Dengan berani kugenggam skripsiku yang masih hangat untuk melanjutkan S2. Dengan polosnya kuanggap tesis begitu mudah karena telah menyelesaikan skripsi.
Benar, aku terlalu polos. Padahal tab di laptop masih belum kututup, sehingga masih bisa dikatakan aku belum resmi mengakhiri status S1 ku.
Coretan saran dari Pembimbing masih seperti baru kemarin.
Bergantian kupandangi baju togaku dan map yang berisi ijazah. Baju toga yang masih belum kucuci setelah wisuda tapi hatiku digerakkan dengan keinginan yang cukup membuatku sempat meragukan diriku sendiri, "Apa aku benar sudah kehilangan akal mau lanjut S2, dan ini bukan sembarang S2 tapi S2 Farmasi yang dimana saat D3 saja kukira otak penulisku sudah kehilangan arah dan tersesat dalam jurusan yang mencakup seluruh mata pelajaran yang ada di dunia.
Bahkan yang membuatku tercengang, Farmasi bahkan mempelajari sampai ke rumus bunga dan tanaman. Aku tidak akan heran jika sampai harus rumus batu juga dipelajari.
Untuk S1 saja aku perlu menahan napas, apa yang membuatku begitu berani mengambil resiko yang sudah kutahu akhirnya bagaimana?! Sudah tahu kalau aku akan sesak napas dengan rencanaku ini tapi masih saja bersikeras kugapai dengan semangat yang bagaikan tabung oksigen tak terbatas sebagai motivasi semu.
Entah ini antara keras kepala atau memang tujuan itu memanggilku karena sudah menjadi takdirku. Tidak ada kata yang tepat rasanya untuk bisa menggambarkan dan mengungkapkan rencanaku yang penuh resiko ini.”
Kubalikkan badanku untuk sekedar melihat logo kampus yang didambakan semua mahasiswa di Sulawesi Selatan sambil menutupi senyuman, “Tapi disinilah aku, dengan segala macam badai yang telah kulewati. Tanpa sadar aku sudah di penghujung semester akhir untuk selesai S2. Walau pelangi masih terlihat memudar tapi setidaknya perjuanganku sudah terlukis di langit. Setelah penelitian 5 bulan lamanya yang bahkan aku sudah tidak terlalu ingat bagaimana aku bisa mampu melewatinya. Tapi ada satu hal yang sangat kuingat, saat itu aku sudah benar-benar buntu. Entah sudah berapa kali gagal dalam orientasi penelitian. Akan tetapi kegagalanku tidak seberapa dengan kegagalan yang terjadi di Palestina. Negeri tercinta yang bukan hanya sekedar untuk umat muslim tapi untuk mereka yang memiliki hati yang hidup mulai hari itu mata dan hati kami terus menangis dan tertuju untuk negeri yang sama”.
Kuputar badanku dan kubawa tas besar yang sangat berat seakan ada batu didalamnya sambil menggenggam tanganku meredam amarah.
Angin badai yang menandakan musim hujan bulan desember telah tiba menerpa wajahku, tapi kali ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Kali ini seakan angin menamparku dan meneriakiku dengan suara gemuruhnya yang bisa saja menjatuhkan tubuhku yang kurus dari atas motor yang sedang kukendarai.
Seakan berteriak, "Aku Sang Angin yang berkelana ke seluruh penjuru dunia, kuberi kau kabar buruk manusia. Saudara(i) mu di Palestina bahkan mensyukuri aku yang membawa awan badai pada mereka. Mensyukuri aku yang cepat membawa pergi awan sehingga sinar matahari harus menerima dirinya menyakiti kulit Para Penduduk Palestina yang terjajah" Suara angin tanpa kata itu membuatku merinding.
Untuk menjawab saja aku tidak punya keberanian, rasa pilu angin yang menjadi saksi itu tidak menyalahkanku melainkan kembali menerpa pipiku dengan lembut dan perlahan mengeringkan air mataku yang menetes.
Jika aku terlahir sebagai Angin dengan jelas kukatakan aku tidak sanggup menahan bebannya. Mungkin sakit hatiku akan membentuk tornado dan meluluh-lantakkan segala apa yang menghalangi tapi Angin yg menyapaku ini tidak seperti itu.
Meski setelah mengelilingi dunia dengan negeri yang indah tapi kuyakin Palestina tetap menjadi favorite sekaligus tempat dimana Angin tidak bisa menahan diri berada disana untuk waktu yang lama.
Kurasakan rombongan angin yang lainnya datang, kali ini mereka hanya melaluiku tanpa menyapa. Seperti sedang mengacuhkanku yang tidak bisa melakukan apa-apa ini tapi tetap merasa bersalah karena dirinya sendiripun sama-sama tidak berdaya.
Dengan ujian dan cobaan yang sudah begitu banyak kulewati di tahun ini, aku belajar bahwa semakin sabar aku maka ujian juga akan ditambah sedikit demi sedikit baik kusadari ataupun setelah berteriak, “Apa-apaan ujian ini?!” barulah aku sadar kalau sedang dilanda cobaan rupanya.
Tapi jika sudah terasa begitu tidak tertahankan, pertolongan akan tiba tanpa aku sadari juga. Dan saat itulah aku menyadari aku sudah sampai di penghujung penelitian.
Tapi ujian untuk orang-orang terpilih di Palestina masih terus berlangsung dan bertambah. Bukan sedikit demi sedikit tapi dalam skala yang tidak bisa kubayangkan dan tidak mungkin kujalani untuk manusia sepertiku yang begitu lemah, cengeng dan manja. Digigit tikus hewan coba penelitian saja aku mengadu pada Allah SWT.
Bukan hanya aku seorang yang dibawakan surat oleh Angin, tapi Pepohonan yang hampir saja tumbang karena diterpa angin yang membawa kabar yang begitu berat untuk diterima oleh Sang Bijaksana Pohon sekalipun.
Debu kecil yang beterbangan mengenai kacamataku, yang tentunya memiliki sejarah besar dan panjang. Bermula dari batu besar mungkin yang terus terkikis hingga menjadi kerikil atau bahkan debu ini berasal dari batu luar angkasa yang terpaksa terpenjara di bumi yang tiap harinya menangis meminta dihancurkan bersama manusia yang disayang sekaligus dibencinya.
Pohon-pohon yang miring karena terkena angin kembali meluruskan punggungnya dengan gagah sambil menatapku, "Kau juga harus kuat dengan kabar ini!" Dengan suara dedaunan dan ranting yang kurus dan mengering karena tidak terawat manusia tapi tetap membiarkan manusia hidup dengan menyebarkan oksigen.
Aku tidak bisa mengerti para pohon yang ada di bumi, mereka begitu berguna bagi manusia tapi apa guna kami pada pohon?! Mereka tahu itu tapi tetap saja rasa sayang mereka lebih besar daripada kami manusia.
Awan mendung menjadi payung sekaligus atap gelap hari itu membawa begitu banyak beban air, seakan berteriak apa aku bisa mempercepat laju kendaraan karena tidak lama lagi akan menumpahkan hujan yang tiada hentinya dan menciptakan lautan di tengah kota.
Kucari langit senja untuk menemani dan menghibur perjalan pulangku tapi gerimis datang mengomeliku karena melakukan itu disaat sudah tahu kalau aku begitu mudah terkena flu tapi masih dengan santainya mencari keindahan sesaat yang bisa membuatku sakit berhari-hari dan melewatkan senja lainnya di hari lain.
Tapi Palestina yang tidak tertarik dengan keindahan dunia masih saja disakiti dunia setiap detiknya, “Aku malu mengatakan ini dan tidak pantas tapi … dunia tidak adil!”.
Meski pakaianku sudah hampir basah seluruhnya tapi masih saja aku mengagumi tetesan hujan yg jatuh satu per satu itu. Salah satu hal yang sangat menakjubkan menurutku adalah air hujan yg tidak turun sekaligus tapi tetes demi tetes.
Menandakan hujan itu adalah kado terindah untuk bumi. Air hujan yang terus mengenaiku seperti sedang mengetuk seluruh anggota tubuhku, inginku membalas, "Iya aku masih hidup, kurasakan sakitnya ketukan kehadiranmu."
Tapi masih kunikmati saja, toh aku bisa menjadikannya alasan untuk bisa menyesap teh hangat dan bakso hangat nanti setelah sampai di kos. Tapi aku teringat lagi, apa yang ada di Palestina sudah makan malam? Atau bahkan sarapan saja belum?! Rasa serba salah saat aku sampai di tempat penjual bakso langgananku. Apa pantas aku menikmati ini semua sementara hamba-hamba yang disayangi Allah SWT saja belum makan atau bahkan belum menyesap setetes air pun hari ini atau bahkan sudah sejak kemarin belum pernah menyentuh makanan. Sangat menyakitkan …
Yang katanya, bukan hanya tanah tapi hujan pun bukan milik mereka.
Kupandangi minuman favorite ku di dalam lemari pendingin di mini market dekat kos. Sungguh aku merindukan rasanya, bahkan saat membuka botol atau kalengnya saja aku sangat merindukan suara uniknya.
Tapi lagi-lagi aku belajar apa itu cinta, sesuka apapun aku dengan minuman itu tapi aku masih lebih mencintai Palestina. Aku mungkin saja merana karena rindu tapi uangku tidak menjadi salah satu bahan peledak untuk saudara(i) ku.
Cukup lama aku berdiri disana, sampai mba mini market datang menyapa menawarkan dan menunjukkan minuman yang sedang promo barulah aku tersadar dalam lamunanku.
Kubuka lembaran demi lembaran buku yang sedang menarik minatku untuk kubaca padahal sudah kubaca berulang kali. Entah kenapa akhir-akhir ini, bukan mencari hal baru tapi aku lebih suka mengulang buku, drama, anime atau film lama. Atau kemungkinan jiwaku masih terjebak dalam karya itu.
Rangkaian kata yang penuh dengan nada berbeda setiap katanya yang kuucap dalam hati dengan bantuan imajinasiku. Sampailah aku di bagian dimana tokoh utama berada di pantai. Entah sudah berapa tahun aku tidak ke pantai tapi bisa kurasakan suasana pantai saat membaca kata demi kata hingga tercapai sebuah kalimat yang membuatku tenggelam ke dalam buku.
Dapat kulihat hamparan lautan luas dihadapanku, angin pantai yang membuat bulu mataku gatal dan pasir yang lembut memijat dan mulai menyelimuti kakiku.
Jangan tertawa, bagaimana aku bisa berada di pantai sedangkan jelas-jelas aku sedang ada di dalam kamar kos yang hanya ada kipas angin membantu khayalanku menjadi nyata dan kaos kaki yang sudah rusak terasa seperti pasir.
Tapi benar, kepalaku sedang menipuku. Bahkan menyuap mata, telinga dan segala indera tubuhku untuk menyetujui bahwa aku memang benar di Pantai sekarang.
Kuambil langkah pendek untuk mulai berjalan mendekati gelombang air laut, tapi ternyata mereka menyapa duluan. Kurasa kaos kakiku sudah basah tapi beberapa saat aku membuka mata untuk memeriksanya dan itu hanya imajinasiku saja, sehingga membuatku tenang dan kembali melanjutkan imajinasi yang sempat terpotong.
Hebatnya imajinasi karena kitalah sutradara dan penulisnya sendiri, terserah kita mau jalan ceritanya bagaimana dan mau memilih bagian yang mana atau plot alur yang seperti apa.
Tapi bahkan dalam lamunanpun aku mengingat Palestina, sepertinya bukan hanya hati tapi seisi kepalaku yang rumit ini juga telah ditaklukkan dan sudah melekat dengan Palestina. Sehingga berbelok ke saraf mana saja, Palestina pasti akan ada disana.
Indahnya gelombang laut seakan sedang menari dan berdansa berpasangan dengan lumba-lumba yang sedang ikut berenang mengikuti arus gelombang. Tentunya ini hanya khayalanku tapi suara lumba-lumba dan gelombang air laut seakan menjadi satu komposisi lagu yang sangat indah alam ciptakan.
Suara burung yang terbang seakan mengejekku saat melewatiku untuk terbang menuju ke lautan luas. Mereka mencintai lautan tapi tidak diciptakan untuk bisa berenang. Mereka mendapat makanan di lautan tapi bukan lautan rumah mereka.
Begitu indahnya lautan tapi bagi Penduduk palestina saat ini yang sedang di musim dingin harus merasakan kejamnya dingin air laut dan air hujan yang datang bertamu ke istana mereka.
Rumah yang terbuat dari tenda itu tergenang seakan mengusir mereka tapi kurasa air laut itu menangis karena merampas tempat ternyaman mereka untuk berbaring. Hal yang indah begitu kejam bagi mereka, hal yang kejam begitu indah bagi mereka.
Seperti api yang begitu hangat dan membakar, sangat tidak nyaman untuk dirasakan panasnya tapi bagi sebagian Penduduk Palestina itu adalah selimut dari alam yang disediakan Allah SWT.
Terkadang menjadi pintu juga yang membawa mereka menuju Sang Pencipta, tragedy memang … tapi bagi mereka itu adalah tiket masuk surga tertinggi yang mustahil mungkin aku dapatkan.
Jika api diciptakan untuk kehidupan, setiap nyala adalah debaran dan detakan jantung dari api yang begitu hangat memeluk dalam keadaan malam yang gelap dan sunyi. Menyayangi bersama dengan ibu yang memasak makanan untuk makan malam yang hangat.
Tapi kurasa penyesalan mulai datang pada Sang Api, bagaimana mungkin mereka menjadi bagian dari kerusakan?! Menjadi bagian dari kehancuran sekaligus saksi mata. Menjadi pelaku yang tidak punya pilihan lain selain harus menerima pekerjaan yang tidak pernah dibayangkan akan dikerjakannya di bumi.
Meski bumi sudah memperingatkan, Api mengira dirinya sebagai sumber kehidupan yang dibutuhkan, "Jangan terlalu berharap, manusia bisa mengubahmu menjadi senjata bahkan tanpa kau menyadari kau sudah bersama tubuh yang jiwanya sudah sampai di surga".
"Kau benar bumi, aku telah menjadi sahabat baik penghuni surga dengan darah yang menjadi bahan bakar untuk membuat nyalaku semakin besar dan semakin panas” kata api dengan suara yang bergetar.
Aku tahu, ini bukan sekedar catatan harian dimana hatiku yang selalu ada Palestina disetiap detik dan Langkah kakiku. Lebih dari itu, ini Surat Cinta Untuk Palestina.
Aku bangga kepada mereka yg meski menjalani hidup yang melelahkan tiap harinya tapi masih tetap mengerahkan segala energi yang tersisa untuk memikirkan Palestina. Akupun sedikit bangga pada … diriku.