Hujan turun begitu derasnya, petir saling menyambar, angin juga tak kalah kencang menerjang. Rasa takut dan tangis menggema meraung-raung. Namun tidak ada satu orang pun yang mampu memahami semua rasa itu.
"Astagfirullohaladzim," Kanaya tersentak bangun.
Apa yang baru saja ia rasakan begitu nyata, bahkan airmata menetes begitu saja dari pipinya.
"Aku harap semua itu hanyalah mimpi.." ia menangis tersedu, hanya sendiri saja, tak ada satu orang pun yang menemaninya.
Kanaya beranjak bangun, ia menatap sekitar. Ruangan yang ia tempati begitu sepi. Melihat sekeliling, tak ada apapun. Hanya ada tempat tidur dan meja kecil tempatnya menulis buku harian.
"Mama.."
Hening..
"Papa.."
Hening..
"Kakaakkk.."
Namun masih saja hening. Airmata kembali menetes dipipi Kanaya. Rupanya yang terjadi bukanlah mimpi semata, ia telah kehilangan semuanya.
"Mama.. Papa.. Kakak...!!" Kanaya mulai menjerit histeris.
Beberapa perawat pun tiba, mereka mencoba menenangkan gadis itu.
"Kenapa, Ayya? Ada apa Ayya?"
"Mama... Papa.. Kakak.. dimana?" Kanaya menatap perawat perempuan berparas cantik itu.
"Mama Ayya ada, Kakak Ayya ada, dan Papa.. dia ada di Surga, bukannya aku sudah kasih tau Ayya, ya? Ayya lupa?" Tanya perawat itu dengan nada lembutnya.
Perlahan tangis Kanaya mereda, mata yang penuh kepolosan itu menatap dengan penuh harap.
"Aku mau Mama.."
Lantas perawat itu mengelus bahu mungil namun penuh dengan beban itu.
"Ayya harus sembuh dulu, Ayya harus sehat dulu.. Baru Ayya bisa ketemu Mama.. Sekarang kita minum obat dulu, ya?"
Gadis itu mengangguk patuh, selepas meminum obat penenang itu, Kanaya kembali tertidur lelap.
Perawat itu menatap nanar, matanya berkaca-kaca. Rupanya adiknya sendiri tidak mengenali dirinya.
"Cepet pulih ya, Ayya! Kakak rindu canda tawa ceria kamu.."
* *
Satu tahun lalu, Kanaya adalah gadis yang ceria. Ia adalah adik bungsu kesayangan keluarga mereka.
Namun suatu hari, mereka harus kehilangan sang kepala keluarga. Papa mereka meninggal dunia tiba-tiba. Padahal pagi harinya, mereka masih bercanda tawa dan menikmati sarapan pagi bersama.
Kanaya yang saat itu sedang bermain bersama sahabat baiknya, mendapatkan kabar yang tidak ia duga. Benarkah Papa yang ia cintai telah tiada?
Dengan segenap kekuatan yang ada, ia berlari sekencang-kencangnya. Namun kakinya tidak bisa lagi berlari saat ia melihat bendera kuning terpampang didepan rumahnya. Kanaya jatuh tersungkur.
"Papa.."
Ia berusaha kembali bangkit, namun kakinya masih belum bisa menopang dirinya.
"Papaaaaa...!!!" Kanaya menjerit histeris.
Akhirnya beberapa sanak saudara membantu Kanaya berdiri.
"Yang kuat ya, Ayya.."
"Sabar ya, Nduk.."
"Do'akan Papa mu ya, Nak.."
Kata-kata itu tidak bisa ia cerna dengan baik. Ia tidak bisa menerima kepergian Papanya begitu saja. Kenapa harus Papanya? Kenapa tida orang lain saja? Begitulah sekelumit pikiran Kanaya.
Lelaki pertama yang ia cintai begitu hebatnya, superhero dalam hidupnya kini terbujur kaku dihadapannya.
Gadis itu masih mencerna apa yang terjadi, namun tetap saja ia tidak mengerti.
"Papa.."
"Bangun, Pa.."
"Kok Papa bobo disini.. Malu banyak orang.. Bobonya di kamar yuk, Pa!"
Kata-kata yang keluar dari mulut Kanaya membuat semua orang menangis. Gadis itu belum bisa menerima semua kenyataan yang terjadi.
Hanifah menghampiri sang adik, ia peluk dengan sangat erat.
"Sabar sayang.. Papa udah gak ada, Papa udah di Surga.." ia memeluk dan mencium pucuk kepala adik tersayangnya.
"Di Surga? Ada apa sih disana, Kak? Sampe Papa jahat banget, Papa tega tinggalin kita semua!"
Yaa Allah.. tidak ada yang tidak menangis, semua orang menangis tersedu mendengarnya. Karena mereka tahu bagaimana kedekatan seorang Ayah dengan anak itu.
"Mama.." mata Kanaya terpaku pada sang Mama yang belum sadarkan diri karena shock.
"Mama cuma pingsan, sayang. Kita ambil wudhu, ya? Kita solatkan Papa sama-sama.."
Kanaya menggeleng, ia kembali mendekati jenazah sang Papa. Wajahnya tampak berseri, terlihat damai sekali.
"Papa.. Ayya gak mau ditinggal Papa, Ayya mau sama Papa aja.. Boleh gak Ayya ikut?" Lirih gadis itu seraya membelai pipi Papanya yang terasa dingin.
"Istighfar, Ayya!" Sentak Hanifa yang tak kuasa membendung emosinya.
"Ayya mau ikut Papa aja.."
Mau tidak mau, akhirnya Hanifa menarik paksa tubuh adiknya itu.
"Papaa....!"
"Papaaaaaa...!!!"
Kanaya menjerit sekencang-kencangnya, ia merasa marah dengan perlakuan Hanifa. Bahkan sang Kakak mengurungnya di kamar.
"Buka pintunya, kak!" Jerit Kanaya.
"Kakak buka pintunya kalo kamu udah sadar!" Hanifa menangis.
"Kakak sayang kamu, Dik! Kita harus kuat, kita harus jadi anak perempuan yang kuat! Itu yang Papa selalu bilang kan?" Lirih Hanifa.
"Papa udah gak ada, Ayya.. Allah lebih sayang Papa. Kita coba terima, ya?"
Tidak ada jawaban, hanya suara jerit tangis yang terdengar. Sanak keluarga pun tidak ada yang bisa mencegah Hanifa. Karena jujur, mereka pun tidak tega melihat Kanaya seperti itu.
Usai jenazah disolatkan, Hanifa mencoba membuka kamar sang adik. Ia tertegun ditempatnya, Kanaya tersenyum padanya.
"Ayo kita anter Papa ke rumah barunya!" Gadis itu melangkah dengan pasti dan Hanifa pun menggandeng tangan sang adik.
Mama Hanifa dan Kanaya pun sudah mulai sadar dan kembali menangis saat melihat kedua anak perempuannya.
"Yaa Allah.. Anak-anakku.. Gimana Mama bisa besarin kalian sendiri?" Isak tangis itu terdengar sangat pilu.
Tidak ada yang siap dengan sebuah kehilangan dan mungkin tidak akan pernah siap.
Rumah yang terasa hangat itu mulai roboh perlahan. Pondasi yang kuat itu tidak ada artinya lagi.
Sejak saat itu, Kanaya sering berbicara sendiri. Seolah sang Papa ada dihadapannya. Namun begitu menyadari Papa nya telah tiada, ia kembali menangis sendiri. Yaa, hanya sendiri. Karena saat kehilangan, semua orang sibuk dengan perasaan masing-masing dan melupakan bahwa Kanaya masih butuh pendampingan.
* *
Hanifa menatap nisan bertuliskan nama sang Papa. Ia mengelus nisan itu dengan penuh kerinduan.
"Maafin Ifa ya, Pa! Ifa ternyata gak bisa gantiin posisi Papa. Mama juga gak bisa. Sampai akhirnya Ayya seperti ini. Tapi Ifa janji, Ifa akan kembalikan Ayya yang ceria itu.."
Karena pada akhirnya, kehilangan telah merenggut seluruh dunia Kanaya. Ia mengalami kekalutan mental dan tidak bisa menanganinya sendiri. Kanaya bergelut dengan lukanya sendiri.
Prolonged Grief Disorder (PGD) atau biasa disebut gangguan kesedihan berkepanjangan. Itulah yang Kanaya alami, hingga akhirnya ia harus mendapatkan perawatan.
Bukan di Rumah Sakit Jiwa pada umumnya, Kanaya dirawat di Oemah Sehat Jiwa. Semacam klinik namun menampung pasien dengan gangguan mental seperti Kanaya. Tidak banyak, hanya 10 orang saja yang mendapatkan perawatan. Dan yang merawat pun keluarga mereka sendiri. Dokter hanya mengarahkan, agar keluarga mereka tidak lepas tangan begitu saja.
Biasanya PGD ini berlangsung selama lebih dari 12 bulan, dan Kanaya sudah menjalani perawatan selama itu. Hanifa kira Kanaya akan semakin membaik, namun rupanya luka karena kehilangan itu tidak akan pernah sembuh. Begitupun yang Hanifa dan Mama nya rasakan, mereka hanya mulai terbiasa dengan luka itu. Sedangkan Kanaya, ia tidak bisa menerima. Batinnya masih menolak. Entah sampai kapan, Hanifa dan Mama nya hanya bisa bersabar.
Kanaya masih punya masa depan, gadis penuh luka itu masih punya kesempatan hidup. Kanaya gadis yang pintar dan ceria, semuanya berharap Kanaya akan kembali pulih seperti semula..
** END **