Suara di Lorong Gelap
Malam itu, hujan deras mengguyur desa kecil di pinggiran hutan. Awan gelap menyelimuti langit, menghalangi cahaya bulan. Angin mendesing di antara pepohonan, membawa suara-suara aneh yang seolah berasal dari kedalaman hutan.
Raka, seorang pemuda desa, sedang berjalan pulang setelah bertemu temannya di ujung desa. Dia memutuskan untuk mengambil jalan pintas melalui lorong gelap yang dikenal sebagai Lorong Cemara. Meski sering terdengar kisah-kisah menyeramkan tentang lorong itu, Raka mengabaikannya.
Langkahnya cepat, menciptakan suara berderap yang menggema di sepanjang lorong. Namun, tiba-tiba dia merasa ada sesuatu yang mengawasinya. Raka berhenti dan menoleh, tapi tak ada apa-apa selain bayang-bayang gelap.
Saat melanjutkan perjalanan, suara aneh mulai terdengar, seperti bisikan yang samar namun jelas.
"Raka... Raka..."
Raka tertegun. Jantungnya berdetak kencang. Siapa yang memanggilnya? Suaranya serak, tetapi terasa familiar. Dia menoleh lagi, kali ini lebih waspada. Di kejauhan, dia melihat sebuah cahaya kecil, seperti lilin yang berkedip di tengah kegelapan.
Raka memutuskan untuk mendekati cahaya itu, meskipun ada perasaan takut yang merayap. Saat dia semakin dekat, cahaya itu perlahan meredup, hingga akhirnya padam. Dalam kegelapan total, Raka mendengar suara tawa pelan, seperti seseorang yang mengejeknya.
"Kenapa kamu di sini?" suara itu tiba-tiba bertanya, terdengar tepat di belakangnya.
Raka berbalik dengan cepat, tetapi hanya mendapati lorong kosong. Kakinya gemetar, tapi dia memaksa dirinya untuk berlari. Lorong yang biasanya hanya memakan waktu lima menit untuk dilewati kini terasa tak berujung.
Langkahnya semakin cepat, namun suara itu terus mengejarnya.
"Raka... jangan lari... kita sudah lama menunggumu."
Ketika akhirnya dia melihat ujung lorong, tubuhnya seakan kehilangan tenaga. Namun, dia memaksakan diri untuk terus berlari. Saat keluar dari lorong, dia langsung jatuh terduduk. Nafasnya tersengal-sengal, dan dia merasa aman sejenak.
Namun, ketika dia menoleh ke arah lorong, sosok itu berdiri di sana. Sosok tinggi, kurus, dengan mata merah menyala dan senyum lebar yang menyeramkan. Sosok itu mengangkat tangannya, menunjuk ke arah Raka.
"Ini belum selesai."
Raka menjerit, tapi suaranya hilang di tengah desingan angin. Lorong itu seakan menelan sosok mengerikan itu, meninggalkan Raka yang terpaku dalam ketakutan. Sejak malam itu, tak ada lagi yang melihat Raka di desa.
Hanya lorong gelap itu yang tetap berdiri, menyimpan rahasia dan kengerian yang tak pernah terpecahkan.
Kehilangan Raka membuat gempar desa kecil itu. Penduduk desa mulai bergunjing tentang Lorong Cemara, mengaitkannya dengan berbagai peristiwa misterius yang pernah terjadi sebelumnya. Mereka yakin bahwa lorong itu dihuni oleh makhluk gaib yang haus akan jiwa manusia.
Beberapa hari setelah Raka hilang, Ayahnya, Pak Surya, memutuskan untuk mencarinya. Meskipun banyak yang melarangnya, tekad Pak Surya sudah bulat. Ia membawa obor, parang, dan doa-doa yang diajarkan tetua desa. Malam itu, ia berdiri di mulut lorong, menatap gelap yang seakan menantangnya masuk.
Pak Surya melangkah dengan hati-hati. Angin dingin menyusup di sela-sela pepohonan, membawa aroma tanah basah yang menyengat. Suara serangga malam terdengar samar, tetapi semakin jauh ia melangkah, suasana menjadi hening. Hanya langkahnya sendiri yang bergema di lorong itu.
Setelah beberapa menit berjalan, Pak Surya menemukan sesuatu yang membuat hatinya kaget sebuah kain merah muda yang dikenali sebagai saputangan milik Raka. Saputangan itu basah dan tergeletak di tanah berlumpur. Pak Surya memungutnya dengan tangan gemetar, lalu melanjutkan langkahnya.
Tiba-tiba, obornya berkedip dan padam. Kegelapan menyelimuti. Di tengah kegelapan itu, ia mendengar suara yang membuat bulu kuduknya berdiri.
"Ayah... bantu aku..."
Pak Surya menoleh ke segala arah. “Raka? Kamu di mana, Nak?”
Suara itu kembali terdengar, kali ini lebih dekat.
"Ayah... tolong."
Dengan napas memburu, Pak Surya melangkah lebih dalam ke lorong, mengikuti suara itu. Namun, semakin jauh ia berjalan, lorong itu terasa berubah. Pohon-pohon di sekitarnya tampak lebih tinggi, lebih gelap, dan akar-akar mereka seakan merintangi jalannya.
Akhirnya, ia melihat sosok yang berdiri membelakanginya. Sosok itu mengenakan pakaian yang mirip dengan milik Raka. Dengan hati yang dipenuhi harapan, Pak Surya memanggil, “Raka! Nak, itu kamu?”
Sosok itu perlahan berbalik. Tapi bukan wajah Raka yang terlihat, melainkan wajah mengerikan dengan kulit pucat, mata merah menyala, dan senyum lebar yang penuh gigi tajam.
"Kamu sudah terlambat, Surya."
Sosok itu melompat ke arah Pak Surya dengan kecepatan yang tak terbayangkan. Jeritan Pak Surya menggema di lorong, lalu semuanya kembali hening.
Keesokan harinya, penduduk desa menemukan parang Pak Surya dan obor yang sudah patah di mulut lorong. Tidak ada jejak Pak Surya maupun Raka. Lorong Cemara kembali sunyi, seperti menyimpan rahasia gelap yang tidak pernah terungkap.
Sejak saat itu, lorong tersebut ditinggalkan. Penduduk desa sepakat untuk menutupnya dengan pagar dan tidak pernah mendekatinya lagi. Namun, setiap malam, beberapa penduduk mengaku mendengar suara samar dari arah lorong.
"Ayah... tolong aku..."
Lorong Cemara kini menjadi simbol kutukan desa, tempat di mana kegelapan abadi bersemayam, menunggu korban berikutnya.
Tahun berganti, dan meskipun desa itu berusaha melupakan cerita mengerikan tentang Lorong Cemara, kisah tentang Raka dan Pak Surya tetap hidup dalam bisik-bisik di antara penduduk. Namun, semakin lama, semakin sedikit yang berani membicarakannya. Lorong itu seakan terlupakan, meskipun angin malam masih menyisakan bisikan tak jelas, seolah mengingatkan bahwa kegelapan di sana belum sepenuhnya hilang.
Suatu malam, seorang pemuda bernama Damar, yang baru saja pindah ke desa, mendengar cerita-cerita tentang Lorong Cemara dari teman-temannya. Terpikat oleh rasa penasaran dan keberanian muda, Damar memutuskan untuk menyelidiki lorong itu sendiri. Ia tahu betul bahwa legenda itu hanya mitos belaka, dan tak ada yang perlu ditakuti.
Malam itu, Damar berangkat dengan senter di tangan, melangkah dengan percaya diri menuju mulut lorong. Ketika kakinya menginjak tanah yang basah dan licin, suara angin menyapu dedaunan, menciptakan suasana yang aneh dan mencekam. Namun, ia tidak mundur. Semakin ia melangkah ke dalam, semakin gelap lorong itu terasa, seolah-olah kegelapan itu hidup dan menghisap setiap cahaya yang ada.
Di tengah lorong, Damar tiba-tiba berhenti. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya sebuah saputangan merah muda yang tergelatak di tanah. Damar mendekat, dan matanya terbelalak ketika melihat tulisan samar yang tergores di permukaan kain itu: "Jangan lanjutkan, Damar."
Namun, rasa penasaran yang lebih besar mengalahkan peringatan itu. Ia melangkah lebih dalam lagi, mengabaikan perasaan cemas yang mulai merayap. Dan kemudian, di depan matanya, sesuatu yang mengerikan terjadi.
Sosok yang mirip dengan Raka muncul di kejauhan, berdiri membelakanginya, seperti memanggil. Damar memanggil, "Raka?" Suara itu terdengar begitu mirip, begitu nyata. Tapi saat sosok itu berbalik, wajahnya bukan wajah Raka melainkan wajah yang lebih mengerikan, lebih kelam, dengan mata merah menyala dan senyum mengerikan yang mengembang lebar. Sosok itu membuka mulut, dan suara yang terdengar seperti seribu suara bergema di udara,
"Selamat datang, Damar. Kami sudah menunggumu."
Damar mencoba berlari, tetapi kakinya seperti terikat di tanah, tak bisa bergerak. Lorong itu semakin gelap, dan suara tawa yang menakutkan makin dekat. Dalam ketakutan yang luar biasa, Damar akhirnya jatuh ke tanah, terjatuh dalam keputusasaan, tak mampu melawan apa yang datang.
Dan setelah malam itu, desa kembali sunyi. Tidak ada yang melihat Damar lagi. Hanya tinggal lorong itu, yang semakin dalam, semakin menakutkan. Di tengah lorong, sosok-sosok yang hilang.Raka, Pak Surya, dan kini Damar berdiri bersama dalam kegelapan yang abadi, terperangkap dalam rahasia gelap yang tak pernah bisa diungkapkan.
Desa itu, yang dulu damai, kini diliputi oleh rasa takut yang mendalam. Tak ada yang berani mendekati lorong itu lagi. Tetapi, setiap malam, jika seseorang cukup berani untuk mendengarkan, suara bisikan yang jauh akan terdengar,
"Jangan datang... jangan datang..."
Lorong Cemara tetap ada, menunggu, dengan segala kegelapan dan teror yang tak akan pernah berakhir.