Masjid besar nan megah di tengah perkampungan dekat pegunungan seribu. Mayoritas penduduknya beragama Islam dan taat beribadah. Tak heran jika masjid ini selalu ramai. Namun sayangnya, ada suatu hal yang mengganjal di lubuk hati para jemaah. Mereka sering kehilangan sandal sehingga pulang dengan kaki telanjang tanpa alas apapun.
Puncak kejadian ini adalah di bulan suci Ramadhan. Bulan yang penuh dengan rahmat dan keberkahan bagi umat muslim. Masjid yang sedari awal ramai kini penuh sesak oleh jemaah. Di tengah kekhusyukan para jemaah, seorang pria mengendap-endap. Dia tak memakai penutup wajah. Entah mengapa tak seperti biasanya.
Pria ini melihat pelataran masjid yang penuh dengan sandal aneka model, bentuk, dan warna. Sebenarnya dia sudah biasa melakukan pencurian ini. Namun, tak pernah ada yang berhasil menangkapnya. Kali ini dia sudah merasa mahir dalam melakukan aksinya. Dia mendekati sepasang sandal yang menurutnya memiliki harga jual tinggi.
Pria ini mendekat ke arah sandal itu, dengan cekatan dia mengambilnya, dan berlari menjauhi kawasan masjid. Dia merasa senang sekali karena dapat mengambilnya sandal. Sampai-sampai dia tidak sadar bahwa masih berada di pelataran masjid. Seorang pemuda menepuk pundaknya.
“Maaf paman sedang apa di sini? Kenapa tidak ikut shalat berjamaah di masjid?” tanya pemuda itu.
Pria yang masih dalam keadaan terkejut memberanikan diri membalikkan badanya. Mereka berdua sekarang saling berhadapan. Pemuda itu menatap sandal yang dibawanya kemudian berkata, “Maaf paman, itu milikku,” dengan penuh kesopanan dan kehormatan.
Pria yang mencuri tadi menjadi bimbang. “Bagaimana mungkin ada orang yang mau memperlakukanku sebaik ini? Sudah jelas-jelas aku mencuri sandalnya,” katanya dalam hati. “Paman! Apa paman tidak mendengarku?” tanya pemuda itu lagi.
“Ini,” kata pria itu mengembalikan sandal itu ke pemiliknya. Pemuda itu tersenyum dan menerimanya. Selepas pemuda itu memakai sandalnya, dia mengajak paman tadi untuk berbincang sebentar. “Maafkan saya jika saya lancang paman,” kata pemuda itu. “Perkenalkan saya Arif dari pondok pesantren Ar-Rahman,” lanjutnya.
Pria itu tetap diam saja. Akhirnya Arif mencoba lagi. “Kalau boleh tahu, paman ini siapa ya? Lalu, apa tujuan paman mengambil sandal para jemaah di masjid ini?”
“Namaku Projo,” jawab pria itu singkat.
“Nama yang bagus paman,” puji Arif.
“Aku melakukan ini karena… aku butuh makan,” jelasnya.
“Paman aku tahu maksud paman, tapi alangkah baiknya jika paman mendapatkan makanan dengan cara yang halal. Agar nantinya memperoleh keberkahan dari Allah SWT.”
Projo mendengarkan ceramah Arif yang masih begitu muda. Dia memperkirakan umurnya baru belasan tahun. Namun, ucapannya begitu indah sampai hatiku ikut bergetar. “Iya, aku tahu nak, aku juga seorang muslim,” kata Projo dengan gemetar.
“Paman. Janganlah engkau bersedih hati. Ingatlah bahwa Allah SWT itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Masih ada kesempatan paman melakukan taubat dan insya allah diampuni oleh-Nya.”
Projo tak kuasa lagi menahan getaran ini. Air matanya jatuh dan dia terisak. Arif mengelus pundak paman Projo dan mengatakan, “Mari saya bantu” tanpa ada rasa takut. “Aku pencuri nak Arif. Kenapa kau masih bersikap sebaik itu padaku,” ujar Projo di sela-sela tangisnya.
“Sesama muslim harus saling sayang menyayangi bukan?”
“Iya kau benar,” jawab Projo.
“Tapi masihkah pantas bagi diriku yang telah melakukan perbuatan hina ini nak Arif?” lanjutnya dengan tatapan penuh sesal.
“Tentu saja masih paman. Allah saja Maha Pengampun, masa kita sebagai umatnya tak mau memaafkan kesalahan orang lain.”
“Mari paman kita wudu terlebih dahulu!” ajak Arif.
Projo yang sudah tak menangis, mengikuti langkah Arif ke tempat wudhu. Ia mengambil wudhu lalu ikut shalat berjamaah. Setelah itu, mereka keluar dari masjid. Arif yang melihat punggung ringkih itu merasa iba. Dia pun memanggilnya, “Pak tunggu sebentar!” Projo yang mendengar panggilan itu menghentikan langkahnya. Setibanya di depan pak Projo, ia mulai memberikan tawaran pekerjaan padanya.
“Pak kalo mau cari kerja bisa kerja di tempat saya. Saya bisa jamin bapak gak akan kelaparan dan dapat gaji yang cukup,” tawaran Arif.
“Boleh nak, terima kasih banyak,” ucap Projo penuh dengan syukur.
Berkat kebaikan hati Arif, hati Projo akhirnya luluh. Di dalam hatinya ia telah memantapkan niat untuk berada di jalan yang benar. Dia tak lagi memikirkan niatan lain yang mengundang murka-Nya. Projo sepenuh hati ingin memperbaiki dirinya yang dulu dengan versi yang lebih baik lagi.