Waktu terus mengalun begitu saja, Ryan menghilang dari hidup Rania. Semua kenangan indah yang pernah ada, semua janji yang dulu terucap, kini seakan terbang entah ke mana.
Sore hari ini Rania berjalan perlahan di taman, matanya terpaku pada langit senja yang mulai memerah. Perasaan rindu terhadap Ryan kembali menghantui hatinya, meski dia tahu, bahwa lelaki itu sudah lama pergi. Tapi tiba-tiba sosok lain muncul dihadapannya, memecah lamunannya.
Pria itu sangat mirip dengan Ryan, kulitnya cokelat, senyuman yang menenangkan, dan postur tubuh yang tak asing.
"Ryan!" ucap Rania terkejut.
"Ya!" jawab pria itu, menoleh sambil tersenyum, sorot matanya penuh kebaikan sama seperti Ryan.
"Kamu Ryan kan!" ucap Rania, matanya terbuka lebar, memperhatikan detail wajah lelaki itu, mimiknya, hidungnya, bibirnya.
Walaupun penampilan pria ini sangat jauh berbeda dari Ryan yang biasa Rania kenal, tapi wajah mereka sangatlah mirip. Bagaikan pinang dibelah dua, tak ada salahnya jika Rania sampai merasa yakin kalau itu adalah Ryan.
"Hahh? Ryan?" ucap pria itu dengan wajah bingung. "Aku... bukan Ryan. Namaku Reino, maaf mbak salah orang."
Rania terdiam sejenak, Reino? Nama itu baru pertama kali ia dengar. Namun, perasaan dalam dirinya berkata lain, suara hatinya berkata kalau pria yang dihadapannya adalah Ryan mantan kekasih yang ia cari selama beberapa bulan ini.
"Ryan kenapa kamu menghilang! Kenapa kamu tidak bisa dihubungi sama sekali?!" tanya Rania, nada suaranya penuh emosi.
"Kenapa kamu gak memberikan kabar, kenapa harus pergi menghilang begitu saja tanpa kejelasan?" ucap Rania dengan perasaan rindu yang menggebu, Rania pun menangis keras dihadapan Reino.
Reino, yang melihat betapa terpukulnya Rania, menghela napas panjang. "Maaf, Mbak. Tapi aku... Bukan Ryan, sungguh Mbak ini salah orang, aku Reino."
"Tapi wajahmu, suaramu..." Rania tercekat, suaranya serak menahan isak. "Kamu begitu mirip sama dia. Aku benar-benar merasa... Kamu ini Ryan."
Reino yang tak tega akhirnya dia pun mau berkenalan dengan Rania. Sambil menangis Rania menceritakan segalanya tentang Ryan kepada Reino.
"Aku tahu kamu sangat merindukan mantanmu itu, tapi aku bukan dia. Tapi kalau kamu butuh sandaran untuk melampiaskan semua rasa sedih mu, silahkan. Aku bisa jadi pendengar yang baik, aku di sini sebagai teman," ucap Reino dengan tulus.
Rania melihat, Reino orangnya ramah dan hangat, penuh perhatian. Wajah dan suaranya sama persis seperti Ryan, namun gaya rambut, penampilan, dan gaya bicara sangat berbeda. Ryan sangat kalem, tapi Reino lebih ceplas-ceplos.
Setiap malam Reino menanyakan kabar Rania, mengajak Rania berbicara. Dia juga mau mendengarkan keluh kesah sakit hati Rania.
Hari ke hari Rania terus berbicara dengan Reino. Mengobrol penuh canda dan tawa, semua mengalir begitu alami, membebaskan hati Rania dari kesedihan yang lama mengendap.
Namun, semakin banyak waktu yang dihabiskan Rania bersama Reino, semakin besar rasa hampa yang muncul dalam jiwa Rania. Entah mengapa, Rania tidak mampu menghapus rasa kerinduan pada Ryan.
Semakin ia melihat Reino, semakin Rania merasakan sesak. Seperti ada sesuatu yang hilang dari jiwanya, sesuatu yang tak bisa digantikan.
Hati Rania terus merindukan Ryan. Kenangan tentang mereka, tawa, pelukan, dan ungkapan cinta yang pernah ada. Kenangan itu terus membelenggu setiap langkahnya. Meski Reino memberikan kenyamanan yang sama seperti Ryan, tapi itu tidak cukup menggantikan tempat yang telah Ryan tinggalkan di hatinya.
"Reino, terimakasih sudah peduli padaku, terimakasih atas waktumu," suara Rania terdengar pelan, penuh ketulusan.
"Terimakasih, tapi aku harus melepasmu. Aku gak sanggup jika harus terus berpura-pura menganggap mu sebagai orang lain, hatiku selalu menganggap mu sebagai Ryan," ucap Rania sambil menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
Rania sadar hatinya masih terikat kuat pada kenangan bersama Ryan. Dia tak bisa terus memaksakan diri, menerima orang lain untuk menggantikan tempat yang tidak bisa diisi lagi.
Rania mengangguk sekali lagi, meskipun berat, namun langkah ini harus ia ambil, ini adalah langkah pertama agar bisa melepaskan masa lalu dan memberi ruang bagi dirinya sendiri untuk sembuh.
Dengan berat hati, Rania memutuskan melepaskan Reino yang baru ia kenal dan Ryan yang tidak akan kembali ke sisinya.
Meskipun hal ini sulit dilakukan, namun inilah jalan yang harus ia lalui untuk benar-benar bisa mengikhlaskan Ryan, dan memberikan ruang bagi dirinya untuk melupakan.
Rania sadar, ia harus belajar melepaskan apa yang sudah terlepas dari genggamannya.
"Menggapai bayangmu dalam kesunyian," bisik Rania saat malam datang, ia memandangi sang rembulan dilangit sunyi.
"Dadaku terasa sesak dengan semua ini," ucapnya lirih.
Tetes air mata tidak bisa terbendung.
"Selamat tinggal Ayangku,"
------ The End -----
Kamu tahu dia tidak akan kembali! Sekeras hatimu mengharapkannya. Walaupun ada sesuatu yang mengikat, sesuatu yang sulit diputus meski sudah tahu kenyataannya.
Tapi untuk apa mengharapkan seseorang yang sudah menutup hatinya rapat-rapat? seperti menunggu sesuatu yang tak akan pernah datang kembali.
Sama halnya saja seperti kita mencoba membelah gunung untuk mencari jalan pintas ke laut. Usaha yang sia-sia!
Semua usaha itu hanya akan menguras tenaga, dan pada akhirnya hanya akan terjebak dalam kelelahan dan kekecewaan. Laut yang kita cari tak akan pernah muncul di balik gunung yang kita coba hancurkan, karena laut itu sudah berada jauh di tempat lain, tidak akan bisa dijangkau dengan cara apapun.
Kita mungkin sering lupa bahwa, meskipun hati ini terus berharap, tapi kenyataan tidak selalu memberikan ruang bagi harapan yang tak berdasar.
Ketika seseorang sudah memilih untuk pergi dari hidup kita, tak ada lagi yang bisa kita lakukan selain menerima kepergiannya, meskipun itu sangat menyakitkan.
Ya..., kita harus berhenti berharap. Karena hidup terus berjalan, dan kita tidak bisa terus-terusan terjebak dalam masa lalu yang sudah hilang.
Kita perlu langkah baru, meski itu penuh dengan rasa sakit. Dan pada akhirnya, kita menyadari bahwa mengharapkan sesuatu yang mustahil, hanya akan memberikan rasa sesak.
Rasa sesak ini mengajarkan bahwa ada hal-hal yang tak bisa kita ubah, dan ada orang-orang yang tak bisa kita pertahankan, meskipun sekeras apapun kita berusaha.