Di musim hujan, awal pertemuan antara aku dan Gama Aleska. Sosok pria hebat yang aku kagumi, karena hujan itu pula kami menjadi dekat, entah aku harus bersyukur atau tidak dengan pertemuan itu. Aku seorang pelukis, melukis hal indah yang aku sukai dan "dia" juga termasuk dari hal indah itu. Gama, seorang pemain biola atau disebut violinis tampan yang dikagumi banyak gadis karena rupanya itu. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama ketika melihatnya berteduh di sampingku di tengah hujan lebat itu, dia membawa tas biola di punggungnya. Saat pertama melihatnya "tampan sekali" adalah dua kata yang terukir dalam pikiranku. Dia pria yang tinggi, aku mungkin hanya sebahunya, baunya juga sangat harum, tidak seperti pria biasanya yang berbau maskulin, tapi baunya adalah bau manis yang lembut dan khas membuatku mengingat bau itu hingga kini. Ah, pria ini membuat hatiku berdebar debar, pria ini membuatku terus memikirkannya. Kata orang orang ini namanya cinta, tapi apalah arti cinta sesungguhnya, aku juga tidak tau. Apakah cinta adalah ketika aku ingin bersamamu hingga akhir? aku akan melakukan apapun untukmu? apakah ini benar perasaan cinta atau hanya rasa kagum? aku juga tidak tau. Mungkin mencintai seseorang itu adalah hal terindah dalam hidup kita. Apakah cinta harus dibalas atau tidak sama sekali?
Hujan deras di kota yang ramai, aku berteduh di sebuah toserba. Aku masuk dan membeli beberapa camilan juga minuman, lalu aku berdiri di luar sambil memakan camilan. Aku hanya memandangi hujan yang turun sangat deras itu, untukku saat itu, aku tidak berharap hujan turun karena aku memiliki kesibukan, hanya itu yang aku pikirkan. Saat menunggu hujan reda, seorang pria tinggi yang tampan berlari dan berteduh di sampingku, aku melihatnya membawa tas biola di punggungnya, mungkin dia adalah pemain biola atau sekedar bermain biola pikirku. Aku ingin mengenalnya, aku ingin tau semua tentangnya, padahal aku baru saja melihatnya. setelah hujan reda dia pergi dengan tergesa gesa meninggalkanku sendirian.
Setelah pertemuan singkat di toserba, aku terus memikirkan Gama. Aku mencoba mencari tahu tentang Gama melalui media sosial, dan akhirnya berhasil menemukan akun Instagramnya. Aku melihat foto-foto Gama bermain biola di berbagai acara, dan semakin mengagumi bakat dan karismanya.
Suatu hari, saat lagi asyik melukis di taman kota. Tiba-tiba, aku mendengar suara biola yang sangat merdu. Aku mencari sumber suara itu, dan terkejut melihat Gama sedang bermain biola di dekat air mancur.
Aku memberanikan diri mendekati Gama.
"Gama Aleska?" tanyaku dengan gugup.
Gama menoleh dan tersenyum. "Kamu... gadis yang waktu itu di toserba kan?"
Aku mengangguk. Jantungku berdebar kencang, aku senang Gama mengingat wajahku. Kami berdua kemudian terlibat dalam percakapan yang hangat. Gama bercerita tentang kecintaannya pada biola, dan Aku bercerita tentang passionku dalam melukis. Kami merasa memiliki banyak kesamaan.
Seiring berjalannya waktu, Aku dan Gama semakin dekat. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, baik untuk melukis dan bermain biola bersama, maupun sekadar berjalan-jalan dan bercerita. Anya semakin yakin bahwa ia jatuh cinta pada Gama. Namun, Aku juga merasa ragu. Aku takut perasaanku tidak terbalas, dan aku takut persahabatan kami akan rusak jika Aku mengungkapkan perasaanku pada Gama. Haruskah aku memendam perasaanku selamanya? tapi tidak akan ada yang berubah jika aku terus diam, mau perubahan baik atau buruk yang akan terjadi di masa depan, aku harus maju, aku tidak ingin menjadi gadis pengecut.
Suatu malam, Aku memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaanku pada Gama, yang terpenting saat ini adalah pengungkapanku, apapun jawabannya itu masalah terakhir. Kami sedang duduk di tepi sungai, menikmati pemandangan kota yang gemerlap.
"Gama, ada sesuatu yang ingin aku katakan," kataku dengan suara bergetar.
Gama menatapku dengan penuh perhatian. "Ada apa? kamu kedinginan?"
Aku menarik napas dalam-dalam. "Aku... aku menyukaimu, Gama. Aku jatuh cinta padamu."
Gama terdiam sejenak. Kemudian, ia berkata dengan nada menyesal, "maafkan aku. Aku tidak bisa membalas perasaanmu."
Aku merasa hatiku hancur berkeping-keping. Aku tidak menyangka Gama akan menolakku, meskipun aku sudah siap dengan apapun jawaban dari Gama tapi tetap saja hatiku sangat sakit. Aku berusaha menahan air mataku yang ingin jatuh.
"Kenapa, Gama?" tanyaku dengan suara lirih.
"Aku... aku sudah memiliki seseorang yang aku cintai," jawab Gama.
Aku merasa duniaku runtuh. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Aku bangkit dari dudukku dan berlari meninggalkan Gama.
Sejak malam itu, Aku dan Gama menjadi renggang. Aku berusaha menjauhi Gama, karena aku tidak sanggup melihat Gama bersama wanita lain. Aku merasa sangat sakit hati dan kecewa. Aku merasa cintaku bertepuk sebelah tangan. Ini pertama kalinya aku jatuh cinta, pertama kali juga aku ditolak, jadi inikah rasanya ketika sakit hati karena cinta, sakitnya luar biasa.
Aku merasa duniaku runtuh. Penolakan Gama menghancurkan harapan dan impianku. Aku merasa sangat sakit hati dan kecewa. Hari-hariku dipenuhi dengan kesedihan dan air mata. Aku kehilangan semangat untuk melukis, aktivitas yang dulu sangat Aku cintai. Warna-warna cerah dalam lukisanku memudar, digantikan dengan warna-warna kelabu dan suram. Biola Gama yang dulu terdengar merdu kini hanya menjadi pengingat pahit akan cinta yang tak terbalas. Aku mengurung diri di apartemenku, menghindari interaksi dengan dunia luar. Aku tidak ingin bertemu siapa pun, terutama Gama. Setiap kali aku teringat senyum Gama, hatiku terasa seperti ditusuk ribuan jarum. Aku mencoba mencari pelipur lara dalam kesendirian, tetapi kesedihan itu terus menghantuiku.
Aku memutuskan untuk pindah dari kota itu. Aku ingin memulai hidup baru di tempat yang jauh dari Gama. Aku berharap dengan menjauh, aku bisa melupakan perasaanku dan menyembuhkan luka hatiku. Aku menjual apartemenku dan membeli sebuah rumah kecil di desa terpencil. Di sana, aku mencoba mencari kedamaian dan ketenangan. Aku menghabiskan waktuku dengan melukis pemandangan alam yang indah. Namun, bayangan Gama tetap menghantuiku. Setiap kali aku melihat matahari terbit atau mendengar suara burung berkicau, aku teringat Gama. Aku menyadari bahwa melupakan seseorang yang dicintai tidak semudah membalikkan telapak tangan, ini adalah patah hati pertamaku.
Beberapa bulan kemudian, Aku mendapat undangan untuk mengikuti pameran lukisan di kota asalku. Awalnya, aku ragu untuk kembali. Aku takut bertemu Gama dan merasakan sakit hati lagi. Namun, aku akhirnya memutuskan untuk menerima undangan itu. Aku ingin menunjukkan kepada dunia bahwa aku bisa bangkit dari keterpurukan dan terus berkarya. Di malam pembukaan pameran, Aku merasa gugup dan cemas. Mataku terus mencari-cari sosok Gama di antara kerumunan orang. Tiba-tiba, aku melihat Gama berdiri di dekat pintu masuk. Jantungku berdebar kencang. Aku mencoba menghindar, tetapi Gama melihatku dan menghampiriku. "Lama tidak berjumpa" sapa Gama dengan senyum lembut. Aku hanya bisa terpaku menatap Gama. Aku tidak tahu harus berkata apa. "Aku senang melihatmu lagi," kata Gama. "Lukisanmu sangat indah." Aku hanya mengangguk pelan. Aku tidak sanggup menatap mata Gama. Aku merasa air mataku akan segera tumpah. "Senang bertemu denganmu," kataku.
Kemudian, seorang wanita cantik menghampiri Gama dan menggandeng lengannya. "Sayang, kenalkan ini teman lamaku," kata Gama kepada wanita itu. Wanita itu tersenyum kepadaku.
"Aku Riana, tunangannya Gama." Aku merasa seperti disambar petir. Aku tidak menyangka Gama akan bertunangan secepat ini. Aku merasa hatiku hancur berkeping-keping. Aku berusaha tersenyum, tetapi air mataku tidak bisa dibendung lagi. Aku berbalik dan berlari meninggalkan pameran itu. Aku kembali ke desa dengan hati yang hancur. Aku menyadari bahwa aku tidak akan pernah bisa melupakan Gama. Aku menerima kenyataan bahwa Gama tidak akan pernah menjadi milikku milikku.
Aku menyadari bahwa aku tidak bisa terus lari dari kenyataan. Aku harus menghadapi perasaanku dan menerima bahwa Gama tidak ditakdirkan untukku. Aku kembali ke desa dan membenamkan diriku dalam melukis. Aku mulai mengeksplorasi tema-tema baru dalam karyaku, seperti penerimaan, pemulihan, dan kekuatan wanita. Aku belajar untuk mencintai diriku sendiri dan menemukan kebahagiaan dalam kesendirian. Aku menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak bergantung pada orang lain.
Beberapa tahun kemudian, Aku kembali ke kota untuk mengadakan pameran tunggal. Karyaku telah matang dan mencerminkan perjalanan emosionalku. Aku tidak lagi merasa sakit hati atau kecewa saat mengingat Gama. Aku menemukan kedamaian dan kebahagiaan dalam diriku sendiri dan dalam seni yang kucintai. Aku belajar bahwa cinta sejati adalah mencintai diri sendiri dan menerima takdir.