Pasha sedang survive. Saat-saat di mana napas Pasha hanya sibuk diembuskan untuk mengiringi segala keegoisan Pasha yang begitu tinggi.
Waktu di mana, Pasha tak pandai berdamai dengan diri sendiri. Dari lingkungan, status, terlebih kodrat wanita ku.
Kodrat yang di mana seharusnya, seorang perempuan duduk menurut, dinafkahi suami, mendidik anak, bersosialisasi dengan istri-istri teman-teman suaminya.
Aku seorang wanita manja, satu-satunya anak gadis kesayangan ibu. Walau, bukan satu-satunya anak gadis kesayangan ayah.
No, no, no! Jangan tanya kenapa bisa begitu, karena semua novel dengan tema mendua yang Pasha tulis, sedikitnya Pasha ambil dari kisah cinta orang tua.
Ah sudahlah, kita skip bagian ini. Yang pasti Acha nggak pernah nyesel punya adik sangeean kayak Anya.
Bicara soal cinta. Bicara tentang jodoh yang pantas. Saat itu, aku masih gadis pembangkang, memiliki satu kekasih yang ku pacari selama bertahun-tahun.
Cowok mokondo katanya. Yah, seperti ibu-ibu di novel ku, Ibu ku juga suka merendahkan pemuda itu. Pemuda yang aku rasa tidak ada kurangnya selain memang terlahir dari keluarga biasa-biasa saja.
Namun, dalam pandangan seorang ibu, tatapan yang bahkan bisa menembus lauh Mahfudz. Beliau bilang, "Mengko nek rabi, bukan kamu yang susah, tapi anak mu, opo iyo gelem, kamu nduk, anak nembe lahir malah diajak susah!"
Kritikal hits!! Ibuku sesempurna itu dalam menilai manusia. Dan aku akui, aku selamat dari pemuda kang selingkuh itu karena teguran kerasnya.
Selajutnya, apakah hidupku langsung baik-baik saja? Oh, tentu tidak!! Hidup siapa yang langsung bahagia seperti dongeng putri Cinderella??
Menikahi laki-laki yang 15 tahun lebih tua, yah, Pasha bergejolak saat takdir benar-benar merenggut masa-masa bergaul bahkan masa-masa berkarier ku.
28 tahun usiaku kini, sudah menghadapi dua jagoan kecil dengan ijasah terakhir yang hanya menjadi penunggu laci paling bawah di lemari pakaian ibuku.
Di awal menikah, aku bahkan lupa cara bergaul. Aku lupa cara membuat diriku sendiri nyaman dengan orang lain.
Otakku menolak kala itu, "aku masih 22 tahun dan dia membawaku pada pergaulan di mana semua istri teman-temannya sudah menjadi ibu-ibu berdandan menor!"
Seperti, sebuah pemerkozaan terhadap kehidupan sehari-hari ku yang dipaksa mengalami transisi. Dia memaksa ku dengan dalih ini didikan suami.
"Aku bisa buktiin aku nggak salah pilih istri!" Katanya. Iya! Nggak salah, tapi dipaksa itu tidak enak sama sekali.
Dia melamar ku, bahkan belum puas aku menjadi seorang pegawai. Dia sudah menyuruh ku terkungkung dalam rumah tangga yang hampir membuat kepala ku pecah setiap harinya.
Mungkin dia tidak tahu, jika setelah kami menikah, aku mendadak seperti orang yang dipaksa introvert.
Tak mengenal pergaulan. Tak tahu ke mana teman-teman sejawat, bahkan kerap kali dipaksa mengerti dengan gaya pakaian mereka (Orang-orang baru di sekitarku).
Dari semua teman suami, aku istri yang paling muda. Mungkin bagi mereka wajar ketika mengenakan pakaian tertutup yang dibaluti dengan emas di sekujur tubuh.
Okay, fine! Aku mengerti mereka menyukai gaya itu. But, don't force me to follow them! Dan ketika aku menjadi diri sendiri, mereka bilang aku ketinggalan.
Cukup ... aku menolak untuk tetap berada di lingkungan yang toxic. Please selamatkan aku dari lingkungan itu!
Dia mengatakan."Bisa nggak sih, sekali-kali turunin sombong kamu, toh nggak akan rugi. Nggak usah diladeni omongan mereka, nggak perlu. Cukup datang arisan, menyapa lalu tersenyum, satu kali jabat tangan, luntur dosa kamu."
Dan aku; Ayu Andira Pasha. Tak seperti kebanyakan istri teman-teman suamiku, Aku bisa menolak keinginan suami yang tidak aku setujui.
Satu tahun pernikahan, detik-detik di mana aku seperti kehilangan napas dan nyawaku. Aku terjajah. Ingin lari dari kota di mana suamiku memberikan uang yang selama ini tidak orang tuaku beri.
Bisa dibilang, ekonomi ku membaik setelah dinikahi suami. Tentunya dengan syarat aku harus selalu mengikuti segala didikan pria itu.
Dia atur waktu shalat, atur jadwal kajian, atur nomor siapa saja yang ada di kontak HP. Dia menjajah ku dari segala aspek kehidupan ku yang dulunya begitu banyak sekali cerita.
Iya, suamiku memang nggak pernah ngatur-ngatur soal berpakaian. Katanya asal sopan, nggak pakai pakaian ketat, cukup.
Sampai, aku yang malu sendiri dengan lingkungan religius di sekitarku. Dan aku sendiri yang memutuskan untuk berhijab kali itu.
"Masya Allah, cantiknya." Dia bukan hanya menyanyi lagu Arafik, tapi juga terus terusan memuji. Dan aku wanita yang menyukai bentuk validasi hingga hijrah hijabku bertahan hingga kini.
Singkatnya, di tahun ke dua menikah dengannya aku baru benar-benar merasa yang namanya jatuh cinta. Detik-detik di mana dia begitu panik, tepatnya saat aku mengalami keguguran yang pertama.
Kandungan ku lemah katanya. Dan, yah, aku kehilangan janin pertama ku, sampai itu menjadi trauma terberat suamiku.
Di mana, dia bahkan berniat menunda menghamili istrinya dalam jangka waktu yang lama. Sayangnya, pertanyaan kapan punya anak mulai membuat ku risih.
Ah, rasanya kenangan masa lalu begitu impresif meski tidak mudah. Semesta saksinya, aku dikirim jagoan-jagoan kecil yang Masya Allah kasih sayangnya diusia ku yang sudah cukup matang ini.
Menulis seperti napasku. Menulis seperti nyawaku. Saat lelah dengan hujatan pembaca, aku selalu berpikir ingin berhenti tapi disaat itu terjadi, sisi lain dari diriku menolak menerima.
Berawal dari iseng. Dulu, aku tinggal di ruko, tepatnya di ruko usaha suamiku. Lambat laun, kami pindah ke tempat yang lebih pantas disebut rumah.
Namun, bukannya lebih mesra, kami malah lebih sering berantem, tak pelak, waktu bersama kami jadi terbatas. Saat dia pulang aku tidur, saat aku bangun dia sudah kerja.
Tipis sekali waktu jumpa kami. Karena ruko harus selalu diawasi. Kami jarang bisa seharian bertemu. Kecuali, aku yang datang ke tempat usahanya.
Singkatnya, kesepian ku membawaku pada dunia baru. Dunia menulis, dunia berhalusinasi, dunia yang aku ciptakan sendiri dengan banyak tokoh di dalamnya.
Dua tahun terakhir aku menulis, dua tahun terakhir pula aku menitipkan gaji di tempat saudara ku. Sungguh, saat itu bahkan suamiku tidak tahu aksi ninja ku.
Diam-diam aku menulis. Diam-diam juga aku memiliki penghasilan. Jiwa ku yang terkungkung pernikahan, seperti enyah oleh kegiatan mengasyikkan ini.
Tapi, yang namanya hidup bersama. Meski jarang bertemu. Rasanya tak mungkin bisa selama itu dia tidak tahu apa-apa perihal dunia baruku ini.
Awalnya dia menolak keras! Dia laki-laki Jawa yang sedikit mendekati patriarki, walau romantis, dia tidak suka dengan wanita-wanita berpenghasilan.
Namun, perlahan dia fahami dan mencoba ikut menyelami hobi ku ini. Hobi yang ketika dia tahu menghasilkan, bukan dipuji malah berceletuk. "Inget nggak, dulu kamu aku kasih duit segitu terus kamu bilang 'emang aku pengemis'?!"
Aku bahkan lupa kalau aku pernah merendahkan dirinya segila itu. Mungkin karena, di awal pernikahan hanya dia yang merasa beruntung menikahi ku.
Proses pendewasaan benar-benar aku alami setelah menikah. Dan, benar. Suamiku rajanya sabar meski omongannya nyelekit.
Singkatnya lagi. Dia setuju aku menulis, dengan catatan, okay, asal jangan nulis aneh-aneh. Dan Pasha sempat melanggar tuturan itu, sampai terjadi pertengkaran hebat di antara kami.
Dia mau aku selesai menulis dan aku mau tetep menulis. Tapi, pertengkaran itu membuat ku semakin dewasa.
Aku sadar, aku hanya seorang istri, seorang wanita, dan kesetaraan gender itu tidak ada, walau terkadang penghasilan wanita jauh lebih tinggi dari suami-suami mereka.
Aku sering dilema. Antara ingin tetap menulis, meninggalkan pembaca yang sudah seperti saudara, atau, manut apa katanya, lalu bersiap hidup kesepian.
Baru-baru ini, syukur, beliau meralat ucapannya, beliau membolehkan istrinya berkarya. Asal dengan cara yang baik, menjadi penulis yang dicintai karena alurnya.
Hufff, ini beraaaaaat, tapi aku bisa!!
Bulan demi bulan Pasha belajar, gimana cara merangkai kata. "Beraaat, tapi semoga bisa!!"