Hari ini adalah hari terakhir aku bertugas di Desa Air. Memang demikianlah nama desa itu, nama yang unik, namun tidak sesuai dengan geografisnya . Awalnya sebelum aku berada didesa ini kupikir desa ini merupakan desa yang dikelilingi oleh air, karena sesuai dengan nama desanya. Namun ternyata setelah bertugas di desa ini, baru aku ketahui bahwa desa ini tidak dikelilingi oleh air. Dan ternyata nama “AIR” menurut catatan sejarah desa adalah mengambil dari nama seorang pengelana yang sakti, yang merasa iba terhadap desa teresbut yang dikelilingi oleh air, padahal tidak berada di pesisir laut ataupun daerah rawa-rawa. Oleh karena keprihatinan pengelana tersebut, pengelana tersebut pada akhirnya mampu membuat desa yang awalnya dikelilingi oleh air, menjadi sebuah daratan, tanpa ada air lagi yang menggenangi desa tersebut sampai saat ini.
Lima tahun yang lalu, saat mengawali tugas di desa ini, memang terasa berat bagiku sebagai seorang fasilitator desa yang bertugas untuk mendampingi desa dan mengadvokasi masyarakat dalam keterlibatan perencanaan, dan pelaksanaan pembangunan desa.
Betapa sulitnya di tahun pertama dan kedua untuk mengubah pola pikir masyarakat dalam hal kesetaraan gender. Karena bagi masyarakat desa tersebut, keterlibatan perempuan dalam setiap kegiatan desa, merupakan hal yang dianggap tabu dan melanggar kodratnya sebagai seorang perempuan. Acap kali akupun sering mendapatkan ancaman – ancaman untuk tidak mempengaruhi masyarakat desa tersebut untuk melibatkan kaum perempuan dan disabiltas yang ada di desa tersebut.
Seiringnya waktu, pada akhirnya aku mengenal sosok seorang gadis bernama Sari, anak seorang sesepuh desa yang dihormati oleh masyarakat. Dari sinilah pada akhirnya, aku dapat mempengaruhi pemerintahan desa dan tokoh masyarakat untuk berfikiran maju dengan tetap mengedepankan kearifan lokal.
Sari, gadis berumur dua puluh tahun itu memang cantik parasnya, meskipun ia hanya lulusan dari sekolah menengah atas, namun pemikirannya lebih baik dari gadis – gadis seusianya yang ada di desanya. Aku mengenal Sari , saat ia berada di pasar mingguan desa, disebuah warung makan sederhana, itupun dikenalkan oleh pak Imam , sekretaris desa tersebut yang pemikirannya sama denganku bahwa membangun desa perlu keterlibatan semua masyarakat, tidak hanya kaum lelaki saja.
Sari adalah gadis yang menyenangkan untuk diajak berdiskusi, dari sinilah aku pun mulai menyukai dirinya. Namun , aku tak berani untuk mengungkapkannya. Karena di desa Air , wanita tidak boleh berpacaran, jika diketahui ada yang berpacaran, maka akan dikenakan sangsi adat dan harus meninggalkan desa. Di desa ini berlaku, jika ada seorang yang mau menikah, pihak perempuan yang langsung datang menunjuk kepada lelaki yang akan menjadi pendampingnya pada suatu acara adat desa. Dan untuk lelaki yang telah ditunjuk oleh seorang wanita pada saat acara adat tersebut, maka wajiblah lelaki itu menerimanya. Inilah yang menjadi dilema bagiku sebagai seorang fasilitator desa, disatu sisi aku harus tetap mengedepankan kearifan lokal karena berkaitan dengan tugasku, dan disisi lainnya ternyata Sari telah membuat aku jatuh cinta padanya.
Tahun ketiga kedekatanku dengan Sari, sering dihembuskan kabar tak sedap karena dianggap aku berpacaran dengan Sari , karena aku tahu bahwa ini akan berdampak juga bagi karir pekerjaanku .
Demi kelancaran tugas pekerjaanku di desa Air, aku mulai mengurangi pertemuanku dengan Sari, meskipun itu terkait dengan program – program desa yang melibatkan kaum perempuan yang dikoordinir oleh Sari dan anaknya pak Imam yang bernama Intan.
“Sari, aku minta maaf ya, mulai hari ini kita jaga jarak dulu ya untuk menghindari gosip – gosip yang tidak benar itu” ucapku pada Sari saat pertemuan kegiatan di kantor desa telah usai.
“ gosip apaan sih kak? “ Tanya Sari
“ apa kamu tidak tahu gossip yang berhembus belakangan ini ? “
“ tidak tahu kak, “ kata Sari seadanya, yang menunjukan kepolosan dirinya bahwa dirinya memang tidak mengetahui gossip tersebut.
“ astaga…gimana sih kamu ini, gossip tentang kita berdua Sari…”
“ iya, gossip apa? aku benar – benar gak tahu kak.” tandas Sari.
“ gosipnya adalah bahwa kita ini sudah berpacaran. “ Jelas ku singkat
“ terus…??”
“ aku tidak mau karena gosip ini kamu akhirnya dikenakan sangsi adat, dan dikeluarkan dari desa ini”
“ Pokoknya kita harus kurangi pertemuan – pertemuan yang melibatkan kehadiranku di setiap kegiatan kelompok perempuan “ ucapku tegas dan meninggalkannya seorang diri di aula kantor desa. Aku sedikit tega kali dengan Sari. Meskipun hatiku menolak bersikap kasar padanya.
Sari hanya menatap kepergianku dengan meneteskan air matanya, aku tahu bahw perkataanku tadi telah membuat luka dihatinya. Dan aku tahu bahwa Sari sebenarnya juga ada rasa terhadapku. Namun kami masih dibenturkan dengan budaya dan tradisi yang masih berlaku di desa Air.
Awal Januari tahun ke lima, Pak Imam memanggilku ke ruang kerjanya. Aku menghormatinya karena tugasku sangat terbantu juga oleh keterlibatan pak Imam sebagai seorang sekretaris desa.
Di ruang kerjanya, pada awalnya ia hanya membicarakan terkait pelaksanaan review RPJMDes, namun setelah itu pembicaraannya mengarah kepada putrinya yang bernama Intan.
Ada apa dengan Intan? Keluhku dalam hati. Dan yang membuatku terkejut adalah pak Imam menyampaikan bahwa Intan itu terbaring sakit, dan semalam mengigau menyebut namaku. Dan bagi masyarakat desa Air, jika ada orang sakit dan yang sakit tersebut memanggil – manggil nama seseorang , wajib dihadirkan ke hadapan yang sakit itu, agar yang mengalami sakit itu dapat segera sembuh.
“ jadi bapak harap,dan minta tolong , kamu dapat menemui Intan dirumah malam ini “ pinta pak Imam.
Sesuai dengan janjiku, akupun bertandang ke rumah pak Imam. Pak Imam yang telah menunggu kehadiranku , kemudian mempersilahkanku masuk untuk menemui Intan di kamarnya. Aku pun tidak terburu – buru untuk masuk ke kamar dimana Intan terbaring sakit, karena ku tahu aturan di desa ini begitu ketat, maka aku pun menyempatkan diri bertanya kepada pak Imam dan keluarganya yang berada disitu untuk ada yang mendampingiku, supaya tidak masuk dalam perangkap mereka.
“ silahkan nak Richwan saja yang masuk, “ ucap pak Imam
“ tapi pak, di desa ini kan….”
“ sudahlah, jangan memikirkan adat tradisi yang berlaku di sini…kami sekeluarga sudah sepakat “
Ya sudahlah, toh aku pun tidak berbuat macam – macam, pikirku dalam hati. Dan kemudian aku melanjutkan menuju kamar Intan. Sengaja pintu kamar kubuka lebar, agar terlihat oleh mereka yang berada diruang tengah.
Ku lihat tubuh Intan memang terbaring lemah di pembaringan, tapi jujur aura kecantikan Intan yang alami itu membuatku terpesona. Ternyata, aku tidak menyadari selama ini bahwa sahabat dekat Sari ini juga cantik parasnya . Ah, dijauhkan dari pikiranku..aku kesini untuk menjenguk, memenuhi permintaan pak Imam.
“ apa kabar Intan ?” tanyaku saat ku berada disisi pembaringannya. Intan hanya menganggukan kepalanya , ia menoleh ke arahku sambil menitikkan air matanya.
Baru kali ini , aku melihat orang sakit sambil menitikkan air matanya. Aku hanya berusaha untuk menenangkan hatinya Intan dan menghiburnya serta memotivasi dirinya agar lekas sembuh. Yah, aku mencoba membuat cerita – cerita lucu untuk menghiburnya agar tidak larut dalam kesedihan karena penyakitnya. Gadis itu sesekali tersenyum manis padaku.
Tiba – tiba tubuhnya Intan mengejang, dari mulutnya keluar darah, Richwan pun panik sejadi – jadinya. Ia pun memanggil pak Imam untuk segera menolong Intan.
“ Ayo pak, segera kita antarkan ke Puskesmas di Kecamatan . saya kuatir keadaan Intan memburuk “
Pak Imam kemudian membopong putrinya menuju sepeda motorku. Maklumlah , Karena satu – satunya akses jalan hanya bisa dilewati oleh kendaraan roda dua. Apa boleh buat, dengan terpaksa Intan duduk diatas motor bersandar dipundakku, dan pak Imam berada di bagian belakang untuk menahan tubuh putrinya di bagian belakang.
Kegelapan malam dan dinginnya angin malam tidak kuhiraukan, yang penting Intan segera tertolong dan segera tertangani oleh tim medis. Dan satu jam kemudian kami pun sampai di Puskesmas yang berada di Kecamatan tersebut. Oleh perawat jaga, Intan langsung masuk ke IGD. Nampak olehku dokter jaga memeriksa kondisi Intan di ruang IGD tersebut.
Keesokannya, Intan sudah dialihkan ke kamar perawatan Puskesmas tersebut. Secara diagnosa medis, Intan dinyatakan mengidap penyakit kanker. Hal ini membuat pak Imam syok, namun disisi lain diagnosis medis ini dapat mematahkan asumsi bahwa penyakit Intan karena diguna – guna orang. Aku berusaha menguatkan pak Imam, yang terduduk lemas di ruang tunggu puskesmas tersebut. Pak Imam berpesan agar aku tidak menceritakan penyakitnya pada Intan.
Dokter pun menyarankan agar Intan sebaiknya segera di bawa ke kota, untuk segera menjalani perawatan intensif , karena peralatan di puskesmas tersebut memang minim. Aku pun ikut prihatin terhadap kondisi Intan saat ini.
“ Trimakasih banyak ya kak Richwan, sudah menemani ayah mengantarkanku ke puskesmas “ ucap Intan.
“ sekarang kamu lebih baik istirahat saja. Biar cepat pulih dan segera pulang kumpul bersama keluarga tercinta “ hanya itu kalimat yang bisa aku ucapkan untuknya.
Akhirnya , hari ketiga Intan diperbolehkan kembali pulang. Namun catatannya dari dokter Antoni , agar Intan segera dirujuk ke rumah sakit di kota. Surat rujukan dari puskesmas tersebut pun telah disiapkan juga oleh dokter Antoni.
Enam bulan terakhir, aku memang dekat dengan Intan. Hal ini semata – mata karena permintaan ayahnya Intan yaitu pak Imam, untuk menemani Intan. Namun , kedekatanku dengan intan disalah artikan oleh Sari , gadis penyemangatku yang juga idamanku, yang belum kunyatakan cinta padanya secara terang – terangan.
“ belakangan ini kak Richwan kulihat dekat sering sekali main ke rumah Intan? “
“ yah kan itu berkaitan dengan tugasku sebagai fasilitator, aku harus konsultasi juga dengan pak Imam “ ucapku beralasan
“ pak Imam, atau anaknya si Intan ? “ celetuk Sari
“ yah pak Imamlah “ jawabku sejadinya.
“ aku tahu kamu punya hubungan kan sama Intan? “
“ dan aku pun bisa membuat gosip di desa ini agar Intan dikenakan sangsi adat dan keluar dari desa ini, akibat ulahmu “
“ Sari, jujur aku tidak punya hubungan apa – apa dengan Intan. Hanya sebatas teman kerja di desa ini.” Jelasku. Namun penjelasanku , tidak terlalu dihiraukan oleh Sari.
Astaga, makin runyam saja hidupku…niatku hanya untuk memberi motivasi kesembuhan kepada Intan, eh…malah disalah artikan oleh Sari. Dan aku hanya diam tak merespon perkataan Sari.
Aku melihat kekecewaan yang berat di wajah Sari yang kemudian meninggalkanku di ruang aula kantor desa sendirian. Suatu saat kamu akan tahu dengan sendirinya bahwa aku tidak memiliki hubungan special dengan Intan. Apa yang kulakukan dengan Intan, semata – mata hanya untuk kesembuhan Intan sesuai permintaan pak Imam.
Antara tugas pekerjaan, perasaan cintaku pada Sari, dan permintaan pak Imam, sungguh membuatku sakit kepala memikirkannya. Yang pada akhirnya aku harus mengalahkan untuk sesaat pikiranku pada Sari, agar aku tetap dapat fokus pada tugasku dan juga menjaga Intan.
Terserahlah , jika Sari menjauhiku. Dan aku tidak bisa memilikinya, tidak jadi masalah pikirku dalam hati.
Suatu malam di hari Sabtu, saat aku berkunjung untuk menjenguk keadaan Intan, aku terenyuh melihat kondisi Intan yang semakin kurus itu, tetap dapat berdiri menyambutku di depan pintu.
“ Apa kabarmu Intan?” sambil aku menguatkan diriku sendiri.
“ baik kak. “
“aku tetap terlihat cantik kan meskipun dibotak?” Tanya Intan
“ iya , kamu tetap cantik luar dalam Intan “ jelasku memberikan semangat
“ kak Richwan lagi bohong ya??”
“ kamu memang cantik Intan, untuk apa kakak berbohong “ tandasku.
Ternyata , ini adalah malam terakhir bagiku untuk bertemu dengan Intan. Karena keesokan harinya aku mendapatkan kabar bahwa Intan dirujuk kembali ke rumah sakit di kota untuk menjalani pengobatan lanjutan . Karena tugasku, aku tidak bisa menjenguk Intan di Rumah Sakit, dimana Intan dirawat.
Apa dikata, Tuhan berkehendak lain. Segala upaya yang telah dilakukan oleh tim medis rumah sakit tidak mampu menyelamatkan nyawa gadis cantik yang bernama Intan itu. Jenazahnya pun dibawa kembali ke kampong halamannya di desa Air, untuk dikebumikan. Dan untuk yang terakhir kali aku hanya bisa melihatnya terbujur kaku , berselimutkan kain kafan dan pada akhirnya dikebumikan di pemakaman desa setempat.
Sebuah Surat yang dititipkan Intan pada Ibunya untuk disampaikan kepadaku, aku buka perlahan, dan mulai kumembacanya :
“ kak Richwan yang baik, terimakasih telah menjadi orang terbaik untukku selama ini. Aku tahu begitu beratnya kakak menjalaninya selama ini, antara pekerjaan dan aku yang sakit ini. Kak Richwan sudah berkorban banyak untuk ku dan desa ini. Seandainya saja , umurku diperpanjang, betapa bahagianya aku dapat melihat Kak Richwan dan Sari kembaranku itu bisa duduk dipelaminan.. tolong jaga Sari, seperti kak Richwan menjagaku selama ini….salam sayang dariku, Intan “
Terima kasih Intan, kau hebat, kau wanita tangguh. Tenanglah kini hidupmu, tidak ada rasa sakit lagi, kini engkau telah menikmati kembali kehidupanmu yang baru di Sorga. Ucapku dalam hati.
Aku baru tahu sekarang , ternyata Sari adalah kembarannya Intan. Tapi kenapa kok terpisah ya ? hal ini kemudian kutanyakan kepada pak Imam dikemudian hari . dan menurut pak Imam memang di desa ini ketika ada yang kembar, harus dipisahkan , tidak boleh satu rumah. Takutnya akan terjadi malapetaka besar terhadap desanya. Kecuali jika jenis kelamin kembarannya tidak sama. Karena antara Sari dan Intan adalah sama – sama perempuan, maka yang satu harus dipisahkan ke kerabat yang lain. Jadi sebenarnya , Sari itu juga anaknya pak Imam. Namun , karena dipisahkan dari kecil, sehingga Sari tidak mengetahui hal tersebut.
Aku mulai menyemangati diriku, bekerja seperti biasanya. Melupakan kenangan – kenangan indah bersama Intan meski hanya enam bulan. Seperti biasanya , aku berada di kantor desa. mulai menyusun perencanaan – perencanaan kegiatan pendampingan untuk selanjutnya. Sambil menyeruput segelas kopi dengan menikmati alunan lagu dari sebuah siaran radio RRI. Datanglah petugas pos kecamatan yang ku kenal, menyapaku dan memberikan sebuah surat untukku. Ku buka dan membacanya perlahan.
Apa..?? pindah tugas??keluhku dalam hati. Apa tidak salah ini?? Tanyaku dalam hati. Disatu sisi ada perasaan gembira karena ditempatkan dilokasi baru yang lebih dekat dengan kabupaten, namun disisi lain, aku sudah mulai nyaman berada di desa Air , justru aku menikmati tugasku disini. Namun apalah daya aku yang hanya bawahan ini, harus menurut perintah atasan. Maka segeralah kusampaikan surat tersebut kepada pak Rohan selaku Kepala Desa . Pak Rohan pun sangat menyayangkan keputusan dari pusat tersebut untuk merotasi diriku. Karena bagi pemerintahan desa Air, selama ini tugasku banyak membantu pemerintahan desa tersebut dalam mengadvokasi masyarakat desa dalam hal pembangunan desa yang mandiri , maju dan sejahtera.
Hal ini pun kusampaikan kepada pak Imam, ayah dari Intan yang juga sekretaris desa tersebut. Kulihat wajah pak Imam seperti keberatan untuk melepasku pindah tugas dari desa Air.
“ semoga ditempat tugas barumu nanti, kamu betah ya dan tetap ingat desa Air “ ucap pak Imam.
Hari ini , 10 Oktober , tepat lima tahun bertugas di desa Air, dan hari ini adalah hari terakhir aku menyelesaikan tugasku sebagai fasilitator, karena keesokan harinya aku harus berada ditempat tugas yang baru. Di otakku , masih kepikiran Sari. kemana dia? Bagaimana keadaanya sekarang? karena sejak enam bulan lalu aku mendampingi Intan, memang sudah agak renggang komunikasiku dengan Sari dan sampai saat ini pun aku belum melihat dirinya. Apakah Sari tidak mengetahui bahwa hari ini adalah hari terakhir aku bertugas di desa ini, ataukah ia mengetahuinya dan sengaja tidak menjumpaiku? Ah, sudahlah pikirku, lupakan tentang Sari , toh dia juga tidak peduli lagi denganku. Jangan terlalu berharap lebih . ucapku dalam hati sambil beres – beres ruangan di kantor desa
“ jangan melamun nak Richwan, “ ucap pak Imam membuyarkan pikiranku.
“ eh pak Imam, ada apa ya pak? “
“ nanti malam hadir ya , ada kegiatan adat desa “ ucap pak Imam yang kemudian meninggalkannya kembali.
Malam pun tiba, sebagai bentuk hormat dan terimakasih kepada desa Air, aku pun menghadiri acara kegiatan adat desa Air yang bertepatan saat bulan purnama. Kali ini banyak yang hadir di acara adat desa tersebut. dan aku pun mengetahui acara adat yang akan dilaksanakan malam ini. Hampir setiap tahun acara adat ini dilaksanakan untuk mencari jodoh.
Setelah kata sambutan dari Kepala Desa, dan pemangku adat dimulailah kegiatan adat tersebut. diawali dengan sebuah tarian tradisional yang di bawakan oleh para remaja putri . setelah beberapa pementasan tari – tarian dan doa . Tibalah ke inti acara adat tersebut. mulailah masuk wanita – wanita yang terpilih oleh pemangku adat yang telah berumur 20 tahunan atau lebih untuk berada di satu tempat. Bagi desa Air wanita yang boleh menikah adalah berusia 20 tahun, dibawah usia teersebut tidak diperbolehkan. Hanya saja di desa Air, mereka tidak boleh pacaran. Satu – satunya cara adalah melalui adat sakral tersebut. kulihat malam ini cukup banyak wanita – wanita yang terpilih oleh pemangku adat. Ada 9 orang wanita rupanya, seharusnya genap yang aku tahu dari adat ini. Dan malam ini aku tidak melihat Sari dan ayahnya atau saudaranya di acara adat ini. bahkan pak Imam dan istrinya pun tidak Nampak hadir. Kemana mereka? Ah sudahlah, yang penting aku sudah menghadiri acara ini, dan toh juga ini malam terakhir bagiku.tidak ada salahnya aku ikut bersenang – senang dengan masyarakat disini malam ini.
Satu persatu wanita – wanita yang telah terseleksi oleh pemangku adat mulai mengelilingi setiap orang yang hadir malam itu, khususnya para lelaki yang sudah cukup umur untuk menikah. Merekapun menunjuk satu persatu pilihan mereka dan membawanya ke tengah – tengah kerumunan orang banyak. Sang pemangku adat kemudian tampil menyerukan nama seseorang untuk dihadirkan ke acara tersebut. Oh, mungkin ini orang yang kesepuluhnya. Aku pun menyimaknya dengan seksama. Riuh gemuruh kerumunan orang mulai hening , takkala sang pemangku adat tadi mulai berbicara. Nampaklah oleh ku langkah kaki seorang wanita yang ditutupi topeng itu masuk ke tengah kerumunan orang banyak itu.
Siapa dia yang memakai topeng itu?
Wanita itu mulai berjalan mengitari para lelaki dewasa yang hadir di acara adat tersebut. dan salah satunya aku pun dihampiri olehnya. Yang kutakutkan dari acara ini adalah jika aku terpilih, dan tidak wanitanya tidak sesuai harapanku. Perasaanku kacau balau , karena wanita ini terus mendekati aku . ah, nasib …nasib keluhku dalam hati. Kenapa juga aku hadir mala mini ya…?pikirku kembali. Kalau yang pilih aku Sari ya tidak masalah, karena aku memang menyukai dia. Tapi kalau yang lain?? Bagaimana hidupku kelak, bisa berantakan.
Putaran terakhir untuk wanita terakhir itu mengelilingi para lelaki yang ada dikerumunan tersebut, dan pada akhirnya pilihan wanita itu menunjuk aku.
Nasib…nasib….umpatku kembali, apaboleh buat akupun maju ke tengah kerumunan karena aku harus menghormati adat setempat. Namun dalam hatiku bergejolak, jika tidak sesuai harapanku terhadap wanita ini, maka aku siap dikenakan sangsi adat saja.
Pemangku adat yang memimpin kegiatan adat tersebut kemudian membacakan doa – doa untukku dan selanjutnya dia menyampaikan bahwa jika sudah ditunjuk dan dipilih tidak boleh dibatalkan atau menolak. Wajib untuk dilaksanakan. Berarti tidak ada pilihan untuk dikenakan sangsi adat malam ini.
Kacau sudah hidupku kalau begini, apalagi adat disini tidak boleh menceraikan isteri yang sudah menikah, dan boleh menikah lagi jika istri ataupun suaminya telah meninggal.
Aku hanya pasrah dan berserah, ketika pemangku adat menyuruhku berbalik badan , tidak berhadapan lagi dengan wanita itu. Dan setelahnya, aku diarahkan kembali untuk berhadapan dengan wanita yang berada dihadapanku tadi. Dan pada akhirnya yang kulihat adalah paras cantiknya wajah Sari, Gadis yang kudambakan selama aku bertugas di desa Air. Hati kecilku berkata, aku tidak salah pilih, dia jodohku yang Tuhan sediakan untukku. Sari menatapku tajam, dia berikan senyum terindah dan kebahagiaan untukku dimalam terakhir yang membuatku terpesona.
“ Engkaulah lelaki yang sebentar lagi menjadi imam untukku “ ucap Sari sambil memegang kedua tanganku. Karena bagi wanita di desa itu memegang tangan seorang lelaki yang bukan keluarganya tidak diperbolehkan , sebelum diadakan adat sakral seperti yang dilaksanakan mala mini.
“ Terimakasih Sari, aku akan menjagamu seumur hidupku “ ucapku menegaskan.
Malam ini , memang malam terakhir untukku berada di desa Air, tetapi tidak untuk cintaku dan pilihan hatiku, ini bukanlah yang terakhir. Melainkan adalah awal merajut kehidupan yang baru bersamamu Sari , gadis dari desa Air yang ku idam – idamkan selama lima tahun.
*************** selesai ***************
Catatan penulis :
Nama, tempat, dan kejadian adalah rekayasa penulis, bukan yang sebenarnya.