Lisanmu tajamnya melebihi mata pedang. Mampu menghujam bagian hati yang terdalam. Namun, bagaimana jadinya jika lisan orang luar menjadi ujian dalam hidup kita. Akankah kita berdiam diri saja atau berusaha membalaskan dengan rasa sakit yang sama? Padahal kita sendiri tahu dasarnya bahwa tidak ada yang tahu perasaan pasti seseorang kecuali Sang Pencipta. Lantas bolehkah kita bertindak tanpa alasan yang pasti? Tentu saja diperbolehkan, tapi tidakkah kalian berpikir ulang sebelum melakukannya tentang bagaimana dampak yang akan terjadi? Ini yang sering kita dilupakan dan perlu ditekankan lagi.
Setiap manusia memiliki hak yang sama tanpa perlu melihat derajat, latar belakang kehidupan, ataupun hal lainnya. Sejatinya manusia tak mampu bertahan tanpa orang lain, sekalipun orang lain begitu kejam pada kita. Namun, karena itulah kita bisa tumbuh lebih dewasa meski dalam usia muda. Dengan begitu, kita mampu mengambil keputusan yang lebih bijak saat dihadapkan dengan suatu persoalan. Lalu, bagaimana dengan mereka yang hidup dalam kasih sayang? Mereka juga akan berpikir seperti orang yang mendapat kekejaman hanya saja mungkin waktunya berbeda tergantung diri individu itu sendiri.
***
Kali ini aku memperhatikannya lagi, entah sudah kesekian kalinya, aku mendapatinya duduk di antara rak-rak buku yang menjulang dengan tatapan yang tak pernah berubah. Anak kecil itu terlihat begitu dingin karena itulah aku semakin dibuat penasaran olehnya. Sesekali wajah yang datar itu berubah getir saat melihat orang lain di luar dunianya. Tampaknya dia terasingkan dari dunia luar sehingga memilih bersembunyi di dalam perpustakaan.
Perpustakaan itu, terlihat usang bahkan aku sempat beberapa kali mengunjunginya. Isinya benar-benar kacau. Ruang itu seperti dibuat menjadi dua bagian. Bagian depan sebagai perpustakaan sedangkan, bagian belakang sebagai gudang. Jangan tanyakan bagaimana debunya sudah pasti tebal. Udara di dalamnya juga pengap. Bahkan aroma buku-buku yang sudah usang sangat apek sampai mengganggu indra penciumanku. Tetapi, mengapa sosok anak kecil itu bisa tahan dengan kondisi tersebut?
Anak kecil itu seperti tidak pernah absen ke perpustakaan yang sudah menjadi tempat favoritnya. Dia tidak pernah sadar ada beberapa pasang mata yang terus mengawasinya. Kelihatannya dia juga tidak peduli dengan itu karena prioritasnya adalah perpustakaan. Dia selalu menghabiskan waktu istirahat di sana dengan membaca buku. Duduk di atas kursi panjang yang terlihat usang tak terawat. Tetapi, di dalam tempat yang bahkan tak disenangi oleh kebanyakan orang dia justru merasa aman.
Peristiwa pertama yang membuatku ikut senang karena pada akhirnya ada beberapa anak yang mencoba mendekatinya. Yah, walaupun itu sepertinya anak-anak itu adalah kakak kelasnya. “Hai!” sapa salah seorang dari mereka kepada penunggu kecil perpustakaan berwajah dingin. Bahkan, saat mendengar kata sapaan tadi bukannya menjawab anak kecil itu malah menatap segelintir orang di hadapannya dengan penuh praduga.
“Namanya siapa, Dek?” tanya yang lainnya. Pertanyaan itu dijawab anak kecil itu dengan lancar, tapi tetap dengan nada datar. Kekhasan yang seolah melekat pada kepribadiannya. “Melati,” jawab anak kecil itu.
“Wah bagus banget namanya, Dek. Kaya orangnya cantik,” seru yang lain.
“Kamu ngapain di sini?” tanya siswi yang ada di hadapannya.
Dalam hati Melati sanggat kesal dengan pertanyaan yang tak perlu ditanyakan lagi. Sudah jelas dia tadi membaca buku. Apa mereka tidak melihatnya? Rasanya kedamaian yang sempat hinggap di hatinya hilang begitu saja.
“Baca buku,” jawab Melati dengan susah payah memamerkan senyuman manis dari bibir mungilnya. Namun, ternyata dirinya masih disuguhi oleh pertanyaan. Dia seperti merasakan kesialan pada hari itu. “Kok cuma sendirian. Temen kamu mana?”
“Nggak ada.”
“Oke, kalo gitu kakak temenin yah?” tawarnya.
“Oh, ya, kenalin namaku Alexa. Terus ini temanku namanya Yola, Silvia, dan Tiwi,” ujarnya memperkenalkan.
Ocehan itu akhirnya mendapat persetujuan dari empunya. Walaupun, di dalam hatinya Melati berharap itu tidak terjadi. Memang anak itu terlihat anti-sosial namun, dia sepertinya berusaha keras dalam interaksi tadi.
Waktu berlalu, bel masuk telah berbunyi, Melati berdiri hendak mengisi buku kehadiran. Namun, dicegah oleh keempat siswi tadi. “Kemarilah biar aku saja yang menuliskan!” Perintah Alexa. Melati terlihat pasrah dan dengan cepat mengatakan kelasnya. “Kelas satu, Kak.”
“Oke,” jawab Alexa sembari menuliskan identitas Melati di buku kehadiran.
“Terima kasih, Kak. Aku ke kelas dulu,” pamit Melati.
“Jangan lupa ke sini lagi yah! Nanti kakak temenin,” seru Tiwi yang hanya mendapat balasan berupa anggukan dari adik kelasnya.
***
Jalan setapak yang kulalui sebenarnya sama dengan anak kecil tadi. Namun, sebuah peristiwa yang di luar dugaan terjadi tepat di hadapanku. Melati yang masih menyandang status sebagai murid baru di SD harus menerima hujatan setiap kali melalui jalan ini. Aku yang menyaksikan saja bisa merasakan sakit yang teramat dalam apalagi, dia yang menjalani. Seorang ibu yang terlihat dewasa berada di teras rumahnya. Begitu melihat mangsa, dia langsung menyambar.
“Hey, kamu!” teriaknya.
“Kamu anaknya si itukan?” tanyanya.
“Masa ada anak kek kamu ditinggalin hahaha…” tawanya penuh ejekan.
Melati hanya diam saja. Matanya terlihat begitu sayu. Apa yang kamu lakukan? Mengapa kau justru tersenyum pada orang yang melukaimu, Melati? Apa, apa yang sebenarnya terjadi padamu? Kenapa setiap kali aku melihatmu rasanya hidupmu dipenuhi teka-teki? Mungkin hanya akulah seorang yang ingin melihatmu memecahkan teka-tekimu sendiri. Jujur saja, meliatmu seperti itu rasanya aku ingin segera membawamu pergi dalam sekejap. Sayang beribu-ribu sayang aku tak memiliki kekuatan magis untuk melakukannya.
***
Kejadian yang sulit untuk aku tafsirkan. Melati dihadang oleh siswi kelas enam tanpa alasan yang jelas pada jam istirahat. Aku tahu pasti, Melati tidak suka diperlakukan seperti itu.
“Hey, hey, kamu sini bentar!” perintah salah seorang dari mereka.
Melati melihat orang itu, sepertinya dia mengenalinya. Karena saat menghampiri siswi kelas enam tersebut dia menyebut namanya. Jangan-jangan siswi itu tinggal tidak jauh dari Melati. Apa mungkin dia tetangganya?
“Iya, Kak Utari. Ada apa?” tanya Melati dengan begitu polos.
“Aku cuma mau tanya satu hal sama kamu. Apa kamu nggak kangen sama itu?”
“Nggak,” jawab Melati cepat.
Melati kelihatan tidak suka mendapat pertanyaan seputar “Itu” yang tidak aku tahu mewakili apa. Dia ingin menjauh dari kerumunan siswi kelas enam yang menertawakan jawabannya. Utari lebih gesit, dia mencekal pergelangan tangan Melati dan memintanya mendengarkan nasihatnya sebentar saja.
“Dengerin aku dulu!” Setelah, Melati memposisikan diri. Berhadapan langsung dengan Utari. Dia melihat kakak kelasnya itu seperti menahan tawanya, tapi berlagak sok bijak di hadapan teman-temannya.
“Kamu nggak boleh gitu. Mau bagaimanapun dia tetap orang tuamu,” terang Utari.
Melati sudah tahu itu bahkan mengerti maksudnya. Sebagai seorang anak dia juga selalu mendoakannya. Hanya saja pertanyaan kakak kelasnya itu bukanlah pertanyaan biasa namun, sebuah jebakan. Jebakan untuk menjatuhkan harga dirinya.
***
Beberapa hari ini, aku berusaha mencari solusi untuk membantu Melati keluar dari teka-teki kehidupan yang aku rasa sangat rumit untuk anak seusianya. Anehnya hari di mana aku dipusingkan oleh apa yang terjadi beberapa hari lalu itu adalah hari yang sama Melati tidak berkunjung ke perpustakaan. Aku semakin mencemaskannya. Lalu, aku berjalan ke arah kelas satu yang letaknya di pojok Timur gedung sekolah.
Aku melihat seorang Melati tertawa dan tersenyum tanpa beban. Apa dia berhasil? Bagaimana cara dia melakukannya? Aku pun tak tahu yang terpenting dia tidak kehilangan masa kecilnya. Dia akhirnya menikmati masa indahnya di SD. “Kamu memang anak yang kuat Melati,” batinku terharu dan ikut bahagia.
Melati melihatku yang ada di depan kelasnya. Dia berjalan menghampiriku. Aku tak menyangka dia mau mendekat. Jarak kita satu meter, tapi apa ini? Kenapa aku seperti mendengar ucapan Melati padahal dia belum mengucapkan sepatah katapun? Aku menatap wajah polosnya yang begitu manis. Dia tersenyum melihatku.
“Kamu selalu memperhatikan sayakan?” tanyanya to the point.
“Apa kamu mau mengatakkan sesuatu padaku?” tanyanya lagi.
Ba-bagaimana bisa? Dia seperti membaca pikiranku. Aku berdiam diri seperti anak kecil yang kepergok mencuri. Tangan mungil Melati membawaku pergi ke sebuah tempat yang begitu lenggang.
“Ayo cepat katakan!” pintanya memaksaku.
“Memangnya apa yang kau ingin tahu dariku?” tanyaku seperti orang bodoh.
“Bagaimana aku di masa depan, Melati?” tanyanya.
“Da-dari mana kau tahu namaku juga Melati?” tanyaku tergagap.
“Hehehe…” jawabnya meringis.
Dia memiringkan kepalanya seperti mengamati wajahku pada setiap incinya. Apa yang dilakukannya? Apa penampilanku sangat aneh hari ini?
“Kamu Melati dari masa depan kan?”
“Kamu mau melihat dirimu waktu kecilkan?”
“Kamu sekarang sudah berjaya untuk berjumpa denganku, dirimu sendiri. Terus kenapa kamu memilih bungkam?” Terangnya dengan nada sendu.
Aku tertegun mendengar pernyataan itu. Kemudian, aku memberanikan diri berkata,“Kamu kuat sekali Melati. Aku yakin masa depanmu akan baik-baik saja. Percayalah Allah SWT akan mengambulkan semua doamu.” Kalimat itu meluncur dengan mulus dari mulutku sedangkan, Melati kecil tersenyum mendengarnya.
“Kau tahu sekalipun aku berpikir dunia ini gelap dan menakutkan. Orang-orang juga jahat. Namun, masih ada orang baik yang mau berteman denganku,” tuturnya dengan mata berkaca-kaca.
Melihat kondisi melati seperti itu, aku tak tega, dan segera kupeluk erat sosok kecilnya. Aku tahu dia sakit. Sakit yang tidak dapat diobati. Namun, dapat disembuhkan sendiri dengan kekuatan diri. Pelukan antara Melati kecil dengan diriku menimbulkan seberkas cahaya putih berkilau yang menyilaukan sehingga kami memejamkan mata.
***
Aku terbangun, mendapati diriku berada di depan subuah balok raksasa. Aku yang kebingungan dengan apa yang terjadi hanya mematung di tempat. “Bagaimana perjalan waktumu, Melati?” Suara berat seorang profesor. Aku melihatnya dengan kebingungan. Apalagi, harus menjawab pertanyaannya.
“Apa kau tidak mendengarku? Bagaimana perjalanan waktumu? Apa kamu berhasil bertemu dengan dirimu di masa lalu?” Otakku mulai bekerja. Beberapa waktu lalu profesor menawariku untuk menjelajah waktu dan aku memilih masa lalu. Jadi, Melati yang kupeluk tadi adalah diriku sendiri. Kemudian, aku mengangguk mengiyakan pertanyaan profesor tadi. “Terima kasih, Prof,” kataku dengan perasaan haru.
“Sama-sama dan Terima kasih juga sudah mau menjadi orang pertama yang mencoba penemuanku,” terang profesor.
===================================
Karya pernah diikutsertakan dalam lomba ASEAN SHORT STORY WRITING COMPETITION 2021 oleh Edurooms.id