Sinopsis – Moonlit Serenade
Eleanor Rigby, atau yang akrab disapa Elle, adalah seorang wanita karier berusia 25 tahun dengan pesona yang memikat—tinggi semampai, berambut panjang ikal, dengan mata cokelat madu yang hangat. Sebagai kepala editor di penerbitan komersial Moon Nine, salah satu cabang dari perusahaan hiburan terbesar di dunia, ia menjalani hidup yang sibuk dan ambisius.
Namun, tanpa sepengetahuannya, ada seseorang yang selalu memperhatikannya dari bayang-bayang.
Thomas Goodlake, aktor dan penyanyi terkenal berusia 30 tahun, memiliki daya tarik yang sulit diabaikan—tampan, karismatik, dan misterius. Namun, di balik pesonanya sebagai bintang besar, tersembunyi rahasia yang lebih kelam: Thomas adalah Raja Vampire.
Ketertarikan Thomas pada Elle bukanlah kebetulan. Ia telah mengikuti perjalanan Elle sejak lama, terpesona oleh keberanian dan kecerdasan wanita itu. Tetapi semakin dekat ia dengan Elle, semakin banyak bahaya yang mengintai—dari para musuh yang mengincarnya hingga rahasia yang dapat mengubah hidup Elle selamanya.
Di bawah sinar bulan, cinta mereka tumbuh di antara bahaya dan misteri. Namun, mampukah Elle menerima kebenaran tentang Thomas? Dan akankah cinta mereka bertahan di tengah kegelapan yang mengancam?
"Moonlit Serenade" adalah kisah tentang cinta yang melampaui batas dunia manusia dan makhluk malam, diiringi alunan melodi yang akan selalu bergema dalam hati.
---
Prolog – Moonlit Serenade
Malam itu, langit London dipenuhi oleh pendaran bulan yang menggantung sempurna, menyinari bangunan-bangunan tua dengan cahaya keperakan. Di sebuah sudut kota, dalam apartemen modern dengan jendela besar menghadap ke sungai Thames, Eleanor Rigby duduk termenung di kursi kerjanya. Ujung jarinya menari di atas keyboard, mengetikkan kalimat demi kalimat untuk menyelesaikan editorial terbaru.
Lelah, ia menyandarkan tubuhnya, matanya yang berwarna coklat madu menatap langit berbintang. Sesekali, ia mengusap lehernya, merasa ada sesuatu yang aneh—seperti sensasi diawasi yang tak kunjung hilang. Ini bukan pertama kalinya ia merasa begitu, tetapi setiap kali ia menoleh ke belakang, yang ia temukan hanyalah bayangan dirinya sendiri di jendela.
Jauh di kejauhan, dari atas gedung tertinggi di pusat kota, sepasang mata berwarna keemasan mengamati Elle dengan intens. Senyum samar tersungging di bibirnya.
"Waktunya semakin dekat, Eleanor. Aku sudah menunggumu selama ini."
Thomas Goodlake menurunkan topinya, menyembunyikan kilauan matanya dalam gelapnya malam.
------
– Bayangan di Balik Sorotan
Pagi di London selalu sibuk. Trotoar dipenuhi orang-orang berpakaian rapi, berjalan cepat dengan kopi di tangan, mengejar waktu yang terus berlari. Di lantai 18 gedung Moon Nine Publishing, Eleanor Rigby duduk di ruangannya yang luas, dikelilingi oleh tumpukan naskah, memo rapat, dan layar komputer yang menampilkan laporan terbaru.
Sebagai kepala editor di perusahaan penerbitan yang masih berada di bawah naungan raksasa entertainment Moon Nine, Elle selalu tenggelam dalam kesibukan. Jadwalnya padat, mulai dari membaca naskah baru, mengatur pertemuan dengan penulis, hingga menghadiri event besar. Ia menikmati pekerjaannya, meskipun terkadang merasa lelah dengan ekspektasi tinggi yang diberikan padanya.
Namun, pagi ini ada sesuatu yang berbeda.
Sebuah paket misterius tergeletak di atas mejanya, dibungkus dengan kertas hitam elegan, tanpa nama pengirim. Elle mengernyit, meraih paket itu dengan hati-hati sebelum membukanya. Di dalamnya, ia menemukan sebuah buku tua dengan sampul kulit berwarna merah tua. Tidak ada judul di sampulnya, hanya ukiran berbentuk bulan sabit yang tampak usang.
Elle membuka halaman pertama dan menemukan secarik kertas dengan tulisan tangan yang rapi dan klasik:
"Kata-kata memiliki kekuatan yang lebih besar dari yang kau bayangkan. Bacalah dan temukan jawabannya sendiri. – T.G."
Elle terdiam sejenak. Inisial itu... T.G.?
Sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari rekan kerjanya, Rachel.
Rachel: Elle, kau datang ke gala premiere film ‘Nocturnal Requiem’ malam ini, kan? Aku dengar Thomas Goodlake juga akan hadir!
Elle membaca pesan itu dengan alis terangkat. Thomas Goodlake.
Siapa yang tidak mengenalnya? Ia adalah aktor dan penyanyi terkenal, salah satu bintang paling bersinar di industri hiburan. Dengan wajah tampan, suara yang memikat, dan aura misterius, Thomas selalu berhasil menarik perhatian publik.
Namun, yang membuat Elle terkejut adalah... mengapa nama Thomas tiba-tiba muncul setelah ia menerima paket ini?
Tanpa sadar, ia menggenggam buku tua itu lebih erat, dadanya dipenuhi rasa penasaran yang tidak bisa dijelaskan.
---
– Pertemuan di Bawah Cahaya Bulan
Malam itu, aula utama Lancaster Grand Theatre dipenuhi oleh para selebriti, produser, dan tamu undangan eksklusif yang datang untuk menghadiri gala premiere film Nocturnal Requiem. Lampu-lampu kristal menggantung dari langit-langit tinggi, memancarkan cahaya keemasan yang berkilauan di atas marmer hitam.
Elle melangkah masuk dengan anggun, mengenakan gaun satin berwarna burgundy yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Rambut panjangnya digulung sebagian, menyisakan beberapa helaian ikal yang jatuh di bahunya. Meskipun tidak terbiasa menghadiri acara seperti ini, sebagai kepala editor di Moon Nine Publishing, ia harus membangun jaringan dengan para seniman dan industri hiburan.
Namun, yang membuatnya semakin penasaran adalah buku tua yang diterimanya pagi tadi—dan inisial T.G. yang tertulis di dalamnya.
Rachel, yang mengenakan gaun biru muda, melingkarkan tangannya di lengan Elle dengan semangat. "Kau terlihat luar biasa malam ini, Elle! Dan tebak siapa yang ada di sini?"
Elle mengangkat alis. "Thomas Goodlake?"
Rachel tertawa kecil. "Tentu saja! Dia pemeran utama dalam film ini. Kudengar dia sangat selektif dalam menghadiri acara seperti ini. Mungkin malam ini adalah keberuntungan kita!"
Elle hanya tersenyum tipis, tapi jauh di dalam pikirannya, ada sesuatu yang mengganggunya. Perasaannya sejak pagi masih belum hilang—seakan ada sepasang mata yang terus mengamatinya dari jauh.
Saat itu juga, suara riuh memenuhi ruangan. Semua mata beralih ke pintu masuk utama. Seorang pria memasuki aula dengan langkah tenang dan percaya diri.
Thomas Goodlake.
Dia mengenakan setelan hitam dengan dasi tipis, rambut cokelat gelapnya ditata rapi, memberikan kesan klasik sekaligus misterius. Cahaya lampu berkilauan di matanya—mata yang tajam dan tampak keemasan di bawah sorotan tertentu.
Elle merasakan sesuatu yang aneh.
Dari kejauhan, Thomas melirik ke arahnya. Sebuah senyum samar tersungging di bibirnya, seolah ia telah menunggunya sepanjang malam.
Elle menelan ludah.
Apakah ini kebetulan? Ataukah ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar?
---
– Tatapan yang Menembus Jiwa
Saat acara berlangsung, Elle berusaha mengalihkan fokusnya dari Thomas. Namun, kehadirannya begitu dominan hingga sulit diabaikan.
Sementara tamu-tamu lain berbincang, Thomas bergerak dengan anggun melewati kerumunan, menuju tempat Elle berdiri. Rachel, yang menyadari itu, mencubit lengan Elle pelan.
“Oh Tuhan, dia menuju ke sini…” bisiknya penuh kegirangan.
Elle menarik napas dalam, berusaha tetap tenang.
“Aku sudah lama ingin bertemu denganmu, Eleanor Rigby.”
Suaranya dalam dan kaya, dengan aksen Inggris yang lembut namun penuh otoritas. Elle menoleh, dan mendapati Thomas berdiri hanya beberapa langkah darinya, menatapnya dengan sorot mata yang tajam dan penuh makna.
Elle berusaha menjaga ekspresi netralnya. “Benarkah? Seharusnya aku yang mengatakan itu. Kau adalah bintang besar.”
Thomas tersenyum tipis, tetapi matanya tetap mengunci milik Elle. “Aku lebih tertarik pada kata-kata yang kau pilih, daripada sorotan panggungku sendiri.”
Elle mengernyit. Kata-kata? Apa maksudnya?
“Buku itu…” Elle berusaha menahan diri, tapi rasa penasarannya terlalu besar. “Kau yang mengirimkannya padaku, bukan?”
Thomas tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia merogoh saku jasnya dan mengeluarkan sesuatu—sebuah liontin kecil berbentuk bulan sabit, mirip dengan ukiran di buku tua yang ia terima.
“Rahasia dunia ini lebih luas dari yang kau duga, Eleanor.”
Sebelum Elle sempat merespons, seseorang memanggil Thomas, membuatnya harus berpaling. Namun, sebelum pergi, ia berbisik pelan di telinga Elle, suaranya begitu dalam hingga membuat bulu kuduknya meremang.
“Berhati-hatilah… kau tidak sendirian.”
.
.
.
– Bisikan di Tengah Malam
Malam itu, setelah pulang dari gala, Elle duduk di apartemennya, memandangi buku tua yang masih terbuka di meja kerjanya. Kata-kata Thomas terus terngiang di kepalanya.
"Berhati-hatilah… kau tidak sendirian."
Ia meraih liontin bulan sabit yang diberikan Thomas. Logamnya terasa dingin di kulitnya, seakan menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar perhiasan biasa.
Lalu, sesuatu terjadi.
Bayangan bergerak di sudut ruangan. Elle menoleh cepat, tetapi tidak ada siapa pun. Hanya suara angin malam yang berdesir dari jendela yang setengah terbuka.
Elle berdiri, merasakan ketegangan merayapi tubuhnya. Ia bukan orang yang mudah paranoid, tetapi kali ini… ada sesuatu yang berbeda.
Tiba-tiba, lampu meja mulai berkedip, dan buku tua di depannya terbuka sendiri. Halaman-halamannya bergerak seolah ditiup angin, hingga akhirnya berhenti pada sebuah kutipan:
"Di bawah sinar bulan, kebenaran akan terungkap. Kau telah terpilih, Eleanor."
Jantung Elle berdetak kencang.
Saat itu juga, suara ketukan terdengar di pintunya.
---
– Rahasia di Balik Pintu
Elle menelan ludah. Siapa yang datang malam-malam begini?
Dengan hati-hati, ia berjalan ke arah pintu dan mengintip melalui lubang kecil.
Thomas Goodlake.
Elle menarik napas dalam sebelum membuka pintu. “Kau?”
Thomas berdiri di sana, tangannya terselip di saku jasnya, ekspresinya serius. “Aku tahu ini terlalu tiba-tiba, tapi kita perlu bicara. Ada banyak hal yang harus kau ketahui.”
Elle menatapnya curiga. “Tentang apa?”
Thomas melirik ke dalam apartemen, seolah memastikan sesuatu. “Tentang siapa dirimu… dan siapa aku sebenarnya.”
Rasa penasaran mengalahkan keraguan Elle. Ia membuka pintu lebih lebar, membiarkan Thomas masuk.
Begitu Thomas melangkah ke dalam, sesuatu di dalam ruangan berubah. Udara terasa lebih dingin, dan cahaya bulan yang masuk dari jendela terasa lebih tajam.
Elle menutup pintu, menatap pria itu dengan penuh tanda tanya.
“Kau bukan manusia biasa, Eleanor,” kata Thomas akhirnya, matanya kini bersinar keemasan di bawah redupnya cahaya.
Elle mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”
Thomas mendekat, menatapnya dalam. “Aku adalah Raja Vampire… dan kau adalah alasan aku masih hidup sampai saat ini.”
Elle membeku.
Kata-kata itu mengubah segalanya.
Elle menatap Thomas, mencoba mencerna kata-katanya.
"Aku adalah Raja Vampire… dan kau adalah alasan aku masih hidup sampai saat ini."
Itu terdengar seperti lelucon buruk, tetapi ekspresi Thomas tetap serius, matanya tak berkedip.
Elle menyilangkan tangan di dadanya, berusaha tetap tenang. “Kau bercanda, bukan?”
Thomas mendekat, gerakannya begitu halus dan tanpa suara, seolah ia adalah bayangan yang hidup. “Kau tahu itu bukan lelucon, Eleanor.”
Elle merasakan bulu kuduknya berdiri. Dalam cahaya redup, mata Thomas berkilat keemasan, pupilnya menyempit seperti mata hewan buas.
“Kau mungkin tidak sadar,” lanjut Thomas, “tetapi kau telah menjadi bagian dari dunia yang lebih besar dari yang pernah kau bayangkan.”
Elle menelan ludah. “Apa hubungannya denganku?”
Thomas menghela napas pelan, ekspresinya berubah menjadi lebih lembut. “Kau adalah kunci dari sebuah perjanjian lama… sesuatu yang telah ditakdirkan jauh sebelum kau lahir.”
Hatinya berdegup kencang. Apa maksudnya?
Elle menatap Thomas lekat-lekat, mencari kebohongan dalam ekspresinya. Namun, pria itu tetap tenang, tidak menunjukkan sedikit pun keraguan.
Dan itu yang membuatnya semakin takut.
Thomas melangkah lebih dekat, hingga Elle bisa mencium aroma khasnya—sesuatu yang seperti kayu cendana, bercampur dengan sesuatu yang lebih tua dan lebih dalam.
“Aku sudah lama mencarimu,” bisiknya.
Elle mundur selangkah. “Kita baru bertemu malam ini.”
Thomas tersenyum samar. “Benarkah?”
Tiba-tiba, ruangan terasa berputar. Cahaya bulan memancar lebih terang, dan pandangan Elle mulai kabur.
Kilasan ingatan berkelebat di kepalanya—gambar-gambar buram yang terasa asing namun familiar.
Seorang pria berdiri di bawah bulan purnama, pakaiannya seperti bangsawan abad pertengahan. Matanya bersinar emas, penuh keputusasaan.
"Kau harus kembali padaku, Eleanor."
Sebuah janji. Sebuah perpisahan.
Elle terhuyung, napasnya memburu. Thomas segera menangkapnya sebelum ia jatuh.
“Kau mulai mengingat, bukan?” suaranya terdengar pelan, hampir seperti desiran angin.
Elle menatapnya dengan ngeri. “Apa yang telah kau lakukan padaku?”
Thomas menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan—antara kesedihan dan harapan. “Aku hanya membantumu melihat kebenaran.”
Seketika, jendela apartemen Elle terbuka sendiri, angin malam masuk dengan deras. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya.
Sesuatu yang telah lama terkunci… kini mulai terbuka.
Sebelum Elle bisa bertanya lebih lanjut, ponselnya tiba-tiba berdering. Ia tersentak dan merogoh tasnya dengan tangan gemetar.
Itu dari Rachel.
Elle segera menjawab. “Rachel?”
Suara di ujung sana terdengar kacau, nyaris berbisik. “Elle… ada sesuatu yang aneh… seseorang… mengikuti aku…”
Darah Elle berdesir. “Rachel? Kau di mana?”
“Aku—”
Sambungan terputus.
Elle menoleh ke Thomas dengan panik. “Rachel dalam bahaya!”
Thomas menatapnya dengan tajam, lalu tanpa berkata-kata, ia menggenggam tangan Elle dan dalam sekejap… mereka menghilang.
Saat Elle membuka matanya, ia menyadari sesuatu yang aneh.
Baru beberapa detik yang lalu, ia masih berada di apartemennya. Sekarang, ia berdiri di tengah gang sempit yang diselimuti kabut, dengan lampu jalan yang berkedip redup.
Elle tersentak dan menoleh ke Thomas yang masih menggenggam tangannya. “Apa yang baru saja terjadi?”
Thomas melepaskan genggamannya perlahan. “Aku membawamu ke sini. Rachel ada di dekat tempat ini.”
Elle masih merasa pusing, tetapi fokusnya segera kembali ketika ia mendengar suara langkah cepat bergema di gang itu.
Tanpa pikir panjang, Elle berlari mengikuti suara itu, dengan Thomas berjalan tenang di belakangnya.
Saat belokan terakhir, ia melihat Rachel—temannya yang kini terengah-engah dan berlumuran keringat, berdiri di bawah cahaya lampu jalan. Wajahnya pucat seperti melihat sesuatu yang mengerikan.
“Rachel!” Elle bergegas mendekatinya. “Kau baik-baik saja?”
Rachel menatapnya dengan mata melebar. “Elle… aku… aku melihat sesuatu…”
Sebelum Rachel bisa melanjutkan, terdengar suara geraman dari kegelapan.
Elle merasakan hawa dingin menyelinap di sekujur tubuhnya.
Thomas segera berdiri di antara mereka, matanya menyala keemasan. “Mereka sudah datang.”
Dari bayang-bayang gang yang gelap, sosok-sosok tinggi mulai bermunculan. Mereka mengenakan jubah hitam dengan lambang bulan sabit perak di dada mereka.
Mata mereka bersinar merah gelap—pertanda bahwa mereka bukan manusia biasa.
Rachel mundur ketakutan. “Siapa mereka?”
Thomas tidak menjawab. Ia hanya menatap mereka dengan ekspresi tajam dan penuh perhitungan.
Salah satu dari mereka melangkah maju. Seorang pria dengan rambut panjang keperakan dan wajah seperti diukir dari batu.
“Thomas Goodlake,” suaranya dingin. “Sang Raja akhirnya muncul di hadapan kami.”
Elle menoleh ke Thomas. “Kau mengenal mereka?”
Thomas tetap diam. Namun, pria berjubah itu menyeringai.
“Kami adalah Pemburu Kegelapan,” katanya. “Dan wanita di sampingmu itu—” ia menunjuk Elle, “—adalah kunci dari semua ini.”
Elle terkejut. “Aku?”
Pria itu melangkah lebih dekat. “Kau bukan manusia biasa, Eleanor. Darahmu… adalah yang kami cari.”
Seketika, Thomas bergerak. Dalam sekejap, ia sudah berdiri di depan Elle dan Rachel, matanya menyala lebih terang, napasnya semakin berat.
“Jika kalian ingin menyentuhnya,” kata Thomas dengan suara rendah yang mengancam, “kalian harus melewati aku terlebih dahulu.”
Udara di sekitar mereka bergetar. Suasana berubah menjadi lebih mencekam.
Pertempuran akan segera dimulai.
Elle merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Apa yang sedang terjadi? Mengapa semua orang menginginkannya?
Sebelum ia bisa memproses semuanya, Pemburu Kegelapan menyerang.
Dalam sekejap, Thomas menghilang dari pandangan. Lalu, terdengar suara benturan keras. Tubuh para pemburu itu terhempas ke dinding seperti daun yang ditiup angin badai.
Rachel menjerit, mundur ketakutan.
Elle berdiri terpaku, menatap Thomas yang kini berdiri di tengah pertarungan, napasnya tenang, seolah ini hanyalah permainan baginya.
Namun, salah satu pemburu berhasil melewati pertahanan Thomas. Dengan kecepatan luar biasa, ia melompat ke arah Elle, cakarnya terangkat tinggi.
Elle tersentak. Ia tahu ia tidak punya waktu untuk menghindar.
Lalu, sesuatu terjadi.
Darahnya terasa panas. Seolah ada sesuatu yang meledak di dalam dirinya.
Saat cakaran itu hampir menyentuhnya, tubuhnya memancarkan cahaya keemasan.
Pemburu itu menjerit, terpental ke belakang, tubuhnya seolah terbakar oleh kekuatan yang tak terlihat.
Elle jatuh berlutut, napasnya memburu. Tangannya gemetar saat ia menyadari bahwa cahaya itu… berasal darinya.
Thomas menatapnya dengan ekspresi tak terduga—campuran keterkejutan dan kebanggaan.
“Kau sudah bangun,” katanya pelan.
Elle mengangkat wajahnya. Matanya kini bersinar keemasan, sama seperti Thomas.
Untuk pertama kalinya, ia menyadari bahwa dirinya memang bukan manusia biasa.
Dan ini baru permulaan.
– Sentuhan di Antara Kita
Elle masih bisa merasakan panas di tubuhnya setelah cahaya keemasan tadi muncul. Napasnya berat, jantungnya berdebar kencang.
Thomas berdiri di depannya, matanya tak lepas dari Elle seolah menilai sesuatu yang baru saja terungkap.
Rachel, yang masih terpana dengan apa yang terjadi, akhirnya bersuara, “Elle… apa yang barusan kau lakukan?”
Elle sendiri tidak tahu. Tapi satu hal yang pasti—Thomas tahu.
Saat semua Pemburu Kegelapan mundur, menyadari mereka tidak bisa mengalahkan Thomas dan Elle dalam keadaan seperti ini, Thomas perlahan mendekatinya.
“Eleanor…” suaranya rendah, nyaris berbisik, tapi penuh ketegasan. “Kau harus ikut denganku.”
Elle menatapnya, masih berusaha memahami semua yang baru saja terjadi. “Kenapa? Aku bahkan tidak tahu apa yang baru saja terjadi padaku.”
Thomas menyentuh dagunya, mengangkat wajahnya agar Elle menatap langsung ke matanya. “Karena aku satu-satunya yang bisa membantumu mengendalikan ini.”
Jantung Elle berdetak lebih kencang, bukan hanya karena ketakutan atau kebingungan—tapi karena Thomas begitu dekat dengannya.
Rachel mengalihkan pandangan, merasa ini bukan momen yang pantas untuk disaksikan.
Dan saat Thomas menelusuri pipi Elle dengan ujung jarinya, sesuatu di dalam dirinya merespons.
Mungkin, dalam lubuk hatinya, ia sudah tertarik pada pria ini jauh sebelum ia menyadarinya.
Mereka akhirnya kembali ke apartemen Elle setelah memastikan Rachel aman. Rachel memilih menginap di rumah temannya malam ini, meninggalkan Elle sendirian dengan Thomas.
Sebuah pilihan yang mungkin akan ia sesali nanti.
Elle berdiri di balkon, menatap bulan purnama yang bersinar terang di langit malam. Angin dingin membelai rambut panjangnya, membuatnya sedikit menggigil.
Tanpa suara, Thomas muncul di sampingnya.
“Kau pasti punya banyak pertanyaan,” katanya pelan.
Elle menghela napas. “Bahkan aku tidak tahu harus mulai dari mana.”
Thomas tersenyum tipis. “Mungkin kita bisa mulai dengan ini.”
Sebelum Elle sempat bertanya maksudnya, Thomas mengulurkan tangan, jari-jarinya dengan lembut menyelipkan helai rambut Elle yang tertiup angin ke belakang telinganya.
Elle membeku. Sentuhan itu begitu ringan, tapi cukup untuk membuat jantungnya berdebar.
“Sejak kapan kau mulai memperhatikanku?” tanya Elle, suaranya lebih pelan dari yang ia maksudkan.
Thomas memiringkan kepala sedikit, seolah sedang mengingat sesuatu yang jauh. “Sejak pertama kali aku melihatmu. Tapi aku tidak bisa mendekat.”
Elle mengerutkan kening. “Kenapa?”
Thomas tersenyum, tapi ada kesedihan di baliknya. “Karena aku takut aku tidak bisa melepaskanmu.”
Mata Elle membelalak. “Apa maksudmu?”
Thomas menatapnya lama sebelum akhirnya menjawab, “Aku sudah hidup lebih dari yang bisa kau bayangkan, Eleanor. Tapi di antara ratusan tahun itu, hanya kau yang membuatku ingin berhenti berjalan.”
Elle terdiam. Kata-kata itu terlalu dalam, terlalu emosional, dan terdengar seperti pengakuan yang selama ini ia tunggu tanpa ia sadari.
Bulan bersinar terang di atas mereka.
Dan untuk pertama kalinya, Elle membiarkan dirinya percaya… bahwa mungkin Thomas bukan hanya seorang aktor terkenal. Mungkin, ia adalah sesuatu yang lebih berharga baginya.
Malam itu, Elle dan Thomas berbincang lebih banyak.
Tentang kehidupannya, tentang bagaimana ia menjadi seorang vampire, tentang perjanjian kuno yang menghubungkan mereka.
“Dulu, aku memiliki seseorang…” Thomas mulai bercerita, suaranya terdengar seperti gumaman di angin malam. “Seseorang yang sangat kucintai.”
Elle menahan napas.
“Tapi aku kehilangannya,” lanjut Thomas, matanya menerawang. “Dan aku menghabiskan ratusan tahun untuk mencarinya.”
Elle merasa ada sesuatu di dalam hatinya yang bergetar. “Apa hubungannya denganku?”
Thomas menoleh padanya, dan dalam satu gerakan halus, ia menggenggam tangan Elle.
“Karena orang itu adalah kau, Eleanor.”
Dunia Elle terasa berhenti berputar.
Matanya membelalak, mulutnya sedikit terbuka, tetapi tidak ada kata yang keluar.
Thomas tersenyum tipis. “Kau tidak perlu percaya padaku sekarang. Tapi aku bersumpah, aku akan membuktikan bahwa takdir telah membawamu kembali kepadaku.”
Dan sebelum Elle bisa mengatakan apa-apa, Thomas menunduk, bibirnya nyaris menyentuh punggung tangannya.
Sebuah sentuhan halus, nyaris seperti ilusi.
Namun cukup untuk membuat hatinya semakin berdebar.
Takdir…?
Jika benar, apakah itu berarti… Elle memang sudah ditakdirkan untuk berada di sisinya?
.
.
.
Elle masih terpaku di tempatnya. Kata-kata Thomas terus terngiang di benaknya.
"Orang itu adalah kau, Eleanor."
Itu bukan sekadar pengakuan biasa. Itu adalah sesuatu yang lebih besar, lebih dalam, dan lebih… tak terduga.
“Thomas…” Elle mencoba bicara, tapi suaranya nyaris tak terdengar.
Pria itu hanya menatapnya lembut, seolah memahami betapa beratnya menerima kenyataan ini.
“Kau mungkin belum siap untuk mempercayainya,” katanya, “tapi aku akan memberimu waktu.”
Elle menghela napas, menundukkan kepala, mencoba meredakan kebingungan dalam dirinya.
Tiba-tiba, Thomas bergerak lebih dekat, lalu melepaskan jas hitamnya dan menyampirkannya di bahu Elle.
“Kau kedinginan,” bisiknya.
Elle menegang. Wangi khas Thomas memenuhi penciumannya—maskulin, memabukkan, dan entah bagaimana menenangkan.
“Terima kasih,” gumamnya pelan.
Thomas tidak mengatakan apa-apa, hanya menatapnya. Dan untuk pertama kalinya, Elle melihat sesuatu yang berbeda di matanya.
Itu bukan sekadar tatapan seseorang yang melindungi.
Itu adalah tatapan seseorang yang telah menunggu terlalu lama untuk bersama orang yang ia cintai.
Elle masih belum bisa tidur malam itu.
Setiap kali ia memejamkan mata, wajah Thomas muncul di benaknya.
"Aku sudah hidup lebih dari yang bisa kau bayangkan, Eleanor. Tapi di antara ratusan tahun itu, hanya kau yang membuatku ingin berhenti berjalan."
Apa yang harus ia lakukan dengan pengakuan itu?
Sebuah ketukan di pintu membuyarkan lamunannya.
Jantungnya langsung berdetak kencang. Ia tahu hanya ada satu orang yang bisa datang malam-malam begini.
Dengan ragu, Elle membuka pintu.
Dan di sana, Thomas berdiri dengan ekspresi yang sulit diartikan.
“Bolehkah aku masuk?” tanyanya pelan.
Elle tidak tahu harus menjawab apa. Seharusnya ia menolak, seharusnya ia tidak membiarkan dirinya terlalu dekat dengannya.
Tapi tubuhnya bergerak sebelum pikirannya bisa menolaknya.
Ia membuka pintu lebih lebar.
Thomas masuk, dan suasana di antara mereka langsung terasa berbeda.
Mata Thomas menatapnya dalam, seolah ingin menghafal setiap detail di wajahnya.
Elle merasakan dadanya sesak.
Ia tidak tahu siapa yang bergerak lebih dulu, tetapi tiba-tiba mereka sudah begitu dekat.
Wajah Thomas hanya beberapa inci dari wajahnya.
“Elle…” Thomas berbisik, tangannya perlahan menyentuh wajahnya.
Elle seharusnya menjauh.
Tapi ia tidak bisa.
Lalu dalam satu gerakan lembut, Thomas menunduk dan menempelkan keningnya ke kening Elle.
Detak jantung Elle semakin cepat.
Di luar, bulan masih bersinar terang.
Dan di dalam, dua jiwa yang telah terpisah begitu lama akhirnya mulai menyatu kembali.
Hening.
Hanya suara napas mereka yang terdengar di ruangan itu.
Elle bisa merasakan panas tubuh Thomas, dan tatapan matanya yang begitu dalam.
Ia tidak tahu siapa yang lebih dulu bergerak.
Yang ia tahu, saat berikutnya terjadi, bibir Thomas sudah menyentuh bibirnya.
Lembut. Lambat. Seolah memastikan bahwa Elle tidak akan menolaknya.
Tapi Elle tidak menolak.
Sebaliknya, ia membiarkan dirinya larut dalam ciuman itu.
Tangannya tanpa sadar mencengkeram kerah kemeja Thomas, menariknya lebih dekat.
Thomas menghela napas di antara ciuman mereka, seolah merasa lega setelah sekian lama menahan perasaan itu.
Saat mereka akhirnya berpisah, Elle menatap Thomas dengan mata yang masih dipenuhi kebingungan.
“Kau tidak harus mengatakan apa-apa sekarang,” Thomas berbisik, suaranya penuh kelembutan.
Elle menggigit bibirnya, mencoba memahami semua yang baru saja terjadi.
Mungkin ini gila. Mungkin ini salah.
Tapi satu hal yang pasti—
Malam ini, hatinya tidak lagi ragu.
Dan Thomas?
Ia tersenyum kecil sebelum mengecup kening Elle sekali lagi.
Seolah memberi tahu bahwa ia akan menunggu… berapa lama pun yang dibutuhkan.
Elle masih merasakan sisa kehangatan di bibirnya.
Ia tidak pernah membayangkan akan mencium Thomas Goodlake—seorang pria yang selama ini hanya ia kenal dari layar kaca dan halaman majalah.
Tetapi sekarang, pria itu ada di hadapannya. Nyata.
“Apa kau menyesalinya?” suara Thomas memecah keheningan.
Elle menatapnya. Mata pria itu penuh ketulusan, tapi juga menyimpan sesuatu yang lebih dalam.
Ia menggeleng pelan. “Aku… tidak tahu.”
Thomas tersenyum miring. “Jawaban yang jujur.”
Elle menggigit bibirnya, mencoba meredakan gejolak perasaan yang berkecamuk di hatinya.
“Aku hanya takut.”
“Takut apa?”
“Takut bahwa semua ini tidak nyata. Takut bahwa aku hanya akan menjadi bagian kecil dari duniamu yang luas. Dan takut bahwa suatu hari, aku akan kehilanganmu sebelum aku bisa benar-benar memahami perasaanku.”
Thomas menatapnya lama.
Lalu, dalam satu gerakan, ia meraih tangan Elle dan membawanya ke dada bidangnya.
“Kau merasakannya?” bisiknya.
Elle bisa merasakan detak jantung Thomas di balik dadanya yang kokoh.
“Jantung ini berdetak untukmu, Elle.”
Elle menahan napas.
“Aku tidak peduli seberapa panjang hidupku, atau seberapa banyak dunia yang telah kulihat. Hanya satu yang pasti—aku ingin kau ada di dalamnya.”
Hatinya berdebar begitu kencang hingga ia tidak tahu apakah itu karena dirinya sendiri atau karena pria di hadapannya.
Tanpa sadar, jari-jarinya menggenggam erat kemeja Thomas.
Dan malam itu, di bawah cahaya bulan, Elle mulai percaya bahwa mungkin… hanya mungkin… ini adalah sesuatu yang tidak boleh ia tolak.
Hari-hari berikutnya berjalan seperti mimpi.
Thomas sering datang ke kantor Elle, terkadang hanya untuk sekadar menggodanya atau membawakannya kopi favoritnya.
Hubungan mereka berkembang tanpa kata, tanpa definisi, tetapi terasa lebih dalam dari sekadar ketertarikan biasa.
Namun, Elle tahu ada sesuatu yang masih ia tidak mengerti.
Sampai suatu malam, Thomas mengajaknya keluar.
“Kau mau pergi ke suatu tempat denganku?” tanyanya sambil menyandarkan diri ke meja kerja Elle.
Elle mengerutkan kening. “Sekarang?”
Thomas tersenyum penuh arti. “Percayalah padaku.”
Elle mendesah, tapi akhirnya mengangguk.
Mereka mengendarai mobil Thomas menuju pinggiran kota. Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, dan bulan bersinar terang di langit gelap.
Lalu mereka berhenti di sebuah kastil tua di atas bukit.
Elle memandang bangunan megah itu dengan kagum sekaligus cemas. “Apa ini?”
Thomas menatapnya lama sebelum menjawab.
“Ini rumahku.”
Elle menelan ludah.
Ia tahu Thomas menyimpan banyak rahasia, tetapi tidak pernah menyangka bahwa ia tinggal di sebuah tempat seperti ini.
Ketika mereka masuk ke dalam, suasana di dalam kastil terasa begitu sunyi, hampir seperti waktu berhenti di tempat itu.
Lalu Thomas berbalik menghadap Elle.
“Ada sesuatu yang harus kau ketahui.”
Jantung Elle berdetak kencang.
Thomas mendekat dan menatapnya dalam-dalam.
“Aku bukan manusia, Elle.”
Elle membeku.
Ia sudah menduga sesuatu sejak awal. Ada banyak hal yang tidak masuk akal tentang Thomas—penampilannya yang selalu sempurna, caranya bergerak begitu cepat, auranya yang tidak biasa.
Tapi mendengar pengakuan itu secara langsung tetap membuatnya sulit bernapas.
Thomas menghela napas, lalu melangkah mundur.
Kemudian, dalam sekejap, mata birunya berubah menjadi merah pekat.
Taring tajam muncul di sudut bibirnya.
Elle tersentak.
Tapi yang mengejutkannya bukanlah kenyataan bahwa Thomas adalah vampire.
Melainkan perasaan di hatinya yang tidak berubah.
Elle menatap Thomas tanpa berkedip.
Pria itu masih berdiri di sana, kini dengan wujud aslinya—mata merah yang menyala di kegelapan dan aura yang begitu kuat, tetapi tidak terasa mengancam.
Elle tidak bergerak, tetapi hatinya berteriak dalam kebingungan.
Seharusnya ia takut. Seharusnya ia lari.
Tetapi yang ia rasakan hanyalah keinginan untuk memahami.
Thomas menunggu, tidak mengatakan apa pun, membiarkan Elle menyerap semua informasi itu.
Lalu, tanpa ia sadari, tangannya terangkat, menyentuh wajah Thomas dengan ragu.
Pria itu menegang di bawah sentuhannya.
“Elle…” suara Thomas terdengar serak.
“Aku seharusnya takut, kan?” bisik Elle.
Thomas menatapnya dengan mata yang kini kembali berwarna biru.
“Tapi kau tidak.”
Elle tersenyum samar. “Tidak.”
Hanya ada keheningan di antara mereka.
Lalu, Thomas menariknya ke dalam pelukan.
Pelukan yang terasa lebih nyata daripada apa pun yang pernah Elle rasakan.
“Apakah ini tetap berarti kau akan bersamaku?” suara Thomas terdengar nyaris putus asa.
Elle menutup matanya, membiarkan dirinya merasakan detak jantungnya yang berpadu dengan detak jantung pria itu.
Lalu, ia berbisik dengan suara yang penuh keyakinan.
“Aku tidak akan ke mana-mana, Thomas.”
Dan malam itu, tanpa mereka sadari, sebuah ikatan yang lebih dalam dari sekadar takdir mulai terbentuk.
Elle terbangun dengan perasaan yang aneh.
Semalam adalah malam yang tidak akan pernah ia lupakan. Pengakuan Thomas, pelukan hangatnya, dan janjinya untuk tetap berada di sisinya.
Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang masih mengganggu pikirannya.
Ia berbaring di tempat tidur besar di salah satu kamar kastil Thomas. Langit di luar masih gelap, meskipun jam menunjukkan sudah hampir pagi.
Elle menghela napas dan duduk di tepi tempat tidur.
Pikirannya dipenuhi pertanyaan.
Apakah ia benar-benar siap untuk berada di dunia Thomas?
Apakah ia bisa menerima kenyataan bahwa pria yang ia cintai bukanlah manusia?
Tepat saat itu, pintu kamar terbuka pelan.
Thomas masuk dengan langkah tenang, membawa secangkir teh.
“Kau sudah bangun?” suaranya lembut, tapi ada nada kekhawatiran di sana.
Elle tersenyum samar. “Ya.”
Thomas menyerahkan cangkir itu padanya, lalu duduk di sampingnya.
“Kau tidak tidur nyenyak.”
Elle menghela napas. “Aku hanya… masih butuh waktu untuk memproses semuanya.”
Thomas menatapnya dalam-dalam. “Aku mengerti. Aku tidak ingin memaksamu. Jika kau ingin menjauh, aku tidak akan menahanmu.”
Elle menatapnya, merasakan sesuatu yang menyakitkan di dadanya.
“Apa kau ingin aku pergi?”
Mata Thomas melembut. Ia menggeleng. “Tidak.”
Lalu, dengan suara yang hampir seperti bisikan, ia berkata, “Aku ingin kau tetap di sini. Dengan aku.”
Dan dengan kata-kata itu, Elle tahu bahwa tidak ada lagi alasan untuk meragukan perasaannya.
Hari berikutnya, Thomas membawa Elle berjalan-jalan di taman kastil.
Udara pagi yang sejuk dan suara angin yang berbisik di antara pepohonan membuat suasana terasa begitu intim.
Elle sesekali melirik Thomas.
Ia tampak begitu tenang, meskipun Elle tahu ada banyak hal yang berkecamuk di pikirannya.
“Apa yang kau pikirkan?” akhirnya Elle bertanya.
Thomas menoleh padanya dan tersenyum kecil. “Aku hanya menikmati momen ini.”
Elle mengernyit. “Kau terdengar seperti seseorang yang tidak tahu apakah ia masih bisa menikmati hal seperti ini lagi.”
Thomas terdiam.
Lalu, tiba-tiba ia berhenti dan menatap Elle dengan tatapan yang begitu dalam hingga jantungnya berdebar.
“Elle…”
Suara Thomas begitu pelan, hampir seperti bisikan.
Lalu, tanpa peringatan, ia mendekat.
Elle bisa merasakan napasnya, kehangatan tubuhnya yang begitu dekat.
Dan kemudian, bibir Thomas menyentuh bibirnya.
Itu bukan ciuman yang terburu-buru.
Itu adalah ciuman yang penuh dengan perasaan—lembut, mendalam, seolah Thomas ingin menanamkan sesuatu di dalam dirinya.
Elle terhanyut.
Tangannya secara refleks meraih kerah kemeja Thomas, menariknya lebih dekat.
Ciuman mereka semakin dalam, semakin menghangat, hingga Elle merasa dirinya benar-benar tenggelam dalam perasaan yang tidak bisa ia pahami sepenuhnya.
Ketika mereka akhirnya berpisah, Thomas menatapnya dengan ekspresi yang tidak bisa dijelaskan.
Lalu ia berkata, dengan suara yang begitu lembut namun penuh dengan ketegasan.
“Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu, Elle. Aku bersumpah.”
Dan entah kenapa, kata-kata itu terdengar seperti janji yang sangat penting.
Beberapa hari setelahnya, Elle mulai terbiasa dengan kehadiran Thomas dalam hidupnya.
Namun, ia tahu ada sesuatu yang masih disembunyikan pria itu.
Ia sering menangkapnya termenung, seolah memikirkan sesuatu yang berat.
Sampai suatu malam, Thomas datang ke apartemen Elle.
Ia tampak gelisah, berbeda dari biasanya.
“Ada apa?” Elle bertanya, mencoba memahami ekspresi di wajahnya.
Thomas menatapnya lama sebelum akhirnya berkata,
“Aku ingin memberitahumu sesuatu yang penting.”
Elle merasa jantungnya berdegup kencang.
“Apa itu?”
Thomas menarik napas dalam. “Aku bukan hanya seorang vampire biasa, Elle.”
Elle menahan napas.
Thomas melanjutkan, “Aku adalah Raja mereka.”
Elle menatapnya dengan mata membesar.
“Tunggu… apa?”
Thomas menatapnya dengan serius. “Aku adalah Raja kaum vampire. Itu sebabnya aku harus selalu berhati-hati. Ada banyak musuh yang ingin menghancurkanku. Dan sekarang… mereka mungkin juga akan mengincarmu.”
Elle merasakan tubuhnya membeku.
Ia tidak tahu harus berkata apa.
Namun, satu hal yang ia sadari adalah bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
Elle masih belum bisa sepenuhnya mencerna apa yang baru saja ia dengar.
Thomas bukan hanya seorang vampire—dia adalah Rajanya.
“Jadi… selama ini kau menyembunyikan itu dariku?” Elle bertanya dengan suara pelan.
Thomas menatapnya dengan mata yang dipenuhi sesuatu yang sulit dijelaskan. “Aku tidak bermaksud menyembunyikan, Elle. Aku hanya… ingin kau mengenalku sebagai diriku, bukan sebagai seorang raja.”
Elle menggigit bibirnya, merasa pikirannya berputar.
Thomas mengulurkan tangan, menggenggam jemarinya dengan lembut. “Aku tahu ini banyak untukmu, tapi aku ingin kau tahu satu hal—aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu. Tidak selama aku masih hidup.”
Elle menatapnya, dan untuk pertama kalinya, ia menyadari sesuatu.
Di balik keabadian dan kekuatannya, Thomas juga memiliki ketakutan.
Ketakutan kehilangan dirinya.
Elle menarik napas dalam, lalu mengangguk pelan. “Aku percaya padamu.”
Thomas tersenyum, dan dalam sekejap, kegelisahan di wajahnya sedikit mereda.
Tapi di dalam hatinya, Elle tahu bahwa ini baru permulaan.
Hari-hari berikutnya, Elle mulai memperhatikan sesuatu yang aneh.
Seperti bayangan yang selalu mengawasinya dari kejauhan.
Langkah-langkah yang terdengar saat ia berjalan pulang.
Dingin yang menyelimuti malam, lebih menusuk dari biasanya.
Elle berusaha mengabaikannya, tapi malam itu, sesuatu terjadi.
Saat ia keluar dari kantornya, seseorang menunggunya di depan gedung.
Pria tinggi dengan mata merah darah.
Darahnya langsung membeku.
Pria itu tersenyum tipis, menunjukkan taringnya sedikit. “Jadi ini dia… wanita yang membuat Raja kita jatuh cinta.”
Elle mencoba melangkah mundur, tapi pria itu lebih cepat. Dalam sekejap, dia sudah berdiri di hadapannya, menahan pergelangan tangannya dengan cengkeraman kuat.
“Sayang sekali, manusia sepertimu tidak seharusnya berada di dunia kami.”
Sebelum Elle bisa berteriak, sesuatu terjadi.
Sebuah bayangan bergerak dengan kecepatan luar biasa, dan dalam hitungan detik, pria itu terlempar ke belakang, menghantam dinding dengan keras.
Elle terengah, lalu mendongak.
Thomas berdiri di sana, matanya berkilat dengan warna emas menyala.
Wajahnya dingin, penuh amarah. “Aku sudah melarang siapa pun menyentuhnya.”
Pria itu menyeringai, meskipun darah menetes dari sudut bibirnya. “Kau tahu kau tidak bisa melindunginya selamanya, Thomas.”
Dalam sekejap, pria itu menghilang.
Keheningan menyelimuti udara.
Elle masih terpaku, jantungnya berdetak kencang.
Thomas berbalik padanya, matanya masih menyala.
Tanpa berkata apa-apa, ia menarik Elle ke dalam pelukannya.
“Kau tidak apa-apa?” suaranya terdengar tegang.
Elle mengangguk, meskipun lututnya masih gemetar.
Thomas mengepalkan tangannya. “Ini baru permulaan. Mereka akan datang lagi.”
Elle menatapnya, mengetahui bahwa malam ini telah mengubah segalanya.
Setelah kejadian malam itu, Thomas tidak membiarkan Elle sendirian.
Ia membawanya kembali ke kastil, memastikan bahwa dia aman di sisinya.
Namun, sesuatu di dalam diri Elle mulai berubah.
Ia bukan lagi wanita yang hanya bisa menunggu dan berharap segalanya akan baik-baik saja.
Ia ingin bertarung bersama Thomas.
Malam itu, saat mereka duduk di balkon kastil, Elle menatap Thomas dalam-dalam.
“Katakan padaku segalanya.”
Thomas mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”
Elle menegakkan punggungnya. “Tentang musuh-musuhmu. Tentang perang yang mungkin akan terjadi. Aku ingin tahu semuanya.”
Thomas terdiam, seolah menimbang kata-katanya.
Lalu, akhirnya ia berkata, “Kaum vampir memiliki hierarki. Aku adalah Raja, tapi ada kelompok yang menolak kepemimpinanku. Mereka percaya bahwa aku melemah karena jatuh cinta pada manusia.”
Elle menggigit bibirnya. “Jadi mereka ingin… menyingkirkanmu?”
Thomas mengangguk pelan. “Dan mereka akan menggunakan cara apa pun untuk mencapainya.”
Keheningan menyelimuti udara di antara mereka.
Elle menatapnya lekat-lekat.
Lalu, dengan suara mantap, ia berkata, “Aku tidak akan pergi.”
Thomas menatapnya tajam. “Elle…”
Elle menggenggam tangannya. “Aku tidak akan membiarkan mereka mengambilmu dariku. Aku tidak peduli seberapa berbahayanya dunia ini, aku akan tetap di sisimu.”
Mata Thomas melembut, dan dalam sekejap, ia menarik Elle ke dalam pelukannya.
“Kau benar-benar wanita yang keras kepala,” gumamnya, tapi ada nada bangga dalam suaranya.
Elle tersenyum, memejamkan matanya dalam pelukan Thomas.
Tidak peduli apa pun yang akan terjadi… ia tidak akan meninggalkannya.
Malam itu, kastil Thomas dipenuhi ketegangan.
Elle bisa merasakannya dalam udara—sesuatu akan terjadi.
Thomas berdiri di hadapan jendela besar di ruang pribadinya, matanya menatap gelapnya malam. “Mereka akan datang.”
Elle menggenggam erat tangannya. “Bagaimana kau bisa begitu yakin?”
Thomas menoleh padanya, suaranya rendah. “Karena aku mengenal mereka.”
Dan seakan menjawab perkataannya, pintu kastil tiba-tiba terbuka dengan keras.
Dari balik bayangan, beberapa sosok muncul—vampir dengan mata merah menyala, dipimpin oleh Dante, mantan jenderal Thomas yang kini berkhianat.
Dante melangkah maju, senyum miring di wajahnya. “Raja kita yang jatuh cinta… sungguh menyedihkan.”
Thomas tidak bergerak, tapi matanya bersinar dengan ancaman. “Kau melanggar perbatasanku, Dante.”
Dante mengangkat bahu. “Aku hanya ingin memastikan sesuatu—apakah kau masih layak menjadi Raja, atau sudah terlalu lunak karena seorang manusia?”
Elle merasakan hawa dingin merayap di sekelilingnya.
Dante tersenyum licik. “Kau tahu aturan dunia kita, Thomas. Jika seorang Raja menunjukkan kelemahan, dia harus digulingkan.”
Dan sebelum Thomas bisa menjawab, Dante mengangkat tangannya—dan pasukan vampirnya menyerang.
Dalam sekejap, kastil berubah menjadi medan pertempuran.
Thomas bergerak dengan kecepatan luar biasa, menangkis serangan para vampir pengkhianat. Gerakannya tajam, mematikan—seorang Raja yang bertarung untuk takhtanya.
Elle berusaha mencari tempat berlindung, tapi Dante menemukannya lebih dulu.
“Ah, manusia kecil ini…” Dante mencengkeram lengannya dengan kasar. “Kau tahu, akan lebih mudah jika kau mati.”
Elle berusaha melawan, tapi kekuatan Dante jauh di luar kemampuannya.
Namun sebelum ia bisa melakukan sesuatu, suara Thomas terdengar, dingin dan mematikan.
“Lepaskan dia.”
Dante mendongak, menyeringai. “Atau apa?”
Dalam hitungan detik, Thomas sudah ada di hadapannya, matanya berkilat emas.
Dan untuk pertama kalinya, Elle melihat sesuatu yang berbeda—Thomas yang tidak menahan diri.
Dante terhuyung ke belakang saat Thomas meninju dadanya dengan kekuatan luar biasa, membuatnya terlempar menghantam dinding.
Salah satu vampir pengkhianat mencoba menyerang, tapi Thomas hanya melirik—dan dalam sekejap, sosok itu roboh, tubuhnya hancur menjadi abu.
Suasana mendadak sunyi.
Dante terbatuk, darah hitam menetes dari bibirnya. “Kau… jauh lebih kuat dari yang kuingat.”
Thomas menatapnya dingin. “Aku tidak pernah melemah.”
Dante tertawa lirih. “Mungkin begitu… tapi kau tetap akan kalah.”
Dan dalam sekejap, ia menghilang ke dalam kegelapan.
Setelah pertempuran usai, kastil terasa sunyi.
Elle duduk di kamar Thomas, masih berusaha mencerna semuanya.
Lalu, Thomas datang, menatapnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.
“Mereka akan kembali,” katanya pelan. “Aku tidak bisa membiarkanmu di sini lebih lama.”
Elle menatapnya tajam. “Apa maksudmu?”
Thomas menghela napas, lalu berlutut di hadapannya. “Aku ingin kau pergi dari dunia ini, Elle. Aku ingin kau aman.”
Elle merasakan jantungnya mencelos. “Kau ingin aku meninggalkanmu?”
Thomas menggenggam tangannya. “Aku ingin kau hidup.”
Tapi Elle menggeleng. “Tidak. Aku tidak akan pergi.”
Mata Thomas berkabut oleh emosi. “Elle…”
Elle menyentuh wajahnya dengan lembut. “Aku mencintaimu, Thomas. Dan aku tidak akan meninggalkanmu, apa pun yang terjadi.”
Thomas menutup matanya sejenak, seakan menahan perasaan yang menghantamnya.
Lalu, saat ia membuka matanya kembali, ada keteguhan di sana.
“Kalau begitu, aku akan melindungimu.”
Mereka saling menatap dalam keheningan, mengetahui bahwa pertempuran terbesar masih menunggu.
Langit di atas kastil Moonlit Haven tampak gelap, seakan alam merasakan ketegangan yang melingkupinya.
Pertempuran terakhir telah tiba.
Dante datang kembali—kali ini dengan pasukan yang lebih besar. Mereka berencana menggulingkan Thomas sepenuhnya.
Tapi Thomas sudah siap.
Bersama para loyalisnya, ia berdiri di depan gerbang kastil, menghadang para pemberontak.
Elle berdiri di sisinya, meski Thomas sempat memintanya untuk tetap aman di dalam.
“Aku tidak akan meninggalkanmu,” katanya mantap.
Thomas menatapnya, kemudian mengangguk kecil.
Dan perang pun dimulai.
Darah hitam vampir berceceran di tanah, jeritan pertempuran menggema di udara. Thomas bergerak seperti bayangan, setiap gerakannya cepat dan mematikan.
Elle berusaha bertahan, menghindari serangan, dan bahkan membantu dengan cara yang ia bisa.
Dante, dengan kecepatan mengerikannya, akhirnya berhadapan langsung dengan Thomas.
“Takhta ini bukan milikmu lagi,” desis Dante.
Thomas tersenyum dingin. “Kau terlalu percaya diri.”
Duel keduanya berlangsung sengit.
Dante mencoba menyerang dengan cepat, tapi Thomas sudah lebih kuat dari sebelumnya. Dengan satu gerakan kilat, ia menancapkan belatinya ke dada Dante.
Dante terhuyung. “Tidak mungkin…”
Thomas berbisik di telinganya. “Kau lupa… aku Raja.”
Dalam sekejap, tubuh Dante hancur menjadi abu.
Pertempuran berakhir.
Thomas menoleh ke belakang, menemukan Elle berdiri di sana—dengan mata penuh perasaan.
Ia mendekat, menyentuh pipinya dengan lembut. “Aku sudah berjanji melindungimu.”
Elle tersenyum, air matanya jatuh perlahan.
Dan di bawah cahaya bulan, mereka akhirnya berbagi ciuman yang penuh arti—bukan sekadar nafsu, tetapi janji.
Sebuah janji untuk tetap bersama.
– Epilog: Moonlit Serenade
Beberapa bulan setelah pertempuran itu, dunia vampire kembali stabil.
Thomas tetap menjadi Raja, tetapi dengan cara yang berbeda. Ia memerintah dengan lebih bijaksana, lebih manusiawi—berkat Elle.
Elle tetap bekerja di Moon Nine, tetapi kini hidupnya penuh dengan warna.
Di balik layar, ia adalah kekasih seorang Raja.
Hubungan mereka bukan tanpa tantangan—tetapi mereka selalu menemukan cara untuk saling melindungi.
Malam itu, di balkon kastil, Elle bersandar pada dada Thomas, menatap bulan yang bersinar lembut.
“Apa yang kau pikirkan?” tanya Thomas, mengecup pelipisnya.
Elle tersenyum. “Aku hanya… merasa ini seperti mimpi.”
Thomas memiringkan kepalanya, menatapnya dengan mata emasnya. “Dan aku akan memastikan kau tidak pernah terbangun.”
Elle tertawa pelan.
Lalu Thomas mengangkat tangannya, memainkan alunan lembut di piano yang ada di balkon.
Nada-nada itu mengalun di udara—sebuah serenade di bawah sinar bulan.
Elle menutup matanya, menikmati setiap nada yang dimainkan kekasihnya.
Di dalam hatinya, ia tahu satu hal pasti:
Cintanya pada Thomas adalah sesuatu yang abadi.
.
.
.
-------- The End --------
Mohon dukungannya atas karyaku. Jika ada kesamaan nama,tempat,kejadian,itu hanyalah sebuah kebetulan. Cerita ini murni fiksi dan hanya untuk hiburan semata. Pembaca diharap bijak dalam menyikapinya.
.
.
.
Follow juga Instagram Author :
@poembyselly
@psychicselly
Luv yuh🌹
~ Selly AWP ~
.
.
.
°°°°°°°°° Happy Reading °°°°°°°°°