan saling menatap. Senyum kami mengembang tapi bukanlah arti kebahagiaan yang sesungguhnya. Ini adalah senyum kami yang belum rela untuk saling melepas kepergian satu sama lain. Tapi kami tak ingin kesedihan pada diri kami tampak oleh orang lain.
“Nana! Aku akan selalu inget kamu,” kataku meyakinkannya.
“Aku juga La. Aku akan selalu inget kamu,” ujarnya.
Ku angkat jari kelingkingku begitu pun dia. Jari kami saling bertautan satu sama lain. Ini adalah janji kita sebagai sahabat akan selalu percaya satu sama lain. Tak lama kemudian tautan jari kami terlepas. Dengan mantap ku anggukkan kepalaku padanya. Nana juga membalasnya dengan anggukkan juga.
“Sampai jumpa lagi Na,” kata perpisahan dariku.
“Iya sampai jumpa lagi La,” balasnya.
“Aku masuk ke mobil dulu ya. Aku mau pulang. Dah Lala!” ucapnya sembari melambaikan tangan ke arahku. Aku membalas lambaian tangannya. Dia bergerak mundur menuju mobil sedan. Tangannya hendak membuka pintu mobilnya namun terhambat sesaat. Dia menatapku dengan tatapan yang sendu. Aku tahu apa yang dirasakannya.
Helaan napasnya membuatnya sedikit kuat menatapku. “Aku yakin kamu bisa Na,” batinku. Lama dia berdiri di sana, seperti tak rela meninggalkan tempat ini. Suara lembut ibunya menyadarkannya dari lamunan.
“Na ayo masuk!”
“Eh iya Bu bentar lagi kok,” jawabnya sedikit terkejut.
Jarak kami mungkin hanya satu meter namun serasa berjuta-juta kilometer jarak telah membentang di depan kami. Ini membuat kami berpisah jauh. Tak ku duga ini memang nyata bukan mimpi. Aku melihatnya, dia membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya. Pintu itu seakan menelannya dan tak mengizinkannya kembali keluar.
Sedan itu melaju kembali. Aku ingin sekali melihatmu sekali lagi tapi sayangnya kau tak membuka kaca mobilnya. Kaca mobil yang hitam itu menutupi dirimu sehingga tak tampak olehku. Nana yang berada di dalam mobil sebenarnya tak kuasa membuka jendela mobilnya. Ia tak sanggup melihat Lala yang semakin menjauh saat mobilnya melaju. Hanya tangis yang mengiringinya dalam perjalanan pulang.
Aku melihat sedan itu telah hilang dari pandanganku. Sedan itu telah berbelok menuju tempatnya pulang. Namun aku masih berdiri di tempatku berpijak. Tubuhku terasa terpaku, aku sulit bergerak. Akhirnya aku terduduk. Kelopak mataku tak sanggup lagi menahan air mata yang akan tumpah. Pipiku menjadi basah. Aku terisak.
Derap langkah kaki mendekatiku dan berhenti di belakangku. Tangan lembut ini membantuku berdiri. Dibaliknya tubuhku menghadapnya. “Bunda,” kataku tak begitu jelas. Aku menghambur memeluknya. Lalu menangis dalam belaian lembut tangannya di puncak kepalaku. Setelah diriku mulai tenang bunda mengajakku pulang.
Sesampainya di teras rumah ku lihat beberapa koper besar berjajar di sana. Ayahku yang menyadari kehadiranku mengatakan, “Nanti mobilnya bentar lagi datang.” Lalu dia masuk lagi ke dalam mengambil sisa barang yang akan dibawa. Bunda tahu aku sedang sedih jadi dia menemaniku. Tak beberapa lama mobil yang akan mengantar kepergian kami pun tiba. Sang sopir memasukkan barang-barang kami ke dalam bagasi. Ayahku keluar rumah menyandang tas kantornya.
Dilihatnya mobil telah sampai ayah segera meletakkan tasnya di mobil dan membantu sang sopir tadi. Semua selesai barang-barang sudah masuk ke mobil. Kini saatnya kami pergi meninggalkan rumah ini. Tak lupa Mbok Sumi dan Pakde Darmo sebagai pembantu rumah tangga dan tukang kebun di rumahku turut melepas kepergianku. “Mbok! Pakde! Besok kalau Nana ke sini jangan lupa kasihkan mawar kuningnya ya! Biar nanti dia tanam,” pesanku.
“Siap Non!” kata mereka serempak.
Aku segera masuk ke mobil bersama bunda karena ayah dan sopir tadi sudah masuk lebih dulu. Setelah itu, mobil melaju membelah gelapnya malam menuju Bandara Adisutjipto. Dalam posisi duduk aku terdiam namun hatiku mengatakan perpisahan, “Hari ini kita berpisah dan besok aku tak akan lagi melihatnya di tempat baruku.”
=================================
Karya dibuat untuk memenuhi tugas Bahasa Indonesia saat SMA
-21 November 2019-