Hutan Larangan menelan mereka bulat-bulat. Angin berbisik, dingin menusuk tulang, meskipun matahari masih bersinar terang di atas pepohonan yang menjulang tinggi dan rapat. Lima mahasiswa—Arya, ketua kelompok yang ambisius; Dina, si fotografer pendiam; Bayu, yang selalu bercanda; Rani, si kutu buku; dan Dimas, yang paling penakut—telah memasuki hutan itu tanpa izin, tergoda oleh legenda misteri yang menyelimuti tempat terlarang itu.
"Ini... ini lebih gelap dari yang kubayangkan," bisik Dimas, tangannya gemetar memegang senter. Bayangan pepohonan menari-nari di sekeliling mereka, menciptakan bentuk-bentuk aneh yang menakutkan.
"Diamlah, Dimas. Kita sudah masuk jauh, tidak ada jalan mundur," kata Arya, suaranya sedikit tegang. Ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri, juga teman-temannya.
Mereka berjalan lebih dalam, jalur setapak yang samar-samar menghilang di antara akar-akar pohon yang besar dan berkelindan. Udara menjadi semakin dingin, dan bau tanah lembap bercampur dengan aroma yang aneh, seperti bunga busuk dan darah.
"Ada apa ini?" Rani tiba-tiba berhenti, matanya terpaku pada sesuatu di depan mereka. Sebuah pohon besar, dengan kulit kayu yang tampak seperti wajah manusia yang mengerikan, berdiri di tengah-tengah hutan. Wajah itu tampak hidup, matanya yang berlubang menatap mereka dengan tatapan kosong yang mengerikan.
"Jangan dilihat terlalu lama," bisik Dina, suaranya bergetar. Ia mengangkat kameranya, tetapi tangannya gemetar hebat sehingga gambar yang dihasilkan buram.
Tiba-tiba, suara tawa anak-anak terdengar dari kejauhan, tawa yang nyaring dan mencekam. Suara itu semakin dekat, dan mereka melihat bayangan anak-anak kecil berlarian di antara pepohonan. Bayangan itu tampak nyata, tetapi ketika mereka mencoba mendekat, bayangan itu menghilang.
"Ini... ini ilusi," kata Bayu, suaranya hampir tak terdengar. Ia mencoba tertawa, tetapi tawanya terdengar dipaksakan.
Mereka terus berjalan, dan ilusi-ilusi mengerikan terus bermunculan. Mereka melihat bayangan orang-orang yang tergantung di pohon, mendengar jeritan minta tolong yang samar, dan merasakan sentuhan dingin yang menyeramkan di kulit mereka. Rani mulai berteriak histeris, melihat bayangan orang tuanya yang sudah meninggal di depan matanya.
"Hentikan ini!" Arya berteriak, mencoba melawan rasa takut yang mulai menguasainya. Ia mengayunkan ranting yang dipegangnya, tetapi ranting itu menembus bayangan tanpa efek apa pun.
"Kita harus keluar dari sini," kata Dina, suaranya tegas di tengah kepanikan. Ia mencoba mengambil foto, tetapi kameranya tiba-tiba mati.
Mereka berlari, tanpa arah, tersesat di antara ilusi-ilusi yang mengerikan. Bayangan-bayangan itu mengejar mereka, suara-suara mengerikan memenuhi telinga mereka. Mereka merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk yang tak berujung.
"Tolong... tolong..." Dimas merintih, tubuhnya gemetar hebat. Ia jatuh tersungkur, dan bayangan-bayangan itu mulai mendekatinya.
Arya, Dina, Bayu, dan Rani berusaha menyelamatkan Dimas, tetapi mereka juga mulai merasa lelah dan putus asa. Ilusi-ilusi itu semakin nyata, semakin mengerikan. Mereka merasa seperti jiwa mereka akan tersedot oleh hutan itu.
"Kita harus menemukan jalan keluar," kata Arya, suaranya penuh tekad. Ia mencoba mengingat petunjuk-petunjuk yang pernah ia baca tentang Hutan Larangan. Ia ingat sebuah legenda tentang sebuah bunga putih yang tumbuh di tengah hutan, bunga yang konon dapat membawa mereka keluar dari ilusi.
Mereka melanjutkan pencarian, di tengah keputusasaan dan ketakutan yang mencekam. Apakah mereka akan menemukan bunga putih itu? Atau apakah mereka akan selamanya terjebak dalam ilusi mengerikan Hutan Larangan.
Rani tersentak. Sekitarnya berubah. Pohon-pohon raksasa menghilang, digantikan oleh dinding kayu tua yang gelap dan lembap. Ukiran-ukiran aneh menghiasi dinding, menggambarkan sosok-sosok mengerikan yang tampak seperti makhluk mitologi. Bau anyir dan lembap memenuhi hidungnya. Ia sendirian. Jeritan Arya, Bayu, Dina, dan Dimas telah lama hilang ditelan keheningan hutan yang mencekam.
"Arya! Bayu! Dina! Dimas!" panggil Rani, suaranya bergetar. Hanya gema yang menjawabnya. Ia berjalan di sepanjang lorong sempit, dinding kayu terasa dingin di kulitnya. Ruangan itu terasa sunyi, mencekam, dan dipenuhi aura mistis yang kuat.
Di ujung lorong, ia melihat sebuah pintu kayu besar, ukirannya lebih rumit dan menyeramkan daripada yang lain. Ia ragu-ragu, tetapi rasa takut yang lebih besar mendorongnya untuk membuka pintu itu.
Di balik pintu, ia menemukan sebuah ruangan yang lebih besar. Di tengah ruangan, terdapat sebuah meja kayu tua yang di atasnya terdapat sebuah buku tua yang terbuat dari kulit. Buku itu terbuka pada sebuah halaman yang penuh dengan tulisan-tulisan kuno yang tak dikenalnya.
Tiba-tiba, suara bisikan terdengar di telinganya. Bisikan itu pelan, tetapi terasa menusuk kalbu. "Carilah... kunci... pembebasan..."
Rani gemetar. Ia mencoba menutup buku itu, tetapi tangannya terasa berat. Ia membaca tulisan-tulisan itu, meskipun ia tak mengerti artinya. Tulisan itu seakan-akan hidup, bergerak di hadapan matanya.
Sementara itu, di tempat lain, Arya menemukan dirinya di sebuah ruangan yang dipenuhi dengan patung-patung kayu. Patung-patung itu tampak hidup, matanya mengikuti setiap gerakannya. Ia merasa terawasi, terancam.
"Sial!" Arya mengumpat, mencoba mencari jalan keluar. Ia menghantam salah satu patung, tetapi patung itu tak bergerak. Ia menyadari bahwa patung-patung itu adalah bagian dari ruangan, bukan benda mati.
"Dina! Ada yang tahu di mana kita?" teriak Arya, suaranya bergema di ruangan itu. Hanya keheningan yang menjawabnya.
Bayu, di tempat lain lagi, menemukan dirinya di sebuah ruangan yang dipenuhi dengan lukisan-lukisan mengerikan. Lukisan-lukisan itu menggambarkan adegan-adegan pembunuhan dan penyiksaan. Ia merasa mual, ingin muntah.
"Ini... ini mimpi buruk," gumam Bayu, tubuhnya gemetar. Ia mencoba menutup matanya, tetapi bayangan-bayangan mengerikan dari lukisan-lukisan itu tetap terbayang di kelopak matanya.
Dina, yang terpisah dari yang lain, menemukan dirinya di sebuah ruangan yang gelap gulita. Ia hanya bisa merasakan dinding-dinding dingin di sekitarnya. Ia tak bisa melihat apa pun, tetapi ia bisa mendengar suara-suara bisikan yang mengerikan di telinganya.
"Keluar... keluar..." bisikan itu berulang-ulang. Dina merasa seperti akan gila.
Dimas, yang paling penakut di antara mereka, menemukan dirinya di sebuah ruangan yang dipenuhi dengan tulang-tulang manusia. Tulang-tulang itu berserakan di lantai, membentuk tumpukan yang mengerikan. Ia menjerit, ketakutan yang luar biasa menguasainya.
"Tolong... tolong..." Dimas merintih, tubuhnya gemetar hebat. Ia ingin lari, tetapi ia tak tahu ke mana harus pergi.
Mereka semua terpisah, terperangkap dalam ruangan-ruangan yang berbeda di dalam bangunan kuno itu. Masing-masing menghadapi teror yang berbeda, tetapi mereka semua memiliki satu tujuan yang sama: menemukan jalan keluar dari Hutan Larangan dan dari bangunan kuno yang mengerikan ini. Apakah mereka akan berhasil? Atau apakah mereka akan selamanya terperangkap dalam mimpi buruk ini?
Suara itu muncul tiba-tiba, berat dan dalam, seperti suara dari perut bumi. Ia bergema di setiap ruangan, menembus dinding-dinding kayu tua, menggetarkan tulang sumsum mereka.
"Satu jiwa... untuk kebebasan..." suara itu berbisik, dingin dan mengancam. "Satu tumbal... untuk keluar dari kutukan ini..."
Keempat mahasiswa yang tersisa—Arya, Bayu, Rani, dan Dimas—terpaku. Ketakutan yang baru, lebih besar daripada sebelumnya, mencengkeram hati mereka. Mereka saling pandang, mata mereka dipenuhi dengan keputusasaan.
"Apa maksudnya?" tanya Arya, suaranya gemetar. Ia mencoba bersikap berani, tetapi tangannya gemetar hebat.
"Itu berarti... salah satu dari kita harus menjadi korban," bisik Rani, wajahnya pucat pasi. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya yang dingin.
"Tidak! Tidak mungkin!" Bayu berteriak, menolak untuk menerima kenyataan. Ia mencoba lari, tetapi dinding-dinding kayu itu seakan-akan menghalangi langkahnya.
Dimas, yang paling penakut, hanya bisa menangis tersedu-sedu. Ia meringkuk di sudut ruangan, tubuhnya gemetar hebat.
Suara itu kembali bergema, semakin keras dan mengancam. "Waktu... semakin... sempit..."
Mereka mencoba melawan. Arya mencoba menghancurkan dinding-dinding kayu, tetapi tangannya tak mampu membuat goresan sedikit pun. Bayu mencoba membuka pintu, tetapi pintu itu terkunci rapat. Rani mencoba membaca tulisan-tulisan kuno di buku itu, berharap menemukan petunjuk, tetapi tulisan-tulisan itu semakin kabur, tak terbaca.
Dimas, dalam keputusasaannya, berteriak memohon ampun. "Jangan... jangan ambil kami!"
Tiba-tiba, lantai di bawah kaki Arya runtuh. Ia jatuh ke dalam lubang gelap yang tak terlihat dasarnya. Jeritannya terputus tiba-tiba, ditelan kegelapan.
Bayu mencoba menolong, tetapi ia juga terjatuh ke dalam lubang yang sama. Hanya jeritan ngeri yang terdengar sebelum keheningan kembali menyelimuti ruangan.
Rani, yang menyaksikan kejadian itu, pingsan. Ketika ia tersadar, ia sendirian dengan Dimas. Mereka berdua berada di ruangan yang sama, tetapi ruangan itu telah berubah. Dinding-dinding kayu telah menghilang, digantikan oleh pemandangan hutan yang gelap dan mencekam. Mereka telah keluar dari bangunan kuno itu.
"Kita... kita berhasil keluar," bisik Dimas, suaranya masih gemetar. Ia menatap Rani dengan mata kosong, tak menyadari apa yang telah terjadi.
Rani menatap Dimas dengan tatapan kosong. Ia tak bisa berkata apa pun. Ia hanya bisa mengingat jeritan Arya dan Bayu, bayangan mereka yang menghilang ditelan kegelapan. Ia menyadari bahwa mereka telah menjadi tumbal, korban dari kekuatan gaib Hutan Larangan.
Mereka berjalan keluar dari hutan, meninggalkan di belakang mereka dua sahabat yang telah hilang selamanya. Dimas, yang selamat, tak pernah bisa melupakan kejadian mengerikan itu. Ia hidup dalam bayang-bayang trauma, dihantui oleh jeritan Arya dan Bayu, dan bayangan-bayangan mengerikan dari Hutan Larangan. Rani juga menderita trauma yang mendalam. Ia hidup dalam ketakutan, selalu merasa diawasi, selalu mendengar bisikan-bisikan mengerikan di telinganya. Mereka berdua berhasil keluar dari Hutan Larangan, tetapi mereka tak pernah benar-benar bebas dari kutukannya. Hutan Larangan telah mencuri sebagian jiwa mereka, meninggalkan luka yang tak akan pernah sembuh.
*****