Hujan turun perlahan di sudut kota yang tak pernah tidur. Lampu-lampu jalan berpendar temaram, memantulkan genangan yang tercipta di trotoar. Raka menatap ke luar jendela kedai kopi, memperhatikan butiran air yang jatuh di balik kaca. Ia selalu menikmati malam-malam seperti ini, di mana pikirannya bisa mengembara ke berbagai arah tanpa batas.
"Hidup ini menarik, bukan?" suara lembut menyela lamunannya.
Dia menoleh. Laila duduk di seberangnya, mengaduk kopi dengan gerakan lambat, seolah sedang membentuk pola dari butiran gula yang larut.
"Menarik?" Raka mengulang kata itu dengan senyum tipis. "Tergantung bagaimana kau melihatnya. Bisa jadi menarik, bisa juga membosankan."
Laila tertawa kecil. "Kau selalu seperti ini, melihat hidup dengan sudut pandang yang terlalu filosofis."
"Dan kau selalu melihatnya dengan terlalu banyak emosi," balas Raka.
Laila menghela napas, meletakkan sendoknya di tepi cangkir. "Kau tahu, aku selalu bertanya-tanya, apakah kita benar-benar menginginkan sesuatu, atau kita hanya tergoda oleh rasa ingin?"
Raka terdiam. Ia mengerti maksud Laila. Seperti yang pernah dia rasakan dulu, saat pertama kali mencoba rokok di usia 14 tahun. Itu bukan karena dia suka, tapi karena ingin. Rasa penasaran yang kemudian menjelma menjadi kebiasaan, sesuatu yang hampir membuatnya terperangkap.
"Kau bicara soal hidup, atau tentang kita?" tanyanya akhirnya.
Laila tersenyum samar. "Mungkin keduanya."
Raka menatapnya dalam-dalam. Dia dan Laila sudah saling mengenal sejak lama. Mereka tumbuh bersama, berbagi mimpi yang sama, hingga akhirnya berpisah oleh pilihan yang berbeda. Laila memilih jalan yang penuh emosi dan seni, sementara Raka memilih jalan yang penuh logika dan strategi.
"Kita tidak pernah benar-benar memilih, Raka. Kita hanya berjalan bersama apa yang membawa kita ke titik ini," kata Laila pelan.
Raka tersenyum miris. "Lalu apa yang kita kejar selama ini? Sesuatu yang kita inginkan, atau sesuatu yang sekadar terlihat menarik?"
Laila menatap keluar jendela, ke arah hujan yang masih turun. "Mungkin kita tidak benar-benar mencari sesuatu. Mungkin kita hanya ingin diakui. Seperti perusahaan yang bersaing, seperti inovasi yang diciptakan, seperti seseorang yang ingin dicintai tanpa tahu apakah dia benar-benar mencintai."
Raka terdiam. Kata-kata Laila mengingatkannya pada kutipan Peter Thiel—dunia berjalan bukan karena keserakahan, tapi karena keinginan untuk bersaing. Dan bukankah cinta juga begitu? Sebuah siklus tanpa akhir dari keinginan untuk lebih, untuk memiliki, untuk menjadi lebih dari sekadar seseorang di kehidupan orang lain?
"Lalu, kita ini apa?" Raka akhirnya bertanya.
Laila menoleh, matanya bersinar lembut. "Kita adalah sesuatu yang ingin menjadi sesuatu."
Hening mengisi ruang di antara mereka. Hujan mulai mereda, menyisakan aroma tanah basah yang menyegarkan.
"Dan jika kita tidak bisa menjadi sesuatu yang kita inginkan?" Raka menatapnya, menunggu jawaban.
Laila tersenyum. "Maka kita tetap sesuatu yang pernah berarti."
Di luar sana, kota kembali hidup. Lampu-lampu kembali berpendar lebih terang, dan jalanan mulai ramai. Tapi di dalam kedai kopi itu, waktu terasa berhenti. Di antara kata-kata yang tak terucap, di antara pilihan yang tak terselesaikan, di antara keinginan yang masih mengambang di udara.
**Udahan dulu deeh... besok besok sambung lagi.... kasih like yaa biar semangaat nulisnya...**