📌Dua sniper ini adalah Sybil Granger dan Dimitri Mitchell. Masing - masing dari Militer. Sybil Granger dari Angkatan Laut,dan Dimitri Mitchell dari Pasukan khusus. Dua-duanya bekerja di kelompok mercenay dan organisasi rahasia.
Latar belakang Sybil Granger : Dilatih menjadi penembak jitu sejak usia 10 tahun. Sementara dia sekarang sudah berusia 25 tahun. Dibesarkan di panti asuhan,tanpa tahu siapa kedua krang tuanya. Tidak memiliki hubungan dengan Dimitri Mitchell. Baru pertama bertemu ketika mereka dipertemukan di sebuah misi dari pemerintah. Misi rahasia. Sybil adalah wanita yang menarik,pintar,cantik juga ahli bela diri dan memecahkan rekor sebagai penembak jitu. Sifatnya attractive,ramah.
Latar belakang Dimitri Mitchell : terlahir dari keluarga yang terpandang,masih keturunan bangsawan dengan gelar Earl. Usianya 30 tahun. Karir cemerlang dan berprestasi di pasukan khusus. Karakternya terkenal kejam,dingin,dan pendiam. Baru pertama kali ketemu dengan Sybil Granger ketika mereka bertemu pertama kali dalam misi rahasia dari pemerintah.
Zona radioactive : sebuah wilayah yang masuk daerah Lithuania. Yang terdapat laboratorium genetika,dan ini adalah milik pemerintah yang dirahasiakan. Tidak sembarang orang diperbolehkan masuk.
Bahaya dari wilayah ini adalah,para orang orang yang bekerja disana juga para peneliti yang terkontaminasi dengan genetika yang mereka uji lab sendiri. Ada yang berevolusi menjadi mutan,monster,atau hal mengerikan lainnya.
Konflik utama : rasa penasaran Sybil dan Dimitri karena hal yang seolah olah ditutupi oleh pemerintah. Padahal mereka tidak diperbolehkan bertanya apapun. Yang mereka tahu mereka masing-masing ditempatkan di Post utara (Sybil) dan post selatan (Dimitri). Dan inilah yang membuat keduanya ragu dan mempertanyakan misi mereka.
.
.
.
Protagonist karakter :
Sybil Granger dan Dimitri Mitchell
1. Sybil Granger (Letnan Angkatan Laut, Sniper Elit, Mercenary Rahasia)
Nama Lengkap: Sybil Granger
Usia: 25 tahun
Kebangsaan: Amerika Serikat
Latar Belakang:
Sybil lahir tanpa mengetahui siapa orang tuanya dan tumbuh di panti asuhan militer di Norfolk, Virginia. Sejak kecil, ia memiliki kepekaan yang luar biasa terhadap lingkungan sekitarnya—kecepatan reaksi yang tajam, kemampuan analitis yang luar biasa, dan refleks di atas rata-rata. Hal ini membuatnya menarik perhatian seorang perwira Angkatan Laut yang kemudian melatihnya dalam seni menembak sejak usia 10 tahun.
Setelah bergabung dengan militer, Sybil dengan cepat naik pangkat menjadi sniper elit. Kemampuannya dalam mengenai target sejauh 2 kilometer dengan presisi sempurna membuatnya mendapat julukan "Phantom Bullet". Namun, setelah satu insiden misterius dalam operasi militer rahasia, ia keluar dari Angkatan Laut dan direkrut oleh organisasi bayangan yang bekerja di bawah pemerintah.
Kepribadian:
✦ Cerdas & Taktis: Sybil memiliki pola pikir analitis dan bisa menilai situasi dalam hitungan detik.
✦ Attractive & Ramah: Berbeda dari kesan dingin seorang sniper, Sybil memiliki pesona yang memikat dan mudah bergaul, meskipun ia tidak mudah percaya pada orang lain.
✦ Membenci Ketidakadilan: Dia benci diperintah tanpa tahu alasan, dan sering kali mempertanyakan otoritas.
✦ Tangguh & Cepat Beradaptasi: Tidak peduli seberapa buruk situasinya, dia selalu menemukan cara untuk bertahan hidup.
Keterampilan:
✓ Sniper Jarak Jauh: Bisa menembak tepat sasaran meskipun dalam kondisi ekstrim.
✓ Ahli Bela Diri: Menguasai Krav Maga dan Brazilian Jiu-Jitsu.
✓ Penguasaan Teknologi: Mampu menggunakan berbagai perangkat pengintaian dan senjata canggih.
✓ Stealth & Infiltrasi: Bisa bergerak tanpa terdeteksi dan menyusup ke area musuh.
Senjata Favorit:
★ Barrett MRAD (Sniper Rifle) – digunakan untuk tembakan jarak jauh.
★ HK USP .45 – pistol standar untuk pertarungan jarak dekat.
---
2. Dimitri Mitchell (Mayor Pasukan Khusus, Sniper Eksekutor, Mercenary Rahasia)
Nama Lengkap: Dimitri Alexander Mitchell
Usia: 30 tahun
Kebangsaan: Inggris
Latar Belakang:
Dimitri lahir dari keluarga terpandang di Inggris, keturunan bangsawan dengan gelar Earl of Cumberland. Seharusnya, dia bisa hidup sebagai aristokrat dengan segala kemewahan, tetapi ia memilih jalan yang berbeda. Sejak usia muda, Dimitri menunjukkan bakat luar biasa dalam strategi militer dan pertarungan jarak jauh. Setelah menyelesaikan akademi militer terbaik di Inggris, ia bergabung dengan Pasukan Khusus Inggris (SAS) dan segera dikenal sebagai prajurit tanpa belas kasihan dalam pertempuran.
Namun, sebuah operasi rahasia yang gagal membuatnya terpaksa keluar dari militer dan bekerja sebagai agen bayangan untuk organisasi rahasia yang memiliki hubungan dengan pemerintah. Di sinilah ia bertemu Sybil, dalam misi pertama mereka bersama.
Kepribadian:
✦ Pendiam & Dingin: Dimitri jarang berbicara kecuali diperlukan. Ia lebih suka bertindak daripada berbasa-basi.
✦ Brutal & Efisien: Jika Sybil adalah pemburu yang tenang, Dimitri adalah algojo yang brutal—tidak ada ampun bagi musuh.
✦ Perfeksionis & Tidak Mudah Percaya: Ia selalu mengerjakan tugasnya dengan sempurna dan tidak pernah membiarkan kesalahan terjadi.
✦ Terobsesi dengan Kebenaran: Meskipun dia mengikuti perintah, jauh di dalam dirinya ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik misi ini.
Keterampilan:
✓ Sniper & Marksman: Mampu menembak dengan akurasi tinggi bahkan dalam kondisi paling sulit.
✓ Taktik & Strategi: Berpikir selangkah lebih maju dalam setiap pertempuran.
✓ Bertarung dengan Senjata Tajam: Ahli dalam menggunakan pisau tempur dan pedang pendek.
✓ Survival & Tracking: Bisa bertahan hidup di kondisi ekstrem dan melacak target dengan sempurna.
Senjata Favorit:
★ CheyTac M200 Intervention – sniper rifle dengan akurasi ekstrem.
★ Sig Sauer P226 – pistol serbaguna untuk pertempuran jarak dekat.
★ Karambit Tactical Knife – pisau yang selalu ia bawa untuk pertarungan jarak dekat.
---
Hubungan Dinamis Antara Sybil & Dimitri
Awal Pertemuan:
Keduanya dipertemukan dalam misi rahasia tanpa mengenal satu sama lain sebelumnya. Mereka berlawanan dalam banyak hal—Sybil lebih terbuka dan ekspresif, sementara Dimitri dingin dan penuh rahasia.
Ketegangan di Awal:
Dimitri menganggap Sybil sebagai "prajurit baru" yang belum cukup berpengalaman untuk berada di zona berbahaya ini, sementara Sybil melihat Dimitri sebagai "pria yang terlalu arogan dan tertutup".
Persaingan & Saling Menghormati:
Seiring berjalannya waktu, mereka mulai menyadari bahwa satu sama lain memiliki keterampilan yang sama-sama luar biasa. Sybil menghormati taktik dan pengalaman Dimitri, sementara Dimitri mulai mengakui bahwa Sybil lebih dari sekadar sniper berbakat—dia memiliki pemikiran yang tajam dan tidak takut melawan otoritas.
Misteri yang Menyatukan Mereka:
Ketika keduanya mulai menyadari ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi di balik misi ini, mereka mulai bekerja sama untuk mengungkap kebenaran yang telah ditutupi pemerintah.
---
Note:
Dua sniper dari latar belakang yang sangat berbeda—seorang yatim piatu yang menjadi penembak jitu terbaik dan seorang bangsawan yang memilih jalur perang—dipaksa bekerja sama dalam misi yang penuh misteri. Dengan keterampilan luar biasa mereka, keduanya harus bertahan hidup di zona radioaktif yang penuh dengan ancaman, sambil mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di Black Eden.
.
.
.
Sinopsis Cerpen
Di dunia bayangan tempat konspirasi dan eksperimen berbahaya terjadi tanpa sepengetahuan publik, dua sniper dari latar belakang yang sangat berbeda dipertemukan dalam sebuah misi yang penuh teka-teki.
Sybil Granger, seorang sniper elit berusia 25 tahun yang dilatih sejak kecil oleh militer, tumbuh tanpa mengetahui siapa orang tuanya. Setelah keluar dari Angkatan Laut, ia direkrut oleh organisasi bayangan yang bekerja di bawah pemerintah. Sybil memiliki akurasi menembak luar biasa dan insting bertahan hidup yang tajam.
Dimitri Mitchell, mantan pasukan khusus Inggris dan pewaris gelar bangsawan, terkenal karena keahlian strategi dan eksekusi target tanpa cela. Dingin dan penuh rahasia, Dimitri tak pernah mempertanyakan perintah—hingga ia ditugaskan di Black Eden.
Black Eden adalah zona radioaktif di Lithuania, lokasi sebuah laboratorium genetika rahasia milik pemerintah. Selama bertahun-tahun, eksperimen manusia dilakukan di sana, tetapi sesuatu telah berubah. Para ilmuwan yang bekerja di laboratorium mulai menunjukkan gejala aneh—beberapa berevolusi menjadi makhluk yang tidak lagi manusia.
Sybil ditempatkan di pos utara, sementara Dimitri di pos selatan. Misi mereka jelas: menjaga perimeter, menutup akses, dan tidak bertanya. Tetapi ketika mereka menemukan tanda-tanda bahwa misi ini lebih dari sekadar operasi keamanan, mereka mulai mempertanyakan segalanya.
Saat kebenaran tentang Black Eden perlahan terungkap, Sybil dan Dimitri menyadari bahwa mereka tidak hanya bertarung melawan ancaman biologis yang mengerikan, tetapi juga melawan tangan tersembunyi yang mengendalikan segalanya dari balik layar.
---
PROLOG: Black Eden
ZONA RADIOAKTIF, LITHUANIA – 02:45 AM
Kabut tebal menyelimuti area bekas industri yang hancur, menyisakan reruntuhan yang sunyi di bawah langit kelabu. Sisa-sisa hujan asam meninggalkan genangan air berwarna kehijauan di antara puing-puing, memantulkan sorot lampu merah dari menara pengawas di kejauhan. Angin membawa aroma logam yang menyengat, bercampur dengan bau tanah yang basah dan sesuatu yang lebih… busuk.
Sybil Granger mengencangkan pegangan pada Barrett MRAD di tangannya, menyandarkan tubuh ke dinding beton yang retak. Teleskop night vision terpasang di senapannya, menyapu sekeliling dalam diam. Dari posisinya di Pos Utara, ia bisa melihat pagar kawat berduri yang mengelilingi fasilitas bawah tanah di pusat zona ini. Tidak ada tanda-tanda pergerakan—setidaknya, bukan dari sesuatu yang hidup.
Di saluran komunikasinya, hanya ada suara statis. Seharusnya ada laporan rutin dari unit lain, tetapi selama satu jam terakhir, radio tetap sunyi. Ini bukan pertanda baik.
"Terlalu sepi," pikirnya.
Sybil menarik napas pelan, lalu merayap ke posisi yang lebih tinggi. Dari atap bangunan yang runtuh sebagian, ia memiliki pandangan lebih luas ke arah Black Eden—nama yang diberikan untuk laboratorium rahasia yang tersembunyi di bawah tanah. Bangunan utama sudah tertutup lapisan debu tebal, tetapi lampu merah di sepanjang pagar masih menyala, menandakan bahwa sistem keamanan masih aktif.
Di kejauhan, siluet seseorang bergerak di Pos Selatan.
Dimitri Mitchell.
Bahkan dari jarak ini, Sybil bisa mengenali CheyTac M200 yang disandarkan di bahunya, dan posturnya yang tegap, bergerak tanpa suara di antara reruntuhan. Jika Sybil adalah bayangan yang bergerak dengan ringan, Dimitri adalah predator yang berjalan tanpa ragu.
Sybil menekan tombol di alat komunikasinya.
"Mayor, status?" tanyanya, menjaga suaranya tetap rendah.
Butuh beberapa detik sebelum Dimitri menjawab.
"Tak ada yang bergerak. Tapi sesuatu terasa… salah."
Sybil menggigit bibirnya. Perasaan itu juga ia rasakan sejak satu jam lalu. Seolah-olah sesuatu mengawasi mereka.
Lalu, sesuatu bergerak di pagar kawat berduri.
Cepat. Hampir terlalu cepat untuk dilihat dengan mata telanjang.
Sybil segera menempelkan matanya ke teleskop senapan. Sekilas, ia melihat sesuatu—bayangan besar yang bergerak dengan kecepatan abnormal. Tangan manusia? Tidak. Gerakannya terlalu aneh, terlalu… terpotong-potong, seolah-olah tubuhnya tidak mengikuti hukum gerak yang normal.
"Dimitri, di pagar barat laut. Ada sesuatu di sana."
Dalam sekejap, Dimitri sudah mengangkat CheyTac M200, mengarahkan moncongnya ke lokasi yang dimaksud.
Sunyi. Tidak ada apa-apa.
Lalu, suara itu datang.
Sebuah erangan rendah, dalam, nyaris seperti suara manusia—tetapi terlalu serak, terlalu dalam, seperti ada dua nada yang berbicara sekaligus.
Suara itu datang dari dalam zona Black Eden.
Dari dalam laboratorium.
Sybil merasakan bulu kuduknya berdiri. Tidak ada yang boleh keluar dari tempat itu. Seharusnya, semuanya sudah… mati.
Tetapi mereka salah. Sesuatu telah bangkit.
Dan mereka baru saja menarik perhatiannya.
------
BAB 1 – BAYANGAN DI BALIK KAWAT BERDURI
ZONA RADIOAKTIF, LITHUANIA – 03:00 AM
Sybil tetap diam dalam posisinya, matanya tajam mengawasi pagar kawat berduri tempat bayangan tadi bergerak. Jari telunjuknya melayang di atas pelatuk Barrett MRAD, menunggu tanda sekecil apa pun untuk menembak.
Namun, tak ada apa-apa. Hanya hembusan angin dingin yang membawa aroma logam dan debu radioaktif.
Di seberang zona, Dimitri tetap tak bergerak, senapannya terarah ke titik yang sama.
"Kau lihat sesuatu?" suara baritonnya terdengar melalui alat komunikasi.
Sybil menggeleng, meskipun ia tahu Dimitri tidak bisa melihatnya. "Tidak ada pergerakan lagi. Tapi aku yakin tadi sesuatu ada di sana."
Dimitri tidak segera menjawab. Ia menyesuaikan posisinya, bergerak setenang bayangan, lalu berkata, "Kalau begitu, kita tunggu."
Itulah perbedaan antara mereka berdua. Sybil selalu ingin segera bertindak—membunuh ancaman sebelum ancaman itu menyerangnya. Dimitri, sebaliknya, lebih suka menunggu, membiarkan musuh menunjukkan kelemahannya terlebih dahulu.
Beberapa menit berlalu dalam kesunyian.
Lalu, suara itu datang lagi.
Erangan serak dan dalam, terdengar lebih dekat kali ini.
Sybil mengintip melalui teleskop senapan. Lalu, matanya menangkap sesuatu di balik kawat berduri.
Bayangan itu muncul lagi.
Makhluk itu lebih tinggi dari manusia biasa, tubuhnya tampak seperti perpaduan antara daging manusia dan sesuatu yang lebih… asing. Cahaya merah dari menara pengawas menerpa kulitnya yang abu-abu kusam, urat-urat hitam menyebar di bawah permukaannya seperti akar pohon yang membusuk.
Dan matanya.
Matanya hitam pekat, tanpa pupil, seolah-olah isinya hanya kegelapan.
"Dimitri, target di pagar utara. Aku punya visual."
Dimitri tak butuh waktu lama untuk menanggapinya. "Ambil tembakan jika perlu."
Sybil mengatur napasnya, memastikan target dalam bidikan. Ia menarik napas dalam, lalu—
Makhluk itu menghilang.
Tidak berlari. Tidak bersembunyi.
Ia menghilang begitu saja.
Sybil mengerjapkan mata, jantungnya berdebar. Itu tidak mungkin. Tidak ada makhluk hidup yang bisa menghilang begitu saja, kecuali—
"Sybil?" suara Dimitri terdengar tajam.
Sybil menelan ludah. "Makhluk itu… lenyap."
Sejenak, tidak ada yang berbicara. Hanya suara statis dari alat komunikasi mereka.
Lalu, dari dalam Black Eden, suara lain terdengar.
Jeritan panjang, melengking, seperti seseorang—atau sesuatu—yang sedang meregang nyawa.
Dan kali ini, jeritan itu datang dari dalam fasilitas laboratorium.
Mereka tidak sendirian di sini.
Dan sesuatu telah terbangun di Black Eden.
---
BAB 2 – SINYAL YANG HILANG
ZONA RADIOAKTIF, LITHUANIA – 03:15 AM
Jeritan itu masih terngiang di telinga Sybil ketika ia dengan sigap bergerak turun dari posisinya. Ada sesuatu yang sangat salah dengan tempat ini.
Dimitri sudah lebih dulu mengambil langkah. Melalui teleskopnya, Sybil melihat pria itu bergerak cepat menuju pagar kawat berduri, langkahnya tetap tenang meskipun situasinya tidak biasa.
"Kita perlu laporan ke pusat," ujar Sybil, menekan tombol pada alat komunikasinya. "Mayday, mayday. Ini Pos Utara dan Pos Selatan, kami membutuhkan konfirmasi atas aktivitas anomali di zona Black Eden. Ada sesuatu yang keluar dari fasilitas—ulangi, ada sesuatu yang keluar. Mohon instruksi."
Tidak ada jawaban.
Hanya suara statis.
Sybil mencoba lagi, tetapi hasilnya sama.
Dimitri sudah mendekat ke pagar, tangannya terulur menyentuh kawat berduri yang dingin dan berembun. "Radio kita terputus."
"Kau yakin ini bukan masalah sinyal?"
"Tidak," jawab Dimitri cepat. "Aku sudah memeriksa sebelumnya. Seharusnya kita masih bisa berkomunikasi dengan pusat komando. Tapi sekarang, tidak ada satu pun frekuensi yang terbuka."
Sybil mengepalkan rahangnya. "Seseorang memutus komunikasi kita."
Atau sesuatu.
Suara jeritan yang mereka dengar tadi sudah berhenti, tetapi hawa mencekam masih menyelimuti udara. Sybil bisa merasakan getaran aneh di tubuhnya, seakan ada sesuatu yang tidak terlihat sedang mengawasi mereka.
Dimitri menggerakkan kepalanya sedikit, menandakan agar Sybil mendekat. Ia mengikuti, tetap menjaga senjatanya terarah ke depan.
"Kita perlu masuk," ucap Dimitri.
Sybil menatapnya tajam. "Kau ingin masuk ke fasilitas? Ke tempat yang jelas-jelas telah melahirkan makhluk seperti tadi?"
"Apa pilihan kita?" Dimitri bertanya balik dengan nada tenang. "Jika komunikasi kita terputus, itu berarti kita sudah sendirian di sini. Kita tak tahu apakah pusat masih mengawasi atau tidak. Dan jika ada sesuatu yang keluar dari Black Eden, kita harus memastikan apa yang sedang kita hadapi sebelum terlambat."
Sybil menghela napas dalam. Ia benci mengakui ini, tapi Dimitri benar.
"Kita masuk dengan formasi standar," katanya akhirnya. "Aku di depan, kau mengawasi dari belakang."
Dimitri mengangguk.
Dengan hati-hati, Sybil menarik pisau tempurnya dan mulai merayap di sepanjang pagar kawat. Ada celah kecil yang sudah setengah rusak, cukup untuk mereka masuk tanpa menimbulkan suara.
Saat mereka melangkah ke dalam zona terlarang itu, satu hal menjadi jelas.
Mereka bukan hanya memburu sesuatu di dalam Black Eden.
Sesuatu di dalam Black Eden juga sedang memburu mereka.
---
BAB 3 – BAYANGAN DI BALIK LABORATORIUM
ZONA RADIOAKTIF, LITHUANIA – 03:42 AM
Udara di dalam perimeter Black Eden lebih dingin dari yang Sybil duga. Kabut yang menggantung di sekitar fasilitas ini tampak lebih pekat, seperti sesuatu yang bernapas di dalamnya.
Dimitri bergerak tanpa suara di belakangnya, langkahnya hampir tak terdengar di atas beton retak. Sybil tetap memimpin, mengangkat Barrett MRAD-nya untuk mengawasi setiap sudut. Setiap instingnya menjerit bahwa tempat ini lebih dari sekadar zona radioaktif biasa.
Mereka melewati deretan bangunan yang dulunya mungkin adalah barak atau stasiun penelitian. Sekarang, hanya tersisa puing-puing dengan dinding penuh bekas luka tembakan dan noda gelap yang tak bisa dijelaskan.
Lalu mereka menemukannya.
Pintu masuk ke fasilitas bawah tanah.
Sebuah bunker baja raksasa yang setengah terkubur di tanah, dengan simbol biohazard memudar di atasnya. Cahaya merah masih berkedip di panel keamanan di samping pintu, tetapi yang membuat Sybil merinding adalah sesuatu yang berserakan di depan pintu itu.
Mayat.
Atau setidaknya, yang tersisa darinya.
Dimitri berjongkok, mengamati potongan tubuh itu dengan ekspresi tajam. "Ini bukan luka akibat senjata biasa," gumamnya.
Sybil mengamati bagian dada korban—atau apa yang tersisa darinya. Bekas robekan di sana seperti dilakukan oleh cakar, bukan peluru.
"Lihat ini." Dimitri menunjuk sesuatu di lantai. Sebuah telapak tangan, tetapi jarinya sudah tak lagi manusiawi—lebih panjang, lebih tajam, dengan ujung yang menyerupai cakar hitam.
"Ini bukan manusia," kata Sybil pelan.
Dimitri berdiri, menekan tombol di radio komunikasinya, hanya untuk mendengar statis lagi.
"Kita tetap masuk?" tanyanya.
Sybil menatap pintu bunker di depan mereka. Di balik baja tebal itu, ada jawaban atas apa yang sebenarnya terjadi di Black Eden.
Ia menarik napas, menekan tombol di panel keamanan.
Pintu mulai terbuka dengan suara mendecit rendah.
Dimitri mengangkat senjatanya, mengangguk ke arah Sybil.
"Kita masuk."
Dan saat mereka melangkah ke dalam kegelapan, bayangan di koridor mulai bergerak.
Sesuatu sedang menunggu mereka di dalam.
---
BAB 4 – LANGKAH DI KEGELAPAN
FASILITAS BAWAH TANAH BLACK EDEN – 03:57 AM
Udara di dalam bunker terasa lebih berat, seolah mengandung sesuatu yang tak kasatmata. Lampu-lampu darurat berkedip-kedip, menebarkan cahaya merah yang menari di sepanjang koridor sempit. Dindingnya terbuat dari baja dingin, tetapi ada bekas cakaran yang tergores dalam di beberapa tempat.
Sybil dan Dimitri bergerak perlahan, senjata terangkat, napas mereka nyaris tak terdengar. Mereka hanya berkomunikasi lewat isyarat tangan, menyusuri lorong yang semakin dalam.
Di dinding, terdapat tanda-tanda evakuasi dalam bahasa Lituania dan Inggris. "LABORATORY SECTOR A-13" tertulis di papan yang menggantung miring di ujung lorong.
Sebuah suara mendadak terdengar.
Langkah kaki.
Tapi anehnya… bukan satu, melainkan seperti sesuatu yang berjalan dengan ritme yang tidak biasa—cepat, lalu melambat, lalu berhenti tiba-tiba.
Sybil menempel ke dinding, matanya mengunci ke kegelapan di ujung lorong. Dimitri bergerak ke sampingnya, mengangkat CheyTac M200, bersiap menarik pelatuk.
Lalu, sesuatu bergerak di cahaya remang-remang.
Bayangan panjang merayap di lantai, mendahului sosok yang muncul dari balik sudut.
Seorang pria.
Tidak—bukan pria.
Tubuhnya mengenakan jas lab yang terkoyak, wajahnya pucat dan cekung dengan urat hitam menyebar di bawah kulitnya. Tapi yang paling mengerikan adalah matanya—hitam seluruhnya, tanpa iris atau putih mata, menatap mereka dengan kosong.
Ia membuka mulut, tapi suara yang keluar bukan suara manusia.
Sebuah dengungan rendah, seperti gema yang bergetar di dalam ruangan tertutup.
Sybil langsung menembak.
Satu peluru menembus tengkoraknya. Kepala pria itu terdorong ke belakang, tapi tubuhnya tidak langsung roboh.
Sebaliknya, ia berdiri sejenak, terhuyung… lalu melangkah maju lagi.
Dimitri tidak ragu. Ia menembak ke jantung. Kali ini, tubuh itu jatuh ke lantai dengan bunyi keras, tidak bergerak lagi.
Sybil menarik napas pendek, jari masih di pelatuk.
"Apa yang barusan kita lihat?" bisik Dimitri.
Sybil melangkah mendekat, menendang tubuh itu dengan ujung sepatu botnya. Tidak ada reaksi.
"Seseorang yang sudah tidak sepenuhnya manusia," gumamnya.
Dimitri menyalakan lampu senter kecil di senapannya, menyinari dinding di belakang mereka.
Di sana, tertulis sesuatu dengan darah.
"MEREKA MASIH DI SINI."
Dan sebelum mereka sempat bereaksi, suara langkah kaki terdengar lagi.
Tapi kali ini, jumlahnya lebih banyak.
Dan datang dari segala arah.
---
BAB 5 – PENJARA TANPA PINTU
FASILITAS BAWAH TANAH BLACK EDEN – 04:12 AM
Langkah kaki itu semakin mendekat. Cepat, tidak beraturan, seperti sekumpulan serangga raksasa yang bergerak dalam irama kacau.
Sybil dan Dimitri segera berlindung di balik reruntuhan konsol kontrol yang sudah lama tak berfungsi. Senapan mereka terangkat, telinga mereka fokus mendengar arah datangnya suara.
Lalu, dari kegelapan, mereka muncul.
Bukan hanya satu atau dua. Puluhan.
Mereka pernah manusia—dokter, ilmuwan, tentara. Beberapa masih mengenakan seragam laboratorium, yang lain berbaju militer yang sudah terkoyak. Tapi tidak ada yang tersisa dari kemanusiaan mereka. Mata mereka hitam pekat, kulit mereka pucat dengan urat-urat hitam menonjol seperti akar pohon yang merambat di bawah permukaan. Mereka bergerak dengan kejang aneh, seolah sendi-sendi mereka telah direkonstruksi secara tidak alami.
Dimitri bergerak lebih dulu.
DOR!
Satu peluru melesat, menembus kepala salah satu makhluk itu. Tubuhnya tersentak ke belakang, tetapi dua lainnya langsung menerjang menggantikan.
Sybil juga menarik pelatuknya.
DOR! DOR! DOR!
Dua jatuh, satu masih merangkak dengan kepala setengah hancur, seolah kematian bukan lagi konsep yang berlaku di tempat ini.
"Ini buruk," gumam Dimitri, mengisi ulang peluru.
Sybil menekan tombol radio di jaket taktisnya. "Komando, ini Unit Sniper. Kami berada di dalam fasilitas. Ada aktivitas biologis anomali. Konfirmasi, ada yang menerima?"
Hanya statis.
Mereka terjebak.
Salah satu makhluk melompat dari dinding, mencengkeram bahu Sybil. Ia merasakan cengkeraman dingin seperti baja yang membakar kulitnya. Dengan refleks, ia menarik pisau tempurnya dan menusuk tenggorokan makhluk itu.
Dimitri menyentak Sybil ke belakang, menariknya keluar dari gerombolan yang semakin mendekat. "Kita harus keluar dari sini. Sekarang!"
Di ujung koridor, sebuah pintu baja terlihat terbuka sedikit—satu-satunya jalur kabur.
Tapi sebelum mereka bisa bergerak ke sana, sesuatu bergetar di lantai.
Dari dalam kegelapan, muncul sosok yang lebih besar.
Seorang pria bertubuh raksasa, setidaknya dua meter tingginya. Badannya penuh luka operasi yang belum sembuh, seolah dijahit secara kasar dengan benang logam. Satu lengannya bukan lagi daging, melainkan sesuatu yang menyerupai pisau bedah besar, menyatu dengan tulangnya.
Matanya juga hitam pekat, tetapi berbeda dari yang lain—ada kesadaran di dalamnya.
Ia tidak hanya monster.
Ia masih memiliki insting seorang pemburu.
Dan saat ia menatap Sybil dan Dimitri…
Ia tersenyum.
---
BAB 6 – HUNTER
FASILITAS BAWAH TANAH BLACK EDEN – 04:15 AM
Senyuman itu—senyuman yang tidak seharusnya ada di wajah makhluk seperti dia—membuat udara di sekitar Sybil dan Dimitri terasa lebih berat.
Monster itu bergerak maju dengan langkah lambat tapi mantap, seolah menikmati waktu sebelum memburu mangsanya. Matanya yang hitam pekat mengunci pandangan mereka berdua, menilai, menganalisis, seperti predator yang mengamati gerakan buruannya.
Sybil bisa merasakan napasnya sendiri menjadi pendek. Ia tak pernah merasa takut menghadapi manusia bersenjata, tapi ini… Ini bukan manusia lagi.
Dimitri menyipitkan mata, menarik napas panjang sebelum berbicara dengan suara rendah, nyaris berbisik. "Kita harus menjatuhkannya sebelum dia sampai ke kita."
Sybil mengangguk. "Kau ambil sisi kanan. Aku dari kiri."
Tanpa membuang waktu, Dimitri mengangkat CheyTac M200 dan menekan pelatuknya.
DOR!
Peluru kaliber .408 menghantam bahu makhluk itu, meledakkan daging dan tulangnya dalam semburan darah hitam. Tapi bukannya jatuh, monster itu hanya tersentak sedikit, lalu memiringkan kepalanya seperti sedang… tertawa?
Seketika, ia berlari.
BRAK!
Tanpa memberi kesempatan untuk berpikir, makhluk itu melompat dari jarak yang mustahil bagi manusia normal, menerjang ke arah Dimitri dengan kecepatan yang membuatnya nyaris tak terlihat.
Dimitri berguling ke samping tepat waktu, menghindari serangan cakar logam yang menghancurkan dinding di belakangnya. Pecahan beton berhamburan.
Sybil tak menyia-nyiakan kesempatan. Ia mengangkat Barrett MRAD dan mengarahkan teleskop ke kepala makhluk itu.
DOR!
Peluru menembus pelipis kiri monster itu, membuatnya tersentak ke belakang.
Sekejap, semuanya diam.
Lalu, dengan gerakan yang mengerikan, monster itu menegakkan tubuhnya lagi. Luka di kepalanya masih mengeluarkan darah hitam, tapi ia tidak mati.
Sybil merasakan jantungnya berdegup kencang. "Kau bercanda…"
Monster itu kini beralih menatapnya.
Dimitri melihat kesempatan. Dengan cepat, ia menghunus belati tempurnya dan menusukkan bilahnya tepat ke sisi leher makhluk itu.
Darah hitam menyembur keluar, dan kali ini, monster itu menggeram keras, meraih Dimitri dengan cakar logamnya.
Sybil berlari ke depan. Tanpa berpikir, ia menghunus pisaunya sendiri dan menusukkannya ke bagian belakang tengkorak makhluk itu, di antara tulang vertebra.
Monster itu menegang.
Lalu, dengan satu getaran terakhir, ia jatuh ke lantai.
Napas Sybil terengah-engah. Tangannya gemetar sedikit saat ia menarik pisaunya kembali.
Dimitri berdiri dan menatap tubuh yang kini tak bergerak. "Kita perlu keluar dari sini sebelum lebih banyak dari mereka yang muncul."
Sybil mengangguk, lalu menoleh ke pintu baja di ujung lorong. "Satu-satunya jalan keluar adalah ke dalam."
Dimitri memandangnya sejenak, lalu mengangkat bahu. "Tidak ada pilihan lain."
Mereka bergerak ke depan, membuka pintu baja yang berkarat. Di baliknya…
Tangga spiral yang turun ke dalam kegelapan.
Tempat ini lebih besar dari yang mereka kira.
Dan apa pun yang tersembunyi di dalamnya, mereka baru mulai mengungkapnya.
---
BAB 7 – DIBAWAH PERMUKAAN
FASILITAS BAWAH TANAH BLACK EDEN – 04:37 AM
Tangga spiral itu seolah tak berujung, turun semakin dalam ke kegelapan. Cahaya dari senter di senapan mereka hanya cukup untuk menerangi beberapa meter ke depan, meninggalkan bayangan panjang yang bergerak di sepanjang dinding berkarat.
Dimitri berjalan lebih dulu, napasnya stabil, meskipun ketegangan terasa jelas di gerak-geriknya. Sybil mengikutinya dengan Barrett MRAD terangkat, berjaga jika ada sesuatu yang menunggu mereka di bawah.
"Dalamnya lebih dari yang kuduga," gumam Sybil pelan.
"Black Eden bukan sekadar laboratorium biasa," jawab Dimitri tanpa menoleh. "Kalau eksperimen mereka benar-benar melibatkan mutasi, maka fasilitas ini mungkin dibangun dengan lebih banyak lapisan keamanan."
Mereka mencapai ujung tangga. Di hadapan mereka, sebuah lorong panjang membentang, diterangi lampu darurat merah yang berkelip pelan. Bau antiseptik bercampur dengan sesuatu yang lebih menyengat—seperti daging busuk.
Sybil menelan ludah. "Aku tidak suka ini."
Dimitri menyipitkan mata ke arah plakat besi yang menempel di dinding. Tulisan di sana sebagian terkelupas, tetapi beberapa kata masih bisa terbaca:
"SUBJEK UJI – LEVEL OMEGA"
Sybil mengerutkan kening. "Omega? Itu berarti tingkat tertinggi."
Dimitri mengangguk. "Mereka sedang bermain dengan sesuatu yang seharusnya tidak mereka sentuh."
Sebuah suara samar terdengar di kejauhan—seperti gerakan kaki yang terseret di lantai.
Refleks, keduanya berjongkok, senapan siap tembak.
Suara itu semakin mendekat.
Dari bayangan di ujung lorong, sesosok tubuh muncul.
Bukan monster.
Melainkan seorang pria berpakaian laboratorium yang compang-camping, wajahnya pucat, dengan lingkaran hitam dalam di bawah matanya. Tangannya gemetar saat ia mengangkatnya, seolah berusaha menunjukkan bahwa dia bukan ancaman.
"T-tolong…" suaranya serak, hampir tidak terdengar.
Sybil dan Dimitri saling bertukar pandang sebelum perlahan menurunkan senjata mereka.
"Siapa kau?" tanya Dimitri, tetap waspada.
Pria itu terhuyung mendekat, matanya dipenuhi ketakutan. "S-saya Dr. Elias Voss. Saya bagian dari tim riset di sini."
Sybil mengamati pria itu dengan curiga. "Apa yang terjadi di sini? Apa yang kalian buat di laboratorium ini?"
Dr. Voss menelan ludah, lalu menggeleng lemah. "Kami… Kami melangkah terlalu jauh. Kami menciptakan sesuatu yang tidak bisa kami kendalikan."
Dimitri mendekat satu langkah. "Apa yang kau maksud?"
Tiba-tiba, Dr. Voss membelalak, tubuhnya mulai bergetar hebat. "Mereka… mereka mendengar kita…"
Sybil merasakan bulu kuduknya meremang.
Lalu terdengar suara keras dari lorong belakang.
DUG! DUG! DUG!
Dimitri segera mengangkat senapannya. "Bersiap."
Dr. Voss mulai menangis tanpa suara. "Sudah terlambat…"
Tembok di belakang mereka retak.
Lalu sesuatu menerobos keluar.
Sebuah lengan raksasa dengan kulit yang nyaris transparan, otot-otot di bawahnya berdenyut seperti jaring-jaring akar hidup. Jari-jarinya panjang dan berkuku tajam, menggapai udara sebelum mengarah langsung ke arah mereka.
Sybil mendorong Dr. Voss ke samping, menghindari serangan itu tepat waktu. Dimitri menembakkan pelurunya, tetapi makhluk itu hanya mundur sedikit, sebelum mengeluarkan suara mendesis yang mengerikan.
Dari balik reruntuhan tembok yang kini hancur, makhluk itu akhirnya terlihat sepenuhnya.
Tingginya lebih dari dua meter, tubuhnya kurus tetapi dengan struktur otot yang terlalu panjang dan kaku. Kulitnya memiliki urat-urat hitam yang berdenyut, dan wajahnya… tidak ada mata. Hanya mulut yang melebar dengan deretan gigi tajam yang bergerak seolah-olah sedang merasakan udara di sekitarnya.
SUBJEK OMEGA-01.
Dr. Voss berbisik ketakutan, "K-kita harus lari…"
Tetapi makhluk itu sudah bergerak.
Dan tidak ada tempat untuk bersembunyi.
---
BAB 8 – BAYANGAN DI DALAM KEGELAPAN
FASILITAS BAWAH TANAH BLACK EDEN – 04:43 AM
Makhluk itu bergerak lebih cepat dari yang seharusnya mungkin untuk tubuh sebesar itu. Dalam sekejap, ia menerjang ke arah mereka dengan cakarnya yang panjang dan tajam.
BRATATATAT!
Dimitri menekan pelatuk, peluru berkaliber tinggi menghantam tubuh makhluk itu. Kulitnya robek, tetapi bukannya jatuh, luka-luka itu justru menutup kembali dengan cepat.
Sybil mengumpat. "Regenerasi cepat? Ini gila!"
Makhluk itu mendesis, lalu melompat ke langit-langit lorong seperti laba-laba raksasa, kepalanya berputar ke arah mereka. Gigi-giginya yang tajam berderak saat ia merangkak mendekat dengan gerakan yang mustahil bagi sesuatu sebesar itu.
Dr. Voss menjerit ketakutan dan mulai mundur. "K-kita harus pergi! Tidak ada senjata yang bisa membunuhnya!"
Dimitri dan Sybil bertukar pandang. Mereka sudah menghadapi banyak hal sebelumnya, tapi ini jauh di luar ekspektasi mereka.
Makhluk itu turun dari langit-langit dengan kecepatan mengerikan.
DUG!
Dimitri mendorong Dr. Voss ke samping tepat sebelum cakar makhluk itu menghantam lantai tempatnya berdiri. Retakan besar terbentuk, serpihan beton beterbangan ke segala arah.
Sybil menarik granat dari sabuknya dan melemparkannya ke bawah makhluk itu. "Mundur!"
BOOM!
Ledakan memenuhi lorong, membuat makhluk itu terhuyung mundur sambil mendesis marah. Asap memenuhi ruangan, memberi mereka cukup waktu untuk berlari ke pintu baja di ujung lorong.
Dimitri menghantam panel keamanan dengan popor senjatanya, tetapi layar hanya berkedip merah.
"Terkunci."
Dr. Voss gemetar, lalu meraih lencana ID-nya dan menempelkannya ke panel. Dengan bunyi klik, pintu terbuka.
Tanpa menunggu lebih lama, mereka bertiga menerobos masuk dan mengunci pintu di belakang mereka.
Di balik pintu, mereka menemukan diri mereka di dalam sebuah ruangan luas yang dipenuhi tangki-tangki berisi cairan kehijauan.
Di dalamnya, tubuh-tubuh manusia… atau sesuatu yang dulunya manusia… melayang diam.
Sybil merasakan perutnya mual. "Apa ini…?"
Dr. Voss menelan ludah, matanya menatap kosong ke arah salah satu tangki. "Mereka… proyek Omega. Eksperimen terakhir kami sebelum semuanya berantakan."
Dimitri berjalan mendekat ke salah satu tangki, mengamati sosok di dalamnya. Makhluk itu mirip manusia, tetapi dengan kulit keabu-abuan dan urat hitam yang berdenyut. Matanya tertutup, tetapi jari-jarinya yang panjang dan aneh terlihat bergerak sedikit.
"Lalu bagaimana dengan yang tadi?" tanya Sybil, masih berjaga di dekat pintu.
Dr. Voss menatapnya dengan ekspresi putus asa. "Omega-01 adalah yang pertama… dan yang paling sempurna. Dia bisa beregenerasi, belajar, dan memburu targetnya tanpa henti."
Dimitri menyipitkan mata. "Jadi kau bilang… dia tidak akan berhenti mengejar kita?"
Sebelum Dr. Voss bisa menjawab, suara benturan keras terdengar dari luar.
DUG! DUG! DUG!
Sybil langsung mengangkat senapannya. "Sial. Dia sudah di sini."
Pintu baja mulai bergetar, setiap hantaman dari luar membuatnya sedikit lebih penyok.
Dr. Voss tampak panik. "K-kita tidak bisa lari lagi. Jika dia masuk, kita semua mati."
Dimitri melihat sekeliling, mencari sesuatu yang bisa digunakan. Tatapannya berhenti pada konsol utama di sudut ruangan, dengan layar yang menampilkan data dari setiap tangki.
"Kalau kita tidak bisa lari…" katanya, menyalakan konsol itu. "Kita buat tempat ini menjadi neraka untuknya."
Sybil menatapnya dengan ragu. "Maksudmu?"
Dimitri menunjuk salah satu opsi di layar—"PROTOKOL PEMUSNAHAN".
Dr. Voss tampak pucat. "T-tidak… itu akan menghancurkan semua yang ada di sini… termasuk kita!"
Dimitri menatap lurus ke arah ilmuwan itu. "Kalau kita tidak melakukannya, Omega-01 akan terus memburu kita. Dan kalau dia keluar dari fasilitas ini… dunia di luar tidak akan punya kesempatan."
Suara benturan semakin keras. Pintu baja sudah mulai pecah.
Sybil menghela napas panjang. "Kita hanya punya satu kesempatan."
Dimitri menarik napas dalam, lalu menekan tombol di layar.
ALERT! PROTOKOL PEMUSNAHAN DIAKTIFKAN. HITUNG MUNDUR: 5 MENIT.
Sirene berbunyi, lampu darurat berkedip cepat. Tangki-tangki mulai bergetar, retakan muncul di dinding-dinding ruangan.
Omega-01 menghancurkan pintu baja dengan teriakan melengking—tepat saat semuanya mulai runtuh.
Dan dalam lima menit ke depan, tempat ini akan menjadi sejarah.
---
BAB 9 – PELARIAN DI AMBANG KEMATIAN
HITUNG MUNDUR: 4 MENIT 50 DETIK
Omega-01 berdiri di ambang pintu yang hancur, matanya menyala merah dalam kegelapan. Tubuhnya yang besar tampak lebih mengerikan di bawah cahaya darurat yang berkedip.
Dimitri mengangkat senjatanya dan langsung menembak. BRAK! BRAK! BRAK!
Peluru mengenai dada Omega-01, tapi makhluk itu nyaris tidak terpengaruh. Luka-lukanya pulih seketika, dan ia mulai berjalan ke arah mereka dengan langkah lambat namun mengancam.
Sybil mengumpat. "Dia tidak bisa dihentikan!"
Dr. Voss menatap layar di konsol. "Tangki-tangki di sini… mereka berisi eksperimen yang gagal. Tapi ada satu hal yang bisa kita manfaatkan!"
Dimitri berbalik. "Apa?"
Dr. Voss menunjuk salah satu tangki terbesar di tengah ruangan. "Omega-02. Jika kita bisa membukanya… mungkin dia bisa melawan Omega-01."
Omega-01 melesat ke arah mereka. Dengan refleks cepat, Sybil menarik Dr. Voss menjauh sementara Dimitri menembakkan granat ke lantai di depan makhluk itu.
BOOM!
Debu dan puing beterbangan, memberi mereka beberapa detik tambahan.
Dimitri bergegas ke konsol dan melihat data Omega-02. "Kalau ini berhasil, kita mungkin bisa selamat. Tapi kalau gagal…"
Sybil menggertakkan giginya. "Kita tidak punya pilihan lain!"
Dimitri menarik tuas darurat.
ALERT! TANGKI OMEGA-02 TERBUKA. SISTEM PENGAMANAN DIMATIKAN.
Cairan kehijauan dalam tangki bergejolak, dan retakan muncul di kaca. Sosok di dalamnya mulai bergerak…
Sementara itu, Omega-01 kembali menerjang ke arah mereka—tepat saat kaca tangki pecah, dan sesuatu keluar dari dalamnya...
---
Bab 10 – Omega-02: Percikan di Tengah Kegelapan
Black Eden, Laboratorium Bawah Tanah – 03:18 AM
Kedalaman fasilitas semakin menyesakkan. Udara di dalamnya terasa berat, bercampur bau ozon dan sesuatu yang lebih samar—aroma daging yang telah membusuk. Lampu-lampu darurat berkelip, memberikan pencahayaan tak stabil yang menciptakan bayangan panjang di dinding.
Sybil dan Dimitri berdiri di depan Tangki Omega-02, wadah silindris raksasa dengan dinding kaca tebal yang retak di beberapa bagian. Cairan kehijauan di dalamnya perlahan berkurang, menandakan kebocoran sistem penyimpanan.
“Ini bukan hanya eksperimen biasa…” bisik Sybil, matanya terpaku pada sosok di dalam tangki.
Sebuah bayangan samar mengambang di dalam cairan. Bentuknya humanoid, tetapi ada sesuatu yang aneh pada struktur tubuhnya—proporsinya sedikit melenceng dari manusia normal, dengan otot yang lebih padat dan urat-urat yang berpendar redup.
Dimitri mengarahkan CheyTac M200-nya ke tangki. “Apapun ini, kita harus pastikan tetap terkunci.”
Sybil menyentuh panel kontrol di sebelah tangki, jari-jarinya menari cepat di atas layar yang penuh dengan kode-kode keamanan. Ia mencoba mengakses catatan eksperimen—tetapi file-file itu diproteksi oleh enkripsi kelas militer.
Tiba-tiba, suara klik tajam terdengar.
Sebuah pintu besi di sisi ruangan terbuka otomatis, memperlihatkan lorong panjang yang menuju Unit Data Center. Layar monitor di sepanjang dinding berkedip-kedip, menampilkan potongan-potongan rekaman lama.
Sybil dan Dimitri saling bertukar pandang. Mereka tak perlu berkata-kata—hanya ada satu jalan ke depan.
Dengan senjata siap di tangan, mereka melangkah ke dalam lorong.
---
Unit Data Center – 03:24 AM
Ruangan ini luas, dipenuhi dengan server-server raksasa yang mendengung pelan. Di tengahnya, sebuah konsol utama memancarkan cahaya kebiruan dari layarnya.
Sybil segera menghampiri konsol itu, tangannya lincah mengetik. Beberapa detik kemudian, file rahasia tentang Omega-02 muncul di layar.
“Proyek Omega… eksperimen peningkatan biologis. Subjek utama adalah… manusia hasil rekayasa genetik?”
Dimitri berdiri di belakangnya, membaca dengan rahang mengeras.
> "Subjek Omega-02: Keberhasilan parsial. Integrasi mutasi stabil hingga fase ketiga. Namun, terjadi peningkatan agresivitas dan anomali psikis. Status: Dalam pengawasan ketat. Jangan dibangunkan tanpa persetujuan direktur."
Sebelum mereka sempat memproses informasi itu lebih lanjut, suara alarm bergema di seluruh ruangan.
Tangki Omega-02 telah terbuka.
Sybil dan Dimitri membeku. Di layar, kamera keamanan menampilkan rekaman dari ruangan tempat mereka berdiri beberapa menit lalu.
Sosok yang tadi berada dalam cairan kini tidak lagi di dalam tangki.
Dimitri segera menarik Sybil mundur. “Kita keluar dari sini, sekarang juga!”
Sebuah suara berat dan menggelegar bergema dari lorong di belakang mereka. Langkah kaki… bukan hanya satu. Ada sesuatu yang datang.
Sybil mengamankan drive penyimpanan dari konsol, sementara Dimitri bersiap di depan pintu. Lampu di ruangan itu mulai berkedip—seperti ada sesuatu yang mengganggu kelistrikan.
Lalu, mereka melihatnya.
Omega-02 telah bangun.
Dan ia tidak sendirian.
---
Bab 11 – Bangkitnya Omega-02
Black Eden, Unit Data Center – 03:27 AM
Dimitri menatap ke lorong gelap di hadapannya. Nafasnya tertahan. Siluet itu semakin jelas—Omega-02 berdiri di ambang pintu, menghalangi jalan keluar mereka.
Makhluk itu masih memiliki bentuk humanoid, tetapi tubuhnya lebih tinggi dan lebih besar dari manusia biasa. Kulitnya tampak pucat dengan urat-urat berpendar kehijauan yang berdenyut di bawah permukaan. Mata hitamnya tak memiliki pupil, hanya kegelapan yang terasa menembus jiwa siapa pun yang menatapnya.
Dan yang lebih buruk—Omega-02 tidak sendirian.
Di belakangnya, beberapa sosok lainnya bergerak dengan langkah tersendat. Eksperimen gagal lainnya… makhluk-makhluk yang seharusnya tak pernah ada.
“Mundur ke konsol, cari akses ke pintu belakang!” perintah Dimitri dengan tenang, meski matanya tak pernah lepas dari ancaman di depannya.
Sybil segera berlari ke layar kontrol utama, jari-jarinya menari cepat di atas keyboard. “Pintu darurat di belakang server… tapi terkunci dari pusat! Aku butuh waktu!”
Omega-02 menggeram, suara dalam yang menggema di seluruh ruangan. Gerakannya cepat—terlalu cepat. Dalam sekejap, ia sudah melesat ke arah Dimitri dengan kecepatan yang mustahil untuk ukuran tubuh sebesar itu.
DOR! DOR! DOR!
Dimitri melepaskan tiga tembakan berturut-turut. Peluru 0.408 CheyTac menghantam dada Omega-02, tetapi hanya membuatnya terhuyung sesaat. Makhluk itu hampir tak terpengaruh.
Sybil melirik sekilas dan jantungnya berdegup kencang.
“Dimitri! Itu tidak cukup!”
Omega-02 melompat ke arah mereka—tapi Dimitri lebih cepat. Ia berguling ke samping, menghindari serangan mematikan itu dengan presisi sempurna. Dengan cepat, ia meraih pisau tempurnya dan menancapkannya ke leher Omega-02 saat makhluk itu masih berada di udara.
Darah hitam pekat menyembur, tetapi Omega-02 hanya menggeram—tidak mati.
Makhluk-makhluk lainnya mulai mendekat, menciptakan ancaman yang lebih besar.
“Sybil, sekarang atau kita mati di sini!” Dimitri berteriak sambil menahan Omega-02 dengan sisa tenaga.
Sybil akhirnya menemukan jalan keluarnya. “Pintu terbuka! LARI!”
Tanpa ragu, Dimitri melepaskan pegangan pada Omega-02 dan melompat ke belakang, meraih tangan Sybil. Keduanya berlari ke arah pintu yang kini mulai terbuka perlahan.
Tetapi Omega-02 tidak tinggal diam.
Dengan kekuatan luar biasa, ia mencengkram salah satu server besar dan melemparkannya ke arah mereka.
BRRAKK!
Semuanya terjadi dalam hitungan detik. Ledakan listrik meletus dari server yang hancur, menciptakan percikan api yang menerangi ruangan.
Dimitri mendorong Sybil melewati celah pintu tepat sebelum server itu menghantam lantai, menutup akses di belakang mereka.
“Kita belum selesai dengan ini…” gumam Dimitri, matanya masih terpaku pada pintu yang kini tertutup rapat.
Sybil mengatur napasnya. “Tapi kita masih hidup. Itu yang terpenting.”
Di balik pintu, suara geraman Omega-02 masih terdengar.
Mereka tahu… ini belum berakhir.
---
Bab 12 – Jejak Kegelapan
Black Eden, Koridor Bawah Tanah – 03:45 AM
Langkah kaki Sybil dan Dimitri bergema di koridor sempit yang diterangi cahaya darurat merah. Napas mereka masih memburu setelah pertarungan singkat dengan Omega-02, tapi tak ada waktu untuk beristirahat.
“Kita harus keluar dari sini sebelum mereka menemukan jalan lain untuk mengejar kita,” kata Sybil, menahan gemetar di tangannya.
Dimitri mengangguk, memeriksa peluru yang tersisa di magazinnya. “Peluru konvensional tak banyak berguna untuk mereka. Kita butuh solusi lain.”
Sybil berpikir cepat. “Laboratorium senjata. Mereka pasti punya sesuatu di sana.”
Dimitri melihat peta digital kecil di lengannya. “Kita hanya berjarak 50 meter dari sana. Tapi kemungkinan besar tempat itu juga sudah… ‘terkontaminasi’.”
Mereka melanjutkan perjalanan, menyelinap di antara reruntuhan dengan kewaspadaan penuh. Aroma logam bercampur dengan bau sesuatu yang membusuk semakin kuat.
Lalu mereka melihatnya.
Di ujung lorong, seorang pria dalam jas lab putih berdiri diam di bawah cahaya berkedip-kedip. Tubuhnya kaku, kepala menunduk. Rambutnya kusut dan wajahnya nyaris tak terlihat karena bayangan menutupi matanya.
Dimitri mengangkat senjatanya. “Hati-hati.”
Sybil memperhatikan lebih saksama—dan menyadari sesuatu yang membuat darahnya membeku.
Tangan pria itu… mencakar-cakar dinding hingga jari-jarinya sendiri terkoyak.
Sybil menelan ludah. “Dia bukan manusia lagi.”
SRAKKK!
Tiba-tiba, pria itu menengadahkan wajahnya—dan Sybil melihat mata hitam pekat serta senyum yang terlalu lebar untuk wajah manusia.
"Mereka... bangkit..." Suaranya bergetar, seperti ada dua suara berbicara sekaligus.
Tanpa peringatan, makhluk itu berlari ke arah mereka dengan kecepatan tak wajar.
DOR! DOR!
Dimitri melepaskan dua tembakan langsung ke dadanya, tapi makhluk itu tidak berhenti.
Sybil bereaksi cepat, meraih pisau tempurnya dan menancapkannya ke sisi leher makhluk itu. Darah hitam meletup keluar, tapi yang mengejutkan—makhluk itu malah tertawa.
“Mati kau!” Dimitri menghantamkan popor senapan ke kepalanya, membuatnya terpelanting ke dinding.
Tanpa menunggu lebih lama, mereka segera berlari ke laboratorium senjata.
Pintu geser terbuka—dan mereka langsung masuk, menutupnya dengan cepat.
Ruangan itu masih utuh. Senjata-senjata berteknologi tinggi berjajar rapi di sepanjang dinding, dan di tengah ruangan, terdapat sebuah kontainer kaca dengan peringatan biohazard.
Sybil mendekatinya dan membaca labelnya dengan suara lirih.
“Proyek Helios-9: Senjata anti-mutasi.”
Dimitri menyeringai. “Aku rasa kita baru saja menemukan kunci kemenangan kita.”
Di balik pintu laboratorium, suara makhluk-makhluk itu mulai terdengar.
Mereka datang.
Dan pertarungan yang sebenarnya… baru saja dimulai.
---
Bab 13 – Senjata Terakhir
Black Eden, Laboratorium Senjata – 03:52 AM
Dimitri dengan cepat menekan panel di depan kontainer kaca bertanda “Helios-9”. Lampu indikator berubah dari merah ke hijau, dan segel keamanan terbuka dengan suara mendesis.
Di dalamnya, terdapat tiga selongsong peluru besar dengan inti bercahaya biru keemasan. Desainnya ramping, tapi Sybil langsung tahu bahwa ini bukan peluru biasa.
“Senjata anti-mutasi?” gumamnya, menyentuh permukaannya yang dingin.
Dimitri mengamati data di layar. “Helios-9 dibuat untuk menargetkan jaringan bermutasi dan menghancurkannya dari dalam. Ini bukan peluru biasa, ini lebih seperti... dosis kematian.”
Sybil menarik napas dalam. “Kita hanya punya tiga.”
Dimitri menggenggam salah satunya, menyelipkannya ke dalam CheyTac M200 miliknya. “Maka kita harus memastikan setiap tembakan mengenai sasaran.”
BRAKKK!
Pintu laboratorium hampir jebol. Dari balik kaca kecil di pintu, Sybil bisa melihat makhluk-makhluk itu berkumpul. Kulit mereka menghitam, beberapa memiliki urat berpendar di bawah permukaan kulit, dan mata kosong mereka menatap penuh kebencian.
Dimitri meraih granat asap dari sabuknya dan melemparkannya ke pintu. “Kita harus keluar dari sini sebelum mereka masuk.”
“Setuju.” Sybil menggenggam senjatanya erat dan mulai bergerak.
Mereka keluar melalui jalur servis di belakang laboratorium. Lorong itu gelap dan sempit, hanya diterangi oleh lampu darurat yang berkedip-kedip. Setiap langkah terasa seperti berjalan di atas bom waktu—karena mereka tahu, makhluk-makhluk itu bisa saja muncul kapan saja.
Tiba-tiba—
THUD!
Suara berat terdengar di belakang mereka.
Dimitri berbalik cepat, senapannya terangkat. Sybil mengaktifkan night vision di kacamatanya dan melihat sesuatu bergerak di bayangan.
Lalu, suara itu terdengar.
“Manusia... berani mengganggu kami...”
Dari kegelapan, satu sosok besar muncul.
Besar. Terlalu besar untuk disebut manusia.
Kepalanya botak dengan bekas jahitan yang mengerikan, tubuhnya seperti hasil eksperimen yang gagal, dan matanya bersinar merah pekat. Omega-01.
Dimitri menggeram. “Sial, kita berhadapan dengan yang lebih besar.”
Omega-01 melangkah ke depan dengan gerakan lambat tapi penuh kekuatan. Setiap langkahnya menggema di lorong, membuat debu di langit-langit berjatuhan.
Sybil mengangkat senjatanya. “Ini waktunya mencoba Helios-9.”
Dimitri tak ragu. Ia menarik pelatuknya.
DOR!
Peluru Helios-9 melesat dengan kecepatan tinggi, menembus langsung ke dada Omega-01.
Sesaat, tidak ada yang terjadi.
Lalu, tubuh makhluk itu mulai bergetar. Urat-urat mutasinya berpendar biru keemasan, membakar dari dalam.
Omega-01 mengaum kesakitan, suara jeritannya memekakkan telinga.
Lalu—
BOOM!
Makhluk itu meledak dalam kilatan cahaya biru.
Dimitri menurunkan senjatanya. “Satu jatuh. Dua lagi tersisa.”
Sybil menyeka keringat dinginnya. “Kita harus mencapai titik evakuasi sebelum semuanya terlambat.”
Tapi sebelum mereka bisa bergerak, suara langkah kaki lain terdengar.
Dari bayangan di ujung lorong, sesosok lain muncul.
Yang ini lebih cepat. Lebih pintar.
Dan Sybil langsung tahu—ini adalah ancaman yang jauh lebih berbahaya.
---
Bab 14 – Pengejaran di Bawah Tanah
Lorong Bawah Black Eden – 04:07 AM
Sybil menahan napasnya. Sosok di ujung lorong berdiri diam, tapi auranya mengancam. Tidak seperti Omega-01 yang lamban dan beringas, yang satu ini bergerak dengan ketenangan yang dingin.
Dimitri menggertakkan giginya. “Sial... Itu Omega-02.”
Makhluk itu lebih ramping, lebih proporsional, dengan postur yang hampir manusiawi. Tapi kulitnya masih terlihat seperti hasil eksperimen yang mengerikan—urat berwarna gelap menjalar di lengan dan lehernya, serta matanya bersinar merah. Gerakannya cepat dan presisi, berbeda dengan monster sebelumnya.
Omega-02 miringkan kepalanya sedikit, seperti mempelajari mereka.
“Kalian tidak akan keluar hidup-hidup.” Suaranya terdengar jauh lebih cerdas dibanding Omega-01. Ada kesadaran di sana.
Dimitri mengangkat senapannya. “Coba saja.”
DOR!
Peluru biasa ditembakkan lebih dulu—Omega-02 menghindarinya dengan mudah. Tubuhnya bergerak seperti bayangan, menghilang dari pandangan hanya untuk muncul lebih dekat dalam hitungan detik.
Sybil menahan napasnya. “Dia jauh lebih cepat!”
Omega-02 berpindah tempat dalam kedipan mata, meluncur ke arah Dimitri dengan cakar mencuat.
Dimitri menghindar tipis! Omega-02 menghantam dinding, membuat retakan besar, lalu langsung berbalik menyerang.
“Gunakan Helios-9!” teriak Sybil.
Dimitri mencoba membidik, tapi Omega-02 terlalu cepat! Dalam satu gerakan, makhluk itu menendang senapan dari tangan Dimitri dan hampir mencabik lehernya.
Sybil melompat masuk, menembakkan dua peluru ke lutut Omega-02.
DOR! DOR!
Omega-02 terhuyung, tapi tidak jatuh. Ia hanya tersenyum miring.
“Peluru biasa tidak akan bekerja padaku.”
Sybil mengumpat. Ini buruk.
Omega-02 bergerak lagi—kali ini ke arah Sybil.
Dimitri bergegas mengambil senjatanya kembali. Waktu seakan melambat. Omega-02 melompat, cakarnya mengarah langsung ke tenggorokan Sybil.
Dimitri menarik pelatuk.
DOR!
Peluru Helios-9 melesat lurus ke jantung Omega-02.
Sesuatu terjadi.
Omega-02 membeku di udara. Cahaya biru keemasan dari peluru itu menyebar ke seluruh tubuhnya, menjalar ke setiap urat dan organ.
Makhluk itu jatuh ke tanah, tubuhnya mulai bergetar hebat.
Ia mencoba berbicara, tapi hanya suara parau yang keluar. Matanya melebar, ketakutan menggantikan kesombongannya.
Lalu—
BOOM!
Tubuh Omega-02 meledak menjadi abu.
Keheningan menyelimuti lorong itu. Asap tipis mengepul di udara.
Dimitri menghembuskan napas lega. “Satu lagi jatuh.”
Tapi Sybil masih menggenggam senjatanya erat.
“Jangan santai dulu.” Ia menatap ujung lorong yang gelap. “Kita masih punya satu musuh terakhir. Dan aku yakin dia lebih berbahaya.”
Omega-03 masih belum muncul.
Dimitri mengangguk. “Kita harus segera keluar dari sini.”
Tanpa membuang waktu, mereka melanjutkan perjalanan, semakin dalam ke jalur bawah tanah Black Eden.
Di tempat lain—di sudut tergelap fasilitas itu—Omega-03 membuka matanya.
Dan ia tersenyum.
---
Bab 15 – Konfrontasi Terakhir
Lorong Bawah Tanah Black Eden – 04:35 AM
Udara semakin pekat. Dimitri dan Sybil berjalan perlahan, senjata terangkat, waspada terhadap setiap suara sekecil apa pun. Mereka tahu Omega-03 masih di luar sana—menunggu dalam kegelapan.
Tap. Tap. Tap.
Langkah-langkah samar terdengar, menggema di dinding logam yang dingin.
Sybil berhenti di persimpangan lorong. “Kita hampir sampai di pintu keluar.”
Dimitri mengangguk, menekan komunikasi internalnya. “Dante, apakah lift evakuasi masih aktif?”
“Masih, tapi kalian harus cepat. Aku mendeteksi peningkatan energi di sektor kalian. Sesuatu... bergerak ke arah kalian.”
Sybil menggeram. “Kita tidak sendirian.”
Tiba-tiba, lampu-lampu lorong mulai berkedip.
Satu per satu, mereka padam.
Dimitri segera mengaktifkan mode penglihatan malamnya. Dalam kegelapan, sebuah bayangan besar bergerak.
Omega-03 akhirnya muncul.
Sosoknya jauh berbeda dari Omega-01 dan Omega-02. Ia memiliki tubuh yang lebih tinggi, hampir dua kali lipat dari manusia biasa, dengan otot yang seolah dipahat dari baja. Kulitnya berwarna hitam pekat, dengan urat berpendar merah yang menyala seperti lava cair.
Dan yang paling menakutkan—wajahnya nyaris tidak memiliki ekspresi.
Omega-03 menatap mereka dengan mata kosong, tapi auranya mengancam.
“Kalian sudah terlalu jauh.” Suaranya bergema, lebih dalam dari suara manusia mana pun.
Dimitri mengangkat senjatanya. “Kalau begitu, kita akan lanjut sampai akhir.”
Omega-03 mengangkat satu tangan.
BOOM!
Gelombang kejut menghantam mereka berdua! Dimitri dan Sybil terlempar ke belakang, menghantam dinding dengan keras.
Sybil mengerang. “Sial… dia bisa menciptakan gelombang tekanan hanya dengan satu gerakan?”
Dimitri cepat bangkit, menembakkan peluru Helios-9.
DOR! DOR! DOR!
Omega-03 hanya mengangkat tangannya. Peluru berhenti di udara, melayang beberapa detik sebelum berubah menjadi abu.
“Itu mustahil!” Sybil menatap ngeri.
Omega-03 berjalan mendekat. “Kalian bukan tandinganku.”
Dimitri dan Sybil mundur, berusaha mencari celah. Tapi Omega-03 terlalu cepat. Dalam satu lompatan, ia sudah berada di depan mereka, menebaskan cakarnya ke arah Sybil!
CZZZZT!
Sybil hampir terkena! Dimitri segera menariknya ke belakang, hanya sedetik sebelum cakaran itu menghancurkan dinding di belakang mereka.
Sybil terengah-engah. “Kita tidak bisa mengalahkannya dengan cara biasa.”
Dimitri mengatupkan rahangnya. Ia harus berpikir cepat.
Tiba-tiba, ide itu muncul.
“Sybil, aku butuh kau untuk mengalihkan perhatiannya.”
Sybil menatapnya. “Jangan bilang kau punya rencana gila lagi.”
Dimitri mengaktifkan detonator di pergelangannya. “Aku akan menjatuhkannya ke dalam reaktor.”
Sybil membulatkan matanya. “Reaktor di bawah Black Eden?! Itu bisa—”
Omega-03 menerjang lagi!
Tidak ada waktu untuk ragu.
Sybil menembak lurus ke arah mata Omega-03.
DOR!
Omega-03 mendongak, mengangkat tangannya untuk menahan serangan.
Kesempatan itu cukup.
Dimitri bergegas meluncur ke belakang Omega-03, menekan tombol detonasi!
BOOM!
Lantai di bawah Omega-03 meledak!
Reaktor di bawah tanah terlihat—sebuah pusaran energi panas yang memancar dengan intensitas luar biasa.
Omega-03 hanya punya sepersekian detik untuk menyadari apa yang terjadi—sebelum gravitasi menariknya ke bawah.
“—TIDAK!”
Tubuh raksasa itu jatuh ke dalam reaktor!
CZZZZZZT!!!
Cahaya biru dan merah menyala terang saat Omega-03 tertelan oleh reaktor yang tidak stabil.
Dalam hitungan detik, ledakan dahsyat mengguncang fasilitas.
Dimitri menarik Sybil dan berlari menuju lift evakuasi. “Kita harus keluar dari sini—SEKARANG!”
Mereka berlari secepat mungkin, merasakan panas dan getaran di belakang mereka.
BOOM!
Fasilitas mulai runtuh.
Lift masih terbuka!
Dimitri dan Sybil melompat ke dalamnya tepat sebelum ledakan besar menghancurkan seluruh lorong di belakang mereka.
Mereka berhasil keluar.
---
Di permukaan – 05:07 AM
Dimitri dan Sybil terengah-engah, menatap dari kejauhan saat Black Eden runtuh ke dalam tanah, tersedot oleh ledakan terakhir reaktor.
Semuanya... berakhir.
Dante muncul di radio. “Kalian masih hidup?”
Sybil tertawa kecil, masih berusaha mengatur napas. “Ya... lebih kurang.”
Dimitri memandang reruntuhan itu. “Ini bukan akhir dari segalanya. Tapi untuk sekarang... kita menang.”
Sybil menatapnya, lalu mengangguk.
Mereka berhasil selamat. Tapi dunia masih penuh dengan misteri.
Dan ini baru permulaan.
.
.
.
Epilog – Eclipse Protocol
ZONA RADIOAKTIF, LITHUANIA – 06:45 AM
Kabut yang menggantung di atas Black Eden mulai menipis saat matahari perlahan naik di cakrawala. Cahaya keemasan menyentuh reruntuhan laboratorium yang kini tinggal puing-puing hangus. Udara masih dipenuhi aroma logam dan debu, namun suara erangan yang semalam bergema telah menghilang sepenuhnya.
Di tengah area yang sunyi itu, Sybil Granger berdiri di atas sisa-sisa menara pengawas yang runtuh, tangannya menggenggam erat senapan yang kini hanya tinggal setengah magazin. Luka di bahunya telah diperban seadanya, dan seragam tempurnya dipenuhi noda darah serta abu.
Di belakangnya, langkah kaki terdengar mendekat.
Dimitri Mitchell muncul dari balik reruntuhan, tubuhnya juga penuh luka, namun matanya tetap tajam seperti biasa. Ia membawa CheyTac M200 yang telah kehilangan bipodnya, tanda bahwa pertarungan mereka tidaklah mudah.
Mereka saling berpandangan tanpa kata, sebelum akhirnya Dimitri mendongak menatap langit yang mulai terang.
"Berapa lama sebelum tim pembersih tiba?" tanya Sybil, suaranya parau akibat malam yang panjang.
Dimitri menarik napas dalam sebelum menjawab. "Laporan terakhir menyebutkan mereka akan tiba dalam dua jam. Mereka akan mensterilkan area ini… dan menghapus semua jejak."
Sybil mengangguk pelan. Black Eden kini hanyalah kenangan buruk, namun mereka berdua tahu bahwa kisah ini belum benar-benar berakhir.
"Bagaimana dengan file yang kita temukan?" lanjut Sybil, menoleh ke arah Dimitri.
Dimitri merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah flash drive kecil—satu-satunya bukti dari proyek gelap yang hampir merenggut nyawa mereka. Data ini berisi informasi tentang eksperimen manusia yang gagal, mutasi yang tidak seharusnya ada, dan pihak-pihak yang terlibat di balik layar.
"Kita punya dua pilihan," ucap Dimitri dengan nada serius. "Menyerahkannya kepada atasan dan membiarkan mereka memutuskan… atau kita mencari tahu sendiri kebenarannya."
Sybil menatap flash drive itu selama beberapa detik.
Mereka telah kehilangan terlalu banyak dalam misi ini. Rekan-rekan mereka tidak akan pernah kembali, dan Black Eden sendiri telah menunjukkan bahwa pemerintah tidak selalu bisa dipercaya.
Akhirnya, Sybil mengulurkan tangannya dan mengambil flash drive itu dari Dimitri.
"Kita selesaikan ini dengan cara kita sendiri," katanya pelan.
Dimitri tersenyum tipis, ekspresi yang jarang terlihat darinya. "Aku pikir kau akan mengatakan itu."
Matahari terus naik, mengusir bayangan yang menyelimuti Black Eden.
Mereka berdua berjalan meninggalkan reruntuhan, membawa kebenaran yang tidak seharusnya diketahui dunia.
Namun satu hal pasti—pertarungan mereka belum berakhir.
------ T A M A T ------
.
.
.
Mohon dukungannya atas karyaku. Jika ada kesamaan nama,tempat,kejadian,karakter,itu hanyalah kebetulan untuk menghibur pembaca. Cerita ini adalah fiksi.
Pembaca dimohon bijak dalam menyikapinya.
Terima kasih sebelumnya dan Terima kasih atas waktunya.
.
.
.
Follow Instagram Author :
@poembyselly
@psychicselly
Luv yuh 🌹
~ Selly AWP ~
.
.
.
🌹🌹🌹 Happy Reading 🌹🌹🌹