Sayup-sayup ku dengar nyanyian burung. Samar-samar ku lihat sekitar. Padang rumput luas, pepohonan menjulang tinggi nan rindang, di ufuk timur mentari tengah muncul, menyinari tempat ini. Aku di tempat yang tak ku kenal. Semua ini aneh. Kenapa aku bisa ada di sini? Di mana ini? Kenapa aku seperti dibuang? Apa ini hutan? Entah ada berapa banyak tanya yang muncul di kepalaku sedang aku tak tahu jawabannya. Menyebalkan. Kenapa harus aku yang dibuang di tempat seperti ini? Apa aku tak lagi berharga sehingga dicampakkan begitu saja. Siapa pun yang melakukan ini benar–benar keterlaluan. Kurang ajar! Batinku jengkel diperlakukan layaknya sampah.
Aku segera bangkit tuk mencari jalan keluar. Semua masih alami mungkin ini hutan. “Aku harus keluar,” batinku. Melepas kekesalan tuk sementara waktu. Aku harus fokus mencari jalan keluar dari tempat ini. Berjalan dengan langkah gontai karena kelaparan juga kehausan. Hingga aku benar–benar kelelahan saat mentari sudah di atas kepala. Aku terduduk di bawah pohon rindang. Menghirup udara segar degan mata terpejam. Melelahkan. Mataku terbuka perlahan sembari mengatur napas. Aku tak menyangka di depanku ada air terjun, airnya tampak jernih dari sini, memantulkan cahaya mentari. Tak ada kata menyerah bagiku. Aku bergegas ke sana. Menengadahkan ke dua telapak tangan untuk mengumpulkan air. Setelah penuh aku meminumnya, ini sanggatlah menyegarkan.
Haus memang hambatan namun sekarang perutku keroncongan. “Aku sangat lapar,” kataku dalam hati. Samar-samar aku melihat seseorang di sana. Bergegas aku mendekatinya mungkin dia tahu jalan keluar dari hutan ini. Semakin aku mendekat aku mendengar tangis. “Apa? Dia menangis?” batinku. Segera aku mempercepat langkah untuk menghampirinya. Tepat di belakangnya aku buka suara “Kamu tahu jalan keluar dari sini?”
“Iya,” jawabnya singkat.
“Lalu kenapa kau menangis?” tanyaku.
“Tak apa hanya terkena debu saja,” elaknya.
“Oh......,” kataku. Lalu aku bertanya lagi, “Bisa kau antar aku keluar dari sini?”
“Tentu tapi nanti setelah aku membereskan pekerjaanku,” jawabnya.
Melihat apa yang dilakukannya, aku bergerak tuk membantunya. Mengumpulkan ranting pohon. Tak butuh waktu lama pekerjaan mengumpulkan ranting kayu selesai.
“Selanjutnya apa?” tanyaku.
“Bantu aku membawanya ke rumah,” jawabnya.
“Baiklah,” ujarku penuh semangat.
Kami berjalan menyusuri hutan ini yang kalau dilihat-lihat menyeramkan juga. Bayangkan pepohonan di sini masih asri batangnya besar dan kokoh. Daunnya lebat. Bahkan sinar mentari yang mulai condong ke barat tak mampu menembus rapatnya dedaunan pohon. Tiba-tiba saja wanita di depanku berhenti lalu menoleh ke belakang. Mata kami beradu beberapa saat. Entah apa yang hendak dilakukannya semoga itu bukan hal buruk. Tangan kanannya terulur padaku. Dia menatapku sambil tersenyum. “Manis sekali senyumnya. Dia juga cantik,” batinku.
Aku mengulurkan tanganku. Menjabat tangannya. Lalu dia berkata, “Namaku Bening. Siapa namamu?”
“Air,” jawabku.
Dia tertawa sebentar sambil berucap, “Air? Nama macam apa itu? Lucu sekali. Hahaha.......”
“Entahlah orang tuaku yang memilihkan nama itu,” jawabku.
“Oke kita lanjut jalan saja rumahku sudah dekat,” perintahnya.
Dia berbalik arah membelakangiku. Melangkah dengan santai menuju rumahnya. Tak lama kemudian kita sampai.
Di sebuah pondok di dalam hutan. Sederhana bentuknya. Pekarangan depan rumah dipenuhi bunga. Aku mulai penasaran apa Bening tinggal di sini? Bersama siapa? Sejak kapan? Pertanyaan aneh mulai memenuhi otakku. Mulutku seolah terkunci ingin bertanya. Nyaliku ciut saat Bening menatapku penuh selidik. Dia mulai curiga.
“Ada apa? Adakah masalah?” tanya Bening.
“Oh... tidak hanya sedikit kaget saja,” jawabku.
“Kenapa harus kaget Air?” ujarnya.
“Ya...... mungkin karena aku tak berasal dari sini. Sejak awal aku kaget. Bangun tidur mendapati diriku ada di hutan seperti ini. Berputar – putar mencari jalan keluar tapi tak kunjung dapat. Lalu bertemu denganmu, Bening. Sampai kita tiba di sini,” jelasku panjang lebar.
“Apa kau rindu dengan seseorang?” tanyanya.
“Mungkin iya tapi lupakan semuanya sudah berakhir,” jawabku lesu.
“Oh ya letakan kayunya di situ!” perintahnya.
Aku tak menduga dia sudah meletakan kayunya dan kini menaiki anak tangga menuju teras rumahnya. Aku bergegas melakukan perintahnya lalu mengikutinya masuk ke dalam rumah. “Rumah ini ternyata bersih juga,” gumanku setelah berada di dalam rumah Bening. Ruang tamu kecil inilah yang menyambutku. Aku duduk di salah satu kursi yang tersedia. Mengamati sekelilingku sambil bertanya – tanya sendiri. “Kenapa dia mau tinggal di sini ya?” pikirku.
Bening muncul dari balik tirai yang menutupi dapur. Wajahnya dipenuhi senyuman manis itu menghidangkan suguhan untuk tamu tak diundang yaitu aku. Kemudian dia duduk berhadapan denganku. Menatap tepat di manik mataku. Lalu berpaling mengamati ruangan ini. “Jadi bagaimana menurutmu? Apakah ada hal yang ingin kau tanyakan padaku sebelum kau ku antar keluar dari hutan ini?” tanyanya.
“Ada. Kenapa kau tinggal di sini?”
“Oh kalau itu panjang ceritanya dan sebaiknya tak usah dibahas lagi,” tuturnya.
“Maaf kalau begitu,” ucapku merasa bersalah.
“Tak apa tak perlu minta maaf,” jawabnya. Dia melanjutkan percakapan, “Ayo silakan diminum!”
Aku hanya menganggukkan kepala sembari mengulurkan tangan untuk mencapai secangkir minuman yang masih mengepul. Aku menyeruputnya, ternyata ini wedang jahe ku kira minuman ini tak ada di tempat seperti ini. Aku kembali meletakan cangkir itu. Aku menatap Bening. Belum sempat aku berucap perutku malah berbunyi memecah keheningan kami.
“Apa kau lapar?” tanyanya.
“Sepertinya iya,” jawabku sedikit malu.
“Mari ku antar ke dapur biar kamu makan dulu!” ajaknya.
Aku hanya mengikutinya dari belakang. Kami menuju dapur di mana lalu aku duduk di sebuah kursi yang melingkari meja. Bening berjalan menyiapkan makanan untukku. Setelah itu, menghidangkannya untukku. Aku melahapnya hingga habis. Bening yang mendapati diriku telah selesai membereskan mejaku.
“Ayo ku antar kau keluar dari hutan ini!” katanya setelah semua yang ada di dapur kembali bersih.
Aku hanya mengangguk, mengikutinya berjalan menuju ruang tamu. Aku berhenti sebentar meneguk isi cangkir tadi yang masih ada. Lalu bergegas menjajari Bening. Aku amat kagum dengan perempuan ini. Dia hebat. Kami berjalan terus tanpa berhenti untuk istirahat atau pun minum dan sebagainya karena menurut Bening itu akan memperlambat mencapai tujuan. Aku hanya menurut saja.
Mentari hampir tenggelam. Magenta berubah warna jadi jingga. Angin bertiup sepoi-sepoi. Jangkrik mulai menderit. Burung-burung terbang kembali ke sarangnya. Aku melihatnya. Jalanan besar yang sudah beraspal ada di depan sana. Suasananya sepi sekali tak ada kendaraan yang berlalu–lalang. Kami terus berjalan hingga akhirnya sampai ke ujung hutan ini. Tepat saat itu di hadapan kami adalah jalanan.
“Sudah sampai Air. Kamu bisa pulang sekarang cukup dengan mengikuti jalan ini ke arah sana,” kata Bening berlinang air mata.
“Terima kasih banyak bening atas bantuanmu. Kalau tak ada kamu mungkin aku bakal bingung di dalam sana,” ucapku.
Mata Bening tak mampu membendung air matanya, dia menangis sesenggukan. Aku tak tahu ada apa dengannya. Entah apa yang ku rasakan saat ini amat berbeda dari awal pertemuan tadi. “Apa aku menyukainya? Entahlah,” batinku. Aku mencoba menenangkannya, “Bening jangan kau biarkan butiran bening air matamu itu jatuh saat kau sedang bersamaku.”
“Apa maksudmu berkata demikian?” tanyanya mulai curiga.
“Mungkin karena aku menyukaimu,” tegasku.
Dia tersenyum manis sekali. Aku menghapus jejak air matanya. Pipinya merona, aku tersenyum melihatnya.
“Bagaimana kalau kau ikut denganku?” ajakku.
Dia hanya mengangguk. Kami pun menyusuri jalan ini sampai tiba di tujuan kami. Mungkin dengan begini butiran bening air matanya tak akan jatuh selagi bersamaku. Kita akan menjalin kebahagiaan Bening bukan kesedihan yang dihiasi air mata.
==========================================
Cerpen penah diikut serta dalam lomba dari Penerbit Binarmedia pada 2020
Tempat dan tanggal pembuatan:
Gunungkidul, 4 Juni 2020