Udara di dalam kamar terasa dingin, bercampur dengan aroma mawar dan dupa yang menyengat. Di atas ranjang megah berkanopi merah
Udara dingin menyelinap ke dalam ruangan yang dipenuhi aroma mawar dan dupa. Seraphina Aldebrand—atau lebih tepatnya, Aurelia yang kini berada di tubuhnya—menatap pantulan dirinya di cermin besar berbingkai emas.
Gaun tidurnya yang tipis membiarkan kulit pucatnya terlihat samar di bawah cahaya lilin. Rambut pirangnya yang tergerai panjang tampak berkilau, kontras dengan sorot matanya yang tajam.
Dia menghela napas.
“Jadi aku benar-benar masuk ke dunia novel…” gumamnya pelan, nyaris berbisik.
Ketukan pelan di pintu membuatnya tersadar. Seorang pelayan masuk dengan kepala tertunduk, diikuti beberapa lainnya yang membawa nampan berisi pakaian dan perhiasan.
“Yang Mulia Permaisuri, kami akan membantu Anda bersiap,” kata salah satu pelayan dengan nada hormat.
Aurelia tidak langsung menjawab. Tatapan matanya jatuh pada gaun yang dibawa pelayan-pelayannya.
Sebuah gaun hitam dari kain sutra halus dengan bordiran emas membentuk pola bunga lili yang rumit. Lengan panjangnya terbuat dari kain transparan, memberikan kesan elegan namun tetap anggun. Korset di bagian pinggang menegaskan lekuk tubuhnya, sementara rok panjangnya jatuh dengan lembut menyentuh lantai.
Gaun ini… sangat berbeda dari yang dibayangkannya.
Dalam novel, Seraphina selalu digambarkan mengenakan warna-warna pastel, lembut, dan tidak mencolok. Tetapi kini, pelayan-pelayannya justru membawakan warna yang melambangkan otoritas dan kekuatan.
“Apakah ini pilihan istana?” Aurelia akhirnya bertanya.
Salah satu pelayan tampak ragu sebelum menjawab, “Gaun ini dipilih oleh Yang Mulia Kaisar sendiri.”
Aurelia terdiam.
Damien Everhart… pria itu bahkan mengatur apa yang harus dikenakan oleh istrinya.
“Baiklah,” jawabnya akhirnya. Dia harus mematuhi aturan untuk saat ini.
Para pelayan segera membantunya mengenakan gaun tersebut. Kain sutra dingin meluncur di kulitnya saat mereka mengancingkan bagian belakangnya dengan hati-hati.
“Rambut Anda, Yang Mulia?” tanya salah satu pelayan.
Aurelia menatap bayangannya di cermin.
Dalam novel, Seraphina selalu menyanggul rambutnya dengan rapi, tanpa ada helaian yang terlepas. Namun, Aurelia memiliki ide lain.
“Sanggul rendah, tapi biarkan beberapa helaian jatuh di sisi wajahku.”
Pelayan itu tampak terkejut sejenak, tetapi kemudian mengangguk dan segera mengikuti perintahnya. Setelah beberapa menit, Aurelia melihat hasilnya di cermin—elegan, namun memiliki sedikit kesan liar dan tak terkekang.
Dia tersenyum tipis.
‘Kalau ini adalah permainan istana, maka aku akan bermain dengan caraku sendiri.’
---
Langkah-langkah Aurelia menggema di sepanjang lorong istana yang dipenuhi cahaya lampu kristal. Para pelayan yang dilewatinya menundukkan kepala dengan hormat, namun ia bisa merasakan tatapan mereka yang penuh rasa ingin tahu.
‘Mereka pasti menyadari perubahan dalam diri Permaisuri mereka.’
Akhirnya, dia tiba di ruang makan kerajaan.
Pintu besar berukir terbuka, memperlihatkan meja panjang yang dipenuhi hidangan mewah. Namun, Aurelia hanya memperhatikan satu sosok di ujung meja—Kaisar Damien Everhart.
Pria itu duduk dengan tenang, satu tangan bertumpu di sandaran kursinya, sementara matanya yang tajam menatap lurus ke arahnya.
Matanya… abu-abu dingin, seperti kabut di pagi hari.
“Duduklah,” ucapnya singkat.
Aurelia berjalan dengan tenang, menjaga ekspresinya tetap netral saat dia duduk di seberang sang Kaisar.
Keheningan menyelimuti ruangan saat para pelayan menuangkan anggur merah ke dalam gelas mereka.
Aurelia bisa merasakan tatapan pria itu yang terus mengamatinya, seolah menilai sesuatu.
“Kau terlihat berbeda.”
Suaranya dalam dan berat, nyaris terdengar seperti ancaman terselubung.
Aurelia tidak terkejut. Tentu saja Damien akan menyadari perubahan dalam diri Seraphina.
Namun, dia tidak boleh menunjukkan kelemahan.
“Yang Mulia memiliki pengamatan yang tajam,” jawabnya dengan tenang. “Tapi bukankah perubahan adalah hal yang wajar?”
Damien mengangkat alisnya sedikit, seolah tertarik dengan jawabannya.
“Kupikir kau akan bersikap lebih penurut,” gumamnya, jari-jarinya mengetuk perlahan permukaan meja.
Aurelia tersenyum tipis.
“Bukankah istri seorang Kaisar seharusnya memiliki pemikiran sendiri?”
Damien menatapnya dalam diam. Untuk sesaat, Aurelia berpikir dia telah melangkah terlalu jauh. Namun, alih-alih marah, pria itu justru menyeringai samar.
“Menarik.”
Aurelia tetap tenang di luar, tetapi di dalam kepalanya, dia tahu satu hal—Damien mulai memperhatikannya.
(sekarang nama nya jadi seraphina)
Seraphina Aldebrand menahan napas.
Damien Everhart masih menahannya dalam dekapan, tangan besarnya bertumpu di punggungnya dengan tekanan yang tidak bisa dianggap sebagai kelembutan. Wajah mereka begitu dekat hingga Seraphina bisa melihat setiap detail wajah Kaisar—tatapan abu-abu dingin yang mengulitinya dengan rasa ingin tahu, rahang tegas yang seolah terukir oleh tangan dewa, serta aroma anggur merah dan dupa yang melekat pada dirinya.
Detik demi detik berlalu, tetapi pria itu tidak melepaskannya.
Ketegangan merayap di sepanjang tulang belakangnya, tetapi dia tidak membiarkan dirinya mundur. Jika dia menunjukkan sedikit saja kelemahan, Damien akan menangkapnya seperti seekor serigala yang mencium darah.
Jadi, Seraphina tersenyum.
Sebuah senyum lembut, penuh ketenangan yang dipaksakan.
"Yang Mulia," suaranya terdengar halus, tetapi tetap terkontrol. "Saya pikir, jika Anda ingin menari, kita harus melakukannya di aula, bukan di ruang makan."
Untuk sesaat, keheningan menyelimuti mereka.
Lalu, Seraphina merasakan sesuatu yang berbahaya—tawa rendah dan dalam dari Kaisar, nyaris seperti bisikan iblis di telinganya.
"Hah," gumam Damien, sudut bibirnya sedikit terangkat. "Jadi sekarang kau bercanda?"
Tangan di punggungnya tidak mengendur, seolah sedang mengujinya.
Seraphina tetap tersenyum. "Saya hanya berpikir seorang Kaisar yang agung tidak akan ingin terlihat impulsif terhadap istrinya di hadapan para pelayan."
Matanya melirik sekilas ke sekeliling ruangan. Meskipun para pelayan menundukkan kepala, tidak ada satu pun dari mereka yang berani bernapas terlalu keras. Semua orang tahu bahwa Kaisar bukan pria yang suka ditantang, bahkan oleh Permaisurinya sendiri.
Tetapi, dia juga tahu sesuatu yang lain.
Damien Everhart bukan pria yang akan membiarkan sesuatu berlalu begitu saja tanpa menggali lebih dalam.
Akhirnya, tekanan di punggungnya mengendur sedikit. Seraphina tidak membiarkan dirinya menunjukkan kelegaan.
"Menarik," ujar Damien. Tatapannya tetap mengunci wajahnya, tetapi kini ada sesuatu yang lain di sana. Ketertarikan.
Pria itu akhirnya melepaskannya dengan gerakan lambat, seolah ingin memastikan Seraphina tahu bahwa dia baru saja lolos dari sesuatu yang lebih buruk.
Seraphina melangkah mundur dengan anggun, mengatur kembali lipatan gaunnya sebelum menundukkan kepala dengan hormat.
"Jika Yang Mulia tidak memiliki perintah lain, saya akan kembali ke kediaman saya."
Damien menyandarkan punggungnya ke kursi, jari-jarinya mengetuk meja dengan ritme pelan. Tatapan itu tidak pergi darinya, seolah menguliti setiap gerakan Seraphina.
"Kau ingin meninggalkanku begitu cepat?"
Seraphina menahan napas.
Ini adalah ujian lain.
Damien sedang mengamatinya, mencoba menemukan celah, mencoba menariknya ke dalam jaringnya.
Tapi Seraphina bukan Seraphina yang dulu.
Jadi dia mengangkat kepalanya, tersenyum sedikit. "Saya hanya ingin memastikan bahwa Yang Mulia tidak bosan dengan kehadiran saya."
Damien terkekeh pelan. "Aku akan menilai itu nanti."
Seraphina menundukkan kepala sedikit sebelum berbalik, meninggalkan ruang makan dengan langkah yang terukur.
Namun, saat dia berjalan menjauh, dia bisa merasakan tatapan Kaisar masih menusuk punggungnya.
---------
Malam menyelimuti Kekaisaran Everhart, tetapi istana tetap terang oleh cahaya lilin dan obor. Angin dingin bertiup lembut melalui jendela kamar Permaisuri, menggoyangkan tirai sutra yang menjuntai hingga lantai.
Seraphina Aldebrand berdiri di depan jendela, menatap bulan purnama yang menggantung tinggi di langit. Gaun tidurnya yang tipis melayang pelan mengikuti gerak tubuhnya, tetapi dinginnya udara bukanlah yang membuat tubuhnya tegang.
Karena malam ini, dia harus membuat pilihan.
Langkah berat terdengar di belakangnya, membawa serta kehadiran yang tak bisa disangkal. Seraphina tidak perlu berbalik untuk tahu siapa yang baru saja masuk.
Damien.
"Kau tidak tidur." Suara Kaisar terdengar rendah, dalam, tetapi ada ketajaman yang tersembunyi di dalamnya.
Seraphina menghela napas sebelum berbalik, matanya bertemu dengan tatapan abu-abu milik pria itu.
"Kau juga tidak," jawabnya pelan.
Damien berdiri dengan tenang, tetapi sorot matanya menusuk, seolah mencoba menembus pikirannya. Jubah hitam dengan bordiran emas membungkus tubuhnya yang tegap, rambut hitamnya sedikit berantakan, seolah dia telah menghabiskan waktu terlalu lama berpikir sebelum datang ke sini.
"Apa yang kau pikirkan?" tanyanya, mendekat satu langkah.
Seraphina tersenyum kecil, tetapi tidak menjawab langsung. Dia tahu Kaisar tidak akan bertanya tanpa alasan. Dia ingin tahu. Dia ingin memahami wanita yang tiba-tiba berubah di hadapannya.
Dan malam ini, Seraphina siap memberikan jawabannya.
"Aku berpikir…" katanya pelan, lalu melangkah maju, mengaburkan jarak di antara mereka. Tangannya terangkat, berhenti di atas dada Damien, merasakan detak jantungnya yang stabil di balik kain jubahnya. "Bagaimana jika kita sebenarnya tidak memiliki pilihan?"
Damien mengangkat alis, tetapi tidak mundur.
"Kau percaya pada takdir?"
Seraphina menatapnya dalam. "Bagaimana jika kita hanya bidak dalam permainan yang lebih besar? Bagaimana jika semua ini sudah dituliskan sejak awal?"
Keheningan menyelimuti mereka.
Lalu Damien mengulurkan tangannya, menyentuh dagu Seraphina dengan sentuhan yang lebih lembut dari yang seharusnya dimiliki oleh pria seperti dia.
"Jika memang begitu…" bisiknya, suaranya lebih rendah dari sebelumnya. "Apakah kau tetap akan memilih berada di sisiku?"
Jantung Seraphina berdegup kencang.
Di dalam novel, dia seharusnya mati di tangan pria ini. Tapi dia telah mengubah jalan cerita. Dia telah mengubah Damien.
Kaisar ini bukan lagi pria yang akan membunuhnya tanpa alasan. Tetapi, apakah dia bisa sepenuhnya mempercayainya?
Seraphina tidak menjawab dengan kata-kata.
Sebagai gantinya, dia mendekat, menyingkat jarak di antara mereka, lalu mencium bibir Kaisar.
Damien terkejut sesaat, tetapi hanya dalam hitungan detik, pria itu membalasnya dengan intensitas yang jauh lebih dalam. Tangannya melingkari pinggangnya, menariknya lebih dekat hingga tubuh mereka saling bersentuhan.
Napas mereka membaur, kehangatan tubuh Damien menelan Seraphina sepenuhnya.
Ketika akhirnya mereka berpisah, Damien menatapnya dengan sorot mata yang lebih gelap dari malam.
"Seraphina," bisiknya, dan kali ini, tidak ada keraguan dalam suaranya.
Dia telah memilih.
Dan takdir tidak akan bisa mengubah itu