Hari itu, aku menemukan sebuah surat di laci mejaku. Tanpa nama. Tanpa petunjuk. Hanya tulisan tangan rapi yang berbunyi:
"Selina, aku tahu kau akan membaca ini. Jangan buang surat ini, karena ini awal dari sesuatu yang spesial."
Aku mengernyit. Siapa yang menulis ini?
Aku menoleh ke sekeliling kelas. Teman-temanku masih asyik ngobrol, tak ada yang memperhatikanku.
Jantungku berdebar, antara penasaran dan sedikit waspada. Dengan hati-hati, aku memasukkan surat itu ke dalam tas. Mungkin ini lelucon seseorang. Atau…
"Hei, Selina! Ngapain diem aja?" suara Rianna, sahabatku, menyadarkanku.
Aku tersenyum kecil. "Nggak apa-apa, kepikiran sesuatu aja."
Rianna mendekat, melirik tanganku yang baru saja memasukkan sesuatu ke dalam tas.
"Surat cinta?" godanya dengan alis naik-turun.
"Apaan sih!" Aku mencibir, berusaha terlihat santai.
Tapi sejujurnya, aku tidak bisa berhenti memikirkan surat itu.
---
Malamnya, aku mengeluarkan surat itu lagi. Aku mengamati tiap hurufnya, mencoba mencari tahu siapa yang menulisnya. Tidak ada ciri khas.
Tidak ada tanda tangan. Bahkan, baunya pun netral, tidak seperti parfum cowok atau cewek tertentu.
Aku menghela napas. "Mungkin besok bakal ada lagi," gumamku.
Dan benar saja.
Keesokan harinya, ada satu lagi.
"Aku suka cara kau menggigit ujung pulpen saat berpikir."
Darahku berdesir. Ini bukan surat biasa. Siapapun dia… dia mengamatiku. Setiap gerak-gerikku.
Aku merasa punggungku meremang. Aku menoleh ke arah jendela kelas, ke setiap sudut ruangan. Siapa? Siapa yang melakukan ini?
Dan untuk pertama kalinya, aku merasa… diawasi.
---
Nama pengirimnya akhirnya terungkap beberapa minggu kemudian.
Zayne.
Cowok yang selalu terlihat dingin, kaya, dan nggak pernah peduli dengan siapapun. Yang bahkan jarang bicara kecuali kalau dia benar-benar perlu. Tapi anehnya… dia selalu baik padaku. Hanya padaku.
Aku ingin percaya kalau ini cuma bagian dari ketertarikan biasa.
Tapi semakin banyak surat yang datang, semakin aku sadar—ini bukan sekadar perasaan suka.
Ini obsesi.
Dan aku tidak tahu harus senang… atau takut.
"Selina... kenapa kamu ngehindarin aku?" suara Zayne terdengar berat, dingin, tapi ada sedikit nada kecewa di dalamnya.
Aku terdiam, menatapnya dengan hati berdebar. "Aku nggak—aku cuma…"
"Kamu takut?" Zayne memiringkan kepalanya, senyum kecil terukir di wajahnya. "Aku cuma ingin dekat denganmu. Apa itu salah?"
Aku menelan ludah. "Kenapa kamu ngelakuin ini?! Ngirimin aku surat-surat itu?!"
Zayne menghela napas. "Karena kamu spesial, Selina… Aku nggak bisa biarin kamu jauh dariku."
Aku melangkah mundur. "Zayne, ini nggak normal…"
Senyumnya melebar. "Normal? Hah. Nggak ada yang namanya 'normal' dalam perasaan. Kau pun tahu itu, kan?"
Dadaku terasa sesak. Aku harus pergi dari sini… secepat mungkin!
Tapi sebelum aku bisa berbalik, Zayne berbisik di dekat telingaku.
"Aku tahu kau membacanya, Selina. Dan aku tahu… kau nggak bisa menghindar dariku."
Aku melangkah mundur. "Zayne, ini nggak normal…"
Senyumnya melebar. "Normal? Hah. Nggak ada yang namanya 'normal' dalam perasaan. Kau pun tahu itu, kan?"
Dadaku terasa sesak. Aku harus pergi dari sini… secepat mungkin!
Tapi sebelum aku bisa berbalik, Zayne berbisik di dekat telingaku.
"Aku tahu kau membacanya, Selina. Dan aku tahu… kau nggak bisa menghindar dariku."
Aku menegang. Aroma parfumnya menusuk hidungku, bercampur dengan hembusan napasnya yang begitu dekat. "Zayne… jangan macam-macam…" bisikku, mencoba terdengar tegas meski suaraku bergetar.
Zayne terkekeh pelan, nyaris seperti bisikan. "Aku nggak akan menyakitimu, Selina… Aku hanya ingin memastikan kamu tetap di sisiku. Itu saja~"
Aku mundur selangkah, tapi Zayne lebih cepat. Tangannya terangkat, menyentuh rambutku dengan gerakan lembut yang justru membuat bulu kudukku berdiri.
"Aku nggak butuh jawaban sekarang…" katanya pelan. "Tapi cepat atau lambat, kamu akan mengerti kalau ini takdir."
Aku menggeleng. "Bukan… ini bukan takdir, ini manipulasi!"
Zayne menatapku sejenak, lalu tersenyum samar. "Kalau itu yang kamu pikirkan, Selina… kita lihat saja nanti~"
Aku harus pergi. Aku harus keluar dari sini!
Tapi saat aku berbalik, aku melihatnya.
Sebuah surat lain… terselip di antara bukuku.
Dan di sana, tertulis sesuatu yang membuat darahku membeku.
"Aku tahu kau ingin lari, tapi aku juga tahu… kau akan kembali padaku."
Tanganku gemetar saat mengambil surat itu. Aku ingin merobeknya, membuangnya, tapi entah kenapa, jari-jariku malah meraba huruf-huruf itu… seolah mencari jawaban yang tak bisa kutemukan.
Lalu tiba-tiba, ponselku bergetar.
Pesan dari nomor tak dikenal.
Jangan coba lari. Aku selalu melihatmu.
Aku tersentak, menoleh ke kanan dan kiri. Tidak ada yang mencurigakan. Tapi aku tahu… dia ada di sini. Mengawasi.
Jantungku berdegup semakin cepat. Aku harus keluar dari sini. Harus menjauh.
Tapi saat aku melangkah menuju pintu keluar kelas, suara Zayne kembali terdengar, kali ini lebih pelan—hampir seperti bisikan di kepalaku.
"Kau akan kembali padaku, Selina. Aku akan pastikan itu."
Aku menahan napas. Kakiku kaku di tempat. Rasanya mustahil untuk bergerak ketika kata-kata itu mengikatku seperti rantai tak terlihat.
Zayne mendekat, menyelipkan sesuatu ke dalam saku blazerku.
"Baca saat kau sendirian, Selina," bisiknya sebelum melangkah pergi, meninggalkanku dengan sejuta pertanyaan di kepala.
Aku menggenggam saku blazerku erat-erat. Aku tidak ingin melihatnya. Tidak ingin tahu apa lagi yang dia tulis.
Tapi aku tahu... aku tidak akan bisa menahan diri untuk tidak membacanya.
Dan itu membuatku semakin takut.
Tobe continued....