Kereta malam itu melaju perlahan meninggalkan kota. Cahaya lampu jalan semakin jarang terlihat, tergantikan oleh kegelapan ladang dan hutan di kejauhan. Di dalam gerbong, suara roda besi yang beradu dengan rel menciptakan irama monoton yang menenangkan.
Reza menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi dan menghela napas panjang. Matanya menatap kosong ke jendela, melihat pantulan samar wajahnya sendiri. Wajah yang tampak lebih tua dari usianya, meski baru menginjak 27 tahun.
Kulitnya yang dulu cerah kini terlihat lebih kusam akibat bertahun-tahun bekerja keras di kota. Rambutnya berantakan, dan ada kantung mata yang dalam di bawah sepasang mata hitamnya. Pakaian yang dikenakannya sederhana—kemeja abu-abu dengan beberapa lipatan kusut, dan celana jeans yang sudah mulai pudar warnanya.
Ia tidak pernah membayangkan akan pulang dalam keadaan seperti ini. Lima tahun lalu, ia meninggalkan kampung halamannya dengan ambisi besar. Ia ingin sukses, ingin membuktikan pada keluarganya bahwa ia bisa menjadi seseorang yang mereka banggakan. Namun kenyataan tidak selalu sejalan dengan harapan.
Setelah bertahun-tahun bekerja di kota, mimpi-mimpinya perlahan memudar. Ia berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, selalu berusaha bertahan di tengah kerasnya kehidupan. Gajinya cukup untuk hidup, tapi tidak cukup untuk merasa hidup. Dan kini, setelah kehilangan pekerjaannya karena perusahaan tempatnya bekerja bangkrut, ia tidak punya alasan lain selain pulang.
"Pulang ke kampung, Nak?"
Reza menoleh. Seorang lelaki tua duduk di sampingnya, mengenakan jas berwarna cokelat tua yang terlihat usang. Wajahnya penuh keriput, tetapi sorot matanya hangat dan menenangkan.
“Iya, Pak,” jawab Reza, mencoba tersenyum.
Lelaki tua itu mengangguk perlahan. "Sudah lama?"
"Lima tahun," kata Reza. "Lima tahun tanpa sekali pun pulang."
Lelaki itu tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum kecil, lalu menatap keluar jendela, seolah menikmati pemandangan malam yang gelap.
"Tahu, Nak," katanya akhirnya, "kadang kita terlalu sibuk berlari sampai lupa melihat ke belakang."
Reza terdiam. Ada sesuatu dalam kata-kata itu yang menusuk hatinya. Ia memang sudah terlalu lama berlari. Berlari dari kegagalan, dari rasa kecewa, bahkan mungkin dari dirinya sendiri.
Sepanjang perjalanan, mereka terus berbicara. Reza bercerita tentang kehidupannya di kota, tentang perjuangannya, tentang mimpi yang perlahan pudar. Lelaki tua itu mendengarkan dengan sabar, hanya sesekali menimpali dengan nasihat yang singkat tapi penuh makna.
"Apa kau menyesal?" tanya lelaki itu tiba-tiba.
Reza terdiam. Ia tidak langsung menjawab.
"Mungkin," katanya akhirnya. "Mungkin aku menyesal. Tapi sekarang, aku hanya ingin pulang."
Lelaki tua itu tersenyum. "Bagus," katanya pelan. "Sudah waktunya kau kembali."
Reza mengerutkan kening. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang terdengar aneh, seolah ia mengatakan sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar kepulangan biasa.
Kereta mulai melambat. Stasiun kecil kampung halamannya muncul di kejauhan, diterangi lampu kuning yang temaram. Perasaan aneh mulai merayapi dada Reza.
Ketika kereta berhenti, Reza berdiri. Ia menoleh ke samping, ingin berpamitan pada lelaki tua itu, tetapi kursi itu kosong.
Ia mengerutkan kening. Kapan lelaki itu pergi?
Namun, sebelum ia sempat memikirkannya lebih jauh, ia turun dari kereta.
Udara malam terasa dingin. Stasiun kecil itu hampir kosong, hanya ada beberapa orang yang terlihat berjalan di peron. Namun, di kejauhan, tepat di luar stasiun, ia melihat sekelompok orang berkumpul.
Perasaan tidak nyaman menyelinap di dadanya. Ia melangkah mendekat.
Kemudian, ia melihat mereka.
Ayahnya, ibunya, adik-adiknya. Mereka berdiri dalam diam, wajah mereka penuh duka.
Di depan mereka, sebuah peti mati dikelilingi bunga putih.
Langkah Reza terhenti. Jantungnya berdegup kencang. Ia mencoba memanggil ayahnya, tetapi suaranya tak keluar.
Perlahan, ia mendekat.
Dan di dalam peti itu, ia melihat wajahnya sendiri.
Dunia seakan berhenti. Ingatan menyerbunya—cahaya lampu yang menyilaukan, suara klakson panjang, benturan keras… dan lalu semuanya gelap.
Ia tidak pernah naik kereta itu. Ia telah meninggal dalam kecelakaan sebelum sempat pulang.
Kakinya melemas. Ia menoleh ke arah stasiun, mencari lelaki tua itu, tetapi sosoknya telah menghilang.
Namun kini, ia mengerti.
Perjalanan ini bukanlah perjalanan pulang ke kampung halamannya. Ini adalah perjalanan pulang ke tempat yang lebih jauh.
Kereta yang membawanya pergi kini sudah menghilang di balik malam. Dan Reza, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, benar-benar merasa pulang.