"Jo..., tolong dengarkan apa yang sebenarnya terjadi malam itu..." suaranya lirih, teriris-iris oleh beban yang tak terucap. Kata-katanya menggantung di udara, seperti embun yang enggan jatuh dari ujung daun.
"Berisik! Kau akan terus mengulang kalimat itu, ya?! Terus berlindung di balik alasan yang sama, ya?!" Gadis itu menyergap, suaranya seperti petir yang memecah langit. Matanya, tajam bagai belati, menusuk dengan sinisme yang tak terbendung. Julingan matanya seolah menertawakan keputusasaan yang tersirat di wajah pemuda itu.
"Aku tak akan pernah bosan mengatakannya, Jo, meski harus berjuta kali. Karena inilah kebenaran yang sesungguhnya," ucapnya perlahan, suaranya laksana angin malam yang menyelinap di antara pepohonan. Tatapannya, sendu dan dalam, mencoba menembus benteng kokoh yang Roro Jonggrang bangun di sekeliling hatinya.
"Jenuh aku mendengar semua ini, Ndung! Tak bisakah kau jujur, sekali saja?! Kau ingin PT Baka Sentosa ini hancur, bukan?! Kau ingin perusahaan yang dibangun leluhurku, tetes demi tetes keringat dan darah, jatuh ke tanganmu, bukan?!" Roro Jonggrang meledak, suaranya bergemuruh seperti gelombang yang menghantam karang. Setiap kata yang terlontar adalah panah beracun, menusuk dan meninggalkan luka yang dalam.
"Tidak, Jo... sungguh, tak pernah sekalipun terlintas dalam benakku untuk melakukan hal itu. Jangan kau ciptakan alibi-alibi yang meracuni pikiranmu...," ucap Bandung Bondowoso dengan suara lirih, bagai angin yang berbisik di antara dedaunan. Namun, kalimatnya terpotong, tersergah oleh amarah Roro Jonggrang yang meledak bak gunung berapi.
"Dengar dan camkan baik-baik dalam hatimu, Bandung Bondowoso! Selama Roro Jonggrang masih bernyawa, PT Baka Sentosa tak akan pernah tunduk, takluk, apalagi bekerja sama dengan Pengging Berdikari Group milikmu itu!" Suaranya menggema, memuntahkan lahar panas kebencian yang telah lama mengendap di dasar gunung hatinya. "Dan ingat ini baik-baik, Bandung! Apakah kau masih punya nurani? Maukah kau menikahi seorang gadis yang ayahnya telah kau bunuh? Jawab, Bandung! Jawab!"
Bandung Bondowoso terduduk lemas di kursinya, wajahnya lesu bagai langit kelabu yang tak pernah cerah. Rasanya seperti narapidana yang menerima hukuman berat, padahal tak pernah sekalipun ia melakukan kesalahan. Kepalanya menunduk, seolah bumi lebih ramah daripada tatapan Roro Jonggrang yang membara.
"Kau hanya mendengar sepenggal cerita, Jo. Jika ada pilihan antara menyebrangi lautan api atau diberi singgasana emas, aku akan memilih menceburkan diri ke lautan api itu, hanya agar kau percaya pada ucapanku, Jo," ujarnya dengan suara parau, penuh kepasrahan. Setiap kata yang terucap seperti tetesan air yang jatuh ke batu karang, mencoba melunakkan kekerasan hati yang telah membeku.
"Bullshit... sedikit pun aku tak lagi percaya pada omonganmu, Bandung. Aku sudah muak, lelah, dan jenuh dengan segala kata-kata manis yang kau lancarkan. Kau ingin aku percaya lagi padamu? Baiklah, aku akan memberimu satu kesempatan," ujar Roro Jonggrang, suaranya dingin bagai es yang membekukan ruangan. Matanya kosong, menatap jauh ke luar jendela kantor, seolah mencari jawaban di antara awan yang bergulung-gulung. Kekecewaannya terpancar jelas, seperti lukisan suram yang tak pernah menemukan warna cerah.
"Apa itu, Jo? Aku akan berusaha sekuat tenaga, asal kau percaya bahwa setiap kata yang kusampaikan adalah kebenaran," jawab Bandung Bondowoso, sorot matanya tiba-tiba berbinar, seperti bintang yang menemukan cahayanya di tengah kegelapan. Harapan kecil itu menyala, meski ia tahu jalan yang harus ditempuh tak akan mudah.
"Aku ingin kau selesaikan seribu proyek mercusuarku di kota ini. Selesaikan dalam sebulan, dan dirikan sebuah patung eksotik yang akan menjadi landmark kota ini, setinggi Liberty, megah dan tak terlupakan," tegas Roro Jonggrang, suaranya laksana guntur yang memecah kesunyian. Setiap kata yang terucap adalah tantangan, adalah ujian yang tak mungkin terpenuhi.
"Ini... ini gila," terhenyak Bandung Bondowoso, wajahnya pucat bagai bulan yang kehilangan cahayanya. Pikirannya berputar, mencari nalar di tengah kekacauan yang diciptakan oleh syarat-syarat itu. Rasanya seperti dituntut untuk memindahkan gunung dengan tangan kosong. "Jo, apa kau serius? Ini bukan sekadar tantangan, ini... ini mustahil," gumamnya, suaranya parau, seperti angin yang kehilangan arah.
Tapi di balik keterhenyakannya, ada api kecil yang terus menyala. Api yang mengatakan, mungkin, hanya mungkin, ia bisa membuktikan bahwa cintanya lebih besar dari segala kemustahilan.
Ia teringat sebuah legenda kuno, tentang seribu candi yang berdiri megah dalam satu malam, dibangun dengan bantuan makhluk gaib yang tak terlihat. Bagi mereka, mungkin itu semudah membalikkan sepiring nasi sisa ke dalam tong sampah—tanpa usaha, tanpa keringat. Tapi seribu proyek dalam satu bulan? Di era birokrasi yang berbelit seperti labirin tanpa pintu keluar? Ini bukan sekadar tantangan, ini adalah mimpi buruk yang mustahil diwujudkan.
Bayangkan saja: seribu proyek! Seribu dokumen yang harus diajukan, seribu tanda tangan yang harus dikantongi, seribu ruangan yang harus dilalui. Belum lagi upeti yang harus disiapkan, seperti ritual wajib sebelum segel resmi bisa tercetak. Apa kepala dinas tata kota tidak kapalan jari-jarinya setelah menandatangani seribu berkas? Atau mungkin otaknya sudah mendidih setelah membaca seribu proposal yang berjejal di meja kerjanya?
Loro Jonggrang meminta seribu proyek, bukan seribu kue yang bisa dipanggang dalam sehari. Ini bukan sekadar ujian, ini adalah lelucon kosmik yang membuat Bandung Bondowoso terhenyak, seperti burung yang terbang terlalu dekat dengan matahari—terbakar oleh realita yang tak terbantahkan.
-----★★★-----
Gerimis turun perlahan, membasahi bumi dengan air mata langit yang seakan turut meratapi kepedihan yang terpahat di sudut-sudut hati. Angin berdesau lirih, menyanyikan lagu pilu yang mengiringi kesedihan yang tak terucap. Di tengah dekapan erat seorang pemuda tampan, tergolek sosok gadis cantik, tubuhnya terkulai lemas, tanpa sehelai napas pun tersisa. Udara yang biasa menghidupinya kini berubah menjadi sunyi yang memilukan.
Ya..., Roro Jonggrang kini hanya tinggal cerita. Sebuah kisah yang tenggelam dalam lautan ambisi dan dendam yang membara. Ia pergi, meninggalkan dunia yang hanya ia lihat dari satu sisi—sebuah dunia yang dipenuhi amarah atas kehilangan ayah tercinta. Kemarahannya begitu besar, hingga memburamkan mata hatinya, membuatnya tak mampu melihat seorang pria yang rela mengorbankan segalanya, bahkan nyawanya, hanya untuk melihatnya tersenyum bahagia.
Tangis Bandung Bondowoso pecah, berseteru dengan panggilan lirih penuh kasih yang ia ucapkan pada Roro Jonggrang. "Jo...," bisiknya, suaranya parau, seperti daun yang terhempas angin. Setiap tetes air mata yang jatuh adalah cermin dari cinta yang tak pernah terbalas, dari pengorbanan yang tak pernah terlihat. Ia memeluk erat tubuh Roro Jonggrang, seolah ingin menghangatkan kembali jiwa yang telah pergi, meski tahu itu mustahil.
Langit pun menangis, gerimis semakin deras, seakan ikut meratapi kisah cinta yang berakhir dalam kesedihan. Bandung Bondowoso terduduk, hancur, seperti istana pasir yang diterjang ombak. Roro Jonggrang telah pergi, meninggalkan luka yang tak akan pernah sembuh, dan cerita yang akan terus dikenang sebagai legenda cinta yang terhalang oleh dendam.
"Jo... Aku lebih memilih mendengar ocehan amarahmu yang menyayat, daripada kesunyianmu yang menusuk seperti ini. Aku lebih rela menghadapi tatapan tajammu yang penuh dendam, daripada melihat senyummu yang kaku, membeku bagai patung tak bernyawa," ucap Bandung Bondowoso, suaranya bergetar laksana dawai yang dipetik oleh kesedihan. Tangannya gemetar mengusap raut wajah Roro Jonggrang yang pucat, seolah mencoba menghidupkan kembali warna yang telah pergi bersama napas terakhirnya.
"Aku ingin membelai pipimu, tapi bukan seperti ini... bukan dalam dinginnya kematian. Aku rela tak pernah menyentuhmu seumur hidupku, asalkan kau tetap hidup, tetap bernyawa, tetap ada di sini. Percuma aku menyelesaikan seribu proyek, mendirikan patung megah, memenuhi segala permintaanmu, jika akhirnya kau pergi begitu saja. Jo..., bangunlah Jo...! Bangun...!" teriaknya, suaranya pecah, meledak bagai guntur di tengah malam yang kelam. Setiap kata yang teriakkan adalah jeritan hati yang terluka, adalah doa yang tak terpenuhi, adalah harapan yang hancur berkeping-keping.
Air matanya mengalir deras, bercampur dengan gerimis yang turun membasahi bumi. Bandung Bondowoso memeluk erat tubuh Roro Jonggrang, seolah ingin menahan jiwanya yang perlahan menjauh. Tapi yang ia rasakan hanyalah dingin yang menusuk, sunyi yang tak berujung, dan kepedihan yang tak terperi. "Jo..., kau tak boleh pergi. Kau tak boleh meninggalkanku seperti ini...," bisiknya, suaranya lirih, seperti angin yang berbisik di antara pepohonan. Tapi tak ada jawaban, hanya kesunyian yang menyergap, memeluk erat setiap harapan yang tersisa.
Di sekitar lahan parkir itu, suasana hening menyelimuti bagai selimut yang menutupi duka. Para pekerja dan pengawal dari Pengging Berdikari Group terdiam membisu, bagai patung yang kehilangan nyawa. Tak sedikit dari mereka yang menitikkan air mata, ikut larut dalam kesedihan yang menghanyutkan, terbawa arus penderitaan yang menyelimuti pemimpin mereka. Hati mereka hancur melihat Bandung Bondowoso, sang pemimpin yang gagah perkasa, kini terkulai lemah di hadapan sang pujaan hati yang tak lagi bernyawa.
Perlahan, dengan tubuh yang bergetar bagai daun yang diterpa angin, Bandung Bondowoso bangkit dari pelukan terakhirnya pada Roro Jonggrang. Matanya yang merah sembap menatap Kalaksa, sang paman yang setia mendampinginya. Suaranya lirih, namun penuh tekad, seperti api yang tak pernah padam meski diterpa badai.
"Paman, jangan kau kuburkan Roro Jonggrang. Jangan biarkan ia hilang ditelan bumi. Jadikan ia mumi, abadikan kecantikannya yang tak tertandingi. Tempatkan ia dalam peti mati dari kayu gaharu termulia, balutkan dengan coran tembaga berkelas tinggi, lalu tatahkan dengan emas murni sebanyak 888 kilogram. Ukirlah ia hingga menjadi patung Dewi Kecantikan yang abadi. Dirikan ia di tempat tertinggi, agar ia senantiasa dapat memandang hasil kerja kerasku, mewujudkan setiap janji yang pernah kuucapkan padanya."
Setiap kata yang terucap adalah doa, adalah penghormatan terakhir, adalah cinta yang tak pernah mati. Bandung Bondowoso ingin Roro Jonggrang tetap hidup, meski hanya dalam bentuk patung yang megah. Ia ingin dunia tahu, bahwa cintanya takkan pernah pudar, meski maut telah memisahkan mereka. Dan di ketinggian itu, Roro Jonggrang akan menjadi saksi bisu dari setiap tetes keringat dan darah yang ia curahkan, demi memenuhi janji yang tak sempat terwujud saat ia masih hidup.