“Halim, kau harus percaya padaku. Jangan pernah sentuh benda itu!” suara Burhan terdengar bergetar, matanya liar memandang ke sekeliling warung kopi yang nyaris kosong.
Halim, pria bertubuh kekar dengan wajah keras penuh guratan usia, hanya terkekeh sambil menyeruput kopi hitamnya. “Burhan, kau ini sudah tua tapi masih saja percaya hal-hal seperti itu. Cincin, kutukan? Aku rasa ini cuma cerita buat menakuti bocah.”
Burhan mendekatkan tubuhnya ke arah Halim, suaranya hampir berbisik. “Ini bukan cerita kosong. Kau tahu Pak Samad yang mati tenggelam tanpa jejak? Atau Joni, yang ditemukan tergantung di gudang tua? Mereka semua pernah punya cincin itu.”
Halim menahan tawa, tapi matanya menyipit. Dia memang sering mendengar kisah aneh tentang cincin keramat dari penduduk desa, tapi baginya, itu cuma takhayul. Hidupnya yang penuh kesialan membuatnya sulit percaya pada sesuatu yang lebih buruk dari nasibnya sekarang.
“Kau bilang cincin itu bisa memberiku kekayaan, kan? Kalau memang benar, aku tak peduli soal kutukan. Aku butuh uang, Burhan. Utangku sudah lebih besar dari nyawaku,” ujarnya sambil menyandarkan tubuh ke kursi bambu, matanya menatap langit-langit warung.
Burhan menggelengkan kepala dengan putus asa. “Halim, ini bukan soal uang. Ini soal hidupmu.”
Halim mengabaikan peringatan itu. Baginya, kutukan hanyalah cerita untuk membuat orang takut. Jika benar cincin itu bisa membawa keberuntungan, maka dia takkan ragu untuk mengambilnya.
Malam yang Gelap
Halim kembali ke rumahnya yang kecil di pinggiran desa, pikirannya terus dihantui cerita Burhan. Rasa takut bercampur dengan rasa penasaran. Namun, ketakutannya memudar seiring dengan gemuruh perutnya yang kosong. Dia tahu, jika tidak segera keluar dari situasi ini, hidupnya akan hancur lebih dari sekarang.
Malam itu, Halim akhirnya memutuskan untuk pergi ke makam tua yang disebut Burhan. Dengan membawa sekop dan senter kecil, dia menyelinap keluar rumah. Angin malam terasa lebih dingin dari biasanya, dan bayangan pepohonan tua di sekitar jalan membuat perjalanan itu terasa lebih panjang.
Setelah hampir satu jam berjalan, Halim tiba di sebuah bukit kecil yang dipenuhi makam-makam tua dengan batu nisan yang retak dan ditumbuhi lumut. Suasana di sana sunyi, hanya suara angin dan desiran dedaunan yang terdengar.
“Ini dia,” gumamnya pelan sambil melihat sebuah makam dengan batu nisan yang bertuliskan nama Raden Karta Wijaya. Nama itu sering disebut dalam cerita tentang cincin keramat.
Tanpa membuang waktu, Halim mulai menggali. Setiap sekop tanah yang dia pindahkan terasa semakin berat, seperti ada sesuatu yang menekan dadanya. Tapi dia terus menggali, hingga akhirnya dia menemukan sebuah peti kayu kecil yang hampir hancur dimakan waktu.
Dengan tangan gemetar, Halim membuka peti itu. Di dalamnya, dia menemukan sebuah cincin perak berukir rumit yang tampak masih bersinar meskipun sudah terkubur begitu lama. Tanpa pikir panjang, dia mengambil cincin itu dan memakainya di jari manis tangan kanannya.
Begitu cincin itu menyentuh kulitnya, Halim merasakan hawa dingin merayap dari ujung jarinya ke seluruh tubuh. Matanya tiba-tiba terasa berat, dan pandangannya gelap seketika.
Kebangkitan Cincin
Ketika Halim sadar, dia sudah berada di rumahnya. Jantungnya berdetak kencang, dan keringat dingin membasahi wajahnya. Tapi di tangannya, cincin itu masih tersemat, bersinar samar di bawah cahaya bulan yang masuk melalui jendela.
“Apa ini... mimpi?” gumamnya, mencoba meyakinkan diri bahwa semua yang terjadi tadi hanyalah khayalan.
Namun, keanehan mulai terjadi sejak pagi berikutnya. Halim yang biasanya hidup dalam kesialan mendapati dirinya memenangkan lotre kecil di pasar desa. Tak lama kemudian, dia mendapat tawaran kerja dari seorang saudagar kaya yang kebetulan lewat di desa itu.
Kehidupannya berubah drastis. Uang mulai mengalir deras ke kantongnya. Orang-orang desa yang dulu mencemoohnya kini menghormatinya. Namun, di balik keberuntungan itu, Halim mulai merasakan sesuatu yang tidak beres.
Malam demi malam, dia dihantui oleh mimpi-mimpi buruk. Dia melihat dirinya sendiri berjalan di tengah hutan gelap, dikejar bayangan-bayangan besar tanpa wajah. Dia mendengar bisikan-bisikan aneh yang memanggil namanya, seolah-olah ada sesuatu yang mengawasinya setiap saat.
Cincin itu pun mulai terasa seperti beban. Terkadang, cincin itu memanas, membakar kulitnya hingga meninggalkan bekas merah di jari. Tapi Halim tidak bisa melepaskannya. Setiap kali dia mencoba, cincin itu terasa semakin erat, seolah-olah menyatu dengan tubuhnya.
Mimpi Berakhir Tragis
Suatu malam, Halim terbangun oleh suara ketukan di pintu rumahnya. Ketukan itu terdengar pelan, tetapi menembus keheningan malam. Dengan rasa takut yang tak bisa dijelaskan, dia berjalan menuju pintu dan membukanya perlahan.
Tidak ada siapa pun di sana.
Namun, di depan pintu, dia melihat jejak kaki basah yang memanjang ke arah hutan di belakang rumahnya. Meski merasa ngeri, Halim mengikuti jejak itu. Tubuhnya bergerak seperti ditarik oleh kekuatan tak terlihat, dan langkahnya semakin cepat meskipun pikirannya berteriak untuk berhenti.
Jejak itu membawanya kembali ke makam tempat dia menemukan cincin itu. Di sana, dia melihat sosok seorang pria tua dengan pakaian kusam berdiri di atas makam Raden Karta Wijaya. Wajah pria itu hampir tak terlihat karena gelap, tetapi Halim bisa merasakan tatapannya yang dingin menusuk.
“Siapa... kau?” tanyanya dengan suara gemetar.
Pria itu tidak menjawab. Sebaliknya, dia hanya mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah Halim. Tiba-tiba, tubuh Halim terasa seperti dihantam ribuan jarum. Dia terjatuh, mencengkeram dadanya yang terasa terbakar, sementara cincin di jarinya bersinar terang seperti bara api.
Teriakannya menggema di malam itu, tetapi tidak ada yang mendengar. Keesokan paginya, tubuh Halim ditemukan tergeletak di dekat makam itu, dengan wajah membiru dan tangan kanannya terkepal erat.
Cincin itu tidak ditemukan di tempat kejadian, tetapi beberapa hari kemudian, seorang penduduk desa melaporkan melihat cincin itu dikenakan oleh seseorang yang tidak dikenal—seseorang yang berjalan perlahan di jalan setapak menuju desa berikutnya, seolah-olah membawa kutukannya ke tempat lain.