Dalam malam yang diselimuti rahasia, lentik jemari menari dalam keheningan, meliuk indah seperti isyarat dari alam semesta. Lenggokan badanmu seirama dengan denyut jantung malam, terhanyut dalam syahdu nada yang tak terungkap, entah dari mana asalnya.
Jembatan tua, saksi bisu zaman yang berlalu, terhampar di bawah cahaya purnama yang membara, mengukir bayang-bayang misterius di tanah. Di sinilah, di antara keheningan dan keajaiban, sebuah tari solo berlangsung; tanpa penonton, tanpa gamelan, hanya ada bisikan lembut air yang bergiu dan gesekan lembut dedaunan, seolah angin mengatur ketukan irama gerakmu.
Setiap gerakanmu adalah mantra, yang memanggil jiwa-jiwa purba dari kegelapan malam. Cahaya bulan membelai kulitmu, mengisyaratkan sebuah jalinan cerita yang terpendam dalam langkah-langkahmu. Dalam kesunyian ini, kau adalah ratu malam, penari yang menggenggam keabadian dalam setiap goyangan. Intrik dan pesona menyatu dalam tubuhmu, membangkitkan keajaiban yang tak terperikan, seolah langit dan bumi pun menari bersamamu dalam harmoni yang abadi.
Di antara keremangan malam itu, tercipta sebuah dunia baru, terperangkap dalam keindahan dan misteri, di mana hanya kau, cahaya purnama, dan bisikan alam yang tahu rahasia terindah dari sebuah tarian.
Miris...?! Iya, dalam labirin jiwa yang gelap ini, kau tetap menampilkan eksistensimu, bagaikan bayang-bayang yang menari di balik kabut malam, meski tak seorang pun memperhatikan keberadaanmu. Dalam keheningan yang mencekam, kau alunkan sebuah ekspresi gembira, seolah berupaya menggenggam cahaya di ujung lorong kegelapan, saat kesepian merayap perlahan, mencengkeram hatimu.
Raut wajahmu, sebuah paradoks menawan—lengkung bibir yang tampak tersenyum, seakan memanggil segala kebahagiaan yang terbenam di pusaran sunyi. Namun, dalam senyummu tersimpan seringai sinis, sebuah cermin getir yang menampakkan kedalaman rasa, seolah mengungkapkan bahwa setiap tawa adalah isyarat terakhir dalam pertunjukan hidup ini.
Kau berkelana di antara rasa, menciptakan ilusi meski dalam kenyataan semuanya terasa samar. Seakan ada dua dunia yang beradu di dalam dirimu—satu penuh warna ceria, dan yang lain menyimpan bayangan kelam. Di setiap tarikan nafas, kompleksitas perasaanmu menjadi sebuah simfoni yang membingungkan; suara bahagia yang terjalin dengan duka mendalam, menciptakan melodi yang justru hanya kau yang dapat mendengarnya.
Di tengah hening yang menggigit, kau adalah misteri yang tak terpecahkan—sebuah eksistensi yang menari di antara cahaya dan bayangan. Dalam kesendian, kau menemukan kekuatan untuk bersinar, meski dalam sorot matamu, tak jarang ada kilasan ketidakpastian. Dan di sana, dalam langit malam yang penuh bintang, kau tetap setia pada dirimu, menari di antara mimpi dan kenyataan, menciptakan harmoni yang hanya bisa dipahami oleh jiwa-jiwa yang merindukan kehadiranmu.
Ya... jiwa kesepianmu terkurung, terikat pada ragamu yang tak bisa lepas dengan sempurna. Keinginan untuk eksis, sebuah nyala api yang tak pernah padam dalam sanubari, menggapai-gapai kehadiran di dunia yang acuh tak acuh. Tak ada lagi yang mau menyaksikan gemulai tarianmu, tak ada lagi yang terpukau oleh pesona wajahmu yang memancarkan keindahan, atau harmonisasi langkahmu yang berpadu dengan irama angin malam.
Namun, ironisnya, semua orang sepertinya tahu kisahmu, kisah yang terlilit dalam legenda turun temurun—seperti bisikan rahasia yang beredar di antara bintang-bintang. Kau, si penari terakhir, terjebak dalam narasi tragis; terjerumus jatuh bersama kereta kudumu, berakhir dalam pelukan sunyi di dasar sungai jembatan itu. Ragamu terbenam dalam kegelapan air, tetapi jiwamu terus mengembara, menelusuri lorong waktu, menunggu sang penari selanjutnya.
Di balik tabir waktu yang berdebu, jiwamu tak pernah benar-benar mati. Ia melayang, menghampiri pengembara lain yang mungkin berani mengambil alih langkah-langkah indahmu. Mengintip dari balik bayangan rerumputan, mengirimkan bisikan lembut kepada mereka yang memiliki hati peka, menggugah rasa rindu akan kehadiranmu.
Setiap malam, kau menari di antara riak air dan gemerisik daun, memanggil mimpi mereka, namun hanya sedikit yang mendengar panggilanmu. Ada keindahan tragis dalam keberadaanmu—satu sisi cermin, di mana kegelisahan jiwa bertemu dengan keanggunan abadi. Dan ketika bulan mengintip dari balik awan gelap, kau adalah bisikan yang menunggu, menantikan penari baru yang akan mewarisi cerita yang terpinggirkan ini, dan menari lagi di dunia yang telah melupakan kehadiranmu..
Subang, 08 Maret 2025.
Next On :
https://invites.waveful.app/4ckN
https://waveful.app/posts/TpQOmltD2JbKn1iiYpKj