Namanya, Parwito, tapi lebih sering dipanggil, Wito. Begitupun nama penanya. Ngakunya sih Jawa tulen tapi sama sekali gak bisa bahasa Jawa. Soalnya dia lahir dan besar di Sumatra pedalaman alias keluarga transmigran.
Selepas sekolah lanjutan tingkat atas si Wito memilih ikut paman ke Jawa alias merantau. Kemana, iya pastilah ke Jakarta, emang mau kemana lagi.
Sesampainya di Jakarta, Wito cuma tiga bulan tinggal bareng dengan paman, bukan gak betah, tapi gak enak aja memberati kehidupan keluarga yang hidupnya ternyata gak jauh lebih sudah dari kehidupan keluarganya di tanah transmigran sana.
Wito bilang, sesusah-susahnya kehidupan keluarga kami di tanah transmigran sana, setidak-tidaknya gak takut gak makan. Bilangnya lagi, kalau gak ada beras ya tinggal cabut singkong atau keladi; pengen lauk ikan ya tinggal cari gabus di sungai atau belut di rawa. Sesederhana itu, ungkap Wito.
Terus kalo kehidupan di tanah transmigran itu masih lebih baik dari kehidupan di Jakarta sini ngapain juga Wito capek-capek merantau!? Gak capek gimana coba, untuk makan sehari-hari dan bayar biaya kamar yang luasnya gak gak lebih lebar dari tanah kuburan, si Wito ini harus banting tulang bekerja.
Dari pukul tujuh pagi sampai pukul tiga siang dia bekerja sebagai petugas kebersihan. Lalu dari pukul empat sampai pukul sebelas malam, dia bekerja sebagai satu dari tiga juru ketik disalahsatu rental komputer yang berada dekat kampus swasta di pinggiran Jakarta. Disitu ia bertugas untuk mengetik makalah, jurnal bahkan skripsi tuh para mahasiswa. Dari kejadian yang dialaminya sehari-hari itu si Wito ini ogah bilang disuruh untuk kuliah. Padahal, si empunya rental komputer pernah punya niat baik kepada Wito. Bilangnya, pengen menguliahkan si Wito. Kata si empunya rental, si Wito ini punya otak lumayan encer, sayang kalo dianggurin.
Untungnya, si Wito ini punya akal, bilangnya daripada saya capek-capek kuliah tapi nilainya cuma dapat dari copy-paste dia mending minta dibayarin untuk kursus menulis disalahsatu harian ibukota yang punya huruf depan K itu.
Si empunya rental punya tak langsung menyetujui, lebih dahulu ingin memastikan bakat menulis karyawan ini. Kontan si karyawan pun membuka satu file yang ada di salah satu komputer. Karuan segambreng tulisan nampang disitu. Si empunya rental manggut-manggut dan akhirnya menyetujui.
Singkat cerita Wito pun ikut kursus dan dia pun lulus dengan predikat tertinggi. Dan bukan cuma lulus, Wito pun diterima magang disana.
Tapi sebelum kursus itu berakhir seorang panelis sempat bertanya kepada dirinya, kelak bila nanti jadi penulis, dia ingin dikenal sebagai penulis apa, tanpa ragu-ragu Wito pun menyahut, penulis cerita horor seperti Edgar Allan Poe atau setidak-tidaknya kayak Stephen King, kalo di Indonesia iya seperti kayak Abdullah Harahap. Karena sedari kecil buku cerita yang bergenre kayak begitu lekat dalam kesehariannya.
Kok bisa bukankah ini orang tinggal di tanah nun jauh disana!? Jelek-jelek begini bapaknya itu punya sepeda saban hari Sabtu dia bakal Plesiran di salah satu perpustakaan yang ada dikota kabupaten; bukan salah satu iya memang satu-satunya itu. Yang dia baca, selain buku panduan sekolah iya buku cerita yang bergenre kayak begitu itu, horor.
Si panelis pun omong, kalo kamu punya perbendaharaan cerita horor, coba ditawarkan ke penerbit, kali-kali ada penerbit yang mau. Si Wito pun manggut-manggut. Lebih-lebih kala si panelis omong kalau bersedia membantu. Iya, setidaknya jadi editor dadakan dah. Tak pelak si Wito pun kian percaya diri.
Bener saja baru sebulan Wito menunggu belum-belum sudah dihubungi satu penerbit. Bilang si penelpon, setelah membaca secara keseluruhan pihak mereka sangat ingin menerbitkan cerita yang telah Wito kirimkan. Bukan cuma diterbitkan bahkan juga bakal difilmkan, itu juga dengan satu catatan kalau buku tersebut sukses menggaet hati pembaca. Si penelepon pun menyebutkan satu angka jumlah pembaca. Di seberang Wito manggut-manggut yakin. Dia bilang cerita horornya itu bukan rekaan alias rekayasa alias karang-karangan belaka, tapi seratus persen ini kisah nyata!
"Kisah nyata!? Benaran kisah nyata!?" Tanya si penelepon. Di seberang Wito angguk-angguk. "Kalo begitu nanti di sampul depan kita bisa buat pernyataan tersebut bagaimana menurut kamu!? Tapi ini benaran kisah nyata kan!?" Ucap si penelepon.
Singkat cerita lagi, itu cerita pun dibukukan. Dan benar saja itu cerita ternyata berhasil meraih simpati pembaca. Angka yang pernah disebutkan oleh si penelepon pun telah terlampaui. Dan penerbit bersama satu rumah produksi sangat berniat alias smmenggebu-gebu ingin memfilmkan cerita tersebut. Oleh karenanya mereka meminta ijin si penulis.
"Kalo cerita ini dialih ceritakan takutnya saya bakal berakibat buruk buat saya dan juga buat orang lain!?"
"Kok bisa!?"
"Iya, jujur sebenarnya saya sudah melanggar komitmen saya."
"Komitmen apa? Kepada siapa!?"
"Kepada tokoh yang ada dicerita tersebut. Dulu saya pernah berjanji untuk tidak menceritakan kisah tersebut kepada orang lain."
"Terus!?"
"Saya bersumpah kalo saya melanggar janji tersebut saya bersedia untuk dicabut nyawanya."
"Sekarang kamu sudah melanggar sumpah tersebut. Lalu apa yang terjadi!? Apakah sekarang kami sedang berbicara dengan arwah Parwito atau apa!?"
"Bukan cuma saya, Pak, tapi orang-orang yang kelak mengetahui kisah tersebut juga akan mati!"
"Apakah saat ini Anda sedang berbicara dengan arwah!? Dan sudahkah Anda membaca berita tentang cerita tersebut, yang notabene telah menjadi best seller di toko-toko buku, apakah dalam berita tersebut ada tertulis tentang peristiwa kematian setelah membaca buku cerita yang telah Anda tulis tersebut!?"
"Bukan begitu, soalnya..."
"Dik, satu hal yang ingin saya ingatkan, kalau lahir, jodoh, pertemuan, bahkan perpisahan itu sudah ada yang mengatur. Sebagai makhluk beragama kita sudah mengetahui hal tersebut, bukan begitu!? Jadi jangan kuatir dengan sumpah-sumpahan kayak begitu. Antara yang mati dan yang hidup sudah tidak ada hubungan lagi."
"Tapi...!?"
"Percaya sama saya, itu gak akan ngaruh. Kamu ingin merubah hidup kamu dan keluarga kamu kan!? Sebutkan angkanya kita langsung deal gak pake negosiasi-negosiasi! Saya gak punya banyak waktu, sekarang atau tidak sama sekali. Satu hal perlu kamu ingat masa depan kamu dan keluarga kamu ada ditangan Adik sendiri bukan ditangan orang lain bahkan ditangan orang yang sudah almarhum, bagaimana. Sebutkan angkanya..."
Wito terdiam beberapa jenak, tampak ia berpikir keras. Disana si penelepon masih menunggu.
"Bagaimana ya!?"
"Dik, bagaimana pun kamu telah melanggar sumpah itu!? Persoalannya apa yang telah terjadi setelah kamu melanggar sumpah tersebut!? Setidaknya sejauh ini..."
"Tidak ada."
"Iya, sudah jangan dibuat susah."
Dengan terbatah-batah Parwito alias Wito menyebutkan beberapa bilangan angka. Diseberang ada yang menyahut setelahnya. "Deal...!"
Akhirnya cerita tersebut pun telah dialih ceritakan kebentuk film. Dan hasilnya tentu saja seperti yang sudah diduga sebelumnya. Jumlah penonton dalam sepekan melampaui jumlah penonton salah satu film yang sempat merajai box office dalam setahun. Sesuai dengan perjanjian Wito menjadi tajir karenanya bukan cuma beliau tapi keluarga inti, paman, bahkan si pemilik rental komputer juga ikut kecipratan.
Tapi sayang, sebab ia, Parwito alias Wito hanya menikmati kekayaan tersebut cuma dalam waktu seminggu. Karena berselang hari kemudian ia telah diketemukan mati tergantung disalahsatu pohon yang berada persis di samping rumah megah yang baru dia beli dari hasil sukses film tersebut.
Dan yang lebih diluar dugaannya lagi si penelepon, yang tak lain dan tak bukan adalah si produser film itu sendiri, ternyata mengalami kecelakaan tunggal di salah satu jalan arteri ibukota, ia diketemukan mati dengan kondisi tubuh yang terpental keluar dari mobil yang terbelah menjadi dua bagian.
Sehari sebelum kematiannya, menurut pengakuan Wito yang diketemukan dalam sebuah catatan di buku hariannya, kalau tokoh dalam cerita tersebut telah mendatangi dan menuntut supaya Wito memenuhi sumpah yang pernah dia ucapkan.
Sebelum memenuhi sumpah tersebut Parwito alias Wito sempat mengajukan satu permintaan kepada si tokoh supaya semua orang yang telah dan mengetahui perihal cerita tersebut kiranya dapat dia ampuni. Karena bagaimana pun dengan diketahuinya peristiwa tersebut orang-orang yang sesungguhnya mesti bertanggung jawab terhadap kematian si tokoh tersebut dan diketahui dan dihukum juga pada akhirnya. Si tokoh pun bersedia tapi tidak buat si produser film tamak tersebut.