Di sebuah desa kecil yang tersembunyi di balik bukit-bukit hijau, hiduplah seorang gadis bernama Aluna. Wajahnya cantik, dengan mata hitam yang teduh, namun di balik pesonanya itu, ada sesuatu yang membuatnya berbeda dari orang-orang lain: Aluna tidak pernah berbicara. Sejak lahir, ia tak mampu mengeluarkan satu patah kata pun. Mereka bilang, Aluna dilahirkan dengan “senandung bisu” dalam dirinya—suara yang hanya bisa ia dengar sendiri.
Meski hidup dalam keheningan, Aluna tidak pernah mengeluh. Di siang hari, ia bekerja membantu ibunya di kebun sayur, dan di malam hari, ia akan duduk di jendela kamarnya, memandang bintang-bintang sambil memainkan biola tua peninggalan ayahnya. Melodi yang diciptakannya begitu syahdu, seakan-akan biola itu berbicara untuknya, menyampaikan apa yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.
Orang-orang desa sering berbisik tentang Aluna. Mereka memanggilnya “gadis bisu dari bukit.” Sebagian orang merasa iba, sebagian lainnya menganggapnya aneh. Namun, Aluna tidak pernah memedulikan apa yang orang katakan. Satu-satunya temannya adalah melodi dari biolanya dan seekor kucing tua bernama Semu yang selalu setia menemani.
Hingga suatu hari, datanglah seorang pemuda asing ke desa itu. Namanya Louis. Rambutnya coklat terang, tubuhnya tinggi tegap, namun ada sesuatu di matanya yang berbeda—sebuah kesedihan yang dalam, seakan-akan ia membawa beban yang tak terlihat. Louis baru saja pindah dari kota untuk tinggal bersama pamannya, setelah kehilangan kedua orangtuanya dalam kebakaran rumah.
Desa itu menerima Louis dengan tangan terbuka, tetapi pemuda itu memilih menjauh dari semua orang. Setiap pagi ia berjalan sendirian ke bukit, memandang jauh ke horizon, seperti mencari sesuatu yang hilang. Suatu hari, di sana, ia mendengar suara biola yang memecah kesunyian. Louis menghentikan langkahnya, matanya menyipit mencari asal suara itu. Di bawah pohon besar yang rindang, ia melihat seorang gadis tengah duduk dengan biola di pangkuannya. Aluna.
Melodi yang dimainkan Aluna begitu menyentuh. Ada kepedihan, kerinduan, namun sekaligus kedamaian yang menenangkan. Louis berdiri terpaku, membiarkan suara itu meresap ke dalam dirinya, membelai luka-luka yang ia sembunyikan. Ketika lagu itu selesai, Aluna menoleh dan terkejut mendapati seseorang berdiri di belakangnya. Dengan cepat, ia menyembunyikan biolanya dan bersiap pergi.
“Tunggu,” kata Louis, suaranya serak. “Permainanmu... sangat indah.”
Aluna berhenti sejenak, menatapnya dengan pandangan bertanya. Louis tersenyum kecil, menyadari sesuatu. “Kau... gadis dari bukit itu, bukan? Aku sering mendengar tentangmu.”
Aluna tidak menjawab. Sebaliknya, ia menunduk dan berjalan pergi. Namun, saat itu juga, Louis melihat kertas kecil terjatuh dari saku gaun Aluna. Ia memungutnya dan memanggil, “Ini milikmu.”
Aluna berbalik, ragu-ragu mendekat. Ia mengambil kertas itu dari tangan Louis. Di sana, Louis bisa melihat sekilas tulisan tangan yang rapi namun tampak murung: “Kadang-kadang, suara yang tidak terdengar adalah yang paling nyaring.”
Louis memandang Aluna, kali ini dengan mata yang penuh rasa ingin tahu. Sejak hari itu, tanpa diminta, Louis selalu datang ke bukit itu setiap sore. Ia duduk di jarak yang cukup jauh, hanya untuk mendengarkan biola Aluna. Gadis itu tidak pernah mengusirnya, dan lama-lama, kehadiran Louis menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu.
“Suaramu,” kata Louis suatu hari, setelah Aluna menyelesaikan permainannya, “mungkin tidak bisa terdengar oleh dunia. Tapi biolamu... biolamu berbicara lebih keras dari apapun.”
Aluna menatap Louis dalam-dalam, seakan mencoba memahami maksudnya. Louis tersenyum. “Aku tahu rasanya ingin bicara, tapi tak ada suara yang bisa keluar. Kadang... aku juga merasa begitu.”
Louis lalu bercerita. Tentang kebakaran yang merenggut kedua orangtuanya, tentang rasa bersalah yang terus menghantui karena malam itu ia seharusnya ada di rumah, tetapi memilih pergi bermain dengan teman-temannya. Aluna mendengarkan dengan tenang, matanya yang lembut menatap penuh simpati. Itu pertama kalinya Louis bercerita kepada siapapun. Ia merasa bebas, seakan semua beban di hatinya terangkat oleh senyap yang menenangkan dari Aluna.
“Bagaimana denganmu, Aluna?” tanya Louis pelan. “Apa yang ingin kau katakan dengan melodi-melodimu?”
Aluna terdiam, lalu mengeluarkan buku catatan kecil dari sakunya. Ia menuliskan sesuatu di sana, lalu menyerahkannya pada Louis.
“Biola ini bercerita tentang hal-hal yang tidak bisa ku pahami. Tapi aku tahu... musikku bisa didengar oleh mereka yang mau mendengar.”
Louis membaca tulisan itu dengan hati yang bergetar. Sejak hari itu, ia dan Aluna semakin dekat. Meski tanpa kata-kata, mereka saling mengerti. Louis selalu membawa sebuah buku kosong, dan setiap kali mereka duduk bersama, ia akan menuliskan cerita atau perasaannya, sementara Aluna membalasnya dengan tulisan-tulisan singkat atau melodi dari biolanya. Keduanya berbicara melalui media yang berbeda—tulisan dan musik—namun keduanya menemukan bahasa mereka sendiri.
Waktu berlalu, dan kebahagiaan kecil itu mulai tumbuh di antara mereka. Namun, suatu malam, badai besar melanda desa. Petir menyambar, angin menderu, dan hujan turun dengan derasnya. Aluna, yang sedang bermain biola di jendelanya, tiba-tiba melihat api berkobar di rumah pamannya Louis yang tak jauh dari sana. Panik, Aluna segera berlari keluar menuju rumah itu, menerobos hujan dan angin malam.
Saat sampai, rumah itu sudah hampir rata dengan tanah. Aluna melihat Louis berusaha menyelamatkan pamannya yang terperangkap di dalam. Tanpa berpikir panjang, Aluna ikut membantu. Namun, pada akhirnya, mereka hanya bisa membawa pamannya keluar tepat saat api melalap seluruh bangunan.
Louis terduduk di tanah, tubuhnya basah kuyup dan penuh arang. Aluna berdiri di sampingnya, menggigil kedinginan. Dalam kebisuannya, ia menatap Louis dengan mata yang penuh kelegaan—mereka selamat. Louis menatap balik, dan untuk pertama kalinya, ia mendengar sesuatu.
Sebuah senandung.
Aluna tidak membuka mulutnya, tetapi di tengah malam yang basah dan gelap itu, melodi yang begitu lembut seakan-akan berputar di sekitar mereka. Louis tersentak, matanya melebar. Ia bisa mendengarnya. Suara itu begitu halus, begitu menyakitkan, namun indah di saat yang bersamaan.
“Aluna,” bisik Louis, air matanya mulai jatuh tanpa ia sadari, “itu... itu suaramu.”
Aluna tersenyum kecil, lalu menuliskan sesuatu di buku Louis.
“Senandung bisuku adalah suara hatimu yang hilang. Kau menemukannya lagi malam ini.”
Sejak malam itu, Louis tidak pernah merasa sendirian lagi. Mereka kembali ke bukit di siang hari, dan setiap sore, Aluna memainkan biolanya sementara Louis menulis. Sebuah karya tercipta—kisah tentang senandung bisu yang hanya bisa didengar oleh mereka yang bersedia mendengarkan dengan hatinya.
Kisah Aluna dan Louis menyebar ke seluruh desa. Orang-orang mulai datang untuk mendengarkan biola Aluna, tidak lagi dengan rasa kasihan, tetapi dengan kekaguman. Mereka menyadari bahwa kebisuan gadis itu bukanlah kelemahan, melainkan cara uniknya untuk berbicara.
Hingga suatu hari, ketika musim berganti dan bunga-bunga mulai mekar, Louis menemukan sebuah amplop di bawah pohon besar tempat mereka biasa bertemu. Di dalamnya, ada catatan singkat dari Aluna:
“Terima kasih telah mendengar apa yang tak pernah bisa kukatakan. Kini giliranmu untuk berbicara kepada dunia.”
Louis mencari Aluna ke seluruh penjuru desa, namun gadis itu sudah tidak ada. Sebagian orang berkata bahwa ia pergi mencari suara baru untuk biolanya, sebagian lagi percaya bahwa Aluna adalah roh penjaga desa itu yang kini telah menemukan tujuannya. Namun bagi Louis, Aluna selalu ada—dalam setiap senandung bisu yang ia dengar di tengah malam, dalam setiap cerita yang ia tulis, dan dalam setiap hati yang bersedia mendengarkan.
Setelah bertahun-tahun lamanya, Louis dikenal sebagai seorang penulis ternama yang karyanya menyentuh banyak hati. Cerita-ceritanya selalu mengandung melodi senyap yang begitu dalam, seolah-olah setiap kalimatnya memancarkan alunan biola dari masa lalu. Dalam setiap bukunya, Louis selalu menyelipkan dedikasi yang sama: “Untuk seorang gadis dengan senandung bisu yang mengajarkanku cara mendengar suara hati.”
Namun, setiap kali musim semi datang, Louis akan kembali ke bukit yang menjadi saksi pertemuannya dengan Aluna. Ia duduk di bawah pohon besar yang kini telah tumbuh semakin rindang, membawa buku catatan kosong dan menunggu—seperti dulu, ketika Aluna duduk di sana memainkan biolanya. Angin yang berembus lembut di bukit itu selalu membawa sebuah suara samar, melodi bisu yang tak pernah pudar.
Louis tidak pernah merasakan kehilangan. Baginya, Aluna tidak pernah benar-benar pergi. Gadis itu hidup di dalam setiap detak jantungnya, di setiap lembaran buku yang ia tulis, dan di setiap senyap yang ia dengar.
Pada suatu sore yang mendung, saat ia duduk sendirian di bukit itu, tiba-tiba terdengar alunan biola. Louis tersentak. Tangannya yang menggenggam pena berhenti bergerak, dan matanya memandang ke sekeliling dengan penuh harap. Melodi itu datang begitu jelas, mengalir dari udara yang dingin.
“Aluna?” bisiknya pelan.
Angin membawa serpihan daun-daun kering yang berjatuhan di tanah, seakan menjawab panggilannya. Di depan pohon besar itu, Louis melihat sesuatu yang tak pernah ia duga: biola tua peninggalan Aluna, bersandar di batang pohon dengan sempurna, seperti menunggu seseorang untuk memainkannya. Di bawah biola itu, ada secarik kertas dengan tulisan tangan yang sangat ia kenal:
“Kini waktumu untuk memainkan melodi hatimu sendiri.”
Air mata menggenang di mata Louis. Dengan tangan gemetar, ia mengambil biola itu dan memandanginya dengan penuh rasa hormat. Untuk pertama kalinya, ia meletakkan biola di bahunya, menggerakkan bow perlahan-lahan, dan biola itu mulai bersuara—bukan sebagai sekadar alat musik, tapi sebagai senandung dari jiwanya yang selama ini terdiam.
Melodi pertama yang ia mainkan begitu sederhana, namun penuh makna. Itu adalah melodi yang Aluna sering mainkan untuknya dulu. Suara biola itu berpadu dengan suara angin, membentuk harmoni yang memenuhi seluruh bukit. Louis memainkan musik itu bukan hanya untuk Aluna, tetapi untuk semua yang telah hilang, semua yang pernah ia cintai, dan semua jiwa yang pernah mendengarkan senandung bisu itu.
Saat matahari mulai tenggelam di balik bukit, seberkas cahaya jingga menyinari biola di tangannya. Louis menutup matanya, membiarkan musik itu menyatu dengan dunianya. Ia tahu, di suatu tempat yang jauh namun dekat, Aluna sedang tersenyum—senyum lembut yang selalu ia ingat.
Dan di hari itu, di bukit sunyi tempat melodi bisu pernah bergema, Louis akhirnya mengerti: suara hati akan selalu menemukan jalannya untuk terdengar, meskipun hanya dalam keheningan yang paling dalam. Senandung bisu itu abadi.