"MANUSCRIPT TERAKHIR"
Sinopsis – Manuscript Terakhir
Sumire, seorang penulis horor kriminal berusia 40 tahun, memutuskan untuk menghabiskan waktu sebulan di sebuah desa terpencil di Jepang demi meneliti urban legend setempat untuk novel barunya. Fokus utamanya adalah sebuah rumah tua yang ditinggalkan, yang katanya menyimpan rahasia kelam dan dikaitkan dengan serangkaian kehilangan misterius yang terjadi selama beberapa dekade.
Namun, sejak kedatangannya, Sumire mulai mengalami kejadian aneh—mimpi-mimpi mengerikan yang terasa terlalu nyata, bisikan di malam hari, dan penglihatan yang hanya bisa dilihat oleh mata ketiganya. Semakin ia menggali sejarah rumah itu, semakin dalam ia terjerat dalam kegelapan yang seharusnya tetap terkubur.
Penduduk desa memperingatkannya untuk pergi, tetapi rasa ingin tahu Sumire terlalu besar. Saat misteri mulai terkuak, ia menyadari bahwa entitas yang menghantui rumah itu bukan hanya sekadar legenda—dan sekarang, ia telah menarik perhatiannya.
Dengan akal, intuisi, dan mata ketiganya, Sumire harus menemukan cara untuk bertahan hidup, mengungkap kebenaran, dan menghentikan kutukan sebelum menjadi korban berikutnya. Namun, apakah dia benar-benar bisa selamat... atau sudah terlambat?
---
Karakter Utama – Sumire
Nama: Sumire Takamori
Usia: 40 tahun
Pekerjaan: Penulis novel horor kriminal terkenal
Kepribadian:
Penyendiri – Lebih suka bekerja sendiri, tidak terlalu suka keramaian.
Curious & Intelligent – Rasa ingin tahunya tinggi, selalu ingin mencari tahu kebenaran di balik setiap misteri.
Mata Ketiga & Intuisi Kuat – Bisa merasakan kehadiran hal-hal yang tidak terlihat, sering mendapat petunjuk lewat mimpi atau firasat tajam.
Smart & Analytical – Tidak mudah panik, selalu mencoba berpikir logis dalam situasi menakutkan.
Latar Belakang:
Sumire telah menulis banyak novel kriminal berdasarkan kasus-kasus nyata, tetapi novel horor yang berfokus pada urban legend masih menjadi tantangan baginya. Sejak kecil, ia memiliki kemampuan melihat lebih dari yang bisa dilihat orang biasa, tetapi ia jarang membicarakannya. Pengalamannya menghadapi dunia kriminal membuatnya terbiasa dengan ketakutan, tetapi kali ini, ia akan menghadapi sesuatu yang jauh lebih berbahaya dari sekadar manusia.
---
Prolog
Malam itu, hujan turun tanpa henti, mengetuk-ngetuk genting rumah tua di ujung desa seperti ribuan jari tak kasat mata yang ingin masuk. Angin berdesir melalui celah-celah kayu yang sudah lapuk, membawa bisikan-bisikan samar yang terdengar seperti erangan seseorang.
Di dalam rumah itu, seorang wanita berdiri di tengah ruangan gelap. Tubuhnya gemetar hebat, tangannya mencengkeram segel kayu kecil dengan ukiran kuno—satu-satunya perlindungan yang ia punya. Nafasnya memburu, matanya liar mencari jalan keluar, tetapi bayangan di sudut ruangan semakin mendekat, mengunci setiap kemungkinan untuk melarikan diri.
"Jangan melihat ke belakang..."
Bisikan itu bergaung di kepalanya, suaranya lirih tetapi menusuk seperti belati tajam. Wanita itu memejamkan mata, menahan napas, berusaha mengabaikan dingin yang merayap ke kulitnya. Tapi sesuatu… sesuatu sedang berdiri tepat di belakangnya.
Udara di dalam ruangan berubah berat. Aroma tanah basah bercampur dengan bau anyir darah yang samar. Lututnya melemas, tubuhnya terasa lumpuh.
Perlahan, kepala wanita itu menoleh, meskipun ia sudah berusaha keras untuk melawan dorongan itu.
Dan di saat matanya menangkap sosok yang berdiri di belakangnya, dunia di sekitarnya runtuh dalam jeritan panjang yang memecah keheningan malam.
Lalu semuanya menjadi gelap.
---
Tiga puluh tahun kemudian... rumah itu masih menunggu.
---
Bab 1 – Kedatangan Sumire
Sumire menyesap kopinya pelan sambil menatap keluar jendela taksi. Jalanan yang mereka lalui semakin menyempit, dikelilingi oleh pepohonan tinggi yang berdiri seperti penjaga bisu. Udara di luar tampak berkabut tipis, membalut desa yang semakin dekat dengan kesan sunyi dan terpencil.
Papan kayu tua yang bertuliskan nama desa muncul di tepi jalan, huruf-hurufnya mulai pudar, seakan waktu sendiri berusaha menghapus keberadaan tempat ini dari peta.
Desa Yukimura
Sumire menurunkan kopinya dan mengambil buku catatannya. Ia membuka halaman yang penuh coretan tentang urban legend setempat—rumah tua di ujung desa yang katanya dikutuk, dikaitkan dengan kasus-kasus kehilangan misterius yang tak pernah terpecahkan.
Ia menghela napas. “Tempat yang sempurna untuk novel baruku.”
Taksi berhenti di depan penginapan kecil yang sudah ia sewa. Sumire membayar sopir dan turun, menarik koper dari bagasi. Begitu kakinya menginjak tanah desa, angin dingin berembus pelan, membawa serta aroma tanah basah dan dedaunan yang membusuk.
Penginapan itu sederhana, dengan papan nama yang sudah mulai usang. Di bangku kayu dekat pintu masuk, seorang pria tua duduk diam sambil menghisap pipa tembakaunya. Tatapan matanya tajam, seolah menembus jiwa.
Saat Sumire melangkah mendekat, pria itu berbicara tanpa preambul.
“Kau datang ke sini untuk apa?”
Suara beratnya terdengar lebih seperti peringatan daripada pertanyaan.
Sumire tersenyum tipis, mencoba bersikap santai. “Aku seorang penulis. Aku ingin meneliti rumah tua di ujung desa. Kudengar tempat itu punya sejarah menarik.”
Pria itu terdiam sejenak. Ekspresinya mengeras, seperti seseorang yang baru saja mendengar kabar buruk.
“Kau harus pergi sebelum terlambat.”
Sumire mengangkat alis. “Apa maksud Anda?”
Pria itu menatapnya lama sebelum akhirnya menghela napas, berdiri, dan berjalan pergi tanpa berkata apa-apa lagi.
Sumire hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh, meninggalkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Di kejauhan, di balik deretan pepohonan, rumah tua itu berdiri—sepi, menunggu, seperti sesuatu yang sadar akan kehadirannya.
Dan malam pertama Sumire di desa Yukimura baru saja dimulai.
---
Bab 2 – Malam Pertama di Yukimura
Angin malam berembus pelan, menyelinap masuk melalui celah jendela penginapan. Sumire duduk di dekat meja kayu kecil di kamarnya, menatap layar laptop yang kosong. Jari-jarinya mengetuk permukaan meja pelan, kebiasaannya saat berpikir.
Desa ini… terlalu sunyi.
Tak ada suara kendaraan, tak ada tawa anak-anak bermain di kejauhan. Hanya desir angin dan suara dedaunan yang bergesekan satu sama lain.
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengambil buku catatannya. Tangannya membuka halaman yang berisi legenda desa Yukimura—tentang rumah tua yang ditinggalkan, tentang suara-suara aneh di malam hari, dan tentang mereka yang masuk ke dalamnya… dan tidak pernah kembali.
Kisah yang paling menarik perhatiannya adalah tentang seorang wanita yang dulu tinggal di sana. Namanya Aoi.
Konon, Aoi ditemukan tewas di dalam rumah itu tiga puluh tahun lalu. Tidak ada tanda-tanda pembunuhan, tidak ada luka. Wajahnya hanya dipenuhi ekspresi ketakutan yang begitu mencekam, seolah ia telah melihat sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Sejak saat itu, tak ada yang berani mendekati rumah tersebut.
Sumire mengetuk ujung penanya di atas buku. Semua ini terdengar seperti cerita klise dalam novel horor, tapi ada sesuatu yang terasa berbeda. Seperti… ada kebenaran yang tersembunyi di balik legenda ini.
Klek.
Sumire membeku.
Itu suara sesuatu—mungkin daun jendela yang tertiup angin, pikirnya. Namun, saat ia menoleh, jendela kamar masih tertutup rapat.
Klek. Klek.
Kali ini, suara itu terdengar lebih jelas. Seperti langkah kaki… di luar kamarnya.
Sumire bangkit perlahan, mendekati pintu. Ia menempelkan telinganya ke kayu dingin itu, mencoba mendengar lebih jelas.
Hening.
Lalu…
Ketukan pelan terdengar dari sisi lain pintu.
Jantung Sumire berdegup lebih cepat. Ia menelan ludah, tangannya meraih gagang pintu.
“Siapa?” tanyanya, suaranya lebih tenang dari yang ia rasakan.
Tak ada jawaban.
Ketukan itu terdengar lagi. Kali ini lebih keras.
Sumire menarik napas dan memutar gagang pintu perlahan. Saat pintu terbuka, udara dingin langsung menyambutnya, membuat bulu kuduknya meremang.
Tapi koridor di luar kosong.
Hanya lampu temaram yang berkedip lemah, memancarkan cahaya keemasan ke lantai kayu tua. Sumire melangkah keluar, menoleh ke kiri dan kanan. Tidak ada siapa pun.
Tiba-tiba, sesuatu menarik perhatiannya—selembar kertas kecil yang tergantung di pegangan pintu kamarnya.
Dengan hati-hati, ia mengambilnya.
Hanya ada satu kalimat yang tertulis di sana.
“Jangan pergi ke rumah itu.”
Sumire merasakan napasnya tertahan. Ia menatap tulisan itu lama, lalu menoleh ke arah ujung koridor.
Di sana, di batas cahaya yang redup, bayangan seseorang tampak berdiri diam, mengawasinya.
Dan saat Sumire berkedip, bayangan itu sudah menghilang.
---
Bab 3 – Rumah yang Memanggil
Pagi datang dengan langit kelabu. Matahari seakan enggan menampakkan diri, meninggalkan desa Yukimura dalam bayangan suram. Sumire duduk di meja kecil penginapan, menyesap teh hijau yang masih mengepulkan uap tipis. Matanya sayu—semalam ia hampir tidak tidur setelah kejadian aneh itu.
Pesan di pintunya masih terlipat rapi di meja. "Jangan pergi ke rumah itu."
Siapa yang meninggalkannya? Apakah pria tua di depan penginapan kemarin? Atau seseorang yang tahu lebih banyak dari yang terlihat?
Sumire memutuskan untuk mencari jawaban. Setelah mengganti pakaian, ia membawa buku catatan dan keluar dari penginapan. Udara dingin menyambutnya, bersama tatapan penduduk desa yang samar-samar mengamati dari balik jendela rumah mereka.
Mereka tidak menyapanya. Tidak ada senyum ramah seperti di desa lain yang pernah ia kunjungi. Hanya tatapan kosong—dan ketakutan.
Sumire berhenti di depan sebuah toko kecil, satu-satunya yang terbuka di desa ini. Ia masuk, dan suara lonceng tua berbunyi saat pintu terbuka.
Di dalam, seorang wanita paruh baya berdiri di balik meja kasir, menyusun kantong teh dan beras. Saat melihat Sumire, ekspresinya berubah waspada.
"Apa kau orang luar yang menginap di penginapan Ogata?" suara wanita itu rendah, nyaris berbisik.
Sumire mengangguk. "Benar. Aku Sumire, seorang penulis. Aku sedang meneliti urban legend desa ini."
Wanita itu menegang. Matanya melirik ke arah pintu, memastikan tak ada orang lain yang mendengar.
"Pergilah sebelum terlambat."
Sumire menghela napas. "Saya sudah diberi peringatan, tapi saya ingin tahu. Rumah tua di ujung desa... apa yang sebenarnya terjadi di sana?"
Wanita itu terdiam lama. Jari-jarinya mencengkeram tepi meja, seolah menimbang apakah ia harus berbicara atau tidak.
Lalu, dengan suara lirih, ia berkata, "Rumah itu memanggil orang-orang seperti Anda."
Sumire menegang. "Seperti saya?"
Wanita itu menatapnya lurus. "Orang yang penasaran. Orang yang mendengar bisikannya dalam mimpi."
Jantung Sumire berdetak lebih cepat. Ia belum pernah menceritakan tentang mimpinya pada siapa pun.
Mimpi tentang lorong gelap, tentang pintu yang setengah terbuka, tentang suara samar yang berbisik dari baliknya...
Dan semalam, setelah ia membaca pesan misterius itu, ia bermimpi lagi. Kali ini lebih jelas.
Dalam mimpi itu, ia berdiri di depan rumah tua itu. Pintu rumah perlahan terbuka, dan seseorang—atau sesuatu—berdiri di dalam kegelapan, memanggil namanya.
Sumire...
Wanita di depannya melanjutkan, suaranya semakin pelan. "Kalau kau sudah mendengar panggilannya, maka kau sudah terikat dengannya. Rumah itu akan terus muncul dalam mimpimu... sampai kau datang sendiri."
Sumire merasakan tengkuknya meremang.
Di luar toko, angin berembus pelan, membawa aroma tanah basah dan sesuatu yang lain.
Sesuatu yang menunggu.
---
Bab 4 – Pintu yang Terbuka
Langkah Sumire terasa berat saat menyusuri jalan setapak menuju ujung desa. Langit tetap kelabu, seolah waktu berhenti di Yukimura. Semakin ia mendekat ke arah yang disebut sebagai rumah terkutuk, semakin dingin udara di sekelilingnya, meski musim dingin masih jauh.
Desa ini tidak memiliki banyak rumah, dan semakin jauh ia melangkah, semakin sedikit bangunan yang tampak. Akhirnya, di ujung jalan berbatu yang ditumbuhi rumput liar, ia melihatnya.
Rumah itu berdiri sunyi.
Bangunan kayu tua dengan atap yang mulai runtuh, jendelanya tertutup rapat, tapi Sumire merasa… seakan ada sesuatu di balik kaca itu, mengamatinya.
Sumire...
Ia menegang. Itu bukan suara nyata, melainkan sesuatu yang berbisik di pikirannya. Napasnya memburu, tapi kakinya terus melangkah, meskipun tubuhnya menolak.
Lalu, ia melihatnya.
Pintu rumah itu… terbuka sedikit.
Seperti yang ia lihat dalam mimpi-mimpinya.
Sumire berdiri diam. Segala naluri dalam dirinya berteriak untuk tidak mendekat, tapi rasa ingin tahunya lebih besar. Matanya menajam, dan di balik celah pintu itu, ia melihat…
Bayangan.
Bukan bayangan biasa. Itu bukan bentuk manusia. Ia tidak bisa menjelaskan wujudnya, tapi ia tahu bahwa sesuatu ada di sana.
Lalu, dalam keheningan yang mencekam, pintu itu terbuka lebih lebar, perlahan.
Seolah mengundangnya masuk.
Sumire menghela napas panjang, menenangkan dirinya. Ia menggenggam buku catatannya erat, lalu melangkah maju.
Dan saat ia menjejakkan kakinya ke ambang pintu…
Udara di sekelilingnya berubah.
Sunyi.
Bahkan suara angin pun menghilang.
Di dalam rumah, ada sesuatu yang lain.
Sesuatu yang telah menunggunya sejak lama.
---
Bab 5 – Rumah yang Bernapas
Begitu Sumire melangkah melewati ambang pintu, udara di sekelilingnya berubah drastis.
Seketika, suara angin lenyap.
Tidak ada desir daun, tidak ada bunyi langkah kakinya sendiri. Hanya keheningan yang pekat—begitu pekat hingga ia bisa mendengar suara detak jantungnya sendiri.
Ia berdiri di ruang depan rumah itu. Lantainya kayu tua yang sedikit melengkung, berderak samar di bawah kakinya. Aroma kayu lapuk bercampur sesuatu yang lembap menyusup ke hidungnya. Debu menari di udara, tertangkap cahaya abu-abu yang masuk dari jendela-jendela tinggi.
Sumire menelan ludah. Rasanya seperti ada sesuatu yang bernapas di sekelilingnya.
Ia mengeluarkan buku catatannya dengan tangan sedikit gemetar. Jarinya menggenggam pulpen erat saat ia menuliskan beberapa kata:
"Saya sudah di dalam. Rumah ini terasa… hidup."
Lalu, sesuatu berdesir.
Bukan angin.
Sumire mendongak. Di ujung koridor panjang, ada pintu lain yang perlahan terbuka dengan sendirinya.
Bayangan bergerak di dalam.
Ia mengatur napasnya. Ini bukan pertama kalinya ia memasuki tempat yang ditinggalkan, tapi rumah ini… berbeda.
Sumire melangkah maju. Setiap jejaknya di lantai kayu menghasilkan suara lirih yang menggema jauh ke dalam rumah. Langkahnya terasa lebih berat, seolah sesuatu tak ingin ia terus maju.
Ia melewati ruang tamu tua—perabotan berlapis debu, meja dengan cangkir retak yang masih tertinggal di atasnya, seakan seseorang pernah duduk di sana… dan tak pernah kembali.
Tiba di koridor, ia mengarahkan senter kecilnya ke dalam ruangan yang pintunya terbuka.
Ruangan itu… bukan ruangan kosong.
Di tengahnya, ada sebuah meja rendah dengan tumpukan foto-foto lama.
Sumire melangkah masuk dan berjongkok, menyapu debu dari foto-foto itu.
Saat ia mengangkat satu foto dan melihatnya lebih dekat, napasnya tercekat.
Foto itu adalah dirinya.
Berdiri di depan rumah ini.
Tapi… foto ini terlihat tua.
Lalu, dari belakangnya… terdengar suara langkah kaki di lantai atas.
Ia tidak datang sendirian.
---
Bab 6 – Langkah di Lantai Atas
Sumire membeku.
Langkah kaki itu… pelan. Berat. Seperti seseorang yang baru saja bangun dari tidur panjang.
Krekk… Krekk…
Suara papan kayu tua bergemeletuk di atasnya. Seseorang—or sesuatu—sedang bergerak di lantai dua.
Sumire menguatkan genggaman pada senter kecilnya. Cahaya putihnya bergetar di tangan yang sedikit gemetar. Ini bukan halusinasi.
Matanya kembali menatap foto yang dipegangnya. Dirinya sendiri, berdiri di depan rumah ini, dalam sebuah foto yang tampak jauh lebih tua dari usianya.
Tidak mungkin.
Dengan napas pendek-pendek, Sumire mencoba berpikir jernih. Kemungkinan ada seseorang di rumah ini selain dirinya. Bisa jadi… seseorang yang tidak menginginkan kehadirannya.
Atau… sesuatu yang lebih buruk.
Krekk… Krekk…
Langkah itu berhenti. Tepat di atasnya.
Jantung Sumire berdebar kencang. Ia mendongak, menatap langit-langit kayu yang tampak usang dan berdebu. Lalu, sesuatu terjadi.
Debu perlahan jatuh dari sela papan langit-langit.
Seolah sesuatu sedang berdiri diam di atasnya… mengawasinya.
Sumire mengepalkan tangannya, menahan ketakutan yang perlahan merayapi tubuhnya.
Lalu, suara itu kembali—tapi kali ini, berbeda.
Ketuk.
Ketuk.
Ketuk.
Tiga kali. Pelan. Ritmis. Seperti seseorang mengetuk… dari dalam dinding.
Sumire merasa tubuhnya menegang. Rasanya seperti… panggilan.
Hening.
Lalu, dalam keheningan itu, ia mendengar sesuatu. Sebuah bisikan.
“…Sumire…”
Bibirnya mengering.
Mereka tahu namanya.
Dada Sumire naik-turun cepat. Ia tidak boleh panik. Tidak sekarang. Dengan hati-hati, ia melangkah mundur, meninggalkan foto-foto itu di atas meja.
Namun, saat ia berbalik…
Pintu ruangan tiba-tiba menutup sendiri.
Brak!
Sumire tersentak, memutar tubuhnya. Ia menggenggam gagang pintu dan mencoba menariknya. Terkunci.
Lalu, dari dalam ruangan… suara itu terdengar lagi.
Ketuk.
Ketuk.
Ketuk.
Tapi kali ini, suaranya berasal dari lemari tua di sudut ruangan.
Sumire menelan ludah. Sesuatu ada di dalam sana.
Dan ia tahu, tidak ada jalan keluar selain menghadapinya.
---
Bab 7 – Sesuatu di Dalam Lemari
Sumire berdiri diam, menatap lemari tua di sudut ruangan.
Ketuk.
Ketuk.
Ketuk.
Suaranya lirih, tapi cukup jelas. Seolah sesuatu di dalam sana mengetuk dari dalam… meminta untuk dibuka.
Jari-jarinya mengepal erat di sisi tubuhnya. Tidak ada jalan keluar, pintu ruangan terkunci, dan satu-satunya pilihan adalah menghadapi apa pun yang bersembunyi di dalam lemari itu.
Sumire menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu. Ia mengangkat senter kecilnya, menyorotkan cahaya ke kayu tua lemari yang permukaannya penuh goresan dan noda gelap.
Ia maju selangkah.
Lemari itu tampak biasa—atau seharusnya begitu. Tapi sesuatu tentangnya terasa… salah.
Perlahan, Sumire mengulurkan tangan dan menyentuh gagang besinya.
Dingin. Sangat dingin.
Jantungnya berdetak semakin cepat. Dengan satu tarikan napas, ia membuka pintu lemari itu.
Ceklek.
Hening.
Lemari itu… kosong.
Hanya pakaian-pakaian lusuh tergantung di dalamnya, berdebu dan berbau apek. Tapi… sesuatu membuat Sumire bergidik.
Di bagian dalam pintu lemari, ada cakaran panjang yang dalam.
Seperti… seseorang pernah terperangkap di dalam sini.
Lalu, tanpa peringatan—
Lemari itu berguncang hebat.
Sumire tersentak mundur. Pakaian-pakaian di dalamnya berayun sendiri, seperti ada tangan tak terlihat yang menyentuhnya.
Udara di ruangan tiba-tiba berubah.
Dingin.
Nafasnya membeku di udara, membentuk uap tipis.
Lalu, samar-samar… di dalam lemari yang masih berayun pelan, Sumire melihatnya.
Sepasang mata.
Bukan pantulan dari senternya—bukan bayangan. Tapi sepasang mata pucat yang memandang langsung ke arahnya.
Mata itu tersenyum.
"Sumire…"
Suara itu berbisik dari dalam lemari.
Ia mengenal suara itu.
Sumire tersentak ke belakang, jantungnya seperti akan meledak. Ia tahu suara itu. Ia pernah mendengarnya dalam mimpi-mimpinya.
Lemari itu berhenti bergetar.
Mata itu… menghilang.
Tapi Sumire tahu, ini baru permulaan.
---
Bab 8 – Mimpi yang Bukan Sekadar Mimpi
Malam itu, Sumire tidak bisa tidur.
Ia duduk di atas futon, menatap langit-langit kamar penginapan kecil tempatnya bermalam setelah keluar dari rumah tua itu. Udara masih terasa dingin. Kelembapan aneh seolah menempel di kulitnya, membuatnya gelisah.
Apa yang kulihat tadi?
Sumire mengingatnya jelas. Sepasang mata itu. Senyum yang terlalu asing tapi juga terasa familiar.
Dan suara itu…
Menyebut namanya.
Sumire mencoba mengatur napasnya, tapi semakin ia memejamkan mata, semakin jelas bayangan itu muncul dalam pikirannya.
Ia menghela napas dan akhirnya menyerah. Mungkin tidur sejenak bisa membuat pikirannya lebih tenang.
Sumire membaringkan tubuhnya, menarik selimut hingga ke dada. Kelopak matanya perlahan terasa berat… dan dalam hitungan detik, ia pun tenggelam ke dalam kegelapan.
---
Ia bermimpi.
Dalam mimpinya, Sumire berdiri di depan rumah tua itu lagi. Tapi kali ini, langit di atasnya hitam pekat. Tidak ada bintang. Tidak ada bulan. Hanya kegelapan yang melayang seperti kabut tebal.
Rumah itu tampak lebih rusak daripada sebelumnya. Dindingnya retak, atapnya seakan mau runtuh, dan daun pintunya terbuka sedikit, seperti mengundangnya masuk.
Sumire tidak ingin melangkah ke dalam… tapi kakinya bergerak sendiri.
Saat melewati ambang pintu, bau darah yang mengering langsung menyergap hidungnya.
Lantai kayu di bawahnya basah. Lengket.
Dan saat ia menunduk…
Darah.
Lantai itu penuh dengan noda merah gelap.
Sumire membelalak, berusaha mundur, tapi suara dari lantai atas menghentikan langkahnya.
Ketuk.
Ketuk.
Ketuk.
Tiga kali.
Ia menengadah. Bayangan panjang tampak berdiri di ujung tangga, diam tak bergerak.
Jantung Sumire berdetak cepat. Ia ingin kabur, tapi tubuhnya terasa berat.
Lalu, sosok itu mulai turun perlahan.
Satu langkah.
Dua langkah.
Tiga langkah.
Semakin dekat.
Dan saat cahaya redup menyinari wajahnya…
Sumire merasa jantungnya berhenti.
Itu dirinya sendiri.
Ia menatap dirinya sendiri, tapi dengan mata yang kosong dan kulit yang membusuk.
Sosok itu tersenyum—senyum yang sama dengan yang ia lihat di dalam lemari.
Lalu, dengan suara yang pelan dan menyeramkan, sosok itu berbisik:
"Kau akhirnya kembali…"
Sumire terbangun dengan napas memburu.
Jantungnya berdebar begitu kencang hingga ia merasa akan pingsan. Tangannya gemetar, tubuhnya berkeringat dingin.
Apa yang baru saja kulihat?
Tapi sebelum ia bisa menenangkan diri, sesuatu yang lebih mengerikan terjadi.
Di ujung ruangan, di balik bayangan redup dari lampu jalan di luar jendela…
Seseorang sedang berdiri di sana.
Tidak bergerak.
Hanya menatapnya.
Dan Sumire tahu, ia tidak lagi sendirian di kamar ini.
---
Bab 9 – Bayangan di Kamar
Sumire membeku di tempatnya.
Sosok itu masih berdiri di sudut kamar, nyaris tak terlihat dalam gelap.
Diam.
Tak bergerak.
Tapi Sumire bisa merasakan tatapannya—dingin, menusuk, seperti sedang mengamatinya dari kegelapan.
Jantungnya berdetak kencang. Ia ingin menyalakan lampu, tapi tubuhnya terasa terlalu kaku untuk bergerak.
Lalu, sesuatu terjadi.
Sosok itu mulai bergerak.
Perlahan.
Langkahnya tidak menimbulkan suara, tapi udara di kamar berubah semakin dingin seiring setiap gerakannya.
Sumire menahan napas.
Sosok itu berjalan mendekat. Cahaya dari luar akhirnya menyingkap wajahnya.
Dan Sumire melihatnya.
Dirinya sendiri.
Tapi wajahnya… bukan wajah manusia lagi.
Matanya hitam pekat tanpa bola mata. Kulitnya pucat seperti mayat yang sudah lama membusuk. Mulutnya menganga dalam senyum yang tidak seharusnya ada di wajah manusia.
Sosok itu membungkuk sedikit, mendekatkan wajahnya ke arah Sumire.
Dan dengan suara yang berbisik, ia berkata:
“Bukan mimpi.”
BLAM!
Pintu kamar tiba-tiba tertutup sendiri, menghantam dinding dengan keras.
Dalam kepanikan, Sumire langsung meraih lampu meja di sebelah tempat tidurnya dan menyalakannya.
Ruangan kembali terang.
Sosok itu… sudah hilang.
Tidak ada siapa pun di sudut kamar. Tidak ada jejak atau bayangan yang tersisa.
Sumire masih terengah-engah, berusaha memahami apa yang baru saja terjadi.
Bukan mimpi.
Itu yang dikatakan sosok tadi.
Jadi… semua ini nyata?
Ia segera turun dari tempat tidur, meraih tasnya, dan menarik keluar buku catatannya.
Tangannya masih gemetar saat ia mulai menuliskan semua yang ia alami.
Rumah tua itu.
Mimpi.
Sosok yang menyerupai dirinya.
Dan bisikan itu.
Ia harus mencari tahu.
Apa sebenarnya yang terjadi di desa ini?
Dan kenapa entitas itu mengincarnya?
Tanpa Sumire sadari, saat ia menulis…
Bayangan di sudut kamar kembali bergerak.
Dan sosok itu masih ada di sana.
Menunggu.
---
Bab 10 – Urban Legend Desa Kiyomizu
Sumire menghabiskan sisa malamnya dengan duduk di depan meja, mencoba menenangkan diri dengan menulis semua yang ia alami. Tapi rasa tidak nyaman itu tidak hilang.
Ia masih merasa diawasi.
Namun, saat akhirnya fajar menyingsing dan cahaya matahari menembus jendela, hawa mencekam itu perlahan memudar.
Entitas itu tidak muncul saat terang.
Sumire menarik napas panjang. Dia harus mencari jawaban.
---
Beberapa jam kemudian, Sumire tiba di satu-satunya kedai teh di desa.
Tempat itu kecil dan sederhana, dengan aroma teh hijau yang menenangkan. Hanya ada beberapa pelanggan tua yang mengobrol pelan sambil menyeruput teh mereka.
Seorang wanita tua pemilik kedai menghampirinya.
"Selamat pagi," sapanya ramah. "Kau bukan orang sini, ya?"
Sumire tersenyum kecil. "Ya, saya hanya sedang menulis sebuah cerita. Dan… saya mendengar ada banyak kisah menarik tentang desa ini."
Mata wanita tua itu sedikit menyipit.
"Apa yang kau cari?" tanyanya hati-hati.
Sumire berpikir sejenak sebelum akhirnya bertanya langsung, "Saya ingin tahu tentang rumah tua di ujung desa. Apa Anda tahu sesuatu tentang tempat itu?"
Suasana di kedai langsung berubah.
Percakapan pelanggan lain terhenti. Beberapa dari mereka melirik ke arah Sumire dengan ekspresi cemas.
Wanita tua itu meletakkan cangkir teh di atas meja dengan pelan.
"Rumah itu…" bisiknya, "seharusnya tidak dikunjungi siapa pun."
Sumire merasakan tengkuknya meremang.
"Kenapa?"
Wanita tua itu menatapnya dalam-dalam sebelum akhirnya berbisik, "Karena itulah rumah sang Penulis Bayangan."
Sumire mengernyit. "Penulis Bayangan?"
Wanita tua itu menghela napas. Sepertinya ia ragu untuk melanjutkan cerita ini, tapi akhirnya ia berkata:
"Puluhan tahun lalu, ada seorang pria bernama Ishikawa Seiji yang tinggal di sana. Dia adalah seorang penulis, seperti dirimu."
Sumire membeku.
"Seiji menulis cerita-cerita horor… tapi ceritanya berbeda dari yang lain. Semua yang ia tulis, terjadi di dunia nyata."
Wanita itu berhenti sejenak sebelum melanjutkan.
"Orang-orang mulai takut padanya. Mereka percaya bahwa dia memiliki kemampuan untuk membuat kisah-kisah kelam menjadi kenyataan. Semakin lama, dia semakin terobsesi dengan tulisannya… sampai akhirnya, dia menghilang."
Sumire menelan ludah.
"Apa yang terjadi padanya?"
Wanita tua itu menggeleng pelan.
"Tak ada yang tahu. Yang jelas, sejak saat itu, orang-orang yang memasuki rumahnya mulai mengalami hal-hal aneh. Beberapa dari mereka mengalami mimpi buruk… beberapa lagi bahkan tidak pernah kembali."
Sumire merinding. Mimpi buruk.
Seperti yang ia alami.
Wanita tua itu menatapnya lekat-lekat. "Aku tidak tahu apa yang kau alami, Nak… tapi jika kau sudah memasuki rumah itu, aku sarankan kau pergi dari desa ini sebelum terlambat."
Sumire terdiam.
Pilihannya jelas. Ia bisa meninggalkan desa ini sekarang… atau ia bisa menggali lebih dalam misteri yang sudah menyeretnya.
Dan sebagai seorang penulis, Sumire tahu satu hal pasti:
Dia tidak akan pergi sebelum menemukan jawabannya.
---
Bab 11 – Catatan Terlarang
Sumire kembali ke penginapan dengan kepala penuh pertanyaan. Nama Ishikawa Seiji bergema di pikirannya. Jika urban legend itu benar, maka ada kemungkinan pria itu masih ada—dalam cara yang tidak biasa.
Ia harus menemukan tulisannya.
Jika semua yang ia tulis menjadi kenyataan, maka mungkin di dalam catatannya ada jawaban.
---
Menjelang senja, Sumire kembali ke rumah tua itu.
Udara di sekitar tempat itu terasa lebih berat dibanding sebelumnya. Seperti ada sesuatu yang menunggu di dalam kegelapan.
Dengan hati-hati, ia memasuki rumah itu sekali lagi.
Langkahnya bergema di lorong sempit, melewati ruangan yang dipenuhi debu dan perabotan tua. Hingga akhirnya, ia tiba di ruang kerja Seiji.
Ruangan itu masih sama seperti sebelumnya—dipenuhi buku-buku tua, kertas berserakan, dan rak yang sudah lapuk.
Namun kali ini, sesuatu menarik perhatiannya.
Sebuah laci meja terbuka sedikit.
Sumire merasa jantungnya berdetak lebih kencang.
Ia tidak ingat meninggalkan laci itu terbuka.
Perlahan, ia mendekat dan menarik laci itu sepenuhnya.
Di dalamnya, ada sebuah buku catatan tua.
Sampulnya berdebu, halaman-halamannya menguning. Tulisan tangan memenuhi tiap lembarannya, dengan tinta yang mulai memudar.
Sumire mengambilnya dan membolak-balik isinya.
Lalu ia melihat sesuatu yang membuat darahnya membeku.
Namanya sendiri tertulis di salah satu halaman.
Sumire Mori.
Tangannya gemetar saat ia membaca paragraf di bawah namanya.
> "Seorang penulis akan datang ke desa ini. Dia akan memasuki rumahku, membaca catatan ini, dan menyadari bahwa semuanya sudah dituliskan sebelumnya."
Sumire menahan napas.
Seiji sudah mengetahui kedatangannya.
> "Dia akan mencari jawaban… tapi setiap jawaban yang ia temukan hanya akan membawanya lebih dalam ke dalam bayangan."
Sumire buru-buru membalik halaman berikutnya.
Lalu ia melihat sesuatu yang lebih mengerikan.
Deskripsi tentang mimpi-mimpinya.
Rumah tua. Bayangan di kamar. Sosok yang menyerupai dirinya sendiri. Semuanya sudah tertulis di sini.
Ini bukan kebetulan. Seiji menuliskannya… sebelum semua ini terjadi.
Tangan Sumire semakin bergetar. Jika catatan ini benar, maka…
Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Dengan panik, ia membalik halaman terakhir yang tertulis.
Matanya membesar saat ia membaca kalimat terakhir di halaman itu:
> "Saat dia membaca ini, dia tidak akan sendirian lagi di dalam ruangan."
Sumire merasakan hawa dingin di tengkuknya.
Ada sesuatu di belakangnya.
Ia tidak berani bergerak.
Udara di sekelilingnya berubah lebih dingin. Seperti ada napas yang berembus di belakang telinganya.
Perlahan, ia melihat ke pantulan kaca jendela di meja.
Dan ia melihatnya.
Seiji.
Berdiri tepat di belakangnya.
---
Bab 12 – Bisikan dari Bayangan
Ruangan itu seketika terasa lebih sempit. Napas Sumire memburu saat ia menatap bayangan di pantulan jendela.
Ishikawa Seiji berdiri di belakangnya.
Sosoknya kabur, seperti asap hitam yang membentuk tubuh manusia. Wajahnya samar-samar terlihat—matanya cekung, bibirnya melengkung membentuk senyum kecil yang tidak membawa kehangatan.
Lalu ia berbicara.
Suara itu berbisik tepat di telinga Sumire.
"Kau akhirnya sampai di sini."
Sumire menelan ludah. Tangannya masih mencengkeram buku catatan Seiji, tubuhnya kaku.
Dia tidak bisa lari.
Dia harus tetap tenang.
"Aku… aku hanya ingin tahu kebenarannya," ujar Sumire, suaranya bergetar.
Bayangan Seiji tidak bergerak, tapi Sumire bisa merasakan intensitasnya. Seperti mata tak terlihat yang mengawasinya dengan tajam.
"Kebenaran?" Seiji tertawa pelan, suara itu terdengar jauh dan dekat di saat bersamaan. "Bukankah kau sudah tahu? Aku telah menuliskan semua ini. Dan kau… kau adalah bagian dari ceritaku."
Jantung Sumire berdebar keras.
"Tidak mungkin…" bisiknya.
"Apa kau yakin?"
Seiji melangkah mendekat. Bayangannya semakin pekat, nyaris menyatu dengan kegelapan di dalam ruangan.
"Apa kau tidak penasaran kenapa kau bisa mengalami mimpi-mimpi itu? Kenapa namamu ada di dalam buku catatanku? Kenapa kau datang ke desa ini… seolah-olah ada yang membimbingmu ke sini?"
Sumire membeku.
Karena memang… semua itu terasa seperti takdir.
Sejak awal, ia merasa ada sesuatu yang ‘memanggilnya’ ke desa ini. Mimpi-mimpi aneh itu, dorongan untuk mencari rumah ini, rasa penasaran yang terus menghantuinya.
Seperti… ia sedang mengikuti sebuah alur cerita yang telah ditentukan.
"Dan sekarang, kau harus membuat pilihan."
Suara Seiji terdengar lebih dalam, lebih mendesak.
"Akan kau lanjutkan ceritaku… atau kau akan menulis kisahmu sendiri?"
Sumire merasakan sesuatu bergeser di dalam pikirannya. Seperti dua realitas yang berbenturan—antara mengikuti takdir yang sudah tertulis, atau melawannya dan menulis akhir yang berbeda.
Tapi apakah itu mungkin?
Apakah ia bisa melawan cerita yang sudah ditakdirkan untuknya?
Tangan Sumire mencengkeram buku catatan itu lebih erat.
"Aku…"
Ia menutup matanya, menarik napas dalam.
Lalu ia mengambil keputusan.
---
Bab 13 – Menulis Ulang Takdir
Sumire menarik napas dalam, berusaha meredam gemetar di tubuhnya.
Tangannya mencengkeram buku catatan itu erat. Ia menatap bayangan Seiji di pantulan kaca—mata hitam yang menelannya dalam kegelapan, bibirnya tetap melengkung dalam senyum samar yang sulit diartikan.
"Aku tidak percaya pada takdir yang sudah ditentukan," ucap Sumire, suaranya lebih stabil dari yang ia kira.
Seiji menyipitkan mata. Bayangannya berkedip—seperti gangguan dalam rekaman video tua.
"Lalu apa yang akan kau lakukan?" tanyanya, nada suaranya seperti desiran angin di ruangan yang tertutup rapat.
Sumire menatap buku catatan itu. Setiap kata di dalamnya seperti jerat yang mengikat hidupnya—namanya tertulis di sana, kisahnya tertulis sebelum ia sendiri mengalaminya.
Tapi ia punya sesuatu yang Seiji tidak miliki.
Kehendak bebas.
"Jika aku memang bagian dari ceritamu…" Sumire membuka halaman terakhir yang tertulis, halaman di mana ia membaca bahwa ia tidak akan sendirian di dalam ruangan.
Lalu ia mengambil pulpen dari sakunya.
Dan mulai menulis.
Tangannya bergerak cepat, meski jantungnya berdetak liar.
> "Sumire Mori sadar bahwa dia bisa mengubah cerita ini. Dia menulis ulang nasibnya sendiri, membebaskan dirinya dari bayang-bayang yang telah ditentukan untuknya."
Bayangan Seiji bergetar.
Ia menyadarinya.
"Apa yang kau lakukan?" suaranya lebih tajam, lebih nyata.
Sumire tidak berhenti.
> "Ishikawa Seiji tidak lagi memiliki kendali atas dunia ini. Ia hanyalah sisa dari cerita lama yang harus berakhir."
Bayangan itu mulai meredup.
Seiji menatap Sumire dengan ekspresi yang sulit diartikan—antara marah, terkejut, dan sesuatu yang mendekati kekaguman.
"Kau benar-benar percaya bisa menulis ulang segalanya?"
Sumire tersenyum kecil, meskipun jari-jarinya masih gemetar.
"Aku seorang penulis, Seiji. Itu yang selalu kulakukan."
Bayangan Seiji semakin pudar. Udara dingin yang menyelimuti ruangan perlahan menghangat.
Lalu, dengan satu embusan napas panjang… ia menghilang.
Ruangan itu kembali sunyi.
Sumire menutup buku catatan itu dengan tangan yang masih bergetar.
Semuanya sudah berakhir.
Atau… belum?
Ia menatap buku di tangannya, menyadari sesuatu yang mengganggu pikirannya.
Jika ia bisa mengubah cerita Seiji…
Apakah ada kemungkinan seseorang di luar sana bisa melakukan hal yang sama padanya?
---
Bab 14 – Pena yang Mengendalikan
Ruangan itu sunyi, hanya suara napas Sumire yang terdengar samar. Ia masih menggenggam buku catatan itu, jemarinya menelusuri halaman terakhir yang baru saja ia tulis.
Ia telah mengubah cerita ini.
Ia telah menulis ulang takdirnya sendiri.
Lalu… mengapa ia masih merasa ada sesuatu yang tidak beres?
Sumire menutup buku itu perlahan, matanya melirik ke jendela. Bayangan Seiji telah lenyap, udara di dalam ruangan tidak lagi sedingin tadi. Namun ada sesuatu yang terasa salah—seperti bisikan samar yang berputar di dalam kepalanya, suara halus yang hampir tidak terdengar.
Lalu… buku catatan itu bergerak sendiri.
Sumire tersentak. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana halaman-halaman itu bergetar, seolah ada tangan tak kasatmata yang membaliknya.
Lalu sesuatu mulai muncul di halaman kosong.
Kata-kata baru.
> "Sumire Mori menulis ulang takdirnya. Tapi ia lupa bahwa pena yang digunakannya bukan miliknya sendiri."
Jantungnya berdetak kencang.
Pena? Apa maksudnya?
Sumire mengangkat pulpen yang ia gunakan tadi. Sekilas tampak biasa saja, pulpen hitam standar yang selalu ia bawa di sakunya. Tapi sekarang, saat ia memperhatikannya lebih saksama, ada sesuatu yang aneh.
Pena itu terasa lebih berat. Lebih dingin.
Dan di sepanjang sisinya… ada ukiran halus yang tidak pernah ia sadari sebelumnya.
Ukiran itu seperti simbol kuno, tulisan yang menyerupai huruf-huruf Jepang lama yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Sumire menelan ludah.
"Benda ini bukan milikku… Lalu siapa yang memberikannya padaku?"
Seketika, udara di ruangan kembali berubah. Dingin.
Lampu berkedip sekali.
Lalu terdengar suara.
Ketukan di jendela.
Sumire menoleh.
Di luar, di balik kaca yang kini tertutup embun, ada sesuatu yang menatapnya.
Sebuah bayangan yang lebih besar.
Sebuah kehadiran yang lebih tua dari Seiji.
Ia menulis ulang cerita ini. Tapi ada sesuatu—atau seseorang—yang lebih kuat sedang mengawasinya.
---
Bab 15 – Pena yang Tidak Bisa Dikendalikan
Sumire menatap pena di tangannya. Semakin lama ia memperhatikannya, semakin jelas ukiran-ukiran di permukaannya. Simbol-simbol itu seperti bergerak perlahan, seakan hidup.
Di luar jendela, bayangan itu masih berdiri diam, samar namun nyata. Sumire menelan ludah. Apa yang ia hadapi sekarang?
Ketukan terdengar lagi. Kali ini lebih kuat.
Tok. Tok. Tok.
Sumire merasakan hawa dingin menyelusup ke tulangnya. Ia tidak boleh panik.
Pelan, ia berdiri, melangkah mundur tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela. Namun saat ia berbalik menuju pintu…
Seseorang sudah berdiri di sana.
Sumire menahan napas.
Laki-laki itu berpakaian hitam, wajahnya tidak asing. Ia mirip dengan seseorang yang pernah ia lihat dalam foto-foto lama di arsip desa.
"Toshio…?" Sumire berbisik tanpa sadar.
Toshio Kuroda—penulis yang menghilang bertahun-tahun lalu.
Pria itu tersenyum samar. Matanya gelap, kosong. Ia perlahan mengangkat tangannya, menunjuk pena yang dipegang Sumire.
"Itu bukan milikmu."
Suara Toshio terdengar seperti bisikan yang datang dari tempat yang jauh.
Sumire mengeratkan genggamannya. "Lalu milik siapa?"
Toshio tidak menjawab. Sebaliknya, ia berjalan mendekat dengan langkah perlahan. Setiap langkah yang ia ambil membuat suhu ruangan semakin turun.
Sumire merasa harus melakukan sesuatu. Cepat.
Pena ini… Apa yang sebenarnya terjadi dengan pena ini?
Dengan tangan gemetar, ia membuka buku catatannya lagi. Kata-kata yang sebelumnya muncul di halaman kosong kini semakin jelas.
> "Sumire Mori berusaha menulis ulang takdirnya. Tapi pena yang digunakannya bukan sekadar alat… itu adalah bagian dari kisah yang lebih tua. Kisah yang belum selesai."
"Belum selesai?"
Sumire menatap Toshio yang semakin mendekat. Napasnya memburu.
"Siapa yang belum menyelesaikannya?"
Untuk pertama kalinya, ekspresi Toshio berubah.
Matanya sedikit menyipit. Bibirnya bergerak, membisikkan satu kata.
"Kamimura."
Sumire terdiam. Nama itu…
Ia pernah menemukannya dalam arsip desa. Kamimura Issei. Seorang penulis horor dari era Meiji yang menghilang setelah menyelesaikan manuskrip terakhirnya.
Legenda mengatakan bahwa siapa pun yang menemukan karyanya… akan menjadi bagian dari ceritanya.
Pena di tangan Sumire tiba-tiba terasa panas.
Ia tersentak. Simbol di permukaannya kini bersinar samar, berdenyut seperti nadi.
Dan dari bayangan di luar jendela… sesuatu bergerak.
Kamimura telah kembali.
---
Bab 16 – Manuskrip Terakhir Kamimura
Sumire merasakan hawa dingin menjalari tubuhnya. Pena di tangannya kini bergetar, simbol-simbol di permukaannya semakin bersinar, seolah mengamati dan menunggu sesuatu.
Di luar jendela, bayangan itu bergerak perlahan. Sesuatu di dalam kegelapan menatapnya.
Sumire menelan ludah, pandangannya beralih ke Toshio. "Apa maksudmu dengan Kamimura?"
Toshio tidak langsung menjawab. Ia menatap pena itu, ekspresinya penuh kehati-hatian. "Kau sudah tahu namanya?"
Sumire mengangguk. "Aku menemukannya dalam arsip desa. Kamimura Issei… seorang penulis yang menghilang tanpa jejak setelah menyelesaikan manuskrip terakhirnya."
Toshio menghela napas panjang. "Bukan sekadar menghilang."
Ia melangkah mendekat. Udara di sekitar mereka terasa lebih pekat, seolah waktu sendiri menahan napas.
"Kamimura tidak pernah benar-benar pergi. Ia masih ada di sini… dalam tulisannya, dalam ceritanya." Toshio menatap Sumire tajam. "Dan sekarang kau telah menjadi bagian darinya."
Sumire menggigit bibirnya. Bagian dari cerita ini?
Ia menunduk menatap buku catatannya. Kata-kata di halaman terakhir semakin banyak, seolah ditulis oleh tangan tak terlihat.
> "Sumire Mori, seorang penulis horor kriminal, tidak menyadari bahwa setiap kata yang ia tulis bukanlah miliknya sendiri. Pena yang ia gunakan bukan sekadar alat… tapi sebuah perantara. Jembatan antara dunia nyata dan sesuatu yang lebih tua, lebih lapar. Ia telah membuka pintu. Dan Kamimura kini melihatnya."
Napas Sumire tersengal. Tulisan ini—bukan ia yang menulisnya!
Toshio kembali berbicara. "Dahulu, aku juga seorang penulis seperti dirimu. Aku mencari inspirasi, sama seperti yang kau lakukan. Aku menemukan rumah ini, sama seperti kau. Dan aku menemukan pena itu…"
Ia melirik pena di tangan Sumire.
"Awalnya, aku mengira pena itu hanyalah benda biasa. Tapi saat aku mulai menggunakannya, aku menyadari sesuatu…"
Toshio menatapnya dengan mata kosong.
"Aku tidak lagi menulis cerita… Aku menuliskan takdirku sendiri."
Sumire merasa bulu kuduknya berdiri.
Toshio tersenyum miris. "Aku mencoba melawannya. Aku berusaha berhenti. Tapi semakin aku menolak, semakin kuat cengkeramannya."
Ia mengangkat tangannya, menunjuk ke arah jendela. "Dan ketika aku akhirnya menyadari bahwa aku sudah terlalu jauh… Kamimura datang."
Sumire menoleh.
Bayangan di luar jendela kini semakin jelas. Sebuah sosok… tinggi, kurus, dengan wajah yang hampir tidak berbentuk.
Toshio berbisik, "Ia ingin kisahnya selesai."
Kamimura Issei menginginkan akhir dari ceritanya.
Sumire mengeratkan genggamannya pada pena itu. Jika yang dikatakan Toshio benar… maka semua ini belum selesai.
Ia harus menemukan akhir dari kisah ini.
Sebelum Kamimura menulisnya untuknya.
---
Bab 17 – Pena yang Menulis Sendiri
Sumire mengatur napasnya. Suhu ruangan terasa lebih dingin, seakan ada sesuatu yang menyerap kehangatan dari udara.
Di luar jendela, sosok itu masih berdiri. Diam, menunggu.
Toshio melangkah mendekat. "Jika kau ingin keluar dari sini hidup-hidup, kau harus menemukan akhir yang benar."
Sumire mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"
Toshio menatap pena di tangan Sumire. "Pena itu tidak bisa berhenti menulis. Selama kisah ini belum selesai, kau akan terus terperangkap di dalamnya."
Sumire merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. "Bagaimana aku bisa menemukan akhirnya?"
Toshio terdiam sejenak sebelum menjawab, "Kau harus membaca manuskrip terakhir Kamimura. Hanya di sanalah jawaban itu bisa ditemukan."
Sumire menegang. Manuskrip terakhir Kamimura? Ia tidak tahu apakah benda itu masih ada atau sudah hilang bersama waktu.
Namun, sesuatu di dalam dirinya mengatakan bahwa manuskrip itu masih di sini.
Di rumah ini.
Sumire menarik napas dalam-dalam. Ia harus menemukannya.
"Di mana manuskrip itu sekarang?" tanyanya.
Toshio menggeleng. "Aku tidak tahu pasti. Saat aku menyadari kebenarannya, aku sudah terlalu dalam. Kamimura tidak akan membiarkan siapa pun menemukan akhir ceritanya dengan mudah."
Sumire memandang sekeliling ruangan. Dinding kayu yang tua, lemari berdebu, meja yang penuh dengan kertas-kertas usang…
Lalu matanya tertuju pada sebuah rak buku di sudut ruangan.
Sejak tadi, ia merasa ada sesuatu yang aneh dengan rak itu. Seakan ada sesuatu yang bersembunyi di baliknya.
Perlahan, ia berjalan mendekat. Toshio menatapnya dengan waspada, tapi tidak menghentikannya.
Sumire mengulurkan tangan, menyentuh rak itu. Kayunya terasa dingin, sedikit lembap. Ada satu bagian yang terasa lebih longgar.
Ia menekan papan kayu itu…
Klik.
Rak buku itu bergetar, lalu bergeser sedikit ke samping, memperlihatkan sebuah ruang kecil yang tersembunyi di belakangnya.
Sumire menahan napas.
Di dalam ruang sempit itu, hanya ada satu benda.
Sebuah buku tua, dengan sampul kulit yang sudah menghitam. Tidak ada judul, tidak ada nama penulis.
Namun Sumire tahu… ini manuskrip terakhir Kamimura.
Toshio berdiri di belakangnya. Wajahnya pucat. "Jangan membacanya…"
Tapi Sumire sudah mengambil buku itu.
Saat jarinya menyentuh sampulnya, sesuatu yang dingin merayap ke dalam tubuhnya.
Dan sebelum ia sempat menarik tangannya…
Halaman pertama terbuka sendiri.
---
Kisah yang Ditulis dengan Darah
Tulisan di dalam manuskrip itu berwarna hitam pekat, seolah ditulis dengan tinta yang sudah lama mengering. Huruf-huruf kanji memenuhi halaman pertama, tertulis dengan rapi, namun terasa ganjil.
Sumire menelan ludah dan mulai membaca.
> "Mereka yang membaca kisah ini akan menjadi bagian darinya. Ini bukan sekadar cerita. Ini adalah pintu."
Tiba-tiba, suara berbisik terdengar di telinganya.
Sumire tersentak, menoleh ke belakang.
Tidak ada siapa pun.
Namun hawa dingin semakin terasa menusuk kulitnya.
Toshio menggigit bibir. "Kamimura tahu kau sudah menemukannya…"
Sumire kembali menatap halaman buku. Tangannya gemetar, tapi ia harus membaca lebih lanjut.
> "Aku, Kamimura Issei, telah menulis kisah ini dengan darahku sendiri. Kisah ini tidak akan pernah berakhir. Tidak sampai seseorang menuliskan akhir yang benar."
Halaman itu bergeser sendiri, beralih ke bagian berikutnya.
Sumire tidak bisa mengalihkan pandangannya.
> "Mereka yang menulis dengan pena ini akan menjadi bagian dari kisah yang belum selesai. Pena ini bukan alat biasa. Pena ini adalah jembatan antara dunia kita dan sesuatu yang lebih tua… lebih lapar."
Sumire menelan ludah. Lebih lapar?
Sesuatu di luar jendela bergerak. Bayangan itu semakin dekat, semakin jelas.
Toshio berbisik, "Kamimura datang."
Sumire membalik halaman berikutnya dengan tangan gemetar.
> "Akhir dari kisah ini harus ditulis dengan kebenaran. Jika tidak, mereka yang menulisnya akan menjadi bagian darinya… selamanya."
Sumire merasa dadanya sesak.
Ia harus menemukan akhir yang benar.
Tapi… bagaimana caranya?
---
Bayangan di Balik Jendela
Ketukan keras terdengar di jendela.
Tok. Tok. Tok.
Sumire menoleh. Sosok itu kini berdiri tepat di luar, wajahnya masih tertutup bayangan.
Namun kali ini, ia bisa mendengar sesuatu.
Suara berbisik.
Suara yang tidak berasal dari Toshio.
"Tulislah…"
Sumire membeku.
Pena di tangannya mulai bergerak sendiri, seolah ada tangan tak terlihat yang mengarahkannya.
Ia harus menulis sesuatu.
Tapi jika ia menulis sesuatu yang salah…
Toshio menatapnya. "Jangan biarkan dia yang menentukan akhir kisah ini."
Sumire menarik napas dalam-dalam.
Ia harus menulis akhir yang benar.
Dengan tangan gemetar, ia mulai menggoreskan pena ke atas halaman kosong di akhir manuskrip.
"Kamimura Issei telah menyelesaikan kisahnya. Pena ini tidak lagi memiliki kekuatan atas siapa pun. Semua yang terikat padanya kini terbebas."
Begitu kalimat terakhir selesai ditulis, sesuatu terjadi.
Bayangan di jendela bergerak cepat, lalu menghilang.
Hawa dingin yang menyelimuti ruangan perlahan memudar.
Dan Toshio…
Toshio menatapnya dengan ekspresi terkejut.
"Apa yang kau lakukan…?" suaranya bergetar.
Sumire menatap halaman terakhir yang telah ia tulis. "Aku mengakhiri kisah ini."
Toshio menatap tangannya sendiri. Tubuhnya mulai memudar, seperti kabut yang diterpa angin.
"Jadi… akhirnya aku bisa pergi?"
Sumire mengangguk. "Kau bukan bagian dari kisah ini lagi."
Toshio tersenyum tipis. Untuk pertama kalinya, ekspresinya terlihat damai.
"Lalu, bagaimana denganmu?" tanyanya pelan.
Sumire menatap manuskrip itu. Kata-kata terakhir yang ia tulis mulai bersinar perlahan, sebelum akhirnya pudar seperti debu yang tertiup angin.
Ia merasakan kehangatan kembali ke tubuhnya.
Ia masih di sini.
Dan ia masih hidup.
Toshio menatapnya sekali lagi sebelum tubuhnya menghilang sepenuhnya, meninggalkan ruangan dalam keheningan.
Sumire menarik napas panjang.
Pena itu kini hanya benda biasa. Tidak ada simbol yang bersinar, tidak ada energi aneh yang mengalir darinya.
Akhirnya… semuanya selesai.
Sumire menutup buku itu, menatapnya untuk terakhir kali sebelum meletakkannya kembali di tempatnya.
Ia mengambil tasnya, berjalan keluar dari rumah tua itu tanpa menoleh ke belakang.
Di kejauhan, matahari mulai terbit.
Dan untuk pertama kalinya sejak ia datang ke desa ini…
Udara terasa lebih ringan.
Ia berhasil menulis akhir yang benar.
---
Bab 18 – Epilog: Pena yang Terdiam
Sumire duduk di dalam kereta yang membawanya kembali ke Tokyo. Matanya menatap ke luar jendela, menyaksikan desa yang semakin menjauh, ditelan kabut pagi yang tipis.
Di tangannya, ia menggenggam sebuah buku catatan kecil. Buku itu kosong, belum ada satu kata pun yang ia tulis sejak meninggalkan rumah tua Kamimura.
Ia menarik napas dalam-dalam. Semuanya telah berakhir.
Atau… benarkah begitu?
---
Kembali ke Kehidupan Normal
Dua minggu setelah kepulangannya ke Tokyo, Sumire masih berusaha menyesuaikan diri dengan kehidupan normal.
Apartemennya yang nyaman terasa lebih hening dari biasanya. Tidak ada suara langkah Toshio, tidak ada bisikan dari sudut gelap ruangan.
Hanya ada dirinya… dan pikirannya sendiri.
Ia mencoba menulis kembali. Namun setiap kali ia menyentuh pena, bayangan rumah tua itu kembali menghantuinya.
Malam-malamnya masih dipenuhi mimpi-mimpi aneh. Ia bermimpi tentang halaman kosong yang bergerak sendiri, suara bisikan yang memanggilnya, dan kadang—bayangan seseorang yang berdiri di ambang pintu.
Namun, ketika ia terbangun, semuanya lenyap.
Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanyalah efek dari apa yang ia alami.
Bahwa semuanya sudah selesai.
---
Sebuah Kejutan
Suatu pagi, Sumire menerima sebuah paket.
Tidak ada nama pengirim.
Tangannya sedikit gemetar saat ia membuka bungkusnya.
Di dalamnya… ada sebuah buku tua dengan sampul hitam.
Manuskrip terakhir Kamimura.
Sumire membelalak.
Bukankah ia sudah meninggalkan buku itu di rumah tua?
Bukankah ia sudah mengakhiri kisahnya?
Dengan jantung berdebar, ia membuka halaman pertama.
Tulisan Kamimura masih ada di sana. Namun ada sesuatu yang baru… sesuatu yang tidak ia tulis sendiri.
> "Kau telah menulis akhir yang benar. Namun, kisah ini tidak pernah benar-benar berakhir."
> "Selama masih ada seseorang yang membaca, cerita ini akan terus hidup."
Sumire menutup buku itu dengan cepat.
Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya.
Di luar jendela, matahari bersinar terang, menerangi ruangan apartemennya.
Tidak ada bayangan di sudut-sudut ruangan.
Tidak ada suara bisikan.
Namun, untuk pertama kalinya… Sumire merasa tidak sendirian.
Dan ia tahu…
Pena itu mungkin telah terdiam.
Tapi kisah ini… masih belum benar-benar berakhir.
---
Bab 19 – Bisikan yang Tak Hilang
Sumire duduk diam di ruang kerjanya, menatap manuskrip hitam yang kini tergeletak di atas meja.
Sejak menerimanya pagi tadi, ia belum berani menyentuhnya lagi. Namun, seolah memiliki kekuatan tersendiri, buku itu terus menarik perhatiannya.
Udara di apartemen terasa lebih dingin dari biasanya. Sejenak, ia menoleh ke jendela, memastikan bahwa semuanya terkunci rapat.
Tetapi… entah mengapa, ia merasa diawasi.
---
Langkah di Lorong
Malam itu, Sumire mencoba tidur lebih awal, berharap bisa melupakan kejadian aneh yang baru saja dialaminya.
Namun, tepat saat ia mulai terlelap, suara langkah terdengar dari lorong apartemen.
Tap. Tap. Tap.
Langkah yang lambat dan berat… seolah seseorang sedang berjalan dengan sengaja, mencoba menarik perhatiannya.
Sumire menahan napas. Siapa yang bisa berkeliaran di lorong pada jam segini?
Ia melirik jam di nakas. Pukul 02:35 pagi.
Ia mencoba mengabaikannya.
Namun suara itu… berhenti tepat di depan pintunya.
Dada Sumire berdegup kencang. Ia meraih ponselnya, mencoba menghubungi pengelola apartemen.
Namun sebelum ia sempat menekan tombol panggilan, sebuah suara berbisik dari balik pintu.
"Kisah ini belum selesai, Sumire-san…"
Matanya membelalak.
Suara itu… ia mengenalnya.
Suara itu adalah… Toshio.
---
Bab 20 – Pena yang Terbangun
Sumire tak bisa tidur semalaman.
Pagi harinya, ia duduk di meja kerja dengan secangkir kopi yang hampir dingin.
Matanya kembali tertuju pada manuskrip hitam yang masih tergeletak di sana.
Bisikan tadi malam masih terngiang di kepalanya.
"Kisah ini belum selesai."
Hati kecilnya mengatakan satu hal: Jika ia tidak menulis, ia tidak akan pernah bisa lepas dari ini.
Dengan tangan gemetar, ia membuka halaman pertama.
Ia mulai membaca… dan semakin ia tenggelam dalam kisah itu, jari-jarinya seolah bergerak sendiri.
Ia mengambil pena.
Dan tanpa sadar… ia mulai menulis.
---
Sebuah Epilog yang Baru
Matahari mulai terbenam di luar jendela apartemen, mewarnai langit dengan semburat jingga yang suram.
Sumire masih duduk di meja kerjanya.
Halaman-halaman manuskrip kini telah penuh dengan tulisan tangannya.
Namun sesuatu terasa berbeda.
Saat ia membaca ulang kalimat-kalimat terakhir yang ia tulis, ia terhenyak.
Kisah itu… bukan lagi tentang Kamimura.
Kisah itu… kini tentang dirinya sendiri.
Darahnya terasa membeku.
Tangannya tanpa sadar menutup buku itu dengan cepat.
Dan saat ia menoleh ke jendela, ia melihat pantulannya sendiri.
Tetapi pantulan itu…
Tersenyum kepadanya.
---
.
.
.
----------- T A M A T ---------------
.
.
.
Mohon dukungannya atas karyaku. Jika ada kesamaan nama,tempat,kejadian,itu hanyalah sebuah kebetulan. Cerita ini adalah fiksi dan murni untuk hiburan semata. Pembaca diharap bijak dalam menyikapinya. Apresiasilah Author dengan positive support. Terima kasih sebelumnya dan terima kasih waktunya.
.
.
.
Follow Instagram Author ;
@poembyselly
@psychicselly
Luv yuh 🌹
~ Selly AWP ~