Namaku Pamela aku seorang ibu rumah tangga berusia 30 tahun. Pada Januari 2020 suamiku memutuskan menjual rumah yang kami tempati sekarang dan pindah ke rumah yang lebih besar karena ‘we are gonna be family of four’. Aku sedang hamil anak kedua dan akan melahirkan anakku dalam dua atau tiga pekan lagi.
Rumah yang saat ini aku tempati terletak di sebuah perumahan yang terbilang padat di daerah Depok bertipe 21 dengan satu kamar tidur. Suamiku berpikir rumah ini sudah saatnya dijual dan kami pindah ke rumah yang lebih besar dengan halaman yang cukup luas. Katanya aku bisa menyalurkan hobiku bercocok tanam dan anakku bisa bermain dengan leluasa.
Suamiku bilang dia sudah menemukan rumah yang cocok harga relatif rumah, letaknya agak ke dalam perkampungan tapi suasananya terbilang asri, dan yang terpenting rumah itu memiliki halaman yang cukup luas dan satu rumah berukuran sekitar 54m2 bercat putih.
Dalam beberapa minggu aku sudah mensurvei rumah itu beberapa kali menurutku agak menyeramkan, karena cat putihnya mulai mengelupas dan kotor menimbulkan kesan seperti rumah angker, di belakang rumah ada beberapa pohon yang cukup rimbun, tapi menambah kesan asri dan sejuk walau tidak bisa ditepis hal itu juga membuatku merinding. Sebelum melakukan pembayaran kepada Pak Ilham sang pemilik rumah suamiku menyempatkan diri bertanya lagi kepadaku
“Mela, kamu setuju kan kita pindah k erumah ini?” tanya Reno suamiku.
“Iya mas, tapi jujur aku agak takut mas sama rumah ini” kataku sambil melihat ke dalam rumah. Reno tersenyum, dia menghampiriku yang sedang melihat ke dalam ruang tamu dan dia meletakkan tangannya dibahuku.
“Apa yang kamu takutin? Kalau yang pernah kamu bilang masalah rumah ini kotor, berdebu atau serem itu kan emang karena rumah ini udah lama nggak ditinggalin sama Pak Ilham, semenjak istri pertamanya meninggal. Sebelum kita tinggalin aku juga pasti panggil tukang buat rapihin rumah ini. Jangan khawatir ya.” Reno meyakinkan. Tepat sebelum aku merespon Reno, Prisa anak perempuanku yang berusia 5 tahun berlari memasuki rumah, aku melihat ada tawa di bibirnya.
“Sayang, abis dari mana?” tanyaku sambil membelai lembut kepalanya.
“Main di taman belakang, Ma.” jawabnya sambil tersenyum.
“Prisa suka nggak kalau kita tinggal di rumah ini?“ tanya Reno
“Suka Pa. Aku suka main di belakang. Halamannya luas. Aku main lagi ya.” Prisa berlari lagi keluar rumah.
“Tuh anak kita aja suka.” Kata Reno. Aku hanya tersenyum menimpali.
***
Singkat cerita akhirnya rumah ini sudah menjadi milik kami. Reno memperbaiki bagian – bagian di rumah ini yang rusak parah, mengecat ulang seluruh rumah, dan merapikan taman. Aku dan Reno sama – sama tidak ingin menebang pohon rimbun yang ada di belakang rumah, karena kami tahu betul manfaat dari pepohonan itu.
Pada malam hari aku meletakkan gunting di dalam kamar di atas ranjang. Reno mengernyitkan dahi.
“Buat apa itu, Mel? serem banget tidur bawa – bawa gunting.”
“Kepercayaan orang jaman dulu mas, kata Mama ini buat jaga – jaga supaya ga diganggu mahluk halus. Kita kan juga baru pindah kesini”
“Hati – hati Mel, Prisa suka main di sini nanti malah ketusuk. Simpan aja di dapur atau di laci dalam lemari.” kata Reno. “Kamu masih takut sama rumah ini?” Reno melanjutkan.
Aku yang tidak ingin Reno kecewa karena keputusannya membeli rumah ini demi kebaikan kami akhirnya menuruti Reno. Aku memasukan guntingnya ke laci lemari riasku. “Nggak kok aku nggak takut.” Jawabku singkat
“Kalau gitu ayo tidur.” Reno menepuk pelan bantal di sebelahnya. Aku pun menurut. Pada malam pertama di rumah ini aku tidur dengan kurang nyenyak. Sekilas aku melihat ada wanita bergaun putih panjang yang mondar – mandir di kamarku, tapi aku tidak bisa membedakan ini mimpi atau nyata. Ketika menjelang Isa tiba barulah aku merasa lebih tenang dan bisa tidur nyenyak.
“Bangun Mel.” Rasanya baru saja aku tertidur, aku mendengar Reno membangunkanku. “Sholat dulu yuk.” Reno mengajak
Aku segera bangun mengambil wudhu dan sholat bersama Reno. Selesai sholat Reno bertanya.
“Apa ada yang salah, Mel? Tadi malam pas aku ke kamar mandi aku lihat kamu tidurnya gelisah, terus biasa kamu yang bangunin aku buat Sholat, tapi kali ini kamu yang nggak bangun”
“Gak apa apa kok, maklum rumah baru. Aku siapin sarapan dulu ya” kataku sambil beranjak bangun.
Aku berjalan dengan kantuk yang menjalar dan perut yang besar. Di tengah kantuku yang hebat ini aku melihat pintu kamar Prisa sedikit terbuka. Aku berjalan ke kamar itu dan aku melihat bayangan putih lagi melintas secepat kilat, aku langsung mengusap – usap mataku dan mempercepat langkahku. Aku khawatir. Aku membuka kamar Prisa dan aku melihat Prisa tidur sambil memeluk bonekanya seketika keteganganku mencair. Aku menutup kembali kamar itu dan segera ke dapur untuk membuat sarapan dan bekal makan siang Reno.
Sekitar jam 6 pagi Reno keluar kamar, sudah rapih mengenakan kemeja kerjanya. Di meja makan Prisa sudah duduk manis masih mengenakan baju tidurnya.
“Pagi, sayang.” Reno mengecup kening Prisa sebelum duduk dimeja makan.
Kami makan dengan hening. Aku dengan pikiranku, Prisa yang sedang asik dengan roti coklatnya dan Reno yang sibuk dengan sarapan dan ponselnya.
“Mela sayang, I’m Sorry aku baru dapat kabar kalo hari ini aku harus ke Jakarta after work, aku harus ke kantor pusat. Kemungkinan sampai malam” kata Reno khawatir. Reno sepertinya tahu bahwa aku belum nyaman dirumah ini.
Aku tersenyum dan menggenggam jemarinya. “Gak apa apa, Mas. Nanti kabarin aku ya”
***
Aku mencuci piring di dapur. Dapurku ini memiliki jendela yang menghadap ke halaman belakang. Aku melihat ayunan yang dibuatkan Pak Ilham sebagai hadiah untuk Prisa bergoyang - goyang sendiri. Aku berpikir di luar anginya pasti kencang, hingga mampu menggoyangkan ayunan. Karena di dalam dapur suasananya cukup pengap. Aku membuka jendela dapur agar ada pertukaran udara, tapi aku tidak merasakan sedikit anginpun menyapaku. Aku buru – buru menutup jendela lagi dan berusaha berpikir positif.
“Sayur – Sayur. Sayur – Sayur.” Aku mendengar suara tukang sayur di depan. Aku segera keluar membawa dompet kecil yang memang aku letakkan di dalam lemari dapur. Sekelebat aku melihat Prisa sedang menonton televisi. Tumben sekali. Biasa Prisa lebih suka bermain dengan mainannya.
“Mama beli sayur di depan ya.” Kataku tanpa menoleh lagi.
“Bang, Sayur!” Panggilku.
Tukang sayur yang sudah berjalan sekitar dua rumah segera memutar balik gerobaknya ke arahku.
“Pagi, Bu. Mau sayur apa nih?” kata tukang sayur ceria. Aku melihat sayuran segar sudah diplastikan di gerobaknya.
“Bentar ya bang saya pilih dulu.” Aku memilih sayurannya. Seorang ibu paruh baya juga keluar rumah dari sebelah rumahku dan ikut memilih.
“Ibu tetangga baru ya? Saya baru lihat.” Katanya
“Iya bu, saya baru pindah kemarin malam setelah semuanya dirapikan, maaf kita kenalannya seperti ini.” Kataku tak enak karena belum mengetuk pintu tetangga sekitar sambil membawa makanan.
“Gak apa apa. Betah – betah ya di rumah itu, ini lagi hamil berapa bulan?”
“Sudah 9 bulan bu, lagi nunggu lahirannya aja.”
“Kalau lagi hamil, jangan keluar pas magrib, kunci semua pintu dan jendela, utamakan sholat.”
“Iya bu, terimakasih. Bang ini jadi berapa?” Aku memilih beberapa plastik sayuran.
“20.000 ya bu.” Aku mengeluarkan uang dan membayar.
“Bu, saya duluan ya.”
Aku memasukan sayuran ke dalam kulkas. Aku melihat Prisa sedang tertawa sambil main ayunan. Aku segera membuka pintu belakang dan menghampiri Prisa.
“Prisa, hati – hati mainnya nanti jatuh.” Aku mengingatkan.
“Iya, Ma. Seru banget ini.” Jawab Prisa
Aku tersenyum lalu kembali ke dapur. Aku melihat chanel tv berpindah ke chanel blank dengan suara monoton. Aku mengambil remot tv dan mematikan tvnya. Aku kembali ke belakang lagi.
“Pris, kalau habis nonton tvnya dimatikan.”
“Prisa gak nyetel tv, Ma.” Kata Prisa sambil tertawa.
“Prisa, bohong itu gak baik tadi Mama lihat kamu nonton tv.”
“Aku gak nonton tv, Ma.”
Aku tersenyum ke Prisa, bingung, selama ini Prisa memang tidak berbohong. Dia tidak pernah menonton tv lewat dari jam 8, tapi aku mencoba berpikir positif mungkin aku salah lihat. Aku masuk kembali ke dalam rumah dan mulai membersihkannya.
***
Ketika magrib sudah tiba aku segera memanggil Prisa yang sedang lari – larian di halaman.
“Pris, magrib ayo masuk dulu. Jangan main di luar.”
“Iya, Ma.” Prisa segera berlari masuk ke dalam rumah dan aku lalu menutup semua jendela dan pintu. Menurut kepercayaan orang – orang sewaktu magrib harus berada di dalam rumah.
Aku mengambil wudhu, lalu sholat bersama Prisa. Setelah itu aku menyiapkan makan malam. Reno sepertinya akan pulang malam.
Sekitar jam 9 malam Prisa sudah masuk ke dalam kamarnya. Aku juga merasa sangat mengantuk. Aku lalu mengetikan pesan kepada Reno .
Mas, aku ngantuk, maaf gak nungguin, kamu telepon aku aja ya kalau sudah sampai. Gerbang gak aku kunci ya.
Aku lalu meletakkan ponselku di meja samping tempat tidur dan tertidur. Dalam tidurku aku samar – samar melihat wanita itu lagi. Kali ini dia lebih mendekat, ya dia ada di sampingku. Persis sejajar dengan perutku yang membuncit, tapi perempuan itu tidak melakukan apa – apa selain mengamati, lalu aku mendengar suara ketukan pintu yang menarikku kembali ke alam nyata. Aku terbangun lalu melihat ke sekeliling kamar tapi tidak menemukan apa pun. Suara ketukan masih saja terdengar aku pikir Reno sudah pulang.
Aku bangun dan berjalan ke pintu tanpa melihat jendela aku membuka pintu. Angin kencang langsung menampar wajahku. Aku melihat sekeliling yang terlihat hanya gelapnya jalanan dengan lampu seadanya dan suara anak ayam yang terdengar jauh. Aku langsung menutup pintu kembali dan melihat jam. Jam 12 malam. Aku mengambil segelas air ke dapur. Dari dapur aku bisa memandang ke halaman belakang dari jendela yang belum tertutup gorden dan pohon rimbun itu membuatku merinding seketika. Aku segera berbalik badan dan masuk ke kamar Prisa.
Prisa tertidur lelap aku membelai rambut Prisa dengan penuh kasih sayang. Prisa terbangun.
“Mama, kenapa bolak – balik kamar Prisa terus?” keluhnya dengan kantuk yang luar biasa.
“Mama baru masuk kok.”
“Aku dengar Mama sudah 5 kali masuk kamarku.”
“Kamu salah dengar.” Kataku santai sekali pun perkataannya membuatku takut.
Prisa mengangkat bahunya lalu kembali tertidur. Aku terduduk di samping Prisa mempertanyakan beberapa hal aneh yang terjadi di rumah ini.
***
Tidur bersama Reno sama sekali tidak membuat rasa takutku menghilang. Setiap malam aku tetap mengalami hal – hal aneh. Mulai dari suara tawa cekikan di belakang rumah, mimpi aneh, atau wangi melati dan bau busuk yang tercium di sekitarku, tapi anehnya hanya aku yang merasakan hal itu. Reno sama sekali tidak pernah mengalami hal aneh.
Kali ini mimpiku pun semakin aneh, aku terbangun berada di halaman belakang di depan pohon rimbun, lalu aku merasakan ada seseorang di belakangku.
Aku membalikan badan dan melihat wanita itu lagi, wanita berbaju putih dengan rambut panjang menutupi muka, kali ini aku bisa melihat wajahnya walaupun tidak jelas. Dia berwajah pucat pasi dengan mata yang menangis darah dia melihat ke arah perutku dan tertawa cekikikan, ketika dia mendekat dengan tangan seperti ingin meraih sesuatu aku menjerit sekuat – kuatnya.
“Mel, bangun Mel. Kamu kenapa?” Suara Reno seakan menarikku kembali ke alam nyata. Aku terbangun dengan keringat yang banyak dan nafas yang terengah – engah. Aku langsung memeluk Reno dan tangisku pun pecah. Aku menceritakan semua yang aku alami kepada Reno.
“Aku takut terjadi apa apa sama anak kita. Rumah ini pasti ada penunggunya.”
“Tenang, Mel. Kamu tidur sekarang ya, aku jagain kamu. Besok kita ke rumah Pak ilham dan Pak Ustad. Aku nggak akan tidur lagi, aku jagain kamu ya.”
Aku mengatur nafasku, walaupun Reno bilang begitu tapi itu tidak membuatku bisa melanjutkan tidur dengan nyenyak. Pikiranku berkecamuk dan rasa takut menyiksaku.
***
Di rumah Pak Ilham. Aku menceritakan semua kejadi aneh yang aku alami. Pak Ilham mendengarkan dengan serius, lalu berkata. “Rumah itu memang sudah dibangun puluhan tahun yang lalu dan tidak ditinggali selama bertahun – tahun wajar kalau ada penunggunya. Mahluk halus itu pasti senang mengganggu wanita hamil. Menurut kepercayaan orang jaman dulu, menaruh gunting kecil di bawah bantal ampuh untuk membuat roh jahat menjauh dari kita. Kalau magrib jangan keluar, tutup rapat semua pintu dan jendela. Kalau diketuk pintu tapi tidak ada orangnya lebih baik jangan dibuka itu sama saja mengundang mereka untuk masuk ke rumah kita dan yang terpenting ibadah dijalankan. Sejak masuk ke rumah itu apakah kalian sudah menggelar pengajian dan syukuran rumah?”
“Belum, Pak.” jawab Reno
“Saran saya minta didoakan rumahnya sama Pak Ustad dan rajin – rajin baca ayat Al- fatihah.” kata Pak Ilham.
Setelah itu kami pamit dari rumah Pak Ilham dan menuju ke rumah Pak Ustad. Di rumah Pak Ustad kami sekalian meminta didoakan dan mengundang beliau untuk datang ke rumah mendoakan rumah kami. Pak ustad juga menyarankan supaya kami sering mengaji.
Setelah mengadakan pengajian dan syukuran rumah serta mengaji setiap malam teror itu semakin menurun. Beberapa hari kemudian aku melahirkan anakku yang kedua, Laki- laki dan aku beri nama Rendra.
Setiap magrib aku menemani Rendra dan Prisa, melakukan sholat magrib, pernah di suatu saat Rendra menangis dengan mata melihat ke atas, tapi aku tidak melihat apa pun di langit - langit rumah. Aku segera membaca al fatihah sampai Rendra tenang. Aku tahu dari beberapa tetangga sebelah rumah kalau di halaman belakang rumahku memang ada penunggunya yaitu kuntilanak, tapi Pak Ustad sudah mendoakan dan meminta supaya kami tidak saling mengganggu. Aku sadar sesungguhnya manusia dan mahluk gaib diciptakan untuk hidup berdampingan tapi tidak untuk saling mengganggu, walaupun seringkali mereka yang penasaran seringkali mengganggu manusia, tapi aku tidak ingin terlalu memikirkan apalagi aku sudah bisa melahirkan anakku dengan selamat dan seiring aku memperkuat iman dan ibadahku kuntilanak itu tidak w
menggangguku dengan intens lagi. Walau pun sesekali kuntilanak itu suka iseng dengan tertawa di belakang dan membuatku mencium bau busuk yang tiba - tiba. Aku sungguh berusaha untuk tidak takut.
-selesai-