Cinta itu gak butuh perjuangan! Yang cinta butuh cuma satu, STAMINA. Kok Stamina!? Iya, yang cinta butuh memang cuma stamina. Kenapa begitu? Iya, memang begitu. Kalimat tersebut adalah kalimat pembuka di novel terbarunya Ruri. Novel yang judulnya belum lagi ia setorkan. Kenapa belum disetorkan? Iya, karena belum ditemukan. Ruri beralasan mencari sebuah judul itu ibarat mencari sebuah jarum dalam setumpukan jerami. Katanya lagi, ia sudah berupaya tapi belum menemukan yang sreg alias cocok.
"Jangan bilang kalau novel ini masih berbentuk draft!?" Ucap sang manajer membolak balik cerita yang sudah terjilid rapi itu. "Tidak, bukan lagi draft tapi udah jadi." Ruri menggeleng. "Bukannya ini sudah mau deadline ya!?" Sang manajer mengingatkan. Ruri cuma mengangguk. Terdengar suara pintu yang dibuka. Seseorang masuk menghampiri Ruri dan sang manajer. Dia adalah kepala penerbitan. Rahmadi Dermawan, namanya. Dua hari yang lalu usianya telah bertambah satu tahun. "Maaf Mas kemarin saya tidak bisa datang," Ruri menghampiri sambil menjulurkan tangan. Rahmadi Dermawan menyambut uluran tangan tersebut. "Kapan kamu pernah datang kalau acara-acara yang beginian." Sindir Rahmadi Dermawan melepaskan jabat tangan tersebut kemudian ia pun mencampakkan tubuh semampainya ke atas sofa.
Ruri nyengir kecil. "Gimana persoalan kamu sama Lia sudah selesai belum!?" Tanya Rahmadi Dermawan seraya mengambil sebungkus sigaret yang tersimpan dalam kantung bajunya. Ruri terlihat bingung. "Lia!? Lia siapa ya!?"
"Amelia." Terang Rahmadi Dermawan.
Ruri mengulang."Amelia!?"
"Amelia Setiawati." Ketus Rahmadi Dermawan. "Tuh si editor transferan."
"Editor transferan?! Orang dikata hepeng. Kelewatan sampeyan." Ruri nyengir geli. "Kelewatan ya putar balik susah amat." Rahmadi Dermawan berlagak tokoh hebat yang pernah menjabat sebagai orang nomor satu di republik ini.
"Beneran saya gak tahu," Ruri garuk kepala. "Trembelane! Amelia...! Amelia...! Lia..." Rahmadi Dermawan teriak sekonyong-konyong, kencang. Ruri dan sang manajer serempak tutup telinga. Sebentar saja seorang gadis belia lari menghampiri dengan tergopoh-gopoh. "Saya, Mas."
"Nih," Rahmadi Dermawan menuding ke Ruri." Amelia melirik. "Katanya dia kangen sama kamu." Sambung Rahmadi Dermawan.
Ruri kaget begitupun sang manajer.
"Gebetan baru gak ngomong." Celetuk sang manajer seraya menjentikkan mata. "Maaf Mas saya sudah punya pasangan," ucap Amelia datar.
"Telat kamu, Rur." Timpal Rahmadi Dermawan. "Masih pacar ini," cerecau Ruri. "Yang bersuami juga loe embat ya enggak, Rur." Sang manajer ikutan.
"Kamu masih sama Dito!?" Tanya Ruri. Rahmadi Dermawan sekonyong-konyong menyela. "Katanya gak kenal,"
"Kalau dia mah saya kenal. Kenal baik malah," ucap Ruri. "Baik apa dekat!?" Sang manajer coba meralat.
Mendengar kata dekat sontak Ruri pun berlagak, bibirnya ia usap-usap kemudian, seraya nyengir ia pun berucap. "Gimana ya, dibilang dekat ya, dekatlah, mau gimana lagi, bibir gue udah disosor."
"Gue!? Saban-saban loe pake kata gue!?" Sang manajer menuding geli. "Bukannya loe sama diksi yang kayak begituan. Ngomong-ngomong bibir loe disosor? Disosor bagaimana maksud loe!?"
"Disosor!Dicipok!Diemut! Lidah gue diputar-putar gitu deh pokoknya!" Seru Ruri terkikik. Amelia sekonyong-konyong bergerak hendak menampar. Untungnya Ruri buru-buru menghindar. Sang manajer kaget, ia bergerak mundur tiga langkah. "Jadi masalahnya belum selesai nih," Rahmadi Dermawan berucap santai.
"Iya aku sih gak ada masalah ya, enggak tahu kalo dia. Wong, enak. Pengen lagi malah." Ucap Ruri mengusap bibirnya.
"Loe kata dia cewek apaan," ucap Rahmadi Dermawan. "Iya cewek baik-baik lah. Buktinya dia nampar saya. Kalo gak baik-baik mestinya kan dia sudah..." Ruri pun berlagak seperti hendak membuka kancing baju.
"Itu cuma main-main!" Amelia berseru garang. Ruri menjengkitkan kepala. "Cuma main-main!? Cuma main-main bapak moyang loe!? Kamu tahu nggak, gara-gara sesuatu yang kamu anggap sebagai main-main itu, saya harus merasakan gebukan oleh orang-orang suruhan pacar kamu. Dan, sialnya lagi bukan cuma aku yang merasakan gebukan itu, tapi juga mamakku. Bapak kamu dan orang suruhannya itu habis-habisan menggebuki ibuku di pasar. Kamu tahu nggak!" Ruri berteriak kencang seraya menuding ke muka Amelia.
Rahmadi Dermawan sontak bangkit berdiri. Sang manajer buru-buru menarik tubuh Ruri. Sementara Amelia hanya bisa terperangah mendengar kesaksian tersebut. "Itu yang kamu bilang main-main, hah!? Bukan cuma gebukan yang kami dapat tetapi kami juga pengusiran. Kami diusir! Diusir dari pasar, diusir dari rumah, diusir dari sekolahan. Itu yang kamu bilang main-main." Ruri balik menghambur menyerbu Amelia tangannya bergerak mencengkram kerah baju Amelia. Meski begitu tak ada gurat takut yang terlihat di wajah Amelia.
"Gue minta maaf," ucap Amelia. "Tai.." Ruri berseru kencang ke wajah Amelia. "Rur,jangan begitu. Ingat dia cewek loh," sang manajer menenangkan.
"Ruri, udah." Timpal Rahmadi Dermawan. Amelia mengulang pernyataannya, tegas. "Gue, salah. Gue, minta maaf."
Ruri melepaskan cengkraman tangannya. Dia tatap muka Amelia dalam-dalam. Dia menghembus dan menarik nafas dengan perlahan-lahan. "Kenapa kamu hadir dihidupku," ucapan Ruri pelan. "Sejak saat itu... rasa rindu dan benci benar-benar telah merasuki kehidupanku." Ruri ganti meraih dan mengusap-usap lembut ubun kepala Amelia Setiawati.
Entah karena mendengar pengakuan tersebut atau entah karena usapan lembut dari tangan lelaki yang sedang berdiri didepannya sekarang, Amelia Setiawati sebisanya hanya diam tertunduk. Mendapatkan reaksi yang begitu itu sekonyong-konyong Ruri merapatkan tubuh Amelia ke bidang dadanya yang tegap. Ruri mendekap erat Amelia sambil ibu jarinya bermain teracung keatas."Gombalmu kuwek..." ucap lirih sang manajer seraya memalingkan wajah.
Rahmadi Dermawan sontak buru-buru menutup mulut, takut ketahuan tertawa. "Kena deh loe, Mel!"
Dasar Ruri sableng.....