Aku dan Adit sudah bersahabat sejak kelas dua SMP. Kami selalu bersama—ke kantin bareng, mengerjakan tugas kelompok, bahkan pulang sekolah sering mampir ke rumah salah satu dari kami. Aku selalu menganggap Adit sebagai saudara sendiri, seseorang yang bisa kupercaya sepenuh hati.
"Bro, kita bakal terus temenan sampai kapan pun, kan?" tanya Adit suatu hari saat kami duduk di tangga sekolah, menikmati semilir angin sore.
Aku tertawa kecil. "Ya iyalah! Nggak bakal ada yang bisa pisahin kita!"
Saat itu, aku percaya bahwa persahabatan kami akan bertahan selamanya. Tapi, aku tidak tahu kalau kepercayaan itu akan hancur di kemudian hari.
Semuanya mulai berubah ketika aku menyukai seorang cewek di sekolah, Nadin. Aku pernah bilang ke Adit tentang perasaanku padanya.
"Nadin itu cantik, ya?" kataku suatu hari saat kami duduk di bangku taman sekolah.
Adit tertawa kecil. "Lo suka sama dia?"
Aku mengangguk, sedikit malu. "Iya, tapi kayaknya dia nggak bakal suka sama gue."
Adit menepuk bahuku. "Tenang, bro. Gue dukung lo!"
Aku tersenyum, merasa lega karena punya sahabat yang selalu mendukungku. Tapi aku tidak tahu bahwa di balik kata-kata itu, Adit menyimpan niat yang berbeda.
Beberapa minggu setelah percakapan itu, aku mulai menyadari ada yang aneh. Nadin tiba-tiba menjadi lebih akrab dengan Adit. Mereka sering terlihat ngobrol berdua, bahkan tertawa bersama di kantin.
Awalnya, aku mencoba berpikir positif. "Mungkin Adit cuma bantu gue mendekati Nadin," pikirku.
Tapi dugaanku salah.
Suatu hari, aku melihat mereka berdua di taman belakang sekolah. Adit sedang berbicara dengan Nadin, lalu tiba-tiba dia menggenggam tangan cewek itu.
Aku berdiri di balik dinding, mendengar percakapan mereka.
"Nadin, gue suka sama lo. Dari dulu sebenarnya gue yang pengen deket sama lo, bukan Raka," kata Adit dengan suara lembut.
Dadaku terasa sesak. Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Adit, sahabatku sendiri, menusukku dari belakang.
Aku ingin pergi, tapi kakiku terasa berat. Aku masih berharap Nadin menolaknya. Tapi harapanku hancur ketika aku mendengar jawabannya.
"Aku juga suka sama kamu, Dit."
Hatiku seperti diremas. Aku tidak bisa lagi menahan sakitnya, jadi aku melangkah keluar dari tempat persembunyianku.
"Aku nggak nyangka, Dit," suaraku bergetar menahan emosi.
Adit dan Nadin terkejut melihatku. Wajah Adit berubah panik, sementara Nadin hanya menunduk.
"Raka, gue bisa jelasin," kata Adit, berusaha mendekat.
Aku mundur selangkah. "Jangan sentuh gue! Lo sahabat gue, Dit! Kenapa lo ngelakuin ini?"
Adit terdiam. Mungkin dia sadar bahwa tidak ada alasan yang cukup baik untuk membenarkan pengkhianatannya.
Aku menatap Nadin, berharap dia merasa bersalah. Tapi dia hanya berkata pelan, "Maaf, Raka."
Saat itu, aku tahu, semuanya sudah berakhir.
Hari-hari setelah kejadian itu terasa berat. Aku mulai menjauh dari Adit, dan dia tidak berusaha mendekatiku lagi. Mungkin dia merasa bersalah, atau mungkin dia memang tidak pernah benar-benar peduli padaku sejak awal.
Ricky, teman sekelasku yang lain, menyadari perubahan sikapku.
"Lo kenapa, Ka?" tanyanya suatu siang di kantin.
Aku menghela napas. "Gue baru tahu, sahabat sendiri bisa jadi orang pertama yang nyakitin kita."
Ricky menatapku serius. "Nggak semua orang itu tulus. Kadang, kita cuma perlu belajar melepaskan orang yang nggak layak ada di hidup kita."
Kata-katanya menamparku. Aku sadar, aku terlalu sibuk meratapi pengkhianatan Adit, sampai lupa bahwa aku masih punya teman lain yang peduli padaku.
Sejak saat itu, aku memutuskan untuk melanjutkan hidup tanpa Adit. Aku tidak lagi berharap dia akan meminta maaf, dan aku tidak lagi menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi.
Pengkhianatan memang menyakitkan, tapi aku belajar satu hal penting: Sahabat sejati tidak akan menusuk dari belakang.