Senja itu, hujan turun dengan lembut. Rintiknya mengetuk jendela kafe kecil di sudut kota, tempat Nadira duduk sambil menyesap cokelat panasnya. Dia menunggu—atau mungkin tidak. Dia hanya menikmati aroma hujan, aroma kenangan yang entah mengapa selalu membawanya pada satu nama: Arga.
Lima tahun lalu, di tempat yang sama, Arga pernah mengucapkan sesuatu yang masih diingatnya dengan jelas. "Jika suatu hari kau ragu, kembalilah ke tempat ini. Aku akan ada di sini, selalu."
Namun, waktu berlalu. Janji tinggal janji. Arga pergi ke luar negeri untuk mengejar mimpinya, meninggalkan Nadira dengan tanya yang tak pernah terjawab.
Malam itu, Nadira tidak berharap apa pun. Tapi ketika pintu kafe terbuka, dan suara langkah berat menggema di lantai kayu, hatinya berdegup lebih cepat.
Arga berdiri di sana, dengan senyum yang masih sama. Rambutnya sedikit lebih panjang, matanya masih menyimpan kehangatan yang dulu membuat Nadira jatuh cinta.
"Hai," sapa Arga, suaranya bergetar.
Nadira menelan ludah. "Hai."
Dia duduk di depannya, menatap Nadira seakan ingin meyakinkan dirinya bahwa ini nyata. "Aku selalu kembali ke sini. Setiap tahun, pada tanggal yang sama. Berharap kau akan datang."
Nadira terdiam. Tak menyangka bahwa mereka masih saling menunggu dalam diam.
"Kau tahu?" lanjut Arga, "Aku tidak pernah melupakanmu. Tapi aku takut… takut kalau kau sudah melupakanku."
Nadira menatap ke luar jendela. Hujan masih turun, tapi kini terasa lebih hangat. Dia menghela napas dan tersenyum.
"Aku juga selalu kembali ke sini, Arga."
Hujan di luar semakin deras, tapi di antara mereka, jarak perlahan menghilang.
Arga terdiam sejenak, seakan sedang mencerna kata-kata Nadira. Hujan di luar semakin deras, menciptakan irama yang mengiringi kebisuan di antara mereka.
“Aku bodoh, ya?” Arga akhirnya membuka suara. “Pergi sejauh itu, tapi tetap berharap kau masih di sini.”
Nadira tersenyum tipis. “Kalau begitu, aku juga bodoh. Selalu datang ke tempat ini, berharap kau akan menepati janjimu.”
Tatapan mereka bertaut. Ada banyak hal yang ingin mereka katakan, tapi kata-kata terasa terlalu kecil untuk menampung perasaan yang selama ini tertahan.
Arga mengusap tengkuknya, tampak ragu sebelum akhirnya mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sakunya.
“Aku membawanya sejak lama,” katanya pelan. “Tapi aku takut memberikannya padamu saat itu. Aku takut kehilanganmu, takut kalau kau tidak memilihku.”
Nadira menatap kotak itu dengan jantung berdegup kencang. Arga membuka perlahan, memperlihatkan sebuah cincin perak sederhana.
“Aku ingin kembali bersamamu, Nad. Kalau kau masih mengizinkan.”
Hati Nadira berkecamuk. Ini adalah sesuatu yang pernah ia impikan, namun juga sesuatu yang dulu ia kira tak akan pernah terjadi.
Dia mengulurkan tangannya, meraih cincin itu. Matanya menatap Arga dengan penuh makna. “Kau tahu? Aku selalu menunggumu. Mungkin ini saatnya aku berhenti menunggu… dan mulai berjalan bersamamu.”
Arga menghembuskan napas lega, lalu tersenyum. “Jadi… ini iya?”
Nadira tertawa kecil, lalu menyelipkan cincin itu di jarinya sendiri. “Ini iya, Arga.”
Di luar, hujan mulai reda. Matahari sore mengintip dari balik awan, menyinari mereka yang akhirnya menemukan jalan kembali satu sama lain.
Arga masih menatap Nadira dengan mata berbinar. Seakan dia tak percaya, gadis yang selama ini hanya ada dalam bayangannya kini benar-benar ada di depannya, mengenakan cincin yang seharusnya ia berikan lima tahun lalu.
“Aku takut ini mimpi,” gumam Arga, suaranya nyaris tak terdengar.
Nadira tertawa pelan. Ia meraih tangan Arga dan menggenggamnya erat. “Kalau ini mimpi, aku harap kita tidak perlu bangun.”
Mereka terdiam sejenak, membiarkan waktu melambat. Aroma kopi dan hujan yang masih tersisa bercampur dengan desir perasaan yang memenuhi dada mereka.
“Tapi… bagaimana setelah ini?” tanya Nadira akhirnya. Ada ketakutan dalam suaranya. “Kau sudah punya kehidupan di luar sana, Arga. Apakah kau yakin ingin kembali?”
Arga menatapnya dalam. “Aku tidak pernah benar-benar pergi, Nad. Bagian terbesar dari hatiku selalu ada di sini. Aku mungkin mengejar mimpi, tapi apa gunanya jika aku tidak bisa berbagi itu dengan orang yang paling aku cintai?”
Nadira menghela napas, matanya berkaca-kaca. Ia mengingat hari-hari tanpa Arga—tahun-tahun penuh rindu yang ia coba abaikan. Kini, Arga ada di hadapannya, membawa semua perasaan yang dulu tertahan.
“Aku ingin percaya,” ucap Nadira pelan. “Aku ingin kita punya kesempatan lagi.”
Arga tersenyum, menggenggam tangannya lebih erat. “Kalau begitu, mulai sekarang, kita jalan bersama, Nad. Tidak ada lagi penantian, tidak ada lagi jarak.”
Di luar, matahari akhirnya muncul sepenuhnya dari balik awan. Sinar keemasan menyelinap masuk melalui jendela kafe, menyinari dua hati yang akhirnya bertemu kembali.
Hari itu, hujan membawa mereka pulang—bukan ke tempat, tetapi ke satu sama lain.
Beberapa minggu setelah pertemuan itu, kehidupan Nadira dan Arga perlahan mulai berubah. Mereka mencoba menyesuaikan diri kembali, setelah bertahun-tahun hidup terpisah.
Suatu sore, mereka berjalan menyusuri taman kota yang dulu sering mereka datangi. Langit berwarna jingga keemasan, mengingatkan mereka pada senja yang mempertemukan mereka kembali.
“Aku masih tidak percaya kau benar-benar di sini,” kata Nadira sambil memainkan jari-jarinya di genggaman tangan Arga.
Arga menoleh dan tersenyum. “Aku juga. Aku pikir aku akan terus berlari, mengejar sesuatu yang tidak pasti. Tapi ternyata, yang pasti itu adalah kamu.”
Nadira terdiam, lalu menatapnya dalam. “Tapi, Arga… apakah kau yakin ingin menetap di sini? Meninggalkan semuanya?”
Arga menghela napas. “Aku tidak meninggalkan apa pun, Nad. Aku hanya memilih. Dan aku memilih kamu.”
Mereka berhenti di dekat bangku taman. Arga menarik Nadira untuk duduk, lalu menatapnya dengan serius.
“Aku tahu lima tahun itu bukan waktu yang singkat. Aku tahu ada banyak hal yang berubah. Tapi aku ingin kita mulai dari awal, Nad. Aku ingin kita membangun mimpi bersama. Aku tidak ingin ini hanya sekadar reuni yang berakhir seperti kenangan lama.”
Nadira menggigit bibirnya. “Aku takut, Arga.”
Arga mengusap punggung tangannya dengan lembut. “Takut apa?”
“Takut kalau semua ini hanya euforia sesaat. Takut kalau akhirnya kita menyadari bahwa kita sudah terlalu jauh berubah,” ucap Nadira lirih.
Arga tersenyum kecil. “Mungkin kita memang sudah berubah. Tapi satu hal yang tetap sama—aku masih mencintaimu.”
Nadira menatap mata Arga yang penuh ketulusan. Hatinyapun luluh.
Ia menghela napas, lalu tersenyum. “Baiklah, kita coba lagi.”
Arga tertawa kecil. “Bukan coba, Nad. Kali ini, kita jalani sampai akhir.”
Senja itu menjadi saksi, dua hati yang dulu terpisah kini kembali menyatu. Tidak ada lagi ragu. Tidak ada lagi penantian. Hanya ada mereka—dua orang yang akhirnya memilih satu sama lain, untuk selamanya.
Beberapa bulan berlalu sejak Arga dan Nadira memutuskan untuk bersama kembali. Hubungan mereka tumbuh dengan lebih kuat, lebih matang. Tidak lagi ada ketakutan tentang masa lalu atau kecemasan akan masa depan—mereka hanya fokus pada satu hal: membangun kisah mereka dari awal, kali ini tanpa perpisahan.
Pada suatu pagi yang cerah, Arga mengajak Nadira ke sebuah bukit kecil di pinggiran kota. Dulu, tempat itu adalah saksi bisu petualangan mereka semasa kuliah. Nadira mengingat dengan jelas bagaimana Arga sering berbicara tentang mimpinya di tempat ini.
“Apa kita hanya akan duduk di sini menikmati angin?” tanya Nadira, memeluk kedua lututnya.
Arga terkekeh. “Bukan. Aku mau menunjukkan sesuatu.”
Ia mengeluarkan selembar kertas dari dalam tasnya, lalu menyerahkannya pada Nadira. Mata Nadira membelalak saat membaca isinya.
“Proposal pembangunan kafe?” Nadira mengerutkan kening, menatap Arga dengan bingung.
Arga tersenyum. “Aku ingin membangun sesuatu di sini, Nad. Kafe kecil, yang bukan hanya tempat orang minum kopi, tapi tempat orang menemukan kembali kenangan, seperti yang kita alami.”
Nadira terdiam, membaca lembaran proposal itu dengan lebih teliti. Ia melihat detail desain, konsep, bahkan ada catatan kecil bertuliskan: "Tempat di mana hujan dan senja bisa menyatukan hati yang pernah terpisah."
Ia menatap Arga dengan mata berbinar. “Kamu serius?”
“Serius,” jawab Arga mantap. “Aku ingin kita merintisnya bersama. Bukan hanya sebagai pasangan, tapi juga sebagai tim. Aku ingin ini jadi awal dari kehidupan kita ke depan.”
Nadira tidak bisa menyembunyikan senyum lebarnya. Dadanya menghangat, seperti ada pelukan tak terlihat yang menyelimuti hatinya.
Ia mengulurkan tangan. “Kalau begitu, ayo kita mulai. Bersama.”
Arga meraih tangan Nadira dan mengecupnya lembut. “Aku tahu, kali ini aku tidak akan ke mana-mana lagi.”
Angin berhembus lembut, membawa harapan dan impian mereka ke udara. Mereka berdua duduk di sana, memandang cakrawala yang terbentang luas di depan mereka—masa depan yang kini akan mereka jalani bersama.
Satu tahun kemudian, kafe impian mereka akhirnya berdiri di atas bukit kecil itu. Mereka menamainya "Senja & Hujan", sebuah penghormatan pada pertemuan kembali mereka yang dipersatukan oleh hujan di ujung senja.
Hari pembukaan kafe itu datang dengan langit yang mendung, seolah-olah alam semesta ikut merayakan kisah mereka. Nadira sibuk mengatur meja dan bunga di sudut ruangan, sementara Arga berdiri di dekat jendela besar, menatap pemandangan kota dari kejauhan.
“Ini nyata, ya?” gumam Arga saat Nadira menghampirinya.
Nadira tersenyum, menyandarkan kepalanya di bahu Arga. “Iya. Kita benar-benar melakukannya.”
Tak lama kemudian, pelanggan pertama mulai berdatangan—beberapa teman lama mereka, keluarga, dan orang-orang yang penasaran dengan tempat baru itu. Udara dipenuhi aroma kopi dan suara tawa ringan. Kafe kecil itu terasa hangat, bukan hanya karena desainnya yang nyaman, tetapi juga karena cerita yang hidup di dalamnya.
Saat hujan turun pelan, seorang pelanggan duduk di dekat jendela, menatap rintik-rintiknya dengan senyum samar. Nadira dan Arga saling bertukar pandang, teringat pada diri mereka sendiri setahun lalu, saat mereka kembali dipertemukan oleh hujan.
Arga meraih tangan Nadira di bawah meja, menggenggamnya erat. “Dulu kita bertemu lagi karena hujan. Sekarang, kita membangun sesuatu darinya.”
Nadira mengangguk, matanya berbinar. “Dan kali ini, kita tidak akan kehilangan satu sama lain lagi.”
Di luar, hujan terus turun, tapi tidak ada lagi kesedihan dalam rintiknya—hanya kisah yang terus berlanjut, seperti cinta mereka yang akhirnya menemukan rumahnya.
Beberapa bulan setelah kafe "Senja & Hujan" berjalan sukses, Nadira dan Arga semakin tenggelam dalam rutinitas baru mereka. Setiap hari, mereka bekerja bersama—menyambut pelanggan, menciptakan menu baru, dan menikmati senja yang selalu setia menemani di balik jendela besar kafe mereka.
Suatu sore, saat Nadira sedang merapikan bunga di salah satu meja, Arga datang dengan ekspresi penuh teka-teki.
“Aku ada kejutan,” katanya sambil menyembunyikan sesuatu di belakang punggungnya.
Nadira mengangkat alis. “Apa lagi kali ini? Jangan bilang kamu mau renovasi kafe lagi?”
Arga tertawa kecil, lalu mengeluarkan sebuah buku tebal dengan sampul berwarna cokelat tua. Nadira mengambilnya dan membaca judul yang tertera di sampulnya: "Hujan di Ujung Senja".
Ia terkejut. “Ini… novel?”
Arga mengangguk. “Aku menulis kisah kita. Semua yang kita lalui—pertemuan, perpisahan, dan bagaimana kita kembali bersama. Aku ingin kisah ini bisa hidup lebih lama dari sekadar ingatan.”
Nadira membolak-balik halaman buku itu. Ada banyak momen yang mereka lalui bersama tertuang di dalamnya, lengkap dengan kata-kata yang indah dan penuh perasaan.
“Kamu…” Nadira menatap Arga dengan mata berkaca-kaca. “Kapan kamu menulis semua ini?”
Arga tersenyum. “Setiap malam setelah kafe tutup. Aku ingin memberikan sesuatu yang bisa kamu baca lagi dan lagi, bahkan ketika aku tidak ada di sampingmu.”
Nadira menutup bukunya dan langsung memeluk Arga erat. “Ini hadiah terindah yang pernah aku terima.”
Arga mengecup puncak kepalanya. “Dan aku masih ingin menulis lebih banyak bab lagi… bersama kamu.”
Di luar, hujan turun perlahan, seperti merestui kisah mereka yang kini tidak hanya terukir dalam hati, tetapi juga dalam kata-kata yang akan abadi.
Beberapa tahun berlalu sejak Arga memberikan novel itu kepada Nadira. Kafe "Senja & Hujan" semakin dikenal, menjadi tempat bagi banyak pasangan yang ingin mengabadikan kisah mereka sendiri.
Hari ini, Nadira duduk di sudut kafe, membaca kembali buku yang ditulis Arga. Tangannya mengusap halaman terakhir, di mana tertulis sebuah catatan sederhana:
"Kisah kita mungkin dimulai dengan hujan, tetapi aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu, di bawah langit yang kita pilih sendiri."
Tiba-tiba, pintu kafe terbuka, dan Arga masuk dengan membawa buket bunga mawar putih. Nadira tersenyum, lalu berdiri untuk menyambutnya.
“Untuk apa ini?” tanyanya sambil menerima bunga itu.
Arga menatapnya dengan penuh cinta. “Untuk perempuan yang telah menemani setiap langkahku. Untuk kisah yang telah kita tulis bersama.”
Nadira tersenyum, lalu meraih tangan Arga. “Dan akan terus kita tulis, hingga akhir.”
Di luar, matahari mulai tenggelam, memberikan warna keemasan yang hangat di langit. Tak ada lagi ragu, tak ada lagi penantian. Hanya ada mereka—dua hati yang akhirnya menemukan rumahnya dalam satu sama lain.
Dan begitulah, kisah mereka berakhir dengan bahagia. Tidak dengan perpisahan, tetapi dengan janji untuk selalu bersama.