Langit senja di Stasiun Tugu Jogja berwarna jingga keemasan saat Raka duduk di bangku panjang, menunggu kereta ke Bandung. Tangannya menggenggam tiket erat, seolah ragu apakah perjalanan ini benar-benar harus ia lakukan.
Di kejauhan, deretan becak berbaris rapi, lampu-lampu jalan mulai menyala, dan suara pengamen melantunkan lagu "Yogyakarta" milik Kla Project. Kota ini selalu punya caranya sendiri untuk membuat seseorang ingin tetap tinggal.
“Tapi aku harus pergi,” gumamnya lirih.
Di Bandung, Aksa menatap layar ponselnya. Sudah seminggu sejak pesan terakhir dari Raka masuk, sekadar ucapan selamat pagi yang dingin. Aksa tahu, ada jarak yang lebih jauh dari sekadar ratusan kilometer antara mereka—jarak yang diciptakan oleh ragu dan keheningan.
Jogja dan Bandung, dua kota yang pernah mempertemukan mereka dalam seminar sastra di UGM dua tahun lalu. Sejak itu, keduanya menjalin kisah dengan cara yang unik—melalui puisi yang mereka tulis bersama, saling mengunjungi kota satu sama lain, dan menjelajahi setiap sudut dengan mata penuh kagum.
Tapi kini, Jogja seakan menahan Raka, dan Bandung terasa makin jauh bagi Aksa.
Kereta akhirnya tiba. Raka menghela napas, memasukkan ponselnya ke saku, dan melangkah naik. Ia memilih kursi dekat jendela, membiarkan pemandangan malam Jogja yang berlalu di luar menjadi saksi keputusannya.
Di sisi lain, Aksa membuka laptopnya, menulis satu pesan terakhir: "Jogja boleh menahanmu, tapi Bandung selalu punya tempat untukmu pulang."
Pesan terkirim. Entah akan berbalas atau tidak, ia hanya bisa menunggu. Seperti Bandung yang selalu menanti hujan, seperti Jogja yang selalu menyimpan kenangan.
(Jangan lupa mampir ke novelku yaitu jejak Pena dan kuas,jangan lupa like dan dukung yah, terimakasih)