Mentari menyinari dunia, kicauan burung menemani masa, semilir angin membawa kisah, damai indah menyirami rasa. Seperti itulah, kehidupan sehari-hari Raka, seorang siswa yang bersekolah di sebuah sekolah di Kota Jakarta, ia merupakan seorang anak dari keluarga pengusaha yang kaya raya.
Sebuah bunyi bel keras berbunyi diiringi suara gesekan roda besi gerbang yang menutup keras, menjadi rasa panik pertama di pagi tak biasa Raka. Tetesan keringat jatuh membasahi tanah disambung dengan tarikan nafas terengah-engah...
"Hah… hah… hampir saja aku terlambat!" Raka terengah-engah, menghapus keringat yang membasahi dahinya. Namun, sebuah pertanyaan aneh menggelayuti pikirannya. "Kenapa aku merasa begitu lelah?" gumamnya, mengabaikan firasat yang mengusik.
Srek...srekk
Suara seretan langkah kaki malas Raka, tertinggal jejak langkah kaki di belakangnya yang kian terhapus seiring waktu singkat. Sebuah kelas tampak begitu bagus, seperti telah mengikat erat langkah-langkah kaki mungil Raka, lukisan warna-warni menghiasi tembok dan pintu kelas itu, seakan kelas tersebut menjadi pusat kebahagiaan dunia, menghidupkan segala suasana dan menyembuhkan semua emosi penderitaan.
Seorang anak perempuan berwajah ceria membawa segala perasaan positif, seperti ia menjadi makluk perantara kebahagiaan, berdiri di depan kelas tersebut dan melambaikan tangan dengan penuh semangat ke arah Raka. samar, raut wajah bingung mulai terlukis secara perlahan di wajahnya, tangannya yang penuh dengan rasa kecemasan menghampiri bahu raka yang tampak lusuh.
"Mengapa kamu tampak lusuh seperti ini, Raka? Pakaianmu basah dan nafasmu terengah-engah, kamu terlambat ya?" rasa khawatir terucap dari mulut manis anak perempuan itu.
Sigap dan keras Raka membuang bahunya yang seketika melemparkan tangan tersebut dari bahunya, wajah sombong, kesal, dan amarah terukir di wajah Raka seakan ia akan meluluh lantakkan dunia dengan wajah itu.
"Jangan sentuh aku, kau bisa merusak bajuku, dasar miskin. Kau tak tahu bahwa kain yang membuat bajuku ini sangat mahal, kain ini di impor dari luar negeri yang tentunya kau takkan mampu menggantinya jika kau merusaknya. Jadi, menjauhlah dasar kutu kotoran!!"
Raka segera berjalan cepat masuk ke dalam kelas, meninggalkan setiap emosi melalui jejak langkahnya. Entah bagaimana Raka telah menghinanya dengan sangat keras, wajah senyum indah itu tak pernah terhapus, seakan senyuman itu merupakan ukiran yang telah dibuat oleh dewa, hangatnya baskara dan sejuknya rembulan berpadu menjadi satu di wajah gadis itu.
Seperti itulah, pagi hari yang sangat tak biasa bagi Raka, seharusnya menjadi pagi indah nan damai dengan kebahagiaan mengiringi malah berakhir dengan sangat kacau. Bel sekolah Kembali berdentang Ketika matahari tepat di atas kepala bersamaan dengan siswa dan siswi yang bergerombolan keluar dari kelas masing-masing. Rasa gembira tak tertahankan terukir dalam di wajah setiap anak, mereka bercanda, berlari serta melompat kesana kemari. Berbeda dengan Raka, amarah, kesal dan geram terlampir dari wajah cemberut dan kesalnya, seakan ia mampu membunuh siapa saja hanya dengan ia menatapnya.
Seorang pria tua berpakaian hitam rapi berdiri di samping mobil mewah, seperti ia sedang menunggu seorang tuan muda kaya, senyuman langit terlukis di wajah tuanya itu bersamaan dengan aura positif yang ia pancarkan. Benar saja, pria tua itu merupakan supir pribadi milik Raka. Raka berjalan menuju mobil dengan perasaan kesal, tanpa sepatah kata pun ia lekas masuk ke dalam mobil.
Brakk....
Suara keras yang berasal dari pintu mobil yang Raka banting ketika ia masuk, setiap amarah yang ia miliki saat itu tanpa sadar tersalur dalam segala Tindakan yang ia lakukan. Pria tua itu tampak tak bereaksi sedikitpun, seakan hal itu merupakan hal biasa, tanpa berlama-lama pula ia segera masuk ke dalam mobil dan tak mengucapkan apapun selama perjalanan. Seperti ia sudah tahu, percakapan takkan membuat tuan mudanya Bahagia, malah hal itu akan memicu amarah yang lebih dalam.
Keheningan merasuki dalam suasana mobil selama perjalanan pulang, sampai mereka melewati sebuah tempat penampungan sampah, sebuah lemari kaca dengan ukiran artistik tradisional tampak menarik perhatian Raka, ia memerintahkan supirnya untuk berhenti di depan lemari cermin tersebut. Kaki kecil Raka turun menginjakkan tanah, ia memandang ke arah sebuah lemari cermin kayu bergaya kuno dengan bentuk ukiran elegan nan estetik, memancarkan aura penasaran yang menarik minat Raka.
Raka melangkahkan kakinya mendekat ke arah cermin dan mencoba menyentuh kaca cermin tersebut. Ketika ia menyentuh cermin tersebut, semua pandangannya menjadi gelap dan ia mendengar suara misterius dengan nada yang sangat berat, seperti kehadiran sesosok dewa yang mampu melenyapkan dia hanya dengan tiupan.
"SELAMAT DATANG DALAM DUNIA CERMIN SERIBU DUNIA, WAHAI MANUSIA TERCELA. CERMIN INI ADALAH CERMIN YANG MENGUBAH DUNIA SESEORANG BERDASARKAN SIFAT BURUK MEREKA. TAK PERLU PENJELASAN PANJANG, LEBIH BAIK KAU MERASAKANNYA SENDIRI"
Pandangan gelap tersebut seketika sirna digantikan dengan cahaya siang yang menyinari dunia, Kembali tepat ketika Raka menyentuh cermin itu. Ia merasa sangat kebingungan dengan yang terjadi barusan, dengan wajah penuh rasa bingung ia menoleh ke belakang, melihat supir pribadinya berdiri diam di samping mobil mewahnya. Ia bertanya kepada supirnya tentang apa yang baru saja terjadi.
"Apa kau lihat yang baru saja terjadi? aku melihat kegelapan dan aku mendengar suara seram yang berbicara, aku tak bisa melihatnya tapi keberadaannya terasa sangat besar."
Bingung harus bertindak apa, pria tua itu hanya menanggapinya sebagai permainan yang dilakukan anak kecil dan hanya menganggap candaan sekilas. tak peduli bagaimana Raka menjelaskan, supir tua itu tetap tidak percaya dengan apa yang disampaikan tuan mudanya. Perjalanan pulang Kembali berlanjut namun, kali ini keheningan digantikan percakapan yang banyak, rasa bingung dan bahagia tercampur aduk dalam suasana di dalam mobil. Percakapan itu pula yang menjadi akhir dari kehidupan normal Raka, ketika mereka melewati sebuah persimpangan, tampak truk bermuatan besar melaju kencang yang seketika menabrak mobil mereka.
BRUAKK....!!
Suara keras yang mengejutkan semua orang seketika, mobil yang ditumpangi Raka hancur lebur tak berbentuk. Nasib baik, entah bagaimana Raka dan supirnya berakhir selamat namun tetap harus dilarikan ke rumah sakit. Tertidur pulas bak orang mati, dengan kondisi lengan yang hilang serta sekujur tubuh yang penuh dengan luka, begitulah kondisi Raka ketika ia dilarikan ke rumah sakit. Raka mengalami gegar otak yang menyebabkan ia koma selama 2 bulan, Berbeda dengan supir pribadi miliknya yang hanya mengalami luka ringan.
Dua bulan berlalu, Goresan hitam digantikan dengan goresan abu, perasaan sedih, bahagia serta penyesalan menyatu dalam ruangan rumah sakit ketika Raka terbangun. Pujian syukur terlampir melalui sebagian mulut sementara yang lain, hanya penyesalan dan kesedihan yang tersampai. Raka, seorang anak kaya nan sombong kini, harus menjalani hari-harinya dengan kondisi tak memiliki lengan kanan, ia harus menghadapi segalanya dengan kondisi tak sempurna. Tak peduli bagaimana mantra ketegaran terucap, hatinya tak mampu menerima segala kondisi yang ia alami. Bukan bahagia yang terukir di wajahnya, hanya kesedihan yang teramat dalam terukir di wajah mungilnya.
Satu minggu setelah ia tersadar dari komanya, ia menerima kabar bahwa ayahnya meninggal dalam kecelakaan parah, disusul dengan berita kebangkrutan usaha yang dimiliki keluarganya. Stress, Kesedihan, Kebingungan, semuanya terlampir menjadi satu dalam hati dan wajah Raka. Di usia 9 tahun ia harus merasakan penderitaan yang tidak ia sangka-sangka. Meski begitu, ia tetap melawan perasaan tersebut dan berusaha untuk tetap tegar dan sabar dalam menghadapi semuanya. Dalam dua minggu setelah masa pemulihan, Raka kembali bersekolah. Namun, bukan perasaan bahagia yang ia teriam dari teman sekelasnya, melainkan cemohan dan hinaan yang ia terima, Tak mampu membalas ia hanya dapat menerima dan menelan segala hinaan tanpa memandang rasa. Segala macam hinaan termasuk kekerasa fisik ia terima, perasaan kebencian yang tak tertahan meluap-luap di atas wajah dan perbuatan teman-temannya.
Tak dalam waktu yang lama, Raka putus sekolah disebabkan ketidakmampuan keluarganya dalam membiayai sekolahnya dan adiknya. Raka dan adiknya mencoba berbagai macam pekerjaan namun tak ada yang mau menerima pekerja bertangan satu. Selain itu, entah bagaimana setiap kali mereka ingin bekerja selalu saja ada hal yang merusak atau mengganggu proses tersebut. Akhirnya, mereka memilih mengemis demi mendapatkan uang untuk membiayai kehidupan mereka, sementara ibunya, tak memiliki pilihan lain selain menjadi pelacur yang melayani laki-laki lain demi keberlangsungan hidup mereka. Begitulah kehidupan yang harus dihadapi oleh Raka sehari-hari, hinaan dan cemohan tak terhenti mereka terima bahkan ketika mereka sudah jatuh.
Satu tahun kemudian, ibu Raka berpulang menyusul kepergian sang ayah, akibat penyakit HIV yang ia dapatkan semasa bekerja sebagai pelacur. Penyesalan dan kesedihan kian menjadi dalam diri Raka, air mata tak terbendung mengalir deras ketika tubuh ibunya terasa dingin, amarah akan dirinya sendiri meluap-luap dengan menyalurkannya melalui pukulan keras bertubi-tubi yang ia layangkan ke arah wajahnya. Adiknya berusaha menghentikan Raka namun usaha itu sia-sia, sampai tiba-tiba Raka berhenti memukul wajahnya sendiri. Wajah tampan milik Raka kini, hanya dihiasi dengan wajah bonyok dan luka-luka pukulan yang ia layangkan, mata yang tak mampu terbuka, nafas yang terengah-engah, bibir yang membiru, terkesan seperti malaikat maut memanggilnya. Adiknya tak tahu harus berbuat apa dan hanya melakukan segala usaha yang menurut dia akan menolong kakaknya tanpa henti, sungguh sangat ironis.
Tak berselang lama, Raka tersadar dan kembali menangis, ia sungguh menyesal dengan apa yang ia perbuat selama hidupnya. Kini, ia ingin memperbaiki kesalahannya di masa lalu dengan cara hidup tenang, damai, dan senantiasa berusaha. Keesokan harinya, Raka dan adiknya berencana menjadi penumpang gelap yang menaiki sebuah pesawat yang mengarah ke kota Denpasar, Bali. Mereka meninggalkan mayat ibu mereka tergeletak begitu saja, tanpa adanya pemakaman yang layak disebabkan ketidakmampuan mereka dalam membiayai atau mengurus pemakaman. Esoknya, Mereka berhasil menjadi penumpang gelap sampai ke kota tujuan, mereka menyelinap keluar dari bandara dan mencari tempat yang dapat menjadi tempat mereka mengemis untuk keberlangsungan hidup mereka.
Bahkan, setelah mereka berpindah kota tak menutup kemungkinan mereka dirundung, berkali-kali mereka diusir, dipukul, dan dihina di kota yang baru saja mereka datangi itu. Mereka terus berpindah dari tempat yang satu ke tempat yang lainnya. Kegiatan mengemis mereka sehari-hari tak selalu membuahkan hasil, namun pasti terdapat rundungan selama mereka mengemis. Seperti itulah, kehidupan mereka selama bertahun-tahun, sampai suatu waktu mereka tak mendapatkan sepeser uang pun selama satu minggu, hal ini menjadi penutup kisah Raka dan adiknya. Mereka meninggal dalam kondisi kelaparan ketika mengemis, bahkan ketika mereka meninggal, orang-orang tak berhenti merunndung mereka. Mayat mereka ditendang, dihina serta dibakar.
Pada waktu yang sama, kegelapan memenuhi pandangan Raka, bersama dengan teriakan lembut namun keras dari Ibu tercintanya.
"Raka, cepat kamu bangun. Kamu bisa telat lho."
Raka segera beranjak bangun, matanya terbelalak berputar mengelilingi ruangan disekitarnya, ruangan tersebut adalah kamar miliknya. Dengan tembok berwarna biru serta meja belajar kesayangannya dan kasur empuk yang ia duduki. Rasa bingung terukir dalam pada wajahnya.
"_Bagaimana bisa aku ada di sini? aku yakin sekali aku dan adiknya mati kelaparan ketika mengemis, apakah yang tadi itu hanya mimpi atau... aku kembali ke masa lalu?_" Begitulah yang terucap dalam benaknya.
Rasa penasaran melangkahkan kaki ke dalam hati dan perilaku Raka, ia segera berkemas untuk berangkat sekolah sembari mencari tahu yang sedang terjadi. Sesampainya di depan sekolah, ia segera berlari menuju gerbang sekolahnya, karena sekolahnya yang luas dan memiliki gerbang jalan utama, sekolah menerapkan aturan untuk tidak mengizinkan kendaraan apapun masuk ke dalam melewati gerbang jalan utama. Sehingga, ia harus berlari dari gerbang jalan utama menuju gerbang sekolahnya yang berjarak cukup jauh. Untungnya bertepatan ketika ia menginjakkan kaki ke halaman sekolah, bel sekolah berbunyi bersamaan dengan gesekan roda besi gerbang sekolahnya yang menutup keras, Hal ini menjadi perasaan panik pertama di hari yang sangat tak biasa tersebut. Tetesan keringat yang membasahi tanah serta dengan tarikan nafas yang terengah-engah.
"Hah… hah… hampir saja aku terlambat!" Raka terengah-engah, menghapus keringat yang membasahi dahinya. Namun, sebuah pertanyaan aneh menggelayuti pikirannya. "Kenapa aku merasa begitu lelah?" gumamnya, mengabaikan firasat yang mengusik.
Srek...srekk
Suara seretan langkah kaki malas Raka, tertinggal jejak langkah kaki di belakangnya yang kian terhapus seiring waktu singkat. Sebuah kelas tampak begitu bagus, seperti telah mengikat erat langkah-langkah kaki mungil Raka, lukisan warna-warni menghiasi tembok dan pintu kelas itu, seakan kelas tersebut menjadi pusat kebahagiaan dunia, menghidupkan segala suasana dan menyembuhkan semua emosi penderitaan.
Seorang anak perempuan berwajah ceria membawa segala perasaan positif, seperti ia menjadi makluk perantara kebahagiaan, berdiri di depan kelas tersebut dan melambaikan tangan dengan penuh semangat ke arah Raka. samar, raut wajah bingung mulai terlukis secara perlahan di wajahnya, tangannya yang penuh dengan rasa kecemasan menghampiri bahu raka yang tampak lusuh.
"Mengapa kamu tampak lusuh seperti ini, Raka? Pakaianmu basah dan nafasmu terengah-engah, kamu terlambat ya?" rasa khawatir terucap dari mulut manis anak perempuan itu.
Dengan nafas yang terengah-engah, Raka mencoba menutupinya dengan senyuman manis yang terlukis di wajahnya sembari menjawab...
"Iya, aku terlambat, untung saja aku masuk sebelum bel berbunyi. Omong-omong, kamu apa kabar, Airin?"
Perasaan kejut mengetuk pintu hati Airin disusul dengan perasaan aneh tak biasa namun terasa spesial yang memaksa masuk, Dengan lembut nan halus Airin menjawab pertanyaan yang terkesan aneh baginya.
"Aku sehat kok, Raka. Kamu bagaimana?"
"Aku juga sehat. Yasudah aku ke toilet dahulu untuk membersihkan diri. Sampai jumpa, Airin?
"Tentu, hati-hati dan sampai jumpa, Raka"
Raka segera berjalan cepat menuju ke toilet, meninggalkan setiap kebahagiaan melalui jejak langkahnya. Entah bagaimana perasaan yang sangat tak biasa terus memenuhi benak Airin. Wajah senyum indah bak rembulan di langit malam tersebut, menyimpan perasaan aneh seperti chandra yang terus mengejar baskara. Kini, Raka si anak kaya yang sombong serta pemarah tak lagi ada, digantikan dengan Raka si anak kaya yang ramah dan baik hati.
Tanpa sadar, matahari bersinar tepat di atas kepala dibarengi dengan bel pulang yang berbunyi disusul dengan gerombolan siswa yang keluar dari kelas mereka masing-masing. Rasa gembira tak tertahankan terukir dalam di wajah setiap anak, mereka bercanda, berlari serta melompat kesana kemari. begitu pula dengan Raka, bahagia, senang dan gembira terlampir dari wajah ceria dan senyum kebahagiaannya, seakan ia mampu menyinari alam semesta hanya dengan senyumannya itu.
Seorang pria tua berpakaian hitam rapi berdiri di samping mobil mewah, seperti ia sedang ia menunggu seorang tuan muda kaya, senyuman langit terlukis di wajah tuanya itu bersamaan dengan aura positif yang ia pancarkan. Benar saja, pria tua itu merupakan supir pribadi milik Raka. Raka segera berlari dengan mata air kebahagiaan yang tercipta melalui jejak langkahnya. Dengan senyuman bahagianya, ia segera masuk ke dalam mobil mewahnya.
Sekali lagi, perasaan kejut mengetuk pintu orang lain yang dekat dengan Raka. terlampir rasa kejut melalui wajah pria tua itu, seakan hal itu sangat tidak biasa yang dilakukan oleh tuan mudanya. Perjalanan pulang yang biasanya penuh dengan keheningan kini diisi dengan percakapan ceria antara supir dan tuan mudanya, kebahagiaan terpancar melalui setiap titik di wajah mereka, sampai terdapat sebuah lemari cermin dengan ukiran artistik tradisional yang menarik perhatian Raka sesaat. Lemari cermin kayu itu bergaya kuno dengan bentuk ukiran yang elegan nan estetik, memancarkan aura yang sangat misterius. Meski lemari cermin tersebut menarik perhatian Raka, namun dia tidak mengindahkannya dan melanjutkan perbincangan dengan supirnya.
"Aku merasa lupa akan sesuatu, seperti ada hal yang harus aku lakukan di sekolah, namun aku tidak bisa mengingatnya. Seperti, hal itu lenyap dan sirna dalam seketika." Ucap Raka dalam rasa kebingungan yang menyapa.
"Mungkin Tuan Muda belum mengerjakan tugas di sekolah?"
"Tidak, aku sudah mengerjakannya semua. Tetapi apa ya yang aku lupakan....? Ahh, sial" Keluh Raka.
Seperti itulah akhir kisah dari Raka si anak kaya yang sombong dan pemarah, kisah di mana sebuah mimpi panjang mengubah pandangannya tentang kehidupan. Mimpi yang seolah memberinya kesempatan kedua untuk memperbaiki diri dan merasakan makna sebenarnya dari kebahagiaan. Satu hal tetap tersimpan dalam benaknya—lemari cermin misterius itu. Raka tidak tahu apakah yang ia alami sebelumnya hanyalah mimpi atau kenyataan. Namun, ia yakin satu hal: kehidupan adalah hadiah yang harus ia syukuri dan jalani dengan hati yang tulus. Hidup terus berjalan, dan Raka, si anak kaya yang dulu sombong, kini memulai perjalanan barunya sebagai pribadi yang lebih baik, penuh rasa hormat, dan cinta terhadap sesama. Dengan setiap langkah, ia menghidupkan harapan baru, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang-orang di sekitarnya.