Di sebuah kota kecil yang tenang, hidup seorang remaja bernama Andi. Ia dikenal di sekolah sebagai anak yang berbeda. Andi bukan tipe yang mengikuti tren, melainkan selalu berusaha menunjukkan keunikannya. Dari gaya berpakaian hingga cara berbicaranya, ia selalu punya ciri khas yang sulit ditiru.
Suatu hari, saat sedang berjalan ke sekolah, Andi melihat seorang siswa baru yang tampaknya sedang memerhatikan gaya berpakaian khasnya. Siswa itu bernama Rian, dan dia tampaknya tertarik dengan cara Andi mengenakan jaket kulit, celana panjang robek, dan sepatu boots yang usang tapi keren. Rian bahkan mengikuti Andi ke kelas, duduk di bangku yang sama, dan secara diam-diam meniru setiap langkah Andi.
Hari demi hari, Rian mulai mengenakan pakaian yang hampir identik dengan Andi. Jaket kulit yang sama, sepatu boots serupa, bahkan gaya rambut Andi yang sedikit acak-acakan itu mulai dipakainya. Awalnya, Andi merasa sedikit bangga karena ada yang mengagumi gaya uniknya. Namun, semakin lama, ia merasa ada yang aneh. Rian seakan-akan meng-copy semua yang Andi lakukan tanpa memberi ruang untuk dirinya sendiri.
Suatu sore, setelah pelajaran selesai, Andi menunggu Rian di depan sekolah. Ia memutuskan untuk berbicara langsung.
"Rian," panggil Andi dengan nada yang serius. Rian menoleh dengan senyum lebar, seolah tak sadar ada yang tidak beres.
"Eh, Andi! Ada apa? Kenapa nungguin gue?" tanya Rian, sedikit terkejut.
"Lo sadar gak sih, lo udah mulai ngikutin gaya gue? Pakaian, cara gue bicara, semuanya!" kata Andi dengan sedikit kesal.
Rian terdiam sejenak, kemudian tertawa kecil. "Wah, gue cuma pengen jadi kayak lo aja, Andi. Lo keren banget. Gue gak bisa ngelakuin itu sendiri, jadi gue coba tiru aja."
Andi menarik napas panjang. "Tiru gaya gue sih gak masalah, Rian. Tapi kalau lo cuma ngikutin tanpa ngerti arti dari apa yang lo pakai atau lo lakuin, itu jadi gak punya makna. Gaya gue bukan cuma soal pakaian atau penampilan, tapi tentang jadi diri sendiri, loh."
Rian terdiam. Untuk pertama kalinya, ia menyadari bahwa apa yang dilakukannya bukan hanya sekadar meniru gaya seseorang, tapi juga kehilangan identitas dirinya sendiri.
Andi melanjutkan, "Lo boleh kok terinspirasi, tapi jangan sampai lo lupa siapa lo sebenarnya. Jangan cuma ngikutin orang lain tanpa berani menjadi diri lo sendiri."
Rian menundukkan kepala, merasa malu. Namun, ia juga merasa lega. Tiba-tiba, ia merasa ada kebebasan yang baru. "Makasih, Andi. Gue ngerti sekarang."
Beberapa minggu kemudian, Rian mulai menemukan gayanya sendiri. Ia masih suka mengenakan jaket kulit, tapi ia memilih warna yang berbeda dan menambahkan aksesoris yang mencerminkan kepribadiannya. Perlahan, ia belajar untuk lebih menghargai diri sendiri, dan tak lagi hanya meniru.
Andi, di sisi lain, merasa senang melihat Rian berkembang. Ia tahu bahwa hidup ini bukan soal mengikuti gaya orang lain, tapi bagaimana kita bisa tetap menjadi diri sendiri dengan penuh percaya diri.
Hari itu, di bawah langit senja yang cerah, mereka berdua berjalan bersama menuju rumah masing-masing, dengan gaya mereka sendiri yang unik dan penuh makna.
Tamat.