Phantom Stage
Author: £rðzêñ Hêår†§
Horor
Di sebuah kota besar dan di penuhi oleh berbagai kelap kelip lampu hias, untuk perayaan acara yanga akan di adakan beberapa hari lagi, salah satu pekerja bernama Jordan menghabiskan waktu mengecek naskah agar di serahkan kepada dua temannya, namun karena keasyikan bekerja membuatnya lupa waktu hingga jam dinding menunjukkan tepat 10 malam, namun dia masih saja fokus pada layar komputer di depannya.
Saat pekerjaannya tinggal beberapa kata, Jordan melihat bahwa di kantor tempat dia bekerja masih ada pekerja selain dirinya, padahal seingatnya semua rekan kerja telah pulang lebih awal, karena penasaran dia berniat untuk melihat siapa orang tersebut.
Namun langkah kaki Jordan ketika melihat tak ada seorang pun di sana, jadi dia segera mengasumsikan bahwa mungkin saja orang itu tengah pergi ke toilet ataupun mengambil kopi atau semacamnya, tapi saat akan kembali ke meja kerja terdengar semacam suara ketikan keyboard, tentu saja dia langsung berbalik sambil memastikan bahwa apa yang di dengarnya hanya efek dari kelelahan.
Tapi hal itu di luar dugaan karena ternyata seorang wanita berambut emas tengah duduk sambil melakukan tugasnya seperti biasa, seketika Jordan terdiam karena seingatnya tak ada seorangpun di sana, meski begitu bayangan dari wanita tersebut tak terpantulkan pada layar monitor di depannya.
Jordan merasakan seperti hawa dingin di sekitarnya, dan sambil bersiul dia berjalan perlahan ke arah tempat kerjanya lalu mengambil ransel serta jaketnya, tak lupa dia juga menyimpan progresnya agar bisa di akses keesokkan harinya.
Dengan jantung berdetak kencang Jordan melangkah keluar dari kantornya dan tak sabar memberitahukan pengalaman yang baru saja dia alami kepada kedua sahabatnya, bahkan tanggannya sampai gemetaran untuk mengubahnya menjadi sebuah cerita, tapi karena saat merasa sedikit lelah dia memutuskan pergi beristirahat di taman, sebagai tempat mengeluarkan imajinasi miliknya.
Sekilas pandangan Jordan terhenti ketika dia melihat sebuah poster tentang uji nyali di sebuah mansion kosong walaupun tujuan awalnya bukanlah itu, tapi baginya jika bisa melakukan dua hal dalam satu waktu maka semuanya tak masalah, dia pun segera mengambil ponsel dari ransel lalu memanggil kedua orang temannya.
"Freddy aku ingin kau membantuku, panggil Jashinta ke taman dekat kota karena aku punya ide." Jordan mengirim pesan tersebut pada temannya.
Sementara menunggu kedatangan dari kedua temannya Jordan mengambil pulpen dan menulis ide dalam kepalanya, serta mempersiapkan beberapa aktor serta akan menjadi bintang dalam panggung yang akan dia bangun.
Freddy melompat dan berharap mengagetkan temannya. "Hayoloh, lagi apa malam-malam segini?"
"Edy? Jas mana?" Jordan berkata tanpa memalingkan wajahnya dari kertas di tangannya. "kalau udah siap segera kasih tahu aku."
Sementara Jashinta yang sedari tadi duduk di samping Jordan merasa tak di perhatikan. "mungkin kalau cosplay aku bakal jadi hantu gentayangan deh, apa benar keberadaanku setipis tisu."
Seketika Jordan berdiri dan terlihat kaget. "Jas, Fred aku ingin membuat sebuah film horor berbasis live dan pemerannya adalah orang yang datang ke mansion tua di ujung kota untuk uji nyali."
Jashinta menyeka keringatnya dan tampak sedikit lega. "aku hampir berfikir kalau akan memainkan peran dalam film tersebut, tapi aku sedang sibuk dalam perfilman sekarang apa gak masalah?"
Jordan berkecak pinggang dan bergaya seakan tengah mengatur kaca matanya. "tenang saja karena kita akan membuat film ini sesingkat singkatnya, 30 menit sudah cukup."
"Jordan, apa kau yakin soal itu? Karena di rumah aku masih harus mengurus anak serta istriku loh." kata Freddy yang tampak sedikit ragu. "di tambah lagi tugasku hanyalah sebagai pengedit efek, jika ini acara live maka—"
"Tenang saja Fred karena aku telah membuat semua rencananya bahkan ketika kalian belum sampai ke sini." Jordan memberikan beberapa lembar kertas pada kedua temannya. "jika kalian membantuku maka ketenaran akan menjadi milik kalian."
Ketika mendengar itu, Freddy menggelengkan kepalanya. "ternyata kau percaya diri banget ya, jadi kapan kita akan pergi mengecek mansion tersebut? Gak mungkin kan kita membuat film tanpa persiapan sama sekali?"
Sepertinya Jashinta mendapatkan sebuah ide. "aku akan meminjam beberapa peralatan rekaman selama 1 bulan, aku harap kalian gak merusaknya atau kalian akan aku tuntut di sidang."
Mendengarnya Jordan berdiri sambil memberi hormat. "siap Ibu Jashinta Mikaela Shapire, aku berjanji akan menjaga semua yang kau pinjamkan."
"Lucu banget dah kamu." ucap Jashinta.
"Bagaimana kalau kita nikmati dulu suasana malam ini karena sebentar lagi pesta Halloween akan segera di mulai." ucap Jordan sambil memejamkan matanya. "selalu ada waktu untuk beristirahat."
Bintang malam terlihat begitu indah membentuk sebuah garis dengan arti tertentu, meski dinginnya udara malam tak bisa memisahkan persahabatan dari ketiga orang tersebut, hingga akhirnya ponsel milik Jordan berbunyi.
'Siapa sih yang nelpon di saat seperti ini?' gumam Jordan sambil memasangkan earphone di telinga.
"Halo, apakah ini dengan Poppy?" ucap orang misterius, suaranya tenang namun terasa sedikit mengancam.
"Bukan, aku bukan poppy tapi—"
Sebelum Jordan memperkenalkan diri, telepon tersebut di matikan secara sepihak, karena merasa bahwa itu mungkin hanyalah panggilan iseng, dia pun memblokir nomor tersebut agar tidak mengganggunya.
"Kayaknya udah hampir tengah malam deh, kita pulang dulu deh." Freddy berdiri dan beranjak pergi dari taman tersebut.
"Panggil aku kalau sudah akan mengecek mansion—menyeramkan itu." Jashinta memasang senter dan memasang wajah menakutkan. "bisa jadi tempat tersebut di penuhi aktivitas paranormal."
"Berhenti menakut nakuti." ucap Jordan.
Karena idenya di terima dengan baik oleh kedua temannya, Jordan mengambil kertas di tangannya lalu berjalan ke arah rumahnya sembari menatap ke arah langit yang tampak begitu indah.
Namun seolah ada sesuatu yang aneh karena tampaknya langit tak berbeda dengan ketika berada di taman, Jordan menatap sekeliling dan mendapati dirinya sedang berada di tengah taman, bersama kedua temannya.
"Kalian masih di sini? Gak jadi pulang gitu?" ucap Jordan yang tampak bingung. "atau sebenarnya kalian hanya merindukan aku."
"Tidak mungkin." Freddy berjalan menghampiri kedua temannya dan tampak sedikit panik. "aku telah berjalan hingga pintu taman namun pandanganku menjadi kabur, setelah sadar sudah di sini."
"Setidaknya kalian tidak melihat sosok bayangan di balik pohon itu kan? Entah kenapa tapi matanya berwarna merah terang dan—sedikit ber—" Jashinta tampak menghindari tatapannya dari pohon tersebut. "mungkin itu alasan kita tidak bisa pergi dari sini."
"Aku tidak melihat-kayaknya di sini banyak pohon tinggi, ya kan?" Freddy tampak menatap ke arah langit seolah tengah menghindari sesuatu.
"Tapi itu bukan berarti akan menghalangi langkah kita untuk membuat film kan? Sebagai seorang profesional tidak pernah lari dan berhenti di tengah jalan." ucap Jordan penuh percaya diri.
Namun dari balik bayangan seperti ada sosok yang menahan Jordan serta teman temannya untuk pergi dari tempat tersebut, entah apa tujuannya.
Setelah beberapa saat yang terasa seperti keabadian ketika mereka merasa seakan ada sesuatu mengintai dari balik pepohonan, perasaan mereka bukan hanya takut namun bahagia karena bisa membuat sebuah film, karena jika mereka dapat memberikan semacam pengalaman nyata mungkin bisa memberikan vibes tersendiri dalam projek film mereka.
Saat itu Jordan memandang salah satu temannya. "nyalakan kameramu Jas, karena kita akan mengambil potret dari mahluk yang ingin masuk film ini."
"Jor, ini bukan saatnya untuk membuat lelucon! Kau tak lihat apa di belakangmu masih ada—" suara Jashinta tampak sedikit serak karena mahluk itu seakan sedang tersenyum menatapnya. "kayaknya kita harus menemukan se-sebuah peti di sekitar taman ini."
Jordan mengambil ponselnya lalu memasang senter dan menyinari wajahnya. "apa kalian tahu di sekitar taman ini ada seseorang pernah mati secara tak wajar di sini, bahkan kasusnya tak pernah di tanggapi oleh para penyidik dengan alasan sibuk padahal mereka hanya tidak mau membantu orang miskin yang bahkan tidak bisa membayar sepeserpun."
"Aku tidak ingat pernah membuat kompetisi untuk mencari tahu siapa juara dalam membuat kisah horor." ucap Freddy, meski suaranya tenang namun terdengar bahwa ia sedikit kesal.
"Sebelum ke sini aku sempat melihat sebuah keanehan di kantor tempat aku bekerja." ucap Jordan sambil mengernyitkan wajahnya. "tapi sekarang kita terjebak dalam taman ini, meski sepertinya terdengar menyenangkan sih."
Mendengar hal itu membuat Freddy menjadi kesal, dia menarik kerah baju temannya. "kau tidak tahu masih ada istri serta anak menunggu kepulanganku, aku berbada darimu yang dari awal selalu sendiri, kau hanya orang egois brengsek."
Dari belakang mereka terdengar suara tawa seperti sedang menertawakan kebodohan mereka. "teruslah bertengkar karena setiap detik kalian berada di sini membuat aku akan menjadi bebas."
"Teman-teman kita harus bekerja sama agar bisa melewati tempat ini, atau sebenarnya kalian lupa akan tujuan awal kita berkumpul ke sini." Jashinta mencoba melerai kedua temannya meski dirinya sendiri hanya ingin pulang dan menemui keluarga dirumah.
Mereka lalu berjalan menyusuri taman tersebut, namun setiap jalan yang di tempuh seakan berbeda tiap kali mereka melaluinya, seolah ada sesuatu hal mengubahnya secara sengaja, hingga akhirnya mereka tiba di sebuah pondok kumuh terbuat dari jerami, meski tak ada pintu ataupun jendela tapi dari penampakannya rumah itu di tinggali oleh seseorang.
Tercium bau harum seperti daging matang dari dalam pondok tersebut, namun ketika akan masuk Jordan menahan lengan kedua temannya. "bagaimana jika semua ini adalah jebakan? Apakah kita akan tetap memilih jalur ini? Dan bukankah jalannya terlalu sempit?"
"Apa kau punya pilihan lain?" Freddy menatap tajam sambil menepis tangan temannya. "berhenti sok peduli, karena alasan kita berada di sini adalah kesalahanmu."
Karena tidak menemukan petunjuk di tambah lagi temannya seakan tidak mau mendengar perkataannya, Jordan berjalan ke arah sekeliling dan menemukan sebuah foto di atas lumpur, dengan cepat dia langsung mengambilnya untuk di beritahukan pada temannya.
Namun ketika berada di luar kolam lumpur pandangannya terhenti karena sosok hantu yang sempat di buat sebagai lelucon kini berdiri tepat di hadapannya dengan wajah penuh darah serta mata hampir copot, Jordan berfikir bahwa itu adalah salah satu kejahilan dari teman temannya apalagi Freddy adalah tipe orang penuh lawak tawa.
"Sejak kapan kau mengganti kostummu Fred?" Jordan mengacungkan dua jempolnya. "kalau punya lebih aku juga pengen satu, siapa tahu di luar sana kostum 'low budget' itu bisa laku."
"Kembalikan-fotoku yang berharga." ucap sosok misterius tersebut sambil mencoba meraih foto itu. "ke-lu-arga."
"Ntar deh aku kasih kalau udah ketemu sama Jashinta." Jordan berjalan tanpa mempedulikan sosok di depannya.
Setelah lama berjalan ternyata kedua teman Jordan telah berada di dalam pondok tersebut, mereka tampak sedang bersenang senang tanpa tahu di depan mereka bukanlah manusia melainkan sosok berbeda.
Namun di sisi lain Jordan baru menyadari bahwa orang yang dia temui bukanlah temannya, dia pun segera berlari dan memasuki pondok itu dengan begitu mudah, semua dekorasi dinding dari rumah orang itu adalah pajangan dari kepala manusia.
Dalam hati Jordan sempat merasa aneh dengan kedua temannya bukan hanya karena mereka diam tapi juga tak risih akan pajangan dari rumah itu, dan ketika melihat tatapan mata temannya membuatnya semakin paham ternyata tempat tersebut seakan menyimpan sebuah rahasia.
'Apakah wanita yang muncul di hadapanku sebelumnya adalah korban dari orang ini?' gumam Jordan pada dirinya. 'kenapa bagiku seolah dia sedang memakan jiwa orang lain?'
Orang itu tampak melihat bahwa di depannya bukan sembarang orang. "kau tampak lelah, apa karena mengkhawatirkan kedua temanmu ini?" ucapnya tenang namun seakan mengancam. "kau pasti berfikir bahwa semua ini adalah perbuatanku kan? Tapi nyatanya aku adalah salah satu korban."
"Begitu rupanya?" Jordan menatap sekeliling sepintas agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Hingga pandangannya terhenti pada sebuah foto di salah satu dinding, dan mengingatkannya pada foto yang saat itu ada di tangannya, apakah itu hanyalah sebuah kebetulan atau memang berhubungan satu sama lain, meski dalam hati dia selalu merasa bersalah karena mereka tak akan melalui kesialan itu jika saja dia bersabar menunggu hingga pagi hari.
Tapi meskipun Jordan merasa bersalah hal itu tidak akan mengulangi waktu kembali, walau tak bisa melihat tapi instingnya berkata bahwa mahluk yang mengikutinya sedang berada di luar pondok tersebut, pilihannya hanya dua yaitu menyelesaikan teka teki dari pengulangan atau memghadapi secara langsung makhluk itu.
Apapun pilihan Jordan, itu akan mempengaruhi jalan yang akan dia pilih dan hanya ada satu jalan untuk mencapai akhir. Dengan tangan gemetaran dia mengangkat foto di tangannya dan melemparkan ke atas meja.
"Kedua temanku ini tidak ada hubungannya dengan kematian dari anakmu, jadi kau harus melepaskan mereka." ucap Jordan. "apa dengan ini jiwamu telah menjadi tenang?"
Namun orang di depannya hanya tertunduk tanpa mengatakan apa-apa, seakan sedang menyembunyikan sesuatu, dia menatap dengan pandangan kosong bagaikan pusaran lubang hitam yang akan menelan cahaya sekecil apapun.
Seiring berjalannya waktu, Jordan melihat wajah orang itu berubah menjadi sebuah senyuman bahkan giginya terlihat. "apa yang baru saja terjadi?"
Jantungnya semakin berdetak kencang antara rasa takut saat melihat sosok di depannya atau ketika mengetahui bahwa mereka akan terjebak dalam putaran waktu tiada akhir, sambil berfikir bahwa mungkin itu sudah saatnya untuk berhenti berusaha, lagi pula semua usahanya seakan sia-sia.
"Itu benar bahwa putriku meninggal, hanya saja ada satu hal yang kalian tidak ketahui." ucap orang itu, suaranya tampak tenang namun terdengar dalam.
Orang itu menatap lalu berhenti sejenak seakan menciptakan suasana menjadi semakin mencekam, pandangannya tampak tajam dan terlihat sorot mata hitam serta dalan seakan menembus ke dalam jiwa, secara perlahan orang itu membuka mulutnya.
"Karena akulah yang membunuh putriku!" ucap pria itu, suaranya terdengar tajam namun seakan ada kesedihan dalam kata itu.
Karena kaget Jordan terkejut dia berdiri dan mundur beberapa langkah ke belakang, kakinya seakan terhenti bahkan waktu yang di miliki semakin berkurang, detik berganti menjadi menit dan hidupnya serta kedua temannya bergantung padanya.
"Ke-kenapa? Jika kau benar-benar menyayanginya? Bahkan—"
Orang itu tertunduk sambil memberikan sebuah kotak. "putriku satu satunya yang aku sayangi di rengut dariku, dan ketika kembali dia—"
Seketika Jordan seakan mengetahui maksud perkataan dari orang tersebut, hatinya seakan tergerak oleh rasa sakit serta penderitaan orang itu. "aku mungkin tidak mengerti apa perasaanmu dan rasa sakit yang telah kau alami, tapi kau harus merelakan anakmu." ucapnya sambil menepuk pundak orang itu. "jika kau terus terikat pada rasa penyesalanmu maka anakmu tak akan bebas, jiwanya akan terus bersemayam di sini."
Orang itu tidak menjawab hanya sesekali menengadah ke atas atap pondok itu, namun tatapannya seakan kosong dan hampa, kehilangan sang putri seakan menjadi tamparan keras baginya, suaranya bergetar namun ada perasaan bercampur aduk.
"Aku tidak bisa melakukannya sampai melihat orang-orang yang melakukan ini pada anakku meninggal." ucap orang itu lalu menatap mata Jordan berharap agar permintaannya di kabulkan.
Jordan menghembuskan nafas panjang. "aku tidak berjanji bahwa mereka akan meninggal tapi aku akan berusaha untuk menyelesaikan kasus ini, dan kalau bisa—membuatkan sebuah film."
"Yang kau fikirkan hanyalah film." Jashinta memukul meja dengan sangat keras hingga membuat pondok itu hampir roboh. "bahkan kau tidak peduli pada kami?"
"Jas benar, aku bahkan tidak bisa melihat wajah lucu anakku." ucap Freddy sambil berkecak pinggang. "katamu petualangan horor menyenangkan—"
Saat melihat sekeliling ternyata Jordan dan kedua temannya telah kembali ke taman tempat mereka membuat rencana untuk film yang akan di buat, matanya menatap sekeliling tapi tak ada tanda-tanda bahwa ada sebuah pondok di sana ataupun rawa.
Pandangannya terhenti ketika melihat ke arah jarum jam yang kini telah melewati pukul 12 malam. "kita telah bebas—" Jordan tampak bahagia ketika keluar dari lingkaran waktu.
Namun seketika dia teringat akan janjinya pada orang itu, untuk membantu mencarikan pelaku dari kasus yang membuat orang itu sampai membunuh anaknya sendiri, dilanda dilema dia memandang poster mansion dan memberikannya kepada kedua temannya.
"Besok rencana kita akan di mulai untuk merekam film tentang para vlogger yang ingin uji nyali." ucap Jordan penuh percaya diri.
"Terserah kau saja, asal di bayar aku ok aja." ucap Freddy sambil mengulurkan tangannya.
"Aku akan berhenti jika suasana berada diluar kendali, tandai hal itu." ucap Jashinta, suaranya bergetar.
Ketika melihat kedua temannya berjalan meninggalkan taman itu, Jordan mencari beberapa potongan korang untuk memudahkannya mencari kebenaran di balik misteri tersebut, di sepanjang jalan setiap kali dia menemukan sebuah potongan koran kejadian terjadinya kasus itu seakan dirinya berada di tempat perkara sebagai korban.
Langkah demi langkah dia lewati namun ada beberapa potongan tak ditemukan, sementara hari hampir subuh dan cahaya mentari seakan mulai menampakkan wajah cerianya, merasa dalam keputusasaan Jordan kembali ke taman tersebut dan beristirahat hingga merasa seperti ada sesuatu yang mengikutinya.
Namun ketika berbalik tidak terlihat siapapun berada di belakangnya, hal itu membuat Jordan menjadi risih namun dalam hatinya seakan ada semacam gerakan hatinya untuk memulai sebuah penyelidikan, walau bukan hanya karena dia ingin menjadi detektif tapi untuk membebaskan jiwa tersesat serta janjinya kepada dua roh tersebut.
Waktu berlalu begitu cepat dan mentari pun mulai mucul dari ufuk timur, dan karena tidak tidur semalaman akhirnya Jordan terjatuh ke tanah karena kelelahan tanpa peduli sekelilingnya.
Pagi hari ketika Freddy sedang mencari berbagai perlengkapan untuk memulai rencana mereka dalam membuat film, namun hatinya seolah tersirat bayangan dari temannya Jordan, dengan perlahan dia pun mengucapkan perpisahan kepada istri dan kedua anaknya, secara samar dia mendengar suara namun masih terdengar.
"Apa kau siap untuk berpisah dengan keluargamu? Dan tak pernah bertemu lagi?"
Freddy tampak sedikit panik dan menatap wajah keluarganya, kali ini dia tidak mengucapkan perpisahan. "setelah ayah pulang sore nanti, jangan lupa untuk melaksanakan tugas rumah kalian."
"Baik." ucap kedua anak Freddy penuh bersemangat.
Sementara di sisi Jashinta, dia terlihat sedang mempersiapkan beberapa kamera yang tergantung di dinding kamarnya, dia pun memasukkan beberapa jaket untuk bersiap dalam proyek mereka, hingga satu persatu kamera miliknya terjatuh ke lantai tanpa sebab, padahal tidak ada angin maupun badai.
Merasa sedikit kesal Jashinta berjalan menuju tempat dia meletakkan kamera tersebut lalu memunguti semua yang berserakan dari lantai, kali ini dia mengunci lemari tersebut agar tidak ada lagi insiden tersebut.
Semua peralatan kebutuhan telah terpenuhi Jashinta pun berjalan ke arah dapur dan bersiap untuk sarapan namun betapa terkejutnya dia ketika mendapati semua barang telah hancur seakan rumahnya telah di rampok, dengan cepat dia segera mengecek komputernya dan melihat apa yang terjadi dari kamera cctv.
Awalnya semua berjalan seperti tak ada hal aneh, namun itu berubah ketika waktu menunjukkan pukul tiga pagi, semua barang secara tiba-tiba beterbangan seakan ada sosok di balik kejadian tersebut, di tengah ruangan berdiri sosok berbaju merah dengan kepala tertunduk dan rambut hitam panjang.
"Bukankah dia itu?" tangan Jashinta mulai gemetaran karena sosok yang dilihatnya kemarin sewaktu di taman kini berdiri di dapurnya.
Saat ingin mematikan komputernya, sosok itu mendekat ke arah kamera dan seketika layar monitor menjadi rusak, secara perlahan muncul bayangan hitam keluar dari layar menampakkan sosok wanita berambut gelap sebelumnya namun kali ini tampak lebih jelas bahkan hampir seperti sedang berusaha keluar dari monitor tersebut.
Melihat hal tersebut Jashinta menjadi takut, hal yang dilihat dari video ulang kini hampir berada di hadapannya, tanpa berfikir panjang dia mengambil sendal lalu berlari ke arah tangga untuk segera memberitahukan kepada kedua temannya, namun di setiap langkahnya terdengar suara mengikuti dari belakang.
Tapi ketika berada di ruang santai semua jendela dna pintu tertutup dengan sendirinya bahkan tirai pun terjatuh menutupi cahaya mentari seakan menghentikannya masuk ke dalam ruangan, Jashinta menjadi panik karena hanya dia sendiri yang tinggal di rumah tersebut, tidak ada orang bisa dimintai tolong, tapi tak terlintas dalam benak untuk meminta bantuan dari kedua temannya.
Ketika berada di ambang pintu Jashinta merasakan sosok itu semakin mendekat ke arahnya, meski telah bersusah payah tapi pintu itu tak bergeming sedikitpun.
Saat itu Jashinta merasakan seperti ada semacam hawa dingin menjalar dari ujung jari kakinya sampai ke kepalanya, pintu depan terkunci rapat seakan melarang untuk keluar dari rumah, terdengar derap langkah kaki berasal dari lantai dua rumahnya di sertai dengan suara air mengalir, meski telah mencoba sekuat tenaga pintu itu tampak tak bergeming sedikitpun.
Meski tak bisa keluar tapi Jashinta tetap berusaha untuk bisa keluar, sementara di belakangnya terdengar nafas berat seakan hampir mendekat ke arahnya, namun seketika semuanya hilang ketika terdengar suara ketukan dari pintu rumahnya.
Ketika membuka pintu ternyata itu adalah Denis, pacar dari Jashinta yang tampak khawatir karena rumah itu begitu gelap. "apa kau baik-baik saja? Kenapa mematikan lampu?"
Jashinta memandang ke arah sekeliling namun tak terlihat sosok wanita berambut hitam tergerai serta mata merah di sekitar sana, dia pun terduduk di lantai bahkan air mata seakan jatuh tanpa persetujuannya.
"Tenang saja karena aku akan menjagamu." ucap Denis sambil mengusap rambut kekasihnya itu.
Karena merasa bahwa jika terlalu lama terjebak dalam kejadian itu bisa membuatnya menjadi gila, Jashinta berdiri sambil mengusap matanya. "aku harus menemui Freddy dan Jordan."
"Jika mau aku akan menemanimu." ucap Dennis.
Mereka lalu keluar dari rumah Jashinta menuju ke arah trotoar, dan entah kenapa jalanan begitu sepi padahal saat itu adalah jam kerja, tapi sepanjang mata memandang tak ada siapapun terlihat sedang melakukan aktivitas.
Saat sedang berjalan Jashinta merasakan seperti ada sesuatu yang mendorongnya ke depan hingga berdiri tepat di tengah jalan, namun ketika sebuah truk hampir menabraknya wanita berambut hitam tergerai berdiri di depannya dengan mata merah menyala, merasa takut dia pun sontak mundur hingga terduduk di lantai.
Tapi ketika membuka mata sosok hantu wanita itu seakan hilang, meski sebenarnya ada hal yang ingin di sampaikan hantu tersebut kepada Jashinta tapi seakan tak bisa melakukan hal tersebut, kakinya sekarang seperti tertanam dan tak mau menuruti kehendaknya. Dari arah samping dia sempat melihat temannya Freddy wajahnya pucat namun tampak baru saja melalui kejadian aneh seperti dirinya.
"Jas, kita harus segera ke taman." ucap Freddy, suaranya sedikit bergetar seakan sedang ketakutan. "Jordan mungkin dalam masalah besar, ketika aku menelepon tak ada respon sama sekali, padahal maniak itu gak pernah sekalipun meninggalkan ponsel yang telah dia anggap sebagai pacar."
"Aku...melihat...wanita itu..." Jashinta tampak masih trauma setelah di ikuti wanita dari taman. "mungkin...kedatangan kita...hanya..."
"Aku mengerti perasaanmu, tapi—"
Jashinta terdiam dan menepis tangan temannya sebelum menyentuh pudaknya. "apa yang kau mengerti, Fred? Kita mengalami kejadian gila ini karena salahmu dan juga Jordan, persetan dengan film horor itu, aku muak!! Kalian hanya mempedulikan diri sendiri, tidak bisakah kau meninggalkan aku? Tim kita telah bubar bahkan ketika kau memilih hidup bersama keluargamu."
"Jas...aku...sungguh minta maaf, tapi aku hanya khawatir jika sesuatu terjadi—"
Kali ini Jashinta hanya menatap namun hal itu seakan memberikan kesan dingin serta menusuk bagi temannya. "aku di kejar hantu wanita itu, bukankah karena salah kalian? Jika saja kita tidak pernah bertemu kemarin malam di taman, ini tak akan pernah terjadi, dan jangan bicara seolah kau peduli padaku!!"
Meski ingin menenangkan temannya itu tapi Freddy merasa bahwa mungkin dia harus sedikit bersabar, padahal dirinya ingin memberitahu jika temannya tak tertabrak mobil karena hantu wanita itu mungkin telah menolongnya, walau sulit untuk di percaya tapi itulah yang terjadi, dia pun berbalik sambil menatap temannya sedang terduduk di trotoar.
Dengan langkah cepat Freddy meninggalkan temannya bersama sang pacar menuju ke taman, tempat yang di tunjukkan oleh hantu wanita kepadanya ketika sedang di ganggu oleh hantu penasaran, tapi walau telah berkeliling mencari Jordan tak nampak siapapun di sana.
"Jordan!! Keluarlah, kita harus bicara." suaranya seakan menggema dalam kekosongan taman itu.
Tiba-tiba dari arah pohon seperti ada bayangan lewat, karena penasaran Freddy mengikuti sosok bayangan tersebut hingga bertemu dengan temannya yang tampak sedang terbaring di atas tanah, dan karena melihat seperti ada noda darah dia segera berlari menghampiri.
Karena panik Freddy segera membopong temannya dan berlari keluar dari taman tersebut, di depannya tampak sunyi dan bahkan hampir seperti sebuah kota mati, merasa waktu sedang mengejar dia pun melanjutkan perjalanannya menuju ke depan rumah Jashinta berharap mendapatkan bantuan.
"Jas...aku tidak berharap kau membantu, tapi setidaknya tolong Jordan, nafasnya seperti hampir hilang dan detak jantungnya kian melambat, tubuhnya terasa dingin seperti es." ucap Freddy. "aku mohon."
Namun beberapa menit berlalu tanpa ada respon dari Jashinta, yang masih terlihat trauma setelah di teror oleh hantu wanita berambut hitam, tatapan mata merah sosok itu seakan membekas dalam ingatan serta menembus jiwa juga raga.
Keheningan mulai terasa di sana apalagi dengan keadaan Jordan kian memburuk, apalagi Jashinta seperti tak bisa di andalkan setelah melihat kengerian di depan mata, namun meski hampir bernasib sama Freddy tampak sedikit stabil, mungkin karena dukungan dari istri juga kedua anaknya.
Detik berlalu dan tampak tidak ada dari mereka yang membuka suara, hingga dari belakang Freddy sosok hantu wanita itu menampakkan diri namun kali ini dia sempat berbisik. "berhati hatilah pada pria di depanmu karena dia—"
Sebelum sempat melanjutkan perkataannya hantu wanita itu menghilang, sementara Denis tampak seperti sedang memperhatikan Jashinta juga Freddy dengan sebuah senyuman tak biasa, seakan sedang menyembunyikan sesuatu.
"Jas, jika kau berfikir menjadi satu satunya orang paling menderita, apa kau ingat ketika kita pertama kali bertemu? Dan alasan apa kita sampai berteman dan membuat kelompok supranatural?" Freddy menatap seakan berharap mendapat perhatian dari temannya. "kita adalah sekelompok orang aneh dengan kemampuan melihat hal yang tak bisa dilihat manusia normal."
Namun seperti tak ada respon dari Jashinta, hatinya terpukul, menyalahkan kedua temannya akan semua kejadian yang menimpa dirinya, persahabatan mereka seakan hampir runtuh seperti di terpa oleh meteor dari langit, karena merasa bahwa tak ada harapan lagi Freddy berjalan meninggalkan tempat itu.
Denis melangkah ke depan sambil menahan pundak Freddy. "tunggu, aku bisa mengantarkanmu ke rumah sakit, karena jarak dari sini lumayan jauh dan kau terlihat keberatan sambil membawa beban di pundakmu."
Freddy menatap ke arah pria berambut cokelat dan sedikit acak acakan itu dengan tatapan kurang senang. "Jordan bukanlah beban, bagiku dia adalah seorang sahabat meski kadang suka memaksakan kehendak tapi kami bersama adalah karenanya, meski di cap aneh oleh teman sewaktu sekolah dulu." sejenak dia menatap Jashinta. "bukan begitu, Jas?"
Seperti sebuah kilatan menyambar kepala Jashinta, dia pun berdiri dan mencoba menenangkan diri sambil menatap temannya yang sangat membutuhkan bantuan karena sedang terluka parah, dia berjalan kearah garasi lalu beberapa menit kemudian berhenti di depan Freddy.
"Ayo pergi ke rumah sakit, sebelum aku berubah fikiran." teriak Jashinta dari kaca mobil sambil mengeluarkan kepalanya.
Sejenak Freddy menatap ke arah temannya lalu mengangguk lega sambil membawa Jordan menuju ke mobil dengan perlahan agar luka yan di alami oleh temannya tidak terbuka, dia lalu duduk di kursi belakang sambil mengamati kondisi dari temannya dan agar bisa bereaksi jika terjadi sesuatu.
Sementara Denis duduk di kursi paling depan, udara di dalam mobil terasa begitu tegang meski sekitarnya mulai tampak orang berlalu lalang dan terlihat seperti sedia kala, namun suasana di sana agak berbeda di pagi hari yang begitu panas tanpa angin berhembus terasa begitu dingin dan mencekam.
Bahkan seolah muncul semacam kabut yang menutupi penglihatan mereka, tapi karena Jashinta masih membawa ponselnya dia mengecek rute untuk bisa mencapai rumah sakit dalam waktu singkat dan juga tanpa ada halangan.
Dalam perjalanan radio dalam mobil seolah menyala dengan sendirinya memutar sebuah lagu asing yang tak pernah mereka dengarkan sebelumnya bahkan suaranya begitu kelam dan juga suram seakan serak, Jashinta mencoba mematikan radio tersebut tapi seakan tombolnya tidak bisa di tekan, seakan telah rusak rapi masih mengeluarkan suara.
Terdengar suara seorang wanita meski pelan tapi terdengar samar seperti sedang berbisik. "Tidak...semua teman...bisa dipercaya...ada juga musuh...dalam selimut...perhatikan belakangmu sebelum dia menusukmu..."
Sontak hal itu membuat Jashinta terdiam, bahkan secara tidak sengaja membuatnya menginjak rem secara mendadak di depannya berdiri sosok hantu wanita berambut hitam panjang, namun kini ada satu hal membuatnya paham jika sebenarnya gaun dari wanita itu bukan merah melainkan putih namun seolah terkena noda darah.
Di sisi lain Denis tampak kesal karena dia bahkan terbentur kaca. "Jas, kenapa kau melakukan ini? Tidak bisakah kau menekan rem secara mendadak?"
"Aku—minta maaf." ucap Jashinta lalu berbalik untuk mengecek bagian belakang mobil. "Fred, apa kalian gak apa-apa?"
"Agak terguncang sih, tapi aku berhasil mempertahankan posisi agar Jordan tak tersentak dan jatuh." ucap Freddy sambil menggenggam tangan temannya.
Sementara wanita yang awalnya berada di depan kini berdiri tepat di samping Freddy kali ini mulutnya seakan mengatakan sesuatu, tapi sayangnya sebelum bisa memahami arti dari perkataannya Denis menghentakkan kaki ke lantai hingga membuyarkan fikiran Jashinta.
"Ada apa?" tanya Jashinta sambil berbalik dan memegang kemudi.
"Jika kau ingin temanmu selamat, sebaiknya kita segera pergi dari sini." ucap Denis, wajahnya tampak sedikit panik seolah menyembunyikan sesuatu.
Dan ketika ingin melajukan mobil seakan ada palang di depan mereka dan sebuah kereta melaju dengan kecepatan tinggi, saat Jashinta melihat ke arah peta ternyata mereka sedang berada tepat di samping sebuah rel kereta api, hingga fikirannya terus berputar apakah hantu itu benar-benar jahat? Karena sebelumnya saja ketika hampir di tabrak mobil hantu itu secara tiba-tiba menampakkan dirinya.
Tapi hal itu segera di tepis oleh Jashinta karena baginya semua hantu itu jahat apalagi setelah menakut nakuti dirinya dengan keluar dari dalam cctv, beberapa menit berlalu dan akhirnya kereta itu melewati mereka dan palang pun terbuka, tanpa menunggu lama dia segera melajukan mobil menyusuri jalan panjang.
Secara samar-samar sosok hantu wanita itu berdiri tepat di belakang mobil mereka namun kali ini tak sendirian ada satu lagi hantu bersamanya, tapi ketika Jashinta melihat ke arah spion mobil wajahnya seakan tertahan oleh sesuatu dan ketika melihat siapa itu ternyata Denis.
"Pastikan pandanganmu tetap ke arah depan atau akan mengalami kecelakaan." Denis berkata, suaranya sedikit bergetar. "kita harus cepat."
Beberapa menit berlalu dan akhirnya mereka tiba di depan rumah sakit, Freddy langsung menendang pintu mobil lalu membopong tubuh Jordan yang semakin lemah juga dingin, sambil berteriak memanggil dokter atau siapapun untuk segera memberikan bantuan kepada mereka.
Satu perawat pun segera menghampiri sambil membawa tempat tidur yang bisa di geser. "tolong letakkan di sini, kami akan segera membawanya ke ruang IGD."
Dengan cepat perawat itu pun pergi sementara Freddy juga Jashinta menunggu di depan ruangan sambil tertunduk menatap lantai, fikiran mereka terus terbayang ketika pergi ke taman itu, namun janji dari Jordan seakan melintasi kepala mereka, sebuah janji untuk menemukan pelaku pembunuhan dari hantu wanita tersebut.
"Jika mau minta bantuan, bisa kali gak datang sampe nakutin segala." gerutu Jashinta sambil menopang tangan di dagunya. "tapi memangnya ada hantu cantik muncul yang ada malah di kejar manusia."
Seketika Freddy menatap tajam. "berhenti membiat lelucon, karena tidak ada hal lucu darinya."
Sementara Denis tampak sedang pergi membeli minuman dari mesin penjual otomatis, dan ketika kembali dia memberikan dua gelas untuk Freddy dan juga Jashinta. "aku yakin kalian pasti lelah setelah mengalami semua hal mengerikan ini, jadi aku ingin kalian bersantai sejenak."
"Terima kasih Den." ucap Jashinta sambil meraih segelas minuman dari tangan pacarnya.
Sementara Freddy tampak gundah, dia berdiri sambil meninggalkan kedua pasangan itu. "aku tidak terbiasa minum kopi hitam." ucapnya lalu pergi menuju ke kantin.
Saat Jashinta hendak meneguk kopi yang baru saja di berikan oleh pacarnya, pandangannya terhenti, Di depannya samar-samar muncul sosok tak biasa—seorang gadis muda dengan rambut hitam panjang yang tergerai, kulit pucat, mata merah menyala, dan gaun putih elegan seperti gaun pengantin.
Cahaya di sekitar gadis itu redup nyaris kelam seakan menariknya ke dunia lain, namun yang membuat Jashinta semakin merinding bukanlah penampilannya, melainkan keanehan tak terjelaskan—gadis itu tidak memiliki bayangan, bahkan pantulannya tak terlihat di cermin di dekat pintu.
Merasa penasaran dan tercekam Jashinta meletakkan gelas kopi di sampingnya, gelas itu tiba-tiba tergelincir dan pecah berkeping-keping di lantai menumpahkan semua isinya, namun dia hampir tak menyadari hal tersebut karena pandangannya terpaku pada sosok misterius itu.
"Siapa kau sebenarnya? Manusia atau... sesuatu yang lain?" Jashinta mengajukan pertanyaan dengan suara bergetar, seolah dia sedang berbicara dengan saksi di tempat kejadian perkara.
Gadis itu hanya tersenyum tipis, memperlihatkan senyum samar yang membuat bulu kuduk Jashinta meremang, saat ia mulai berbicara suaranya terdengar serak dan dalam seperti bisikan dari balik kubur. "Maaf... telah mengganggumu...mungkin kau lebih menyukai sosok seperti ini..."
Gadis itu tiba-tiba berubah wajahnya menjadi seperti penampakan wanita berambut hitam panjang seperti sebelumnya, sosok yang selama ini membayangi mereka sejak dari taman, tanpa pikir panjang Jashinta berbalik kembali ke tempat duduknya dengan tubuh kaku dan berusaha bersikap seolah tak terjadi apa-apa, jantungnya berdegup kencang ketakutan memenuhi pikirannya, sambil berfikir bahwa lebih baik jika dia tidak menanyakan hal aneh pada sosok itu.
Di sisi lain Freddy yang sudah mengisi perutnya mulai menyusul dan mencari Jashinta serta pacarnya, dia berjalan menuju ruang IGD berharap bisa bertemu mereka di sana ketika sampai matanya mencari-cari menunggu kabar dari Jordan
Setibanya di sana Jashinta berdiri sambil menatap dengan nada serius, "Apa kau mengalami hal aneh barusan?"
Freddy terdiam sejenak sambil mencoba mengingat semua kejadian seharian itu. "hal aneh ya? Sebenarnya bukan barusan tadi tapi ketika berada di rumah aku mendengar suara berkata untuk bersiap mengucapkan perpisahan atau semacamnya."
Saat ingin mengatakan sesuatu salah satu dokter keluar dari ruang IGD sambil membawa sebuah surat di tangannya.
Dokter itu tampak serius walau begitu raut wajahnya tampak sedikit lelah, sambil mengatur nafas dia berjalan lalu menghampiri mereka yang tengah menunggu dengan cemas, Freddy langsung berdiri tatapannya penuh dengan pertanyaan dan harapan.
Sementara itu di sudut ruangan Jashinta dan Denis duduk sambil terkadang menatap lantai seaka tak ingin mendengarkan jika hal yang akan di katakan oleh dokter itu adalah berita buruk.
Melihat ketenangan tak biasa membuat dokter itu akhirnya membuka suara. "temanmu sedang masa pemulihan, dan luka yang di deritanya sudah membaik jika terus seperti ini mungkin
bisa pulang dalam waktu 3 hari dari sekarang."
Mendengar hal itu mebuat Freddy bergitu bahagia bahkan dia sampai memeluk dokter yang memberikan informasi tersebut, lalu menghampiri temannya, dan berdiri di depan dengan raut wajah berseri sambil memberitahu semua perkataan dari dokter.
Freddy memgambil ponselnya dan tampaknya akan memberitahu kondisi dari temannya kepada istri serta anaknya. "Jordan selamat." ucapnya suaranya sedikit bergetar, antara bahagia dan haru. "kalau semua sudah selesai mungkin aku akan pulang seminggu lagi."
Setelah mematikan ponselnya Freddy menatap hal tak biasa di sana, Denis sepertinya tak kelihatan bahkan Jashinta hanya menatap ke lantai bersama seseorang, karena penasaran dia segera menghampiri temannya tersebut untuk menanyakan keadaan.
"Jas, kamu gak apa-apa?" tanya Freddy, wajahnya tampak khawatir.
"Aku akan menemuimu di lorong samping loket pembayaran." Jashinta berkata lalu beranjak dari tempat duduknya.
Sementara orang di samping Jashinta tampak telah hilang tanpa jejak, bahkan jika dia berlari harusnya terdengar suara langkah kaki, tapi karena ada hal penting untuk di lakukan Freddy pun berjalan menemui dokter sambil bertanya apakah dia di perbolehkan untuk menemui sahabatnya.
Meski awalnya ragu dokter itu akhirnya memberikan izin untuk Freddy meski hanya beberapa saat, dsn ketika langkahnya berada tepat di ruangan IGD, terdengar suara jejak langkah kaki di belanganya dan ketika berfikir bahwa itu adalah Jashinta, tapi ketika berbalik kepalanya seperti di hantam oleh sebuah balok kayu.
Saat membuka mata Jordan melihat sekitarnya mendapati dirinya berada di tempat paling dia benci sebuah tempat yang meningatkannya pada kenangan buruk ketika semua anggota keluarganya meninggal dalam sebuah kecelakaan tragis saat hendak pulang dari tempat wisata, kala itu ada sebuah kereta yang keluar rel dan menghantam mobil tumpangan keluarganya.
Seketika kenangan itu seakan memenuhi kepalanya, bahkan berita di televisi seperti sebuah film yang terus berputar tanpa akhir, rasa bersalah ketika dirinya lebih memilih untuk menghabiskan waktu bersama teman dari pada berlibur dengan keluarganya, dalam hati dia selalu berfikir jika saja hari itu dia juga mati maka itu akan lebih baik.
"Padahal jika aku—"
Lampu di ruangan itu seketika mati bahkan dari arah pintu terdengar seperti telah terkunci dari dalam, hal itu membuat Jordan terkejut karena hampir tak bisa melihat apapun, apalagi luka di tubuhnya seakan terasa sakit dan jika dia bergerak sedikit maka kemungkinan luka itu akan semakin membesar.
Di depannya berdiri sosok wanita berambut cokelat serta mengenakan kacamata bulat, sosok itu tampak tak asing baginya, Jordan menatap wanita itu dan air mata seakan mengalir dari matanya. "Ibu...aku...maaf."
"Kedua temanmu bahkan kau juga dalam masalah, jangan mempercayai orang dengan tato bintang di punggungnya." setelah mengatakan itu sosok tersebut seakan menghilang.
"Ibu..." meski Jordan berteriak tapi seakan tak membuahkan hasil.
Sementara lampu sudah sedikit stabil tapi tampaknya pintu tersebut belum terbuka, jadi Jordan tidak bisa keluar dari sana dia juga gak bisa jalan sih, dari arah pintu tersebut terlihat temannya Freddy sedang terbaring, dan dia sempat berfikir kalau temannya itu terlalu merindukannya.
Dengan perlahan Jordan meraih kursi roda yang mungkin telah di siapkan oleh pihak rumah sakit, setelah beberapa kali mencoba akhirnya dia berhasil duduk, dan ketika menuju ke arah pintu ingatan tentang kejadian di taman dan seseorang yang menyerangnya seakan terlintas kembali, meski tak bisa melihat dengan jelas tapi satu hal pasti yaitu gaya bicaranya.
"Apa semua yang kita alami ini hanya sebatas—"
Di belakang Jordan muncul sosok wanita berambut hitam panjang, namun ketika berbalik tak ada siapapun di sana hanya terdengar suara pintu terbuka, ketika melihat di depan pintu ternyata temannya sedang terbaring meski tak terluka parah.
"Fred, bangun." ucap Jordan sambil menepuk pundak temannya.
"Apa yang terjadi?" Freddy berdiri dan melihat sekeliling seolah sedang tidur. "di mana ini?"
"Apa kau lupa? Kalian membawaku ke—rumah sakit ini—walaupun sudah tahu kalau sebenarnya aku—" ucap Jordan, suaranya terbata bata. "tapi terima kasih."
Freddy menatap beberapa saat lalu berdiri sambil menenangkan pandangannya. "Jordan, aku fikir kau akan mati, karena jika sampai itu terjadi maka aku akan membunuhmu."
"Gimana coba konsep kayak gitu?" ucap Jordan sambil mengelus kepala temannya dengan lembut. "di mana Jas?"
"Katanya mau bertemu di lorong dekat loket pembayaran." kata Freddy, ucapannya hampir seperti bisikan tak terdengar.
"Fred..." Jordan menepuk pundak temannya beberapa kali.
"Lima menit lagi, mama." Freddy menjadikan paha temannya sebagai bantal.
"Bangun, woi!" namun perkataan Jordan seakan tak sampai ke telinga temannya. "lihat ponselku gak?"
Namun berapa kali pun Jordan berteriak, temannya seakan tidak bergeming sedikitpun dan malah tampak seolah sedang beristirahat, sementara ponsel baginya lebih berharga dari dirinya sendiri karena selalu di bawa saat bepergian atau melakukan semua jenis aktivitas.
Waktu berjalan begitu cepat dan malam kini telah berganti menjadi pagi hari, dan Jordan malah tertidur di atas kursi rodanya bersama temannya, dia bahkan bermimpi sedang berada di sebuah taman luas dengan sinar matahari.
Di bawah pohon muncul seorang gadis cantik berambut hitam panjang menghampirinya. "kau harus segera bangun, sekarang!"
Jordan menatap wajah cantik nan menenagkan itu sambil tersenyum. "apakah kau perwujudan dari ponselku? Karena wajahmu sangat indah seperti kilauan bintang dan jika kita memang berjodoh, maukah kau menjadi—" dia tampak gugup saat mengatakannya karena baru kali itu perasaannya bukan untuk ponsel.
"Jeanne McClair." ucap wanita itu.
"Namamu indah banget." Jordan menyentuh tangan wanita itu, wajahnya tampak berseri seri.
"Terima kasih." seketika wanita itu berubah menjadi sosok yang pernah di temui ketik berada di taman, matanya semakin lama menunjukkan warna merah mencekam, bahkan rambutnya menjadi acak acakan, pakaiannya berubah seperti noda darah.
"Aaaa..." Jordan bergidik dan berdiri karena ketakutan. "Apa yang baru saja—"
Sosok itu berdiri di depannya sambil tersenyum lalu pergi menghilang, sementara kini Freddy telah terjatuh bahkan kepalanya terbentur lantai begitu keras.
"Apa-apaan sih?" Freddy menatap tajam sambil mengusap kepalanya dengan lembut.
"Tadi, aku—bukan apa-apa." Jordan menatap dirinya saat ini sedang berdiri di atas kakinya.
Sementara itu sosok Jashinta tidak terlihat, apakah dia masih menunggu di lorong samping loket pembayaran bahkan jika telah lewat satu malam, ataukah dia sedang berada di tempat lain, tapi kenapa tidak menemui temannya.
Karena baru saja terjatuh Freddy mengusap-usap kepalanya yang masih terasa nyeri akibat benturan, wajahnya tampak kebingungan ketika melihat wajah temannya, meski dia sendiri masih juga sedikit linglung jadi butuh beberapa waktu untuk beradaptasi, dengan mata sayu dia menatap temannya.
"Kau tampak baru saja melihat hantu." ucap Freddy yang baru saja terganggu kegiatan tidurnya.
"Aku...baru saja..." Jordan tampak masih trauma dengan apa yang baru saja dia lihat ketika seorang wanita cantik berubah menjadi sosok mengerikan.
Mengingat mimpi semalam membuatnya menjadi kaget dan sedikit tertegun, seketika Jordan merasa seperti ada sesuatu yang kurang hingga dia menyadari bahwa Jashinta tidak berada di sana.
"Jas, mana? Kenapa gak ke sini? Apa dia sibuk?" tanya Jordan sambil memandang sekeliling.
"Tadi Jas—" seketika Freddy teringat akan pesan semalam untuk bertemu di loket pembayaran.
Tanpa mempedulikan keadaan temannya Freddy berbalik dan menuju ke arah tempat loket tersebut namun dari sudut lorong seperti ada seseorang yang hendak menghampiri mereka, alih-alih pergi menemui Jas dia berjalan kembali lalu berdiri di belakang Jordan.
"Aku akan menjagamu, Jor! Jangan khawatir jika orang itu mau melukaimu maka aku akan siap." ucap Freddy sambil memegang bahu temannya.
"Dan kenapa kamu malah di belakang coba?" Jordan menatap temannya.
Sosok itu berlari dan semakin mendekat ke arah mereka dengan kecepatan tinggi hingga akhirnya berdiri di, kakinya seakan melayang di udara sementara pandangannya seakan kosong juga hampa, awalnya mereka menatap sosok itu kebingungan dan takut tapi kelamaan mereka sadar bahwa itu adalah Jashinta.
"Jas, apa yang terjadi kepadamu?" Freddy yang awalnya berada di belakang temannya kini maju ke depan. "maaf aku lupa untuk menemuimu di lorong dekat loket pembayaran, dan lagi—"
"Aku...akan menyelamatkan gadis ini..." ucap sosok tersebut, suaranya bergetar seakan sedang di kejar sesuatu. "jangan...mempercayai orang dengan...tato bintang."
Setelah mengatakan hal tersebut sosok itu menghilang dan ketika Jashinta akan terjatuh ke lantai, dengan cepat Freddy menahan tubuh temannya sehingga tak terbentur ke tanah lalu secara perlahan dia meletakkannya di atas kursi ruang tunggu.
Mereka saling bertukar pandang mencari tahu apa arti dari perkataan tersebut, sementara Jordan yang pernah mendengar hal itu dari sosok hantu ibunya tampak tersentak, mungkinkah kecelakaan keluarganya itu di sengaja atau perbuatan daris seseorang tapi semua itu tak ada bukti pasti, dia pun menggelengkan kepala agar fikiran tersebut segera menghilang.
Beberapa saat setelahnya Jashinta terbangun dan mendapati dirinya berada di atas sofa, sementara kedua temannya berdiri seakan menunggu dirinya tersadar dari pingsan.
"Jor, kamu udah sehat? Bukankah baru sehari kau berada di rumah sakit?" tanya Jashinta.
Jordan merasa bahwa pertanyaan tersebut sedikit aneh. "apa yang kalian bicarakan? Aku dirawat udah lama loh, mungkin sekitar seminggu atau lebih aku juga heran kalian bisa menunggu begitu lama dan aku memang baru sadar hari ini sih."
"Jor, apa yang kau bicarakan?" Freddy menguncangkan pundak temannya agar mendapat jawaban pasti.
"Bukankah ketika kita dari taman itu hari Jum'at ya? Sekarang udah Minggu—"
Freddy menyipitkan matanya dan memandang wajah temannya dari dekat. "jadi baru dua hari dong—, lah kok bisa dua hari lewat? Sekarang kan—".
Melihat kedua temannya yang ngeyel tentang hari, Jordan pun mengambil buku jurnal miliknya. "bukan dua hari kocak, tapi hampir seminggu ngerti kan? Dari tanggal 29 September sampai tanggal 12 November, berapa hari itu? Jawab?"
Seketika hal tersebut menghantam kepala mereka seperti petir yang menyambar dan menembuh hingga sampai ke pusat bumi, mereka saling bertukar pandang sebentar lalu berteriak histeris karena tugas mereka telah terlewati begitu saja ketika berada di dalam rumah sakit.
Di satu sisi Freddy terduduk di samping kursi tunggu sambil mengucapkan sesuatu, di lain sisi tampaknya Jashinta telah berjanji untuk bertemu seseorang namun karena terjebak di sana dia terpaksa harus melewatinya meski sosoknya dikenal sebagai orang yang selalu menepati janji.
Sementara Jordan hanya bisa menatap kedua temannya, dan ketika melihat jurnal miliknya dia menjadi terkejut karena ada beberapa bagian dari buku tersebut telah hilang, sesuatu yang sangat penting dan bahkan mungkin adalah kunci dari semua investigasi di taman itu.
Tapi perkataan tentang tato bintang selalu tergiang di kepalanya seakan ssseorang tengah berbisik, Jordan menatap teman temannya yang terlihat sibuk dengan urusan mesing masing, tapi karena masalah saat itu serius terpaksa dia harus mengatakannya.
"Ponselku...hilang..." ucap Jordan, suaranya lirih.
"Tidak ada yang peduli tentang ponselmu!" Jashinta terduduk sambil menatap lantai berkilauan di bawah kakinya.
Saat sedang terpukul dengan kenyataan ponsel milik Jashinta berbunyi dan ternyata itu panggilan dari pacarnya, dengan cepat dia segera menjawab teleponnya lalu terdengar suara begitu tenang dan pelan seakan sedang berada di tempat sunyi.
Namun suara itu seakan mengingatkan Jordan pada malam dirinya terluka saat sedang menyelidiki kebenaran tentang wanita yang di bunuh oleh ayahnya setelah mengalami masalah, dan ketika hampir menemukan titik terang seseorang menyerangnya hingga dia harus melewati beberapa hari tanpa melakukan apa-apa
Dengan pelan Jordan menghampiri Jashinta sambil menepuk pundaknya. "siapa itu? Apakah temanmu?"
Tepukan itu membuat Jashinta bergidik karena dia berfikir kalau itu adalah makhluk tapi ketika berbalik ternyata bukan. "Jor, jangan bikin takut deh, udah cukup aku menemui hantu sialan yang bisanya muncul dari antah barantah sambil menunjukkan wajah berdarah mereka, sat emang."
"Dengan siapa kau bicara itu, Jas?" Jordan menatap tajam, matanya terlihat sangat serius, seolah tak ada tempat untuk lelucon.
Karena Jashinta tidak mau pacarnya mendengar percakapan antara dia dan temannya, dia menutup bagian speaker ponselnya. "ini pacarku—jangan bilang kamu suka sama dia? Woi lah, pacaran ama ponselmu aja."
"Bukan itu masalahnya loh." Jordan berusaha untuk melihat ponsel temannya dan mencari tahu nama dari orang yang memanggil.
"Kepo banget sih." Jashinta berdiri dan berjalan menghindari temannya.
Namun suara itu tampak familiar dan juga seperti terngiang di kepala, karena saat itu Jordan sudah sembuh dia telah di izinkan untuk pulang ke rumah, dan ketika ingin memberitahu Freddy juga Jashinta mereka tidak terlihat di sepanjang mata memandang hingga dia berfikir bahwa mungkin teman-temannya telah pulang terlebih dahulu.
Dengan langkah mantap Jordan menuju ke arah loket pembayaran sambil menekan bel, namun beberapa menit telah berlalu dan tak ada seorang pun datang bahkan ketika ruangan rumah sakit yang ramai tidak terlihat dokter ataupun suster.
"Aneh banget gak sih? Kok bisa di sini lebih mirip kuburan dari pada rumah sakit." gerutu Jordan.
Saat akan meninggalkan loket pembayaran, Jordan merasakan ada sesuatu berdiri di belakangnya namun ketika berbalik mencari tahu, tidak ada siapapun di sana bahkan tanda-tanda keberadaannya pun seakan tidak nyata.
Seketika Jordan merasakan hawa dingin menyelimuti dirinya bahkan membuat bulu kuduknya berdiri, suasana cerah nan ramai di rumah sakit terasa begitu gelap dan mencekam bahkan suara bising itu seperti percampuran antara rasa takut serta penasaran.
"Apa ada yang bisa dibantu." ucap suara misterius.
Saat berbalik Jordan melompat ke belakang ketika melihat petugas penjaga di loket pembayaran itu tampak pucat dan matanya bercahaya merah terang, sorot matanya tajam seakan menembus hingga ke dalam jiwa, tapi hal itu di tepis olehnya serta berfikir mungkin itu adalah efek trauma dari kejadian di taman beberapa waktu lalu.
Dengan sebuah senyuman terpaksa dari wajah Jordan dia menatap penjaga kasir itu walau masih mencoba agar tidak sampai bertatapan, dia mengeluarkan dompet untuk membayar biaya pengobatan selama dia di rawat, namun ketika melirik ekspresi penjaga itu seakan berbeda dan sekilas tampak lehernya seakan patah bahkan dari matanya mengeluarkan darah.
Hal itu membuat Jordan berbalik sambil mengelus keningnya, berusaha menatap ke arah kerumunan sambil terkadang melambaikan tangan atau hanya sekedar tersenyum pada mereka, namun satu hal ganjil dari semua orang itu karena walau lantai tersebut bersih sampai memantulkan cahaya bayangan mereka tidak tampak.
Karena berfikir bahwa hal itu normal, Jordan menatap ke arah kakinya tapi wajahnya terpampang jelas menatap dirinya serta tidak ada hal aneh darinya, apakah lantai tersebut berbeda dengan yang di lalui orang itu, hingga dia teringat bahwa sudah waktunya untuk membayar biaya pengobatan serta mengajak kedua temannya untuk segera pergi dari sana meski niatnya untuk membuat film seolah sedang runtuh karena tak mungkin kalau dia membuatnya sendiri.
"Berapa biaya—pengobatan..." Jordan tampak sedikit takut bahkan dia sampai menelan liur beberapa kali.
"Atas nama Jordan, biayanya—sudah di bayar oleh seorang pria bernama—De...De..."
"Dede?" saat berbalik Jordan terdiam karena penjaga kasir itu seperti tengah memuntahkan darah bahkan kali ini tulang di tubuhnya seakan patah.
Merasa aneh dengan kejadian tersebut Jordan membungkuk sambil tersenyum bahkan dia sampai berjalan mundur hingga tiba di persimpangan jalan menuju ke lorong-lorong rumah sakit lalu berlari kencang sekuat tenaga bahkan hampir lupa bahwa dirinya saat itu sedang kelelahan, asalkan bisa menemukan temannya semua hal yang telah dia lalui tidak masalah.
Tapi keberadaan dari kedua temannya seakan seperti api lilin ketika di tiup angin, tidak nampak di sepanjang mata memandang, hingga dia teringat untuk kembali ke ruangan tempat dia di rawat, dia berlari terus hingga melihat siluet dari kedua temannya, lalu berdiri di samping mereka sambil mencoba memperbaiki nafasnya yang seperti di sedot oleh lubang hitam.
"Fred...Jas...kita harus...segera pergi...capeknya." Jordan terduduk di salah satu bangku sambil menatap kedua temannya. "atau mungkin kita bisa...terjebak di sini...selamanya."
Namun setiap perkataan Jordan tidak sampai pada kedua temannya yang masih saja duduk dengan tanpa ekspresi di wajah mereka, sementara dari sisi lorong seorang pria muncul sambil membawa buket bunga, entah kenapa wajah itu terlihat sangat familiar dan seperti pernah dilihatnya sebelum ini.
Jordan langsung berdiri dan menghampiri pria itu. "kau siapa? Apa kita pernah bertemu sebelum ini?"
Namun sebelum pria itu menjawab pertanyaan dari Jordan, Jashinta langsung berdiri dan memeluknya bahkan mereka tampak begitu akrab. "Ay Denis, kamu lama banget."
"Tadi jalanan macet Ay, maaf ya." Denis berkata sambil memberikan kecupan manis kepada kekasihnya lalu merangkulnya dalam dekapan.
'Dia kan—orang yang telah menyerangku sebelum ini—bahkan suaranya terdengar seperti." Jordan menggelengkan kepala karena merasa hal itu tidak mungkin karena para hantu mungkin tengah mempermainkan dirinya.
Setidaknya ketika Jordan melihat sebuah cermin di samping temannya berniat untuk mencari tahu wajahnya tapi hal aneh malah terjadi sesaat ketika dia hampir mendekat ke depan cermin seolah muncul darah dari dalam serta sosok berambut hitam panjang ingin melewati kotak cermin itu.
Tanpa menunggu lama Jordan menarik lengan Freddy meski sangat berat tapi dia berusaha agar temannya itu tidak terkena darah di sampingnya, karena kesal dia bahkan sampai berteriak, urat lehernya pun sampai terlihat menonjol keluar.
"Berdiri, woi." teriak Jordan sambil membangunkan temannya. "kita hanya punya waktu singkat sampai—"
"Kamu gangguin orang aja." meski kesal Freddy mengikuti temannya dan berjalan melalui lorong tersebut.
Tak lupa juga Jordan menarik lengan Jashinta, meski sedang bermesraan dengan pacarnya tapi hal itu tak membuatnya menyesal, dia menarik kedau temannya melewati lorong panjang yang entah kenapa terasa semakin jauh ketika di lewati bahkan suasana seakan mencekam di ikuti suara derap langkah kaki dari arah belakang.
Jashinta menatap tajam ke arah temannya karena di anggap mengganggu kegiatannya. "hanya karena kau itu jomblo jangan iri sama aku dong, jangan-jangan nanti istri Fred kamu ambil lagi."
Tapi hal itu tak membuat Jordan berhenti meski dirinya tahu mungkin saja mereka telah terjebak dalam rumah sakit itu bahkan saat pertama kali mereka memasuki ke dalam sana, suasana yang awalnya ceria kini berubah menjadi gelap juga kelam bahkan lantainya menjadi seperti tak terurus begitu juga dengan dindingnya.
"Tidak bisakah kalian menunggu hingga persiapan film ini selesai?" teriak Jordan sambil berusaha berlari. "aku yakin kalian hanya mau terkenal saja kan?"
"Kau masih memikirkan ide gilamu membuat film." Jashinta menarik tangannya dan berhenti. "setelah semua ini yang ada dalam fikiranmu hanya film? Kau hampir membuat kita terbunuh, Jor!"
"Aku...ini semua tidak di sengaja...ok! Aku..." Jordan berhenti sejenak sambil mengatur nafasnya. "bukankah sejak awal kalian yang kabur entah kemana? Dan akhirnya aku harus membuat persetujuan kepada pria di taman itu, sekarang kalian membuat seolah olah aku pelaku yang menyeret kalian ke sini?"
Mendengar hal itu membuat Jashinta juga Freddy terdiam, padahal mereka yang terpisah sejak awal lalu bersembunyi ke dalam sebuah pondok tua di tengah taman, tapi mereka tak sepenuhnya benar karena Jordan membangunkan sosok hantu wanita berambut panjang hingga membuat mereka di teror setiap harinya.
Mereka menundukkan kepala sambil mengingat kejadian beberapa waktu lalu, dan secara bersamaan mereka berkata. "maaf."
"Ini salahku memanggil kalian untuk membuat film, padahal bisa saja aku menunggu hingga pagi datang." Jordan berkata sambil menggaruk tengkuk lehernya.
Freddy menatap kedua temannya sambil menghembuskan nafas pelan. "sepertinya ini semua salah kita deh, coba bayangin aja kalau memang kita gak datang pas Jordan memanggil kita pasti kejadian ini tak pernah ada, kita juga kepengen bikin film itu."
Saat tengah berbincang terdengar derap langkah kaki berjalan ke arah mereka, kali ini bersamaan dengan gesekan besi di dinding.
Suara gesekan itu terdengar semakin keras diiringi langkah berat yang seakan menyeret, sontak mereka bertiga saling bertukar pandang terlukis kecemasan dari raut wajah mereka bertiga, namun meski suara itu seolah dekat tapi di depan mereka tidak terlihat sesuatu ataupun seseorang hingga berhenti tepat berada di depan mereka.
Saat sedang memandang sekitar seperti angin dengan kecepatan tinggi melintasi mereka bertiga dan saat itu juga Jordan terduduk di lantai merasakan kakinya terluka oleh angin tersebut namun tidak ada luka atau apapun, sementara di depan mereka berdiri seorang wanita berambut panjang.
Wanita itu seakan tersenyum di balik rambut panjang yang menutupi wajahnya. "perjalanan kalian masih...panjang...jadi aku tidak bisa membiarkan kalian mati...sebelum menemukan pelaku dari kematianku..."
"Fred, Jas aku yakin ini waktunya untuk kita segera pergi dari sini." ucap Jordan sambil mencoba berdiri.
Meski awalnya ragu tapi Freddy juga Jashinta akhirnya memutuskan untuk mengambil waktu tersebut untuk pergi dari sana, kali ini walaupun lorong terasa panjang dan sempit namun ada semacam harapan walau hanya kecil, hingga mereka tiba di depan pintu utama rumah sakit tersebut.
Walau hal itu tidak menjamin bahwa mereka telah aman dari sana, karena beberapa orang yang tengah berada di sana seakan mengejar mereka, serta berusaha menutup jalan menuju ke pintu keluar.
"Tunggu, Denis masih di dalam rumah sakit—kita gak bisa meninggalkan dia sendiri." Jashinta berhenti di depan pintu sambil menoleh ke belakang. "aku harus...menyelamatkan..."
"Jas, tenangkan dirimu." Jordan menepuk pundak temannya dengan lembut. "aku yakin akan lebih baik jika kita bisa keluar dari sana."
Dengan keras Jashinta menepis tangan dari pundaknya. "memangnya kalian tahu apa? Kalau bukan karena Jordan kita gak bakal terjebak di sini! Setidaknya kau harus bertanggung jawab!"
"Jas, kenapa kau selalu menyalahkan orang lain? Bukankah salah Denis kita berakhir di sini? Ada rumah sakit lain di kota tapi kau malah mencari yang paling jauh dan juga terbengkalai!" teriak Freddy, wajahnya tampak penuh kemarahan.
"Ini semua...memang salahku...sejak awal seperti itu...jika saja—"
"Terus apa? Kenapa kalian selalu mengucapkan kalimat itu? Aku...membencinya...kita adalah teman sejak kecil bahkan bersekolah bersama."
Ketika sedang berjalan mereka bertiga tidak menyadari ada sosok tengah berdiri di depan mereka, seorang penjaga kasir yang pernah di temui oleh Jordan saat hendak membayar biaya pengobatan, meski saat itu mereka terdiam karena beberapa hal.
Sosok penjaga kasir itu sedikit berbeda dari sebelum karena kepalanya kini berada sejajar dengan kaki seakan tulang di punggungnya telah patah ataupun hilang, tapi walau dalam kondisi seperti itu dia bisa berlari tanpa ada halangan sama sekali.
"Tidak bisa...keluar hidup-hidup." suara itu terdengar serak dan mencekam. "jiwa tersesat harus...berada di sini...selamanya."
Sosok itu langsung melompat ke arah pintu terbuka namun seakan menabrak semacam kaca tak terlihat dan membuatnya terjatuh ke lantai membuat Jordan dan kedua temannya baru tersadar akan kehadirannya.
"Kita harus pergi." ucap Freddy sambil memandang ke luar pintu.
Suasanya tampak cerah dan di sinari oleh cahaya matahari pagi, seakan memanggil mereka untuk segera meninggalkan mimpi buruk tak berakhir itu dan pergi untuk memulai kehidupan normal lainnya.
"Kita tidak akan pergi tanpa Denis!" ucap Jashinta sambil berlari ke dalam menuju ke lorong rumah sakit.
"Jor, aku sarankan agar kau tidak mengikutinya, ini berbahaya! Tidak ada lagi yang akan membantu nanti." Freddy mengulurkan tangannya sambil menatap lembut. "kita punya keluarga menunggu kepulangan kita—ingat?"
"Tapi—"
"Jika hal itu yang paling di inginkan oleh Jas, maka biarkan dia menerima konsekuensinya." Freddy berkata, wajahnya penuh harap meski tahu temannya mungkin tak akan mendengarkan perkataannya. "tidak ada yang salah atau benar, kita semua pasti melakukan kesalahan."
"Maafkan aku—dan terima kasih telah peduli kepadaku." ucap Jordan sambil melangkah kembali ke dalam rumah sakit itu.
"Dasar kumpulan orang bodoh—sialan." Freddy menatap pintu yang akan membawa mereka ke dalam sebuah kebebasan serta kenyataan.
Namun karena kedua temannya telah memutuskan untuk kembali ke dalam rumah sakit, terpaksa Freddy berbalik dan mencari temannya dan dari sudut mata ketika dia sudah sedikit jauh dari pintu dia melihat pintu itu tertutup hingga berbunyi suara 'Brakk' menandakan bahwa mereka mungkin tidak akan bisa keluar dari sana secara utuh.
Di setiap langkah Freddy merasakan ada hal berbeda dari tempat itu, pintu dari setiap kamar rumah sakit kini seakan terbuka, lantai serta dinding mulai menjadi kayu usang hingga menciptakan bunyi ketika menginjaknya bahkan suasana menjadi gelap seperti sudah tengah malam, kurangnya cahaya menjadi penghalang untuk mencari sekeliling.
Pandangan menjadi semakin sempit dan bahkan Freddy seakan kesulitan ketika berjalan, hingga dia menginjak sebuah besi dan karena penasaran dia mengambilnya sambil mulai berkeliling meski dalam hati dia masih menggerutu karena perkataannya tidak di dengarkan sekalipun oleh temannya.
Dengan perlahan Freddy melalui beberapa kamar namun tetap saja tidak berhasil menemukan kedua temannya, waktu seakan terhenti sejenak ketika dia melihat sebuah cermin di sebuah ruangan, sekelilingnya tampak biasa dan tidak ada hal mencurigakan hingga secara tidak sengaja dia menginjak sesuatu.
"Sial, banget...kenapa deh harus aku yang mengalami—" dan ketika mengangkat kakinya Freddy terkejut karena itu tidak seperti apa yang dia bayangkan. "u...u...sus?"
Seketika Freddy merasakan ketegangan menyeliputi kepalanya karena bukan hanya tali menyerupai usus tapi banyak darah seakan tempat itu baru saja habis dilakukan pembantaian, bau darah amis mulai tercium dari penjuru ruangan tersebut hingga membuatnya hampir saja muntah.
Saat berbalik ke arah belakang Freddy terpeleset dengan tali—ataupun sesuatu mirip dengan itu, dan ketika tangannya menyentuh lantai seakan ada sesuatu tengah mengawasi dirinya, sontak dia langsung menatap ke arah samping hingga menatap sosok hantu tanpa mata.
Hal itu membuat jantung Freddy berdegup kencang, namun meski berusaha untuk berdiri ataupun kabur seakan tubuhnya tidak mau bergerak, bahkan ketika sosok itu mulai mendekat ke arahnya.
"Mata...di mana...?" ucap makhluk itu sambil mencoba mendekat.
"A...ku...tidak tahu..." suara Freddy seakan tidak mau keluar dari tenggorokannya. "pergi...dariku."
Namun ketika mendengar dentuman jam berbunyi tepat pukul 8 pagi, Freddy akhirnya bisa berdiri dan tanpa berfikir panjang dia memilih untuk segera meninggalkan kamar tersebut meski tidak tahu kalau selama ini dia selalu memegang sesuatu selain senter, karena merasa lelah dia bersandar di dinding sambil menghela nafas panjang.
Karena saat itu tidak ada seseorang atau sesuatu tengah mengejarnya Freddy merasa bahwa itu waktunya untuk beristirahat, dia berbalik dan menatap dinding di depannya dan menjadi terkejut dengan yang ada di depannya.
Dinding tempat Freddy menyandarkan punggungnya seakan mulai bergerak perlahan, dan muncul seperti tulisan berwarna merah darah membentuk menjadi sebuah kalimat utuh bertuliskan "Kalian tidak bisa keluar dari sini hidup hidup", tampak darah segar mengalir dari tulisan tersebut namun seiring berjalannya waktu semuanya berubah menjadi wajah dari seseorang.
Merasa terkejut Freddy mundur ke belakang hingga terduduk di lantai, tangannya seakan menyentuh cairan lengket dan ketika melihatnya tersebar mata dengan darah di sekeliling, hal itu membuat jantungnya seakan berpacu dengan waktu, di satu sisi dia harus segera menemui kedua temannya namun keselamatannya juga menjadi prioritas.
Dari dalam ruangan kamar seakan terdengan garukan kuku yang menggema di telinga membuat Freddy merasakan sakit tak tertahankan, dan ketika melihat beberapa sosok menghampiri sambil mencoba mencari sesuatu, tulang di tubuh mereka seakan telah terlepas bahkan terlihat keluar dari kulit.
"Sial..." gerutu Freddy sambil mundur beberapa langkah ke belakang.
Saat para hantu itu mendekat Freddy merasakan ada sesuatu yang memanggil dirinya, meski sulit dia berusaha agar bisa berdiri serta lari dari tempat tersebut, namun semua ruangan terlihat seakan hidup dan berpindah pindah, hal itu menyulitkan dia untuk mencari jalan keluar karena seperti terjebak dalam labirin hidup.
Karena kelelahan setelah berlari, Freddy seakan mendengarkan suara misterius dari ujung lorong dan karena berfikir kalau itu adalah tanda menuju ke tempat dari kedua temannya, dia segera berlari ke asal suara tersebut dan akhirnya melihat Jashinta sedang terduduk di depan sebuah ruangan sambil menunjuk ke arah sesuatu.
"Ada apa?" tanya Freddy sambil mencoba mengoyangkan tubuh temannya. "tenang dan jelaskan masalahnya kepadaku."
"Itu di depan..." ucap Jashinta, suaranya bergetar seakan di penuhi oleh ketakutan.
Dan ketika melihat arah yang di tunjukan oleh temannya, Freddy berdiri dan hampir tidak bergerak sedikitpun, mulutnya menganga tak mempercayai apa yang tengah dia lihat bahkan kakinya seakan lemah seolah tidak ada tulang menyangga.
"Jor...jordan?" Freddy menelan liur mencoba menenangkan dirinya. "bagaimana bisa...kau pergi mendahului aku?"
Meski tidak ingin berteriak tapi sepertinya Freddy sudah tidak bisa menghentikan rasa sakit yang ada di dalam hatinya, semua itu tidak sepandan dengan berada di rumah sakit tersebut, tidak mungkin jika temannya telah mati.
"Bukankah kau berkata akan membuat sebuah film di mansion itu? Kau pasti berbohong kan?" air mata mengalir dari Freddy tanpa persetujuan darinya.
Sementara Jashinta seolah tidak lagi berada di sana, dan sekeliling tempat itu seolah menjadi lebih sempit dari pada sebelumnya, Freddy terduduk sambil mencoba menyelamatkan sosok temannya yang kini tergantung dengan kondisi mata telah hilang, semua perasaan sedih seakan tidak bisa menghapus kenangan mereka selama ini. Dari luar kamar tersebut terdengar suara lembut juga hangat seakan memanggilnya untuk segera keluar dari sana.
"Ulurkan tanganmu." suara itu seakan menggema di seluruh ruangan.
Seakan ingin membantu Freddy untuk keluar dari sana, tangan muncul dari arah pintu kamar tersebut, namun meski ingin keluar dari sana tapi dia masih memikirkan keadaan Jordan, jadi dengan susah payah dia menarik tubuh temannya dari gantungan sementara berusaha berjalan keluar dari ruangan yang terlihat seperti berada di tengah kapal.
Cahaya dari tangan itu semakin menghilang bersamaan dengan menyempitnya ruangan tersebut, Freddy ingin keluar tapi tubuh Jordan seakan menahan langkahnya, dan ketika hampir sampai di pintu tangan itu menariknya dengan kuat hingga akhirnya dia terpental menabrak tembok.
Sosok itu tidak lain adalah wanita berambut hitam panjang yang selalu mengikuti mereka sejak keluar dari taman tersebut, meski sebagian wajahnya tertutupi oleh rambut panjang dan darah seakan keluar dari tubuhnya tapi ada sesuatu tentangnya sangat misterius.
"Kenapa kau menolong kami?" tanya Freddy, wajahnya tampak bingung. "bukankah kita telah menganggu kedamaianmu?"
Namun sosok hantu wanita itu tidak menjawab san langsung pergi, meski bingung tapi Freddy tetap mencoba untuk mengolah informasi yang baru saja dia dapatkan, dia pun berdiri sambil mengelus kepalanya setelah benturan keras sebelumnya, tapi ketika melihat bahwa temannya tidak ada di sana dia terlihat begitu panik.
Sambil berteriak Freddy mencari ke arah sekeliling namun tidak ada tanda tanda bahwa jejak mereka ada di sana, bahkan Jashinta pun tidak terlihat hingga membuatnya hampir merasa kesal, di tengah ruangan terdapat sebuah cermin namun bukan wajahnya terpantulkan melainkan seorang bocah berambut pirang serta kulit pucat dan mata merah tengah berdiri di hadapannya dengan lambang bunga mawar hitam tepat di dadanya.
Terdengar suara samar dari sekeliling tentang cermin tersebut. "jangan alihkan pandanganmu darinya ketika dia membuka mata."
Hal itu membuat Freddy menjadi terkejut sambil mencari asal suara, namun dalam beberapa detik dia berpaling anak dalam cermin tersebut mengeluarkan darah dari matanya bahkan matanya semakin bersinar memancarkan warna merah pekat.
"Siapa itu?" teriak Freddy sambil memalingkan pandangannya.
Dan setiap kali Freddy berpaling sosok di cermin itu seakan bergerak bukan untuk keluar melainkan sebaliknya, dia seakan ingin menggunakan tubuh dari Freddy untuk bisa keluar dari dalam cermin tersebut, namun sebelum berhasil melakukannya seorang pria menghancurkan cermin itu hingga beberapa bagian.
"Tutup matamu." teriaknya
"Kau kan...tapi bagaimana bisa..." Freddy menatap sosok pria di depannya.
Namun karena tidak mau merepotkan, Freddy memejamkan matanya seperti yang telah di beritahukan kepadanya dan waktu berlalu hingga terdengar dentuman jam menunjukan saat itu adalah siang hari tepat pukul 12 siang.
Karena tidak mendengarkan suara dari pria tersebut, Freddy membuka mata namun kali ini dia tengah berdiri menatap sebuah cermin dengan pantulan dari dirinya, semua kejadian di depan mata seolah hanya seperti ilusi atau sebuah mimpi, dia berjalan menempuh lorong yang hampir rapuh tersebut.
Udara dingin dan juga sesak seakan seperti tengah berada di puncak Everest, setiap tarikan nafas terasa sangat menyakitkan dan membuatnya menjadi lemah, di sekitar tidak tampak begitu banyak perubahan hanya jendela kaca yang retak serta kerumunan orang berlalu lalang.
Perasaan tenang itu seakan menggambarkan suasana ketika Freddy berada di kampung halamannya hanya berbeda dengan lingkungan saja, dia berjalan melalui lorong panjang dan jauh seakan tidak ada akhir dari semua itu, hingga langkah kakinya terhenti di depan sebuah ruangan dengan bertuliskan namanya.
Karena penasaran Freddy menyentuh pintu dengan tulisan namanya sambil menatap selama beberapa saat hingga memantapkan tekadnya untuk mencari tahu tentang kebenaran yang telah ada di depan matanya.
Namun terdengar suara misterius dari sampingnya meski tidak ada sosok terlihat. "bangun, kendalikan dirimu, semua mimpi buruk ini belum berakhir."
Tapi daya tarik dari ruangan tersebut semakin kuat bahkan depan pintunya mulai muncul berbagai kelopak bunga berwarna merah muda seperti bunga sakura ketika di musim semi.
Merasa gugup Freddy menarik nafas dalam-dalam mencoba menenangkan diri di tengah atmosfir misterius yang seolah terus memburunya, ingatan masa kecilnya seakan terus berputar membuat keyakinannya seakan runtuh, dia mengingat saat bersama kedua orang tuanya duduk di sebuah taman sambil menikmati piknik, tapi kejadian setelahnya seakan terdistorsi oleh sesuatu.
Meski sebenarnya ingin mencari tahu ke dalam ruangan tersebut tapi suara misterius itu seakan selalu terngiang di dalam kepalanya, seolah melarang dirinya untuk memasuki ruangan tersebut, namun bunga sakura yang berjatuhan sangat berkilauan seakan menarik perhatiannya untuk membuka pintu tersebut.
Bunga itu seakan memantulkan bayangan wajah wajah samar yang hampir megingatkannya pada keluarganya, namun dengan tatapan kosong hal itu membuatnya semakin penasaran, meski ragu-ragu dia mengulurkan tangan untuk meraih gagang pintu, dan sebuah suara misterius tadi kembali terdengar, tapi lebih keras dibandingkan sebelumnya.
"Siapa...di sana?" Freddy memandang sekitar namun tidak terlihat bayangan seseorang.
Terdengar suara misterius yang lebih dalam serta menusuk telinga. "Kembali...di sana bukan tempatmu...seharusnya berada..."
"Apa!!" Freddy melepaskan tangannya dari pegangan pintu dan berbalik ke belakang.
Tapi pintu itu seolah memaksanya untuk masuk ke dalam hingga muncul tangan-tangan menarik dirinya ke dalam, tapi meski telah berjuang begitu keras, kekuatannya seperti tidak sebanding dengan sosok tersebut, tiba-tiba dia merasakan ada hal yang menampar dirinya sekaligus membangunkan dia dari khayalan.
"Di...mana ini?" Freddy memandang sekeliling dan di depannya berdiri kedua temannya. "ini...rumah sakit?"
"Apa yang kau bicarakan? Bukankah—kita sedang berada di dalam rumah sakit berhantu itu?" ucap Freddy sambil mencoba menenangkan dirinya.
"Kau berlari ke dalam ketika kita hampir keluar, Fred! Apa yang kau fikirkan?" Denis menatap tajam, seakan wajahnya di penuhi oleh kemarahan.
Sementara Jordan terlihat masih saja duduk di sudut ruangan, sambil terkadang memandang ponselnya. "mau buat film horor gak? Kali ini di mansion tua terbengkalai di tengah kota."
Entah kenapa tapi tampaknya Jordan tidak pernah melupakan misi utamanya untuk membuat film dengan bertemakan latar Mansion terbengkalai, padahal mereka baru saja keluar dari rumah sakit misterius yang di penuhi oleh berbagai makhluk astral.
"Jor, kita bahkan masih terjebak di hutan terkutuk ini, dan kau selalu membicarakan film bodohmu itu." Jashinta menggelengkan kepalanya tidak percaya tentang obsesi temannya tentang film tersebut.
"Apa? Bagaimana bisa...tapi...bukankah...kita?" Freddy tampak masih trauma dengan apa yang telah dia lalui dalam rumah sakit itu.
Beberapa saat dan Freddy menatap tajam ke arah Denis, dia merasakan ada hal yang di sembunyikan oleh orang di depannya meski keadaan mereka seolah terkurung dalam hutan misterius tapi ketika tahu fakta bahwa mereka bertiga bersama orang di luar tim mereka itu membuatnya sedikit tidak nyaman.
Sementara kedua teman Freddy tampak tidak mempedulikan tentang keberadaan Denis dalam tim mereka, bahkan terlihat sedikit dekat hingga membuat dia merasa seperti terasingkan dalam kelompoknya sendiri, dalam kesunyian hutan hanya suara jangkrik juga burung hantu terdengar, serta desiran angin dan gesekan pohon.
"Kalian beneran mau lewat jalan kayak gini? Gak trauma apa kita ke rumah sakit—" Freddy berhenri sejenak sambil menatap pria berambut pirang di depannya. "aku yakin dia sengaja membuat kita terkurung di sana."
"Fred, kau terlalu banyak berfikir negatif soal orang lain loh." Jordan menghentikan langkahnya lalu berbalik menatap temannya. "apa kau tahu kalau Denis adalah orang yang telah membantumu keluar dari rumah sakit itu, karena kau hanya terdiam sambil menatap hantu tanpa bergerak sedikitpun."
"Aku yakin seperti itu." matanya tetap menatap tajam. "lagi pula dia yang membawa kita ke rumah sakit itu, benar kan? Dengan kata lain ini semua salahnya."
Namun Jordan tampak telah mengetahui temannya, secara teknis mereka telah bersahabat sejak SMP hingga sekarang, meski terkadang perkataan temannya sedikit menyakitkan tpi jika telah mengenal dengan baik sikapnya akan berubah secara perlahan.
"Karena Denis telah membawakan sebuah kamera, kita buat film live aja, gimana menurut kalian?" Jordan memandang sekeliling hutan itu dari layar kameranya. "walau kadang aku bingung karena para hantu itu ternyata narsis ya?"
"Hadeh, ini semua salahmu Denis! Pake bawain kamera segala." Jashinta menepuk kepalanya.
Di tengah hutan tampak sebuah rumah kayu, catnya terlihat sangat bagus bahkan terlalu bagus, jika dilihat dari dekat terasa sedikit mencurigakan, di sekitarnya tidak terlihat ada hantu sedang berada mengitari rumah tersebut, padahal sepanjang jalan seolah terasa seperi ada yang mengawasi mereka.
"Ayo kita istirahat di rumah itu." Jordan menunjuk ke arah rumah kayu di depannya.
Freddy menarik pundak temannya sambil berbisik pelan agar hanya mereka berdua yang bisa mendengarnya. "Apakah kau gila? Di sana terlihat mencurigakan loh, dan lagi...ingat janji kita pada wanita berambut panjang waktu di taman loh...untuk mencari tahu kebenaran atas kematiannya..."
Jordan mengerutkan keningnya sebentar. "tapi bukankah kita sudah tahu penyebabnya ya!"
"Yah, tapi—aku rasa kita harus menyelesaikan semua ini, apalagi hantu itu entah kenapa selalu membantu kita." bisik Freddy.
"Aku..."
Tapi sebelum mengatakan sesuatu Jashinta memberi isyarat agar mengikutinya. "sini sebentar deh...aku nemu sesuatu."
"Ok, siap." ucap Jordan, yang langsung menghampiri temannya.
"Oi, tunggu—kau belum menyelesaikan perkataanmu loh." Freddy mendengus kesal namun tetap menghampiri temannya. "ada-ada saja mereka."
Mereka tampak sedang memandang sesuatu sangat teliti bahkan tidak memalingkan pandangan sedikitpun, sementara Denis terlihat sedang bersantai sambil menyandarkan pungungnya di pohon, dengan sebuah rokok menyala di tangannya.
Tentu saja Freddy selalu memperhatikan gerak gerik dari Denis, seakan menjadi seorang detektif swasta ketika sedang mengamati seorang tersangka pembunuhan, bahkan ketika sedang bersama kedua temannya.
"Ini besi atau apa sih?" Jashinta menunjukkan sebuah tongkat berwarna putih yang tampak sedikit aneh. "Tapi rasanya seperti—tulang?"
"Menurut kalian Denis mencurigakan gak? Kok bisa dia terlihat santai padahal kita sedang di tengah hutan loh." ucap Freddy sambil mengamati dari dekat.
"Kamu itu lama-lama ketularan Jas ternyata." ucap Jordan, dengan nada menggoda. "apa kalian sebenarnya pasangan namun di pisahkan oleh—takdir?"
Jashinta menatap tajam ke arah temannya, dan memukul kepala Jordan. "kamu kalau ngomong yang benar dikit napa?"
Sementara itu dia masih saja mengawasi Denis dengan seksama, dan ketika melihatnya bergerak Freddy menarik kedua temannya dan kembali ke tempat mereka berada sebelumnya.
"Kita masuk ke rumah itu, dan minta air laku pergi dari sini." ucap Denis yang kini telah berada di depan pintu rumah tersebut.
Namun sebelum mengetuk, ternyata orang di dalam rumah tersebut membuka pintu itu perlahan.
Pintu kayu itu perlahan terbuka mengeluarkan suara derit yang memecah kesunyian malam, di ambang pintu berdiri seorang wanita tua berkerudung, auranya sangat misterius seakan tersimpan sejuta misteri, tatapannya kosong namun tampak sedang mengamati sekeliling.
"Permisi, bolehkah kita—beristirahat sejenak? Saat ini udara malam sangat dingin dan—"
Wanita itu tidak mengatakan apa-apa, dia berbalik dan meninggalkan pintu rumahnya terbuka seakan menyuruh mereka untuk memasuki rumah itu, lalu duduk si salah satu sofa serta melanjutkan kegiatannya merajut kain.
Meski Jashinta dan Freddy merasa bahwa ada sesuatu hal yang mencurigakan, seolah wanita itu memiliki kekuatan tak terlihat dan sedang mengamati mereka satu persatu, namun karena tidak mau terjebak dalam kegelapan malam akhirnya mereka ikut masuk bersama Denis.
Sementara di sisi lain Jordan merasa sebuah ide mengalir ke dalan kepalanya ketika memasuki rumah tersebut, bahkan matanya berbinar binar karena kagum, dia memandang sekeliling seakan tidak pernah melihat keajaiban itu di tempat lain.
Wanita itu menatap ke arah mereka berempat hingga akhirnya melihat Jordan, dia berdiri sambil menyerahkan sesuatu namun ketika akan membuka kotak tersebut, wanita itu menahan tangan Jordan.
"Belum waktunya, ketika kau sampai di rumah barulah bisa kau buka." ucapnya sambil memberikan sebuah kunci. "kadang apa yang kau percaya bisa jadi perangkap serta bisa membahayakanmu serta temanmu."
Wanita itu berbalik lalu mengambil sebuah cermin dari atas meja lalu berdiri di depan Freddy. "Kau harus menyadarkan temanmu ketika mereka tersesat, dan cermin ini akan menunjukan kebenaran meski samar."
Merasa telah selesai dengan hadiah kecilnya, wanita itu berjalan ke arah dapur selama beberapa saat dan kembali menemui keempat orang muda tersebut sambil membawa beberapa kue di tangannya.
Freddy menatap cermin tersebut dan mencoba menggunakannya pada kue itu, namun tidak ada hal aneh terjadi hingga membuatnya menjadi kecewa, dia menyimpan cermin itu di dalam jaket dan berfikir mungkin tidak ada racun tersembunyi.
"Permisi..." ucap Jashinta, meski dia terlihat sedikit gugup tapi rasa penasarannya lebih kuat. "Kenapa tidak ada roh gentayangan di sekitar rumah ini?"
Wanita tua itu hanya tersenyum sambil menyeruput teh hangat, dia tidak mengatakan apa-apa hanya memandang sekeliling, seraya memberitahu lewat pandangan saja, di rumah tersebut terpajang sebuah bentuk aneh dengan pergabungan antara matahari dan juga bulan sabit.
Namun walau tak di jelaskan secara rinci Jashinta tampaknya mengerti maksud dari wanita tersebut, dia menyilangkan tangan di dada sambil terkadang memejamkan matanya dan merasakan aliran energi di sekitar.
Tak terasa waktu telah berlalu begitu cepat dan tengah malam hampir tiba, wanita itu menatap mereka, kali ini tatapannya tampak serius. "Kalian punya 30 menit untuk tidur, karena makhluk itu akan memakan jiwa yang di anggap mengancam hutan ini."
"Tapi, bagaimana caranya? Aku bahkan sering begadang untuk kerja!" Jordan mengernyitkan dahinya mencoba memahami perkataan tersebut, meski tidak ada satupun lewat dari fikirannya.
"Artinya kita harus tidur sekarang." ujar Jashinta.
Terdengar suara derap langkah kaki besar yang mendekat ke arah mereka, meski jauh tapi hentakkannya hampir terasa dekat, setiap detik terdengar langkah kaki yang mungkin berasal dari beberapa orang.
Wanita itu mematikan lampu di rumahnya dan seketika Jordan, dkk pun tertidur walaupun secara paksa tapi hal itu berhasil membuat mereka bisa lolos dari serangan makhluk tak terlihat tersebut.
Keesokan harinya cahaya mentari begitu menyilaukan, bahkan udara hangat seakan berhembus perlahan, harum bunga menjadi parfum yang harum serta kicauan burung menggantikan ayam berkokok.
"Kita kayak lagi..." Freddy mengusap matanya seolah sedang mencari tahu keadaan sekeliling. "Eh...?"
Teriakan Freddy membuat ketiga temannya terbangun, meski masih mengusap mata selama beberapa saat tapi ketika mengetahui bahwa mereka sedang berada di dalam hutam membuat bulu kuduk berdiri, karena seakan tidak ada tanda-tanda ada sebuah rumah di sekitar mereka.
Mereka melalui jalan yang pernah mereka lalui, tapi seakan hanya berputar putar saja, kali ini hutannya bergerak seolah hidup serta memiliki jiwa sendiri, dari sepanjang mata memandang tidak terlihat sosok atau apapun berada di sana bahkan hewan hanya burung gagak, yang menurut rumor akan datang pada bangkai.
Merasa masih kebingungan setelah mendapati rumah wanita tua itu telah menghilang, Jordan dkk berjalan menyusuri jalan setapak yang sebelumnya tidak berada di sana, dan setelah beberapa lama akhirnya mereka berhasil keluar dari hutan tersebut, dan kali ini jalanan sagat ramai di penuhi oleh banyak orang dengan kesibukan mereka.
Tidak seperri sebelumnya kota tersebut adalah kota mati, Jordan memandang sekeliling dan berjalan melewati jembatan penyebrangan orang agar menghindari kecelakaan, di ikuti oleh ketiga temannya.
"Kita berpisah ya!" ucap Jordan sambil berjalan menuju ke arah rumahnya. "jangan lupa rencana di taman waktu lalu."
"Kalau ada apa-apa jangan sungkan untuk menelepon ya, walau kau itu terlalu fanatik dengan film horor." ejek Freddy sambil melambaikan tangannya.
"Kalau aku telepon jangan lupa di angkat, atau aku bakal marah." teriak Jashinta, meski suaranya hampir tidak sampai pada kedua temannya.
Sementara Jordan melihat rumahnya seakan tidak pernah berada di sana semenjak kejadian di taman waktu lalu, dengan langkah perlahan dia membuka pintunya namun tidak bergeming sedikitpun bahkan kunci miliknya seperti tak berfungsi.
"Lah...kok!!" Jordan menggaruk kepala tidak mengerti.
Perlahan Jordan mundur ke belakang sambil memastikan bahwa rumah itu memiliki alamat yang benar, dia mengerutkan kening dengan wajah tidak percaya bahkan di dalam rumahnya sangat gelap.
"Apa aku panggil Jas, sama Fred ya?" gumam Jordan sambil mencoba membuka pintu rumahnya meski tidak kunjung berhasil.
Berbagai upaya telah dia lakukan tapi hal itu tidak memberikan perubahan, dia duduk menatap ke seberang jalan namun entah kenapa dia merasa aneh karena secara sepintas kehidupan keluarganya di masa lalu seakan menjadi sebuah film yang tengah di putar kembali.
Melihat adegan tersebut membuat Jordan terharu apalagi masa itu tidak akan pernah kembali, karena kedua orang tuanya sekarang telah meninggal karena sebuah insiden, dan kenangan itu seolah telah hilang dalam fikirannya bahkan alasan di balik kepergian orang tuanya tidak di ketahui.
Karena terlalu lama melamun Jordan mendengar seperti suara garukan dari dalam rumahnya, dan berfikir kalau itu adalah Spike anjing peliharaannya, hingga dia sadar kalau anjingnya itu telah hilang sejak dia berusia 7 tahun, bersamaan dengan kejadian keluarganya.
Merasa sedikit terganggu karena suara garukan itu tak kunjung menghilang, Jordan berdiri dan menatap ke dalam rumahnya tapi tidak terlihat apapun di sana, hal itu membuatnya kesal dan kembali menatap ke seberang jalan sambil menggerutu, namun hal di depannya malah justru membuat ingatan masa lalu yang telah terkubur kembali lagi.
Bayangan masa kecil Jordan seakan terlintas kembali ke dalam ingatannya, menampilkan kenangan samar saat dia berlarian bersama Spike anjing kesayangannya, di depan pekarangan depan rumah yang kini terlihat kosong dan muram.
Jordan menghela nafas panjang, matanya masih terpaku pada rumah itu—tampak begitu asing meski dia tahu bahwa itu adalah rumahnya sendiri, sebuah ingatan seakan berputar seperti sebuah film waktu kedua orang tuanya datang dan menghampiri mereka tepat hari Halloween, hari yang sama dengan ulang tahunnya.
Beberapa waktu kemudian seseorang dengan topeng "Grimm Reaper" mendatangi mereka, karena berfikir kalau itu hanyalah pesta kostum Halloween mereka menganggap hal itu wajar, setidaknya samapi orang itu menyerang menggunakan pisau asli dan membuat kedua orang tua Jordan meninggal, sementara Spike tertabrak mobil ketika sedang berlari mengejar penjahat itu.
Ingatan tersebut seakan membuat Jordan menjadi terpuruk, bukan saja karena dia tidak bisa masuk ke dalam rumahnya namun karena kenangan pahit itu seakan mengintainya padahal dia telah berusaha untuk segera melupakannya dengan melakukan tugas kantor melewati jam kerja dan bahkan jarang berada di rumahnya, walau hari itu sangat ramai tapi baginya semua itu sepertu kesunyian tiada akhir.
Sementara suara garukan dari dalam rumahnya semakin keras terdengar, ketika berbalik Jordan menemukan bahwa di sana ada sosok bayangan dengan gigi tajam serta mata merah menyala, meski terlihat mengerikan tapi baginya ada hal yang membuatnya malah menjadi sedih.
Ketika menyentuh kaca tersebut, Jordan merasakan bahwa dia harus melakukan sesuatu agar bisa membuatnya bebas, dia pun berdiri dan melangkah ke depan pintu kali ini sambil berharap bahwa kuncinya akan berfungsi tapi dari belakangnya terdengar suara memanggil namanya.
"Jordan." terdengar suara lembut namun menyimpan kesedihan. "ayo—bermain..."
Di sudut jalan seseorang dengan wajah mirip dengannya namun dengan versi lebih kecil, sementara di dalam rumah dia melihat sosok mirip Spike, Jordan merasa bingung akan pilihannya yang mungkin akan mengubah masa depan.
"Aku—aku minta maaf." Jordan membuka pintu rumahnya dan kali ini kunci itu terbuka seakan telah mengizinkannya untuk masuk ke dalam.
Di depan pintu sosok itu berdiri dengan menunjukkan taring mengerikan serta cakar tajam, seolah siap menelan siapa saja yang berani masuk ke dalamnya, dengan gemetaran dia melangkah masuk ke dalam lalu memeluk sosok itu.
"Spike, aku minta maaf—jika saja waktu itu aku menolongmu—kau pasti tidak akan mengalami—kecelakaan." ucap Jordan, perasaanya di seliputi oleh kesedihan tiada tara, padahal Spike adalah satu-satunya teman yang dia miliki.
Perlahan sosok bayangan tersebut mulai menyusut menjadi seekor anjing kecil berwarna cokelat keemasan, bahkan dia mengibaskan ekornya serta melompat kegirangan, seakan beban di pundaknya telah hilang, sebelum akhirnya menjadi cahaya yang hilang seperti butiran debu.
Di tengah ruangan terdapat sebuah kotak yang sama persis dengan yang di berikan oleh wanita tua di tengah hutan, dan hal itu baru membuat Jordan sadar kalau sebenarnya dia sudah tidak membawa kotak itu bersamanya, namun perasaannya bingung karena selama ini dia bahkan tidak bisa masuk ke dalam rumahnya jadi bagaimana bisa kotak itu mendahuluinya.
Jordan menatap kotak tersebut sambil menarik nafas dalam-dalam, berharap itu adalah hal yang dia butuhkan atau setidaknya bisa membuatnya merasa tenang setelah semua kegilaan seharian penuh apalagi kejadian di rumah sakit atau pesan dari ibunya.
Dan ketika membuka kotak tersebut tidak ada apa-apa hanyalah sebuah buku, dan saat menyelidikinya ternyata tidak ada apapun di sana, hanya sebuah foto keluarganya saat dia masih bayi, tapi ada satu hal yang membuatnya merasa aneh karena di sana seharusnya hanya ada ayah, ibu, dirinya serta Spike, tapi kini dalam foto tersebut ada seserang dengan wajah mirip dengannya namun terlihat berbeda.
Setelah menyelidiki beberapa lama tentang foto tersebut Jordan melihat di balik foto itu ada temannya Jashinta serta Freddy, meski masih kecil dan seketika muncul semacam benang berwarna merah di antara mereka berempat, semuanya terlihat normal setidaknya sampai semua orang dalam foto itu mengeluarkan darah.
Karena kaget Jordan melemparkan foto tersebut dan ketika mengenai dinding, dia merasakan sakit kepala tak tertahankan bahkan tidak bisa berdiri atau melihat sekeliling dengan berbayang, dia merasa bahwa semua tindakan yang dia lakukan pada foto tersebut ternyata berdampak kepada dirinya, hingga membuatnya penasaran akan keadaan dari kedua temannya karena foto mereka juga ada di dalam buku itu.
Tapi dengan keadaan Jordan saat itu, dia bahkan tidak bisa mengenggam ponsel, walau hanya sekedar melihat pesan ataupun menelepon, tenaganya seakan memudar dan merasakan lelah seolah dirinya telah berlari marathon sebanyak 10x dalam sehari.
Ketika terduduk Jordan merasakan hawa dingin serta hidungnya seperti mengeluarkan darah, dia berfikir kalau luka yang dia derita setelah penyerangan di taman itu kemungkinan belum sembuh total, atau mungkin karena janji yang telah dia buat tentang menemukan pelaku kematian hantu wanita itu belum dia penuhi.
Dengan bersusah payah Jordan mengambil foto yang telah dia temukan dar taman itu kepada polisi berharap bahwa mereka bisa menyelesaikan tugas tersebut, dan merasa semua dunianya menjadi putih lalu terjatuh ke lantai.
Ketika membuka mata Jordan memandang sekeliling dan dia sedang berada di kursi dengan kedua orang tuanya sedang membuatkan sarapan pagi seperti biasa, dan dia juga merasa seakan telah kembali ke masa lalu, meski merasa asing tapi semua itu terasa hangat dan juga nyata.
"Jor, kamu mau makan apa?" kata Merry, ibunya. "Ayahmu akan mengantar ke sekolah."
Saat itu Jordan terkejut karena meski kedua orang tuanya baik tapi tidak pernah sempat meluangkan waktu untuk mengantarnya karena itu dia di berikan seekor anjing dan di beri nama Spike yang selalu menemani ketika dia sendiri, tapi sosok sahabatnya itu seakan telah menghilang.
"Di mana Spike?" tanya Jordan penasaran.
"Spike? Siapa itu?" tanya Hans, ayahnya. "Kita tidak pernah memiliki nama itu dalam keluarga kita."
Meski ingin bertanya lebih jauh tapi Jordan memutuskan untuk mengurungkan niatnya, dia menatap hidangan di depan mata karena tampak ada sesuatu yang aneh tentang sup tersebut, seolah ada benda bergerak padahal dia belum mengaduknya.
Dan ketika melihat wajah orang tuanya, Jordan melihat bayangan yang dia lihat di dalam foto itu beberapa saat lalu, namun ketika mengusap matanya sosok tersebut seakan menghilang, tapi karena berfikir kalau itu hanyalah sebuah ilusi, dia melanjutkan kegiatan makannya.
Namun ketika Jordan menyendokkan makanan itu ke dalam mulut, dia menemukan sebuah kalung, dan sontak hal itu membuatnya menjadi terkejut hingga terduduk di lantai, sementara dia merasa seperti ada mata sedang mengawasi pergerakannya.
Jordan menatap kalung itu beberapa saat dengan perasaan bercampur aduk, di ingat bahwa kalung tersebut adalah hadiah yang dia berikan pada anjingnya Spike, bahkan dia mengumpulkan dari uang jajannya sendiri hingga bisa membelinya.
Tapi satu hal mengganggu fikiran Jordan, karena jika kedua orang tuanya tidak mengetahui keberadaan dari Spike, lantas bagaimana bisa kalung tersebut berada di dalam sup makanannya, jemarinya yang gemetar mencoba menggenggam kalung itu.
Namun setelah berfikir lama akhirnya Jordan mengangkat kepala dan menatap ke arah ibunya yang tengah asyik memasak sesuatu. "Ibu, bagaimana bisa kalung milik Spike berada—"
Ibunya, Merry tiba-tiba menoleh dengan senyum lebar yang kini tampak semakin menyeramkan. "Jangan khawatir tentang itu, sayang, karena kita akan selalu bersama-sama—selamanya."
Melihat perubahan ibunya membuat Jordan tersentak, bahkan dia sampai terduduk di lantai namun dia berusaha agar tidak terlihat mencurigakan, meski sulit dan kakinya gemetaran dia berdiri dan mengatur kursinya sembari menarik nafas dalam dalam.
Tapi hal itu baru saja permulaan karena dari arah pintu berdiri sosok bertopeng sama seperti orang yang telah menghabisi nyawa dari kedua orang tuanya, sementara di tangannya seakan sedang memegang sesuatu awalnya terlihat seperti biasa namun lama kelamaan semakin jelas bahwa itu adalah Spike.
Jantungnya berdegup kencang melihat kejadian yang hampir mirip dengan saat dirinya masih kecil, namun entah kenapa tubuhnya tidak mau bergerak sama sekali seolah tertahan oleh sesuatu, sementara di samping Jordan kedua orang tuanya menatap sembari mengeluarkan darah dari mata, hidung serta mulut mereka.
Merasa dalam keputusasaan Jordan mendengar secara samar teriakan dari kedua temannya yang memanggil namanya, tapi dia hanya tersenyum sambil memejamkan mata seolah telah pasrah pada mimpinya tersebut, suara langkah kaki kian mendekat ke arahnya.
Namun suara langkah kaki itu tergantikan oleh cahaya hangat dan menenangkan, ketika Jordan membuka mata dia mendapati dirinya berada di bawah pohon ek, dan di depannya seekor anjing berwarna cokelat duduk sambil mengibaskan ekornya dengan bahagia.
"Spike—" lirih Jordan, suaranya penuh dengan kerinduan dan penyesalan.
Spike menyalak seakan memberitahu bahwa dia juga senang bertemu dengan tuannya, dia berputar putar di depan kaki Jordan beberapa kali hingga akhirnya berlari menjauh, lalu duduk di sebuah taman lalu berjalan pelan.
Karena ingin menghabiskan waktu bersama anjingnya, Jordan mengejar Spike namun walau dia telah berlari jauh jarak antara mereka tidak pernah sampai, seolah terpisah oleh sebuah dinding tebal tak terlihat, dan perlahan sosok anjingnya itu menghilang dalam sebuah cahaya menyilaukan, dia berdiri mematung tak bergeming sedikitpun meski di sekitarnya seakan hanyalah hamparan mimpi tiada akhir.
Dan tiba-tiba Jordan merasakan sakit di wajahnya, ketika berdiri dia menatap Jashinta dan Freddy duduk di sampingnya dengan wajah khawatir, bahkan sampai menangis serta mengatakan hal-hal aneh serta permintaan maaf mereka akan semua kesalahan yang telah berlalu.
"Kalian berkata begitu seolah aku telah meninggal." ucap Jordan sambil menepuk pundak kedua temannya.
"Jor—" karena terlalu sedih Freddy memeluk tubuh temannya dengan air mata mengalir di pipinya. "Tadi detak jantungmu berhenti loh."
"Kau hampir membuat jantung kita ikutan lepas loh, Jor." ucap Jashinta, suaranya serak seakan itu hal tersedih yang dia rasakan. "Aku—minta maaf karena bersikap menyebalkan, tapi jika kau mau melanjutkan film itu, aku akan membantumu, tapi tolong jangan mati."
"Sikap kalian itu aneh ya?" Jordan tertawa melihat kedua temannya, meski begitu jauh di lubuk hatinya dia merasa senang memiliki teman tapi terasa bagaikan keluarga. "Aku—"
Sebelum menyelesaikan perkataannya terdengar suara tawa melengking di tempat tersebut, mereka pun menghentikan kesedihan kegiatan bersedih mereka sambil menatap sekeliling, namun tidak tampak siapapun di sekitar sana hanya hawa dingin yang semakin lama kian terasa.
Padahal cuaca di luar rumah terbilang cukup panas, tapi kali ini mereka seakan berada di tengah badai, suara itu semakin mendekat diikuti oleh tetesan air dari jejak langkah kaki, suara tawa itu terdengar lebih jelas dan bahkan menggema di seluruh ruangan.
"Jor, Jas, sepertinya kita harus segera pergi dari rumah ini—" Freddy menghentikan perkataannya sebentar. "Tidak—maksudku dari kota ini, sepertinya kita seakan dikutuk dalam perasaan bersalah yang selalu menghantui kita selama ini."
"Apa kau yakin dengan pergi dari sini bisa membebaskan kita dari semua teror para hantu ini?" tanya Jashinta yang kurang mempercayai pernyataan tersebut. "Tidak ada jaminan mereka tak akan mengikuti kita hingga di kota lain."
Seketika terdengar suara benturan keras seperti benda terjatuh dari atas, dan seluruh lampu penerangan di ruangan tersebut padam, hingga terasa seperti tengah malam padahal hari itu masih pagi dan cerah.
"Kita harus berpegangan dan tidak boleh terpisah untuk alasan apapun." ucap Jordan sambil mengulurkan tangan pada kedua temannya.
"Baik." ucap Jashinta sambil meraih tangan Jordan.
Mereka lalu berjalan mencari pintu keluar untuk segera meninggalkan rumah tersebut, namun kegelapan seakan menelan mereka hingga tidak bisa keluar dari sana, seperti tertahan oleh sesuatu, tiba-tiba tercium bau amis dan juga busuk seperti mayat.
"Hey, kalian buang gas ya? Gak sopan banget sih!" Jashinta ingin menutup hidung tapi apalah daya dia tidak bisa melakukannya karena kedua tangannya tengah memegang tangan temannya.
"Ngomong apa sih kamu?" Freddy mendengus kesal. "Itu sih Jor, aku mah gak pernah melakukan itu."
"Aku bisa mendengar kalian loh." Jordan menatap kesal karena di tuduh oleh kedua temannya yang bahkan menganggap situasi itu dengan remeh.
Ketika terdengar suara tawa itu sekali lagi, suara derap langkah kaki mendekat ke arah mereka namun tanpa bisa melihat apapun membuat mereka kesulitan, seketika cermin milik Freddy mulai bercahaya dan seolah memberikan mereka kehangatan.
Sontak Freddy teringat akan perkataan dari wanita dari rumah tengah hutan, namun meski ingin mengeluarkan cermin itu tapi dia tak bisa melakukannya karena sesuai janji dia harus tetap bersama dengan kedua temannya, sementara dari jauh sosok makhluk astral itu terasa mendekati mereka walau terhalang akan sesuatu.
Dengan cepat Freddy melepaskan tangannya dari Jashinta dan meraih cermin tersebut lalu mengangkat tangannya tinggi-tinggi sehingga cahaya itu mulai menyebar ke seluruh rumah tersebut dan dalam sekejap bayangan itu perlahan menghilang, menyisakan mereka bertiga berdiri.
Dalam keheningan terdengar suara tak asing dan juga familiar bagi Freddy, dia menatap ke arah langit langit, di sana berdiri sosok hantu tanpa kepala dia berdiri di atas sambil memandang ke bawah sebelum akhirnya menghilang dalam cahaya cermin.
"Aku selalu berfikir kalau sebenarnya masih hidup atau—"
"Jas, jangan mengatakan seolah kita hanyalah arwah gentayangan, ok!" Freddy menatap tajam merasa kesal karena dia merasa bahwa dia masih sangat hidup dan bernafas.
Walau hanya sementara tapi setidaknya saat itu mereka akhirnya bisa bernafas lega, walaupun perasaan tersebut tak berlangsung lama ketika mereka mendengar derit pelan dari lantai di belakang mereka, seperti suara kaki yang berat dan menyeret, ketiganya membeku saling bertatapan dengan pandangan ketakutan.
"Jas, Fred—apa kalian mendengar itu juga?" bisik Jordan, berusaha untuk tidak panik.
"Abaikan saja—" Freddy menghentikan perkataannya sesaat ketika merasakan sesuatu di bawah kakinya atau menginjak sesuatu.
Saat menoleh ke bawah ternyata itu adalah bunyi dari benda jatuh tersebut, alias sebuah kepala baru saja mengelinding ke arah mereka, namun meski ingin berteriak tapi Freddy berusaha agar tidak membuat kedua temannya merasa panik, dia bahkan tersenyum meski terlihat sedikit menyeramkan.
Tapi ketika Jordan dan Jashinta ingin bertanya Freddy hanya menggelengkan kepala seakan hal itu hanyalah benda semacam bola dan tidak berarti sama sekali meski akhirnya mata dari kepala itu bercahaya seakan hampir menelan jiwa mereka, untung saja cermin itu bersinar dan memungkinkan mereka untuk bisa keluar dari rumah Jordan.
Pintu tersebut terbuka lebar, dan terlihat di jalanan banyak orang tengah lalu lalang melakukan kegiatan aktivitas mereka, tapi langkah Jordan serta kedua temannya seakan melambat dan pintu itu setiap detiknya seakan berjalan sangat lambat seperti tengah melewati hutan rawa dengan lumpur.
Terdengar suara serak dan parau dari arah belakang mereka. "Jangan—pergi, kalian harus menyelesaikan apa yang telah kalian mulai.
Sontak hal itu membuat mereka terdiam karena kasus dari wanita di taman sudah mereka beritahu kepada pihak kepolisian, walau beritanya hanya dikirim ke ponsel, karena saat itu mereka belum memiliki waktu untuk menonton televisi atau mengecek internet demi mendapatkan informasi lebih lengkap.
"Apa kalian mengetahui sesuatu—"
Seketika Jordan teringat dengan roh wanita di kantor tempat dia bekerja. "Mungkin saja dia yang waktu itu, tapi apa hubungannya denganku?"
"Tenang, teman-teman aku yakin dia hanya ingin menjadi tenar dengan berada dalam film kita." ucap Freddy, suaranya terdengar bergetar meski dia berusaha membuat itu seperti sebuah lelucon. "Kita harus menyelesaikan proyek film i—kya..."
"Apa? Kya?" Jashinta tertawa bahkan sampai mengeluarkan air mata. "Kau terdengar seperti seorang perempuan."
"Di—di belakangmu—ada semacam." tapi Freddy tidak melanjutkan perkataannya hanya memegang cermin di tangannya lebih erat lagi.
Walau sedang memejamkan mata, Freddy merasakan seperti ada tulisan muncul dari cermin tersebut, cahayanya begitu terang bahkan menembus sampai ke dalam jiwanya, suara itu semakin mendekat, dan membuatnya terpaksa harus membuka mata.
Cermin itu menunjukkan sebuah tulisan kuno, tapi entah kenapa Freddy bisa membacanya dengan mudah. "Lepaskan jiwa mereka dan kalian akan terbebas—setidaknya untuk saat ini, dunia orang hidup dan mati terpisah oleh jurang tak terlihat, lepaskan sekarang atau terkurung bersama arwah itu."
Freddy menatap temannya meski dia masih merasa sedikit ragu akan hal tersebut tapi dia berusaha memberanikan dirinya meski kata yang keluar justru berbeda. "Jor, mau makan es krim gak?" saking gugupnya dia tidak bisa memberitahu peringatan cermin itu. "Bukan, maksudku mau jalan-jalan ke pantai?"
"Fred, ini bukan waktu yang tepat untuk bercanda, kita berada di tengah kengerian makhluk astral ini, ingat?" Jashinta mendengus kesal, seraya memutar matanya, walau sebenarnya dia hanya takut jika terjebak dalam rumah Jordan selamanya.
Terjebak di rumahnya saja sudah sangat merepotkan apalagi kepercayaan dalam keluarga Jashinta berkata kalau seorang yang terlahir dengan tanda darah tidak bisa keluar dari kota tersebut karena di takdirkan sebagai tumbal hidup, serta hanya waktu menentukan sisa hidup mereka, sementara dia adalah satu di antara semua orang di kota tersebut dengan tanda itu.
"Dengar ya, makhluk apapun kau itu, aku Freddy tidak pernah takut kepadamu." gumamnya sembari memandang sekeliling.
Pandangan Freddy terhenti ketika melihat sebuah kepala tergantung di dinding rumah milik Jordan, yang perlahan lahan mulai mengeluarkan darah dari matanya, seingatnya temannya itu adalah anak tunggal tapi foto di dinding tidak menunjukkan hal tersebut seolah ada sosok lainnya.
Meski ragu tapi akhirnya Freddy memberanikan bertanya. "Jor, apa kau benar-benar anak tunggal? Karena di sekeliling—"
Seketika Freddy menghentikan perkataannya karena dekorasi kepala di dinding seakan mendekat ke arahnya, kali ini dengan sebuah senyuman lebar nan misterius seakan menyuruhnya untuk tidak berbicara lebih banyak lagi, dia pun hanya tertegun tak tahu harus berkata apa lagi.
"Aku—tidak tahu." ucap Jordan, suaranya sangat kecil bahkan hampir tidak terdengar.
Sementara Jashinta yang mendengar temannya selalu berbicara separuh separuh tampak sedikit jengkel. "Ngomong yang jelas, kamu itu makin lama jengkelin aja!" ucapnya dengan wajah kesal. "Memangnya ada apa sih?"
"Itu, di belakang—mu sepertinya ada." Freddy menelan liurnya seolah kesulitan untuk menjelaskan secara langsung. "Kepala dan juga darah."
"Kita sudah mengalami hal lebih buruk dari ini, ok! Aku berharap untuk tidak—"
Tapi sebelum dia menyelesaikan perkataannya, Freddy menutup mulut temanya menggunakan cermin itu. "Jangan berkata lagi, ingat semua makhluk ini menginginkan tubuh untuk bisa kembali ke dunia manusia, dengan kata lain mengatakan satu hal salah bisa menyebabkan masalah lebih besar."
Jashinta mengangguk dan kemudian hanya tersenyum. "Tapi gak pakai cermin juga kali." sat itu dia tersadar bahwa melihat semacam tulisan dan merebut cermin tersebut. "Kenapa kamu tidak memberitahu kalau ada tulisan tersembunyi."
Ketika melihat ke dalam cermin membuat Jashinta terdiam sejenak meski dia masih penasaran akan kelanjutan tulisannya. "Jangan mempercayai orang yang tidak kau kenali secara dekat, dari antara kalian berempat ada seseorang dengan lambang bintang di punggungnya, dia adalah dalang dari kesialan kalian selama ini."
Seketika Jashinta menatap kedua temannya dengan seksama. "Kalian tidak memiliki tanda bintang kan? Karena jika ya, aku akan menebas kepala kalian dengan tanganku sendiri."
"Kok beda ya?" gumam Freddy, dia lalu menarik cermin itu dan memberikannya pada Jordan. "Coba lihat peruntunganmu, siapa tahu lebih keren dari punya kita."
Meski awalnya merasa hal itu membosankan tapi akhirnya Jordan meraih cermin tersebut sampai lupa kalau mereka bertiga harus saling berpegangan tangan agar bisa keluar dari rumahnya tersebut.
Dengan perlahan Jordan menatap cermin tersebut, walau awalnya tak kelihatan apapun tapi lama kelamaan muncul semacam tulisan kuno, tapi sepertinya dia tak bisa membacanya jadi dia menyerahkannya kepada kedua temannya.
Jodan menatap wajah kedua temannya dengan memelas. "Bisakah kalian membacakan pesan untukku?"
"Sini biar aku bacakan." kata Freddy sambil menatap ke dalam cermin tersebut, tapi tulisannya itu adalah pesan untuk dirinya.
Begitu pula dengan Jashinta yang membaca pesan untuk dirinya, mereka saling bertukar pandang karena tidak tahu apa pesan yang di berikan oleh cermin itu kepada Jordan, karena setiap orang mendapatkan pesan berbeda dan dalam bahasa kuno kota mereka.
Walau Freddy dan Jashinta ingin membantu Jordan membaca tulisan tersebut tapi mereka tidak bisa melakukannya karena setiap orang mendapatkan pesan berbeda beda, dan hanya bisa di baca oleh mereka sendiri tapi dalam beberapa kasus ada hal yang tidak dapat di jelaskan secara gamblang.
Sepertinya aku tahu sesuatu." Freddy menjentikkan jarinya. "Cermin ini memberitahu kita untuk melakukan sesuatu seperti kepadaku tertulis agar melepaskan—walau aku tidak mengerti apa itu."
"Kalau aku di suruh untuk berhati hati dengan orang yang memiliki lambang bintang di punggungnya, itu berarti—" Jashinta menatap ke arah temannya. "Apa hal terdalam dirimu, meski tidak bisa membaca tulisan kuno ini tapi aku yakin hatimu akan—"
Sebelum menyelesaikan perkataannya seluruh lantai di rumah itu seakan menjadi sungai rawa yang penuh dengan tumbuhan merambat dan ikan ikan kecil seperti piranha, namun tidak berniat untuk memakan meraka, hanya berputar putar seakan mencari sesuatu.
"Spike." ucap Jordan lirih.
Merasa ada hal aneh Freddy segera menahan lengan temannya. "Jor, jangan melakukan hal yang gegabah, ingat tempat ini sebagian besar adalah ilusi dari ketakutanmu! Jor, buka matamu sekarang karena kita harus segera keluar dari rumahmu—dari kota ini."
"Tapi—" Jordan mengulurkan tangannya pada kalung milik anjingnya yang kini telah terhanyut jauh. "Aku merindukan mereka—kenapa ini harus terjadi kepadaku?"
"Berhenti merengek dan cari cara agar kita bisa keluar dari ilusi ini." bentak Jashinta seraya mencari beberapa petunjuk meski kecil asalkan bisa membantu.
Tiba-tiba dari arah belakang seperti suara teriakan dari seseorang dan ketika mereka berbalik ternyata itu adalah Freddy bersama kedua saudaranya, mereka tampak bahagia berlarian di tengah danau berlumpur tersebut, seakan sedang berada di tengah pantai berlari begitu santainya tanpa di temani oleh keluarganya.
"Fred, bukannya itu—kamu?" ucap Jordan menunjuk ke arah anak itu.
"Ta-tapi—" suara Freddy seakan terhenti ketika bayangan tiga anak itu melewatinya seperti sebuah hologram.
"Jangan terbawa situasi, ini bukan kenyataan." ucap Jashinta sembari menatap kedua temannya. "Ini adalah tujuan dari para makhluk itu agar kita berpikir kalau selama ini kita telah mati—padahal semua itu hanya kebohongan."
"Fred, kau baik-baik saja?" tanya Jordan sembari menepuk pundak temannya. "Ingat apa yang cermin itu katakan kepadamu, lepaskan semua masa lalu."
"Kau berkata seolah telah berhasil melakukannya?" desis Freddy. "Apa kau sudah melupakan kejadian malam Halloween waktu itu? Ketika kedua orang tuamu meninggal? Atau fakta bahwa Spike tidak bisa kembali lagi? Jangan berkata seolah kau mengenalku dengan baik!"
"Fred—"
"Jauhkan tanganmu dariku." Freddy menepis tangan temannya dengan keras sambil berjalan menjauh dari danau lumpur tersebut.
"Cermin itu, di mana dia?" Jashinta berkata sembari memandang sekeliling.
Karena seingatnya cermin itu di pegang oleh mereka beberapa waktu lalu, tapi kini itu telah hilang tanpa jejak, seakan telah di ambil oleh sesuatu tanpa mereka sadari, dia memijat kening tapi ingatannya seperti tak mau memberitahu, otaknya beku tak bisa memikirkan apa-apa.
"Apa mungkin mereka yang mengambil cermin itu?" Jordan berkata sembari menunjuk ke arah ketiga anak di depannya.
"Tapi, bagaimana bisa—"
Beberapa waktu berikutnya ketiga anak itu berbalik seakan melawan bagian dari ingatan milik Freddy dan menatap mereka sembari tersenyum dengan wajah mengerikan bahkan mata mereka memancarkan warna bercahaya merah legam lalu mengeluarkan darah segar.
Sementara Freddy masih merenungkan kejadian yang mungkin tidak ingin dia ingat dalam hidupnya meski dia tengah berada di dalam ingatannya sendiri, dia bahkan tidak tahu alasan hal itu terjadi padahal saat itu mereka tengah berada di dalam rumah Jordan, dia menundukkan kepala mencoba melupakan masa lalu kelam tersebut meski tak menemukan jalan pasti.
"Fred, kita butuh—bantuanmu mungkin." ucap Jordan sambil berjalan mundur.
Tapi kakinya seakan terhenti dan tidak bisa berjalan, seakan tertahan oleh sesuatu sementara ketiga anak di depannya semakin mendekat ke arah mereka dengan wajah berubah ubah bergantung pada emosi dalam diri mereka.
"Aku benar-benar harus membuat ini dalam film, siapa tahu berhasil kan?" gumam Jordan, sembari menyembunyikan perasaan takut yang menggerogoti hatinya.
"Sepertinya kau sedang beruntung hari ini, Jor." ucap Jashinta seraya merogoh sakunya. "Aku membawa ponsel yang bisa merekam live selama 12 jam nonstop."
"Tapi kayaknya kita membutuhkan seorang penulis naskah, benar kan Jas!" Jordan berkata dengan nada meninggi agar temannya mengerti situasi tersebut dan setidaknya membantu mereka.
"Bukankah kita punya seseorang dengan kemampuan seperti itu ya?" Jashinta meninggikan suara agar terdengar jelas.
Tapi hal itu tidak membuahkan hasil karena Freddy tampak sedang terduduk dengan tanpa semangat, seakan energi kehidupannya telah di serap oleh sesuatu, sementara itu Jordan dan Jashinta tak bisa melakukan apapun untuk membantu.
"Jika saja aku punya sesuatu." gumam Jashinta sembari memejamkan matanya seolah pasrah akan keadaan. "Aku merasa senang bersama dengan kalian semua—"
Ketiga anak itu mulai mendekat ke arah Jordan serta Jashinta dan tubuh mereka mengeluarkan darah, kali ini baunya tidak harum seperti kumpulan buku usang ketika terkena air dan terendam selama beberapa waktu lamanya.
"Ini seperti waktu itu." ucap Jashinta, wajahnya berubah menjadi serius seraya membayangkan kejadian waktu lalu. "Ingat ketika Fred berlari kembali menuju ke rumah sakit, kita menemukan dia seakan kehilangan energi kehidupan, benar kan?"
Sementara Jordan hanya mengangguk, hingga dia melihat tangan temannya yang terangkat memegang layar ponsel. "Apa kau pikir bisa mengirimkan—itu secara live?"
"Hanya waktu yang bisa memberitahu, lagi pula rencana kita membuat film di mansion itu tidak berhasil kan?" Jashinta berkata tanpa memalingkan pandangannya dari layar ponselnya.
"Bukankah kau berkata untuk tidak melakukannya?" Jordan menatap dengan raut wajah malas dan tanpa adanya sedikit ketertarikan.
"Aku sempat berpikir kalau sebenarnya para makhluk ini hanya mau—ketenaran." Jashinta berpose keren dengan mengacungkan jari seperti rock n roll. "Mereka ingin kita mengabadikannya."
"Kayaknya kamu dah gila ya?" Jordan memandang temannya dari ujung kepala hingga kaki. "Sejak kapan kau berpikir seperti itu? Apa kau tahu kalau selama ini aku hanya membuat itu sebagai lelucon saja?"
"Memangnya kenapa? Toh ketiga anak ini berhenti ketika aku mengambil video mereka." ucap Jashinta, penuh percaya diri tinggi. "Tapi masalahnya Fred, dia belum bisa—"
"Ini semua salahku membuat kalian terjebak dalam rumahku." ucap Jordan sembari menundukkan kepala. "Jika saja aku—"
Mendengar hal itu berulang kali membuat Jashinta sedikit kesal, meski dia masih tidak memalingkan wajah dari kamera ponselnya. "Jadi kau masih berpikir untuk kembali ke masa lalu? Penyesalan itu tak ada artinya, lebih baik kau memikirkan cara agar menyadarkan Fred dan keluar dari sini."
Dengan sebuah tekad, Jordan mengangguk pelan, mencoba menyingkirkan perasaan bersalah yang terus menghantui dirinya, dia menarik nafas dalam dalam lalu menatap ke arah Jashinta, sambil berusaha agar bisa keluar dari danau penuh lumpur tersebut, walau dia tahu kalau mungkin hal itu sedikit sulit tanpa bantuan dari Freddy.
"Kau benar Jas, kalau aku terus terjebak dalam rasa bersalah, maka hanya akan membuat kita berada di sini lebih lama, kita tidak akan pernah keluar dari sini." ujar Jordan dengan suara mantap, dia pun mengalihkan pandangan ke arah Freddy yang masih duduk terpaku, tampak tenggelam dalam dunia kelamnya sendiri.
Perlahan dan pasti Freddy mulai berdiri dari tempat duduknya dan berjalan, kali ini wajahnya tampak berbeda serta tidak seperti sebelumnya, dia menatap ke arah temannya sambil mengulurkan tangannya.
"Ayo kita segera keluar dari sini." ucap Freddy, suaranya kini penuh dengan kepercayaan diri tinggi. "Setelah ini kita tinggalkan semua perasaan yang mengikat kita selama ini."
"Tapi kita belum menemukan tanda-tanda dari orang yang memiliki tato bintang di punggungnya, dan itu berarti kita belum bisa pergi." lanjut Jashinta.
"Kita akan segera memikirkan itu nanti." ucap Jordan.
Karena di bantu oleh Freddy, kini mereka berdua bisa terlepas dari danau berlumpur tersebut, dan merasa bahagia karena berhasil menyelesaikan masalah itu bersama sebagai satu kesatuan, meski tujuan awal mereka belum bisa di selesaikan tapi ada hal lain yang mereka dapatkan dari serangkaian peristiwa tersebut.
Seketika seluruh tempat tersebut kembali menjadi seperti sedia kala, dan mereka bertiga sedang berdiri di rumah milik dari Jordan, dan tanda-tanda makhluk itu seakan menghilang, setidaknya itulah yang mereka pikirkan, terlepas dari ikatan membelengu hati dan jiwa mereka.
Kali ini pintu terbuka lebar membiarkan cahaya bersinar menyinari membawa kehangatan, Jordan berdiri di depan mengisyaratkan kepada kedua temannya untuk mengikuti dari belakang, dan di luar jalan tampak orang-orang tengah mengenakan pakaian Halloween melakukan pesta tahunan, meski tanpa mereka sadari di antara kerumunan tersebut ada makhluk yang bukan manusia.
"Akhirnya selesai juga." kata Freddy sembari menutupi kepalanya dari terik cahaya mentari.
Di belakang mereka, Jashinta tampak masih kepikiran dengan pesan dari cermin milik Freddy, karena dia pernah melihat lambang tersebut tapi ingatan serta kenangan tentang itu seakan memudar, dan akan sulit jika dia meminta orang untuk menunjukkan punggung mereka, hingga dia teringat sesuatu.
"Sebelum pergi ke mansion itu, bagaimana kalau kita mampir ke permandian umum?" Jashinta memberikan ide tersebut sembari tersenyum menyeringai.
"Kamu seremin loh, Jas, ntar makhluk itu gak bisa bedain antara kamu sama pacarnya." ucap Jordan, dengan suara menggoda, seolah lelucon adalah hal yang mereka butuhkan saat itu.
"Lucu sekali, Jor." Jashinta berkata sembari memutar matanya, dia lalu memalingkan pandangan ke arah jalan. "Tapi kota kita terlalu—ramai gak sih? Kayak ada yang kurang."
Di sisi lain Freddy seolah mencari sesuatu. "Kalian lihat cermin aku gak? Dan bukannya kalian tengah mengambil video waktu lalu, mana aku pengen lihat."
Dengan percaya diri Jashinta merogoh sakunya. "Tentu saja ada di—lah kok." bahkan setelah mengeluarkan hampir semua isi ranselnya tidak terlihat semacam kamera atau apapun. "Apa mungkin tertinggal di—rumah Jordan?"
"Maaf, aku gak tertarik buat masuk dalam rumah itu lagi." ucap Freddy seraya berjalan mundur menjauh dari pintu rumah tersebut. "Apa saja selain rumah Jordan, titik no koma klub."
"Maaf, Jas, kalau memang harus ke rumah—aku juga gak mau." ucap Jordan, mengegengkan kepala. "Kita cari di tempat lain saja yuk."
Tanpa menunggu lama Jordan dan juga Freddy langsung berlari melewati kerumunan orang yang muncul dari antah barantah, seakan ada hal aneh di kota tersebut, merasa aneh Jashinta segera berlari mengikuti jejak mereka dan merasa tersesat dalam keramaian.
"Jor, Fred, jangan cepat dong, tungguin aku lah." ucap Jashinta mencoba mengejar kedua temannya.
Tapi seketika pandangan Jashinta terhenti ketika melihat sebuah cahaya, dia merasa terjebak antara dua pilihan mengejar temannya atau mengikuti cahaya tersebut, dalam dilema pesan dari cermin itu seakan terngiang di kepalanya seolah menyuruh dia untuk menjauhi orang dengan tato bintang di punggungnya.
Jashinta menghentikan langkahnya menatap kedua teman yang hampir tak terlihat dan berbalik mengejar cahaya tersebut, dia mengikuti sampai lorong berkelok serta tempat tempat aneh, tapi demi menyelesaikan pesan misterius dari cermin itu.
Setelah lama berlari akhirnya Jashinta sampai di depan pintu rumahnya, tangannya bergetar karena hal tersebut, apapun yang ada di depannya harus dia hadapi meski sebenarnya dia membutuhkan bantuan dari kedua temannya, seperti telah terikat dalam sebuah takdir, mengharuskan mereka menyelesaikan masalah bersama.
Meski awalnya ragu, Jashinta memasuki rumahnya dengan menggenggam gagang pintu rumah tersebut, bunyi derit pun terdengar seolah rumahnya itu telah lama ditinggali, hingga beberapa saat dia terkejut karena dia memiliki pkntu elektrik sementara di depannya hanya pintu kayu tanpa kunci.
Pintu itu terbuka dengan keras membuat suaranya bergema hingga seluruh ruangan, di depannya berdiri sosok bayangan misterius dengan mata berwarna merah darah serta rambut putih panjang seolah itu bukanlah manusia melainkan semacam vampir.
"Selamat datang di rumah, Jashinta." suara itu terdengar menusuk hingga ke dalam jiwa. "Sudah waktunya kau dan kedua temanmu untuk—beristirahat mungkin selamanya."
"Apa? Tidak, aku tidak menerima hal itu." teriak Jashinta.
Tapi kakinya seakan tertahan di depan pintu dan tidak bisa bergerak, dia menatap wajah orang itu yang entah kenapa tampak begitu familiar, dia meras bahwa ikatan antara dia dan orang di depannya mungkin bukan sekedar hanya orang asing, tapi lebih dari itu.
Dari belakangnya Jordan, dan Freddy, tapi ada hal yang membuat mereka terlihat aneh, mereka tidak berdiri di atas kaki melainkan sedang tertunduk, seolah sebuah boneka tanpa jiwa.
"Apa yang kau lakukan pada kedua temanku?" tanya Jashinta dengan emosi meluap luap.
Orang itu berdiri dan seketika Jordan serta Freddy terbelah menjadi beberapa potongan sebelum jatuh ke tanah hingga tersisa hanya darah yang bercucuran memenuhi seluruh tempat tersebut.
Tiba-tiba pintu kayu tertutup dengan keras menghantam Jashinta, membuatnya terbelah dua, tapi sebelum kehilangan kesadaran dia sempat melihat sosok yang dia kenal baik dan bahkan memiliki hubungan cukup rumit—orang itu tak lain adalah Denis.
Namun secara perlahan muncul cahaya menyilaukan menerangi tempat itu, walau secara samar tapi terdengar teriakan memanggil nama seseorang dan berusaha agar tetap terjaga, suara itu terus terngiang seakan menjadi pertanda antara mimpi dan juga kenyataan yang seakan hanyalah ilusi tak terlihat.
Jashinta membuka matanya dengan nafas terengah engah, tubuhnya basah oleh keringat pandangannya kabur tapi perlahan dia menyadari bahwa saat itu dia sedang terbaring di atas sofa dalam rumah Jordan, Freddy duduk tepat di sampingnya mengguncang bahunya dengan perasaan panik seakan itu mungkin hari terakhir mereka.
"Jas, kau tidak apa-apa?" tanya Jordan, wajahnya terlihat khawatir. "Jika ada hal yang mengganggu fikiranmu, ceritakan kepada kami."
"Itu—dalam mimpi atau apa pula itu—aku melihat kalau ternyata—" suaranya seakan tercekat di tenggorrokannya, bahkan ketika telah membuka mulut tak ada suara yang keluar.
"Tenangkan dirimu, Jas." Freddy menepuk pundak temannya dengan pelan. "Kita adalah teman yang memiliki banyak persamaan, jadi aku mohon kepadamu—ceritakan secara detail."
Tapi sebelum mengatakan sesuatu Jashinta melihat di belakang punggung temannya seekor anjing cokelat yang sangat besar bahkan gigi tajamnya terlihat seperti bersiap untuk menelan mereka semua dalam waktu singkat, jantungnya berdetak kencang seakan kehidupan damai mereka hanyalah ilusi semata.
Terdengar suara geraman tepat dari belakang mereka, Freddy langsung berbalik dan menatapnya dengan perasaan was was, dia bahkan berkeringat dingin menatap gemetaran, tapi perkataannya seakan tertahan di tenggorokan.
Karena merasa bingung dengan perilaku temannya, Jordan berdiri lalu berbalik namun hal yang dia lihat adalah sosok anjing kecil nan lucu, Spike anjing peliharaannya, mereka selalu menghabiskan waktu bersama walau semua itu hanyalah bagian dari masa lalu, tapi perasaan senang melingkupi dirinya.
Namum ada hal lain yang harus dia lakukan meski itu berarti mereka tidak akan bertemu lagi, dengan langkah perlahan Jordan menghampiri sosok tersebut, air mata mengalir di pipinya meski ingin melepaskan tapi hatinya merasakan kesedihan luar biasa.
"Jor, jangan gegabah." ucap Freddy seraya menahan tangan temannya. "Kita gak bakal tahua kalau itu bukan hal berbahaya."
"Spike bukan masalah, dia adalah temanku." jawab Jordan sembari tersenyum.
Kali ini dengan langkah pasti Jordan meninggalkan kedua temannya menghampiri sosok Spike yang terlihat semakin lama kian menghilang, walau tidak bisa berbicara wajahnya seakan berkata. "Lupakan aku, lepaskan jiwaku, aku ingin pergi, meski terpisah tapi aku akan menganggapmu sebagai tuan dan sahabatku."
"Kau akan hidup di dalam hatiku." ucap Jordan sembari memeluk tubuh peliharaan kecilnya, meski sulit untuk benar benar bisa melupakan sosok Spike tapi dia akan berusaha untuk melakukannya.
Setelah kepergian dari Spike, rumah Jordan kini terasa lebih bercahaya dan tidak ada lagi penampakan aneh menakuti mereka, di sisi lain Jashinta masih merasa panik ketika mengingat kejadian sebelumnya ketika dia pulang ke rumah dan bertemu sosok hantu wanita berambut panjang meski kadang membantu mereka tapi kemunculannya tidak memberikan hal baik.
Di sisi lain Freddy tampak merindukan keluarganya, istri serta kedua anaknya walau begitu satu hal dia yakini kalau mereka bertiga harus bersama melewati semuanya, karena dengan begitu kekuatan mereka sedikit meningkat, mungkin karena ikatan antara mereka telah lebih dari sebuah keluarga.
"Jor, aku boleh gak menginap—di rumah kamu? Bukannya aku takut ke rumah, tapi—hanya saja." Jashinta menggaruk tengkuk lehernya seakan ingin mengatakan sesuatu namun tertahan oleh perasaan takutnya.
"Boleh saja sih, lagian Spi—" Jordan menggelengkan kepala dan mencoba untuk tidak mengatakan nama tersebut. "Tapi bagaimana denganmu Freddy? Kau masih punya keluarga sendiri kan?"
"Aku lupa tentang itu." ucap Freddy dengan nada canggung. "Besok pagi kalian harus mampir ke rumah aku ya! Terus kita buat film mencengangkan dan menakutkan yang pernah di buat."
Merasa perkataan dari temannya sedikit, walau ada sedikit harapan di dalamnya. "Aku harap film kita bisa segera populer." ucap Jordan sembari tersemyum lebar. "Tapi jangan lupa kalau nanti kita itu harus pergi ke mansion itu terlebih dahulu."
Mereka tertawa sebentar sambil mengingat tentang kehidupan masa ketika mereka pertama kali bertemu di sebuah kafe, karena membuat rencana Halloween namun tim mereka tidak sesuai harapan, hingga akhirnya mereka bertiga menemukan persamaan tak terduga.
Freddy berdiri dan melambaikan tangan meninggalkan rumah temannya seraya melanjutkan perjalanannya menuju ke rumahnya, sembari memikirkan pesan yang dia dapatkan dari cermin kuno serta suara misterius beberapa waktu lalu untuk segera mengucapkan salam perpisahan kepada keluarganya, tapi dia tidak mau ambil pusing karena rencana timnya adalah untuk membuat film belum terlaksana.
Di sisi lain Jordan berjalan menuju ke dapur untuk memasak, tapi Jashinta menggelengkan kepala, dia mengambil ponsel dari sakunya memeriksa beberapa hal lalu duduk dengan santai di atas kursi sambil mengangkat kaki, seolah masalah makanan telah terselesaikan.
Tak lama kemudian terdengar suara ketuka dari depan pintu, dan Jashinta langsung berlari ke arahnya tapi seketika langkahnya terhenti karena saat itu pintu rumah milik Jordan terbuka lebar, sebab hari itu masih cerah dan cahaya matahari pun masih terlihat.
"Bagaimanan bisa?" gumam Jashinta pada dirinya sendiri. "Perasaan takut seakan menghampiri dirinya, bahkan kakinya tidak bisa bergerak."
Merasa penasaran dengan perilaku temannya Jordan datang menghampiri. "Kau baik-baik saja?" ucapnya menepuk pundak temannya. "Ayo aku bantu berdiri."
Jashinta hanya mengangguk tidak mengerti, dia merasa terjebak antara dunia mimpi dan kenyataan, semua hal yang telah dia lalui seakan nyata tapi juga terlihat seperti mimpi buruk tiada akhir, meski dia tahu kalau selama ini dirinya memang berbeda dari teman sekolahnya karena bisa melihat makhluk astral, awalnya semua itu terasa begitu menyenangkan.
Dengan perlahan Jordan membantu temannya duduk di sofa, kali ini dia tidak melihat sosok yang tengah berdiri di depan rumahnya karena entah kenapa semenjak kejadian dengan Spike, dia merasa ketenangan panjang, saat merasa temannya lebih tenang dia memberikan secangkir gelas air hangat.
"Terima kasih." ucap Jashinta seraya mengambil gelas tersebut.
"Tentu saja, tapi kenapa aku tidak boleh memasak sesuatu?" tanya Jordan. "Apa kau tidak suka makanan aku? Gak enak kah?"
"Bukam begitu, hanya saja—aku takut kalau nanti kau memotong jarimu dan—" seakan perkataan Jashinta tidak bisa dia selesaikan karena masalah tertentu, walau ingin memberitahu sebenarnya tentang masalah makhluk asrtal.
"Kau memesan makanan dari online kan?" tanya Jordan.
"Harusnya sih sudah datang." kata Jashinta sembari menutupi sesuatu. "Sebelum itu, Jor, apa kau melihat sesuatu di depan pintu? Mungkin sosok manusia atau semacamnya?"
Ketika menatap ke arah yang di tunjukkan Jordan tidak menemukan apapun atau siapapun, jadi dia memutuskan untuk mengecek langsung, di sana ada seorang pria dengan topeng seperti kitsune berdiri membawa sebuah kotak berwarna hijau, cokelat.
"Apa ini nona Jashinta? Pesanannya sudah sampai." ucap orang itu sambil mengulurkan tangan dengan kotak di tangannya. "Maaf tadi aku berniat membuat prank tapi malah gagal ya?"
Sementara itu Jordan hanya tersenyum tak percaya kalau temannya terlalu fokus pada makhluk astral, hingga menganggap seorang manusia sebagai hantu.
Namun ada sesuatu pada pria bertopeng kitsune itu membuat Jordan sedikit terganggu, meski wajahnya tertutup topeng tapi sorot mata pria itu terasa menusuk, seolah ada hal yang dia ketahui, lebih dalam dari sekedar "prank".
"Semua total $ 3.750, mau di bayar cash atau lewat qris?" tanya pria bertopeng itu.
Dengan cepat Jordan langsung mengeluarkan ponselnya untuk membayar biaya makanan itu kepada pria pengantar, walau Jashinta telah yang telah memesannya tapi dia berfikir untuk membayarnya apalagi mereka adalah teman.
Setelah menerima pembayaran oran itu memberikan dua buah kotang, berbalik dan pergi berlalu dari rumah Jordan, tanpa mengatakan apa-apa lagi.
Jordan langsung membawa kotak tersebut dan diletakkan ke atas meja, dan mengeluarkan semua makanan sembari memeriksa jika ada hal mencurigakan atau semacamnya.
Di sisi lain Jashinta tampak kebingungan. "Kenapa pesanannya ada dua? Seingatku hanya pesan satu kok, karena ini porsi ekstra aku yakin pasti tidak akan habis." dia lalu menunjukkan ponselnya dan memberitahu kalau dia telah membayar lewat bank online. "Kamu gak kasih apapun kan?"
Seketika Jordan terdiam menatap dua kotak di depannya, perasaannya menjadi gugup bahkan terlihat keringat dingin membasahi pelipisnya. "Apa orang tadi benar-benar pengantar makanan."
"Kita buang saja kali—" tapi ketika menatap ke arah pintu Jashinta menatap wajah orang itu masih berdiri di depan pintu, kali ini wajahnya tersenyum dengan raut wajah mengerikan.
"Kamu lihat apa?" tanya Jordan melihat kepanikan dari wajah temannya. "Apa tak mau makan dulu."
"A-aku baik-baik saja kok." Jashinta berkata dengan sebuah senyuman yang tampak si paksakan, bahkan suaranya terdengar bergetar. "Mungkin efek lapar saja, bagaimana kalau kita makan saja."
Namun meski telah berusaha untuk mengalihkan pandangan dari pintu depan, Jashinta selalu berakhir menatapnya langsung, perasaannya bercampur aduk antara rasa penasaran dan juga takut karena entah kenapa dia merasa kalau orang itu pernah dia temui bahkan memiliki ikatan lebih dari orang asing.
Di sisi lain Jordan sedang menatap kedua kotak di depannya, dan ketika akan membukanya ternyata ada sebuah tulisan kecil di atasnya, tapi karena merasa bosan juga lapar akhirnya dia memutuskan untuk membuangnya ke tempat sampah, tapi ketika membuka kotak seakan tercium bau amis dan busuk.
Dan ketika terbuka Jordan menjadi kaget karena itu tidak seperti apa yang dia bayangkan. "Ini, bukan—"
Tak lama kemudian orang yang awalnya hanya berdiri di sudut pintu mengawasi mulai berjalan dan akhirnya berhenti tepat di tengah jalan seolah mengawasi mereka lebih dekat dari sebelumnya, topengnya mulai memancarkan cahaya berwarna hitam merah seperti warna neon.
Tak lama kemudian Freddy berlari seakan memiliki sebuah informasi, dan ketika berada di depan pintu, Jashinta berdiri mencoba menghentikan temannya. "Kau harus segera berhenti sekarang."
Tapi Freddy tak mendengarnya dan hanya berlari hingga berada di dalam rumah, namun ada hal lain karena dia tidak menabrak sesuatu atau seseorang.
"Di belakangmu—" Jashinta berkata sambil menunjuk ke arah belakang. "Tapi jangan melihatnya."
Saat itu Freddy menjadi kebingungan, namun karena bukan itu inti dari tujuan dia datang ke sana, dia pun berjalan santai lalu berdiri menatap kedua temannya sambil menenangkan diri setelah habis berlari cukup jauh.
"Kita akan memulai proyek di mansion tua itu besok." ucap Freddy, dengan wajah berbinar seolah telah memberitahu informasi paling penting bagi temannya. "Menurut orang yang tahu soal supranatural ini akan membuat para jiwa berhenti menghantui kita."
"Apa kau yakin soal itu?" Jashinta berkata tanpa memalingkan pandangannya dari arah pintu. "Kalau tidak berhasil aku akan menghantuimu."
"Kalau begitu kalian harus memberikan ide tentang proyek film kita nanti." ucapnya penuh percaya diri. "Misalnya pencahayaan atau semacamnya."
Secara spontan Jordan memijat keningnya sebentar sambil menatap ke arah kotak di depannya dan melemparkan hingga terpental ke dinding, membuat sebuah retakan besar membentuk sebuah pola serta tulisan dengan darah.
[Kalian harus menyelesaikan apa yang telah di mulai, atau konsekuensinya bukan saja nyawa tapi juga semua orang di sekitar akan kehilangan arti dari kehidupan itu sendiri, mereka akan melakukan kegiatan bagaikan robot dan juga boneka seakan hidup di tentukan oleh seseorang dengan kekuatan lebih besar.]
Setelah membaca tulisan di dinding semua hal berubah menjadi normal termasuk orang yang berdiri di depan pintu kini tak terlihat, dan kotak di atas meja hanya berisi makanan pada umumnya.
Karena penasaran Jordan merogoh sakunya meraih ponsel seakan ingin mengecek sesuatu, dan ternyata uang yang dia keluarkan untuk membeli makanan tersebut telah kembali ke akun rekeningnya, cahaya pun mulai menyinari rumah miliknya, seakan semua itu hanyalah ilusi semata dan tercipta dari rasa takut.
Tapi tidak dengan Freddy yang masih berdiri di sana, dia memandang sebentar lalu menjentikkan jari seakan mendapatkan sebuah ide. "Kita pergi ke mansion itu malam ini saja."
Tanpa menunggu lama Freddy menarik tangan kedua temannya meninggalkan rumah itu, berharap kalau misi mereka untuk membuat film bisa berhasil sesuai dengan apa yang telah mereka bayangkan, dan semua orang akan bertepuk tangan melihat karya seni mereka.
"Fred, apa kita gak bisa—makan dulu gitu? Lapar aku." kata Jordan sambil berusaha melepaskan tangan temannya. "Apalagi aku dan Jas sudah menunggu lama buat makanan ini loh."
Freddy berhenti sejenak lalu menyunggingkan sebuah senyuman. "Semua itu sudah aku siapkan di tempat tujuan."
Meski sedikit merasa kesal tapi akhirnya Jordan dan Jashinta mengikuti Freddy menuju ke mansion, melewati hutan lebat, gelap seakan mereka memang harus melewati lewat jalur darat, tanpa naik angkot atau semacamnya.
Beberapa waktu kemudian akhirnya mereka telah tiba di mansion terbengkalai tersebut, di depannya tertulis "House of Soul", meski terdengar aneh tapi ketika melihat sekeliling ternyata tempat itu memang telah di persiapkan untuk pembuatan film, terdapat beberapa kamera tersembunyi bahkan pencahayaan serta lainnya.
Freddy berlari ke sebuah gudang tak jauh dari mansion tersebut. "Kita akan menunggu di sini."
Walaupun terlihat seperti gubuk dari luar tapi ketika berada di dalam ternyata begitu banyak sekali komputer canggih dan merekam dari berbagai sudut rumah, bahkan di luar dari gudang tersebut, untuk menghindari kalau ada orang datang tanpa disadari oleh mereka.
"Ternyata kau yang paling suka membuat film ini, ya?" Jordan bertanya sembari memandang ruangan sempit namun mewah tersebut.
"Aku meminta Jashinta membantu beberapa waktu lalu." kata Freddy sambil menatap kepada temannya. "benar kan?"
Jashinta mengerjap beberapa kali berusaha untuk memberitahu kalau itu adalah rahasia di antara mereka, namun sayangnya Freddy tak mengerti maksud dari hal tersebut yang hanya memiringkan kepalanya.