Ketenangan dan kesejukan pedesaan merupakan salah satu anugerah yang diberikan oleh sang pencipta alam. Sang surya tak bosan-bosan untuk segera memancarkan cahayanya guna menerangi rumah-rumah, pertanian, dan hutan-hutan di sekeliling desa. Sang surya juga menyirami wajah penduduk untuk segera sadar dari mimpi mereka dan melangkahkan kaki menuju takdir yang telah dibuat oleh sang pencipta alam. Dapur rumahku pun mulai mengeluarkan asap seperti kapal pesiar yang sedang berlayar. Ku melihat belahan jiwaku sedang membuat roti yang biasa ku santap dengan penuh penghayatan di setiap saat sang surya bangkit dari arah timur. Ketika itu matang, aku pun mulai menikmatinya dengan secangkir kopi yang hangat bagaikan kasih sayang dia kepada ku. Setelah aku selesai mengisi perut, aku pun pamit kepada belahan jiwaku untuk pergi ke ladang dan peternakan, guna menyenangkan hati para tumbuhan dan hewan yang kami pelihara. Hari itu setiap jamnya ku lalui dengan bercengkrama dan mencari beberapa kepingan koin untuk memenuhi hidup kami. Tak terasa sang surya kini sudah berubah menjadi senja, aku kembali ke istana ku untuk beristirahat setelah menjalani hari yang indah ini. Sesampainya di istana akupun langsung disambut dengan senyuman yang manis dari pujaan hati ku. Dan kami akhiri hari yang indah itu dengan memejamkan mata di atas ranjang yang sangat lembut.
Hari itu merupakan hari yang terindah di dalam hidupku. Sampai…suatu ketika hari itu pun datang entah bagaimana caranya. Di tengah sang surya yang sedang memancarkan cahayanya seperti biasa, tiba-tiba datanglah awan yang begitu gelap yang menutupi sang surya. Penduduk, tumbuhan, serta hewan-hewan pun tiba-tiba memasang wajah penuh ketakutan dan kesedihan. Aku yang saat itu sedang terduduk santai mendengarkan suara ketukan dari arah pintu. Aku berjalan menuju pintu dan membukanya, terlihat di depan ku ada dua orang berseragam yang datang ke rumah ku. Dengan penuh kebingungan aku pun bertanya
“Ada hal yang bisa kubantu?” Tanya ku, lalu salah seorang mereka pun berkata
“Tanah ini telah memanggilmu untuk melindunginya.” Lalu aku pun bertanya lagi
“Apa maksudmu?” Mereka pun membuka mulutnya lagi
“Tidakkah kau tahu tentang beritanya?! Mereka sudah memukuli kami secara bertubi-tubi! Kita pun sudah kehilangan banyak sekali garis dan orang-orang pemberani. Kami datang kesini ditugaskan untuk membawa beberapa orang dari desa ini menuju garis terakhir. Ini! Adalah usaha terakhir kita untuk mempertahankan tanah yang ku dan kau pijak.”
Mendengarkan penjelasan itu aku pun berkata dengan lantang
“TIDAK! Kalian tak akan bisa membawa ku pergi kesana!”
Mereka pun membalasnya dengan berkata
“Pilihannya adalah kau ikut kami atau kalian sepasang jiwa akan kami buat terlelap selamanya!”
Bulu ketiak ku seketika bergetar begitu kencang ketika mendengarkan itu. Aku pun langsung khawatir dengan belahan jiwaku, aku sebagai belahan jiwanya tak ingin ia kenapa-napa.
“Jadi bagaimana, tuan?” Tanya salah seorang dari mereka
“Baiklah…jika begitu.” Dengan terpaksa aku mengiyakannya
“Kalau begitu, kami akan datang lagi untuk mu pada esok hari.”
Setelah mengatakan itu mereka pun pergi begitu saja, meninggalkan kami dengan pikiran penuh kecemasan, ketakutan, dan kesedihan. Kami dan para penduduk menghabiskan hari yang suram itu dengan kebahagiaan yang begitu menyedihkan. Wajah senyuman yang diiringi dengan air mata terukir di setiap wajah kami semua.
Pada keesokan harinya, cahaya sang surya tak dapat terpancarkan begitu cerah dikarenakan awan gelap masih menutupinya. Ku melihat dapurku mengeluarkan asap hitam yang begitu pekat seperti saat bakar sampah di dini hari. Ku melihat belahan jiwaku dengan muka penuh kesedihan sedang mempersiapkan beberapa roti untuk ku bawa. Aku juga sedang mempersiapkan beberapa helai kain untuk ku kenakan nanti. Roti sudah matang, kain sudah dipersiapkan, ketukan pintu pun terdengar. Aku pun memeluknya dengan begitu erat dan mencium kening serta kedua pipinya, seakan kami takkan pernah bisa bersatu lagi sebagai sepasang jiwa. Aku dibawa ke sebuah tanah yang begitu luas dan tandus. Mulai dari titik ini kedepan aroma harum dari bubuk mesiu, orang-orang yang tertidur dalam nisan, serta musik orchestra yang indah dari artileri akan mulai mengiringi hari-hari ku di dalam parit. Kepasrahan begitu terlihat disini, medan perang yang begitu dahsyat berhasil membuat semua orang tenggelam kedalam ngarai ketakutan yang sangat dalam. Tak ada yang bisa ku lakukan, selain mengikuti takdir yang telah dibuat oleh sang yang maha kuasa.
Lima minggu pun telah berlalu, roti yang kubawa dari rumah pun kini telah tak tersisa, dan di hari ini juga lah mungkin aku akan bertemu dengan sang maut. Terdengarlah suara teriakan seorang yang berkata
“Semuanya bersedia di posisi masing-masing! Kita akan membuat gelombang besar untuk menghantam karang itu! INGAT! Jangan ada yang mundur satu langkah pun!”
Aku pun bersiap di posisi, bersiap-siap untuk membuat gelombang yang dahsyat. Aku tak sendirian, rekan-rekan ku pun akan melakukan sesuai apa yang telah diperintahkan. Artileri pun diperintahkan untuk bernyanyi ke hadapan batu karang yang akan dituju. Artileri pun bernyanyi dengan begitu keras, sampai-sampai hampir membuat telinga ku pecah. Namun, nyanyian artileri hanya membuat karang itu hancur sedikit saja. Dan…inilah saatnya, gelombang pasang akan datang menuju batu karang. Kemudian, peluit pun ditiupkan, dan semua pun berteriak serta berlarian ke depan membuat ombak pasang yang sangat besar. Ombak pasang yang kami buat terus-menerus menerjang peluru-peluru, serta ledakan yang melesat ke arah kami. Namun…pada akhirnya semuanya hanya berakhir dengan khayalan belaka. Ombak pasang yang kami buat masih tak cukup untuk menghancurkan batu karang itu dan hanya mimpi buruk lah yang kami dapatkan. Burung-burung merpati yang melihat pun turut ikut berbela sungkawa atas kejadian tersebut.
Beberapa burung merpati pun diperintahkan untuk terbang menuju ke beberapa desa untuk memberitakan kejadian tersebut, terutama kepada para keluarga yang menyertakan salah seorang dari anggotanya untuk ikut andil. Desa yang kutinggali juga tak luput dari list destinasi tujuan para merpati. Dua ekor burung merpati datang ke rumahku dan mengetuk pintu. Belahan jiwaku pun membuka pintu dan ia melihat dua ekor burung merpati di hadapannya. Ia pun bertanya
“Ada keperluan apa kalian datang kesini?” Tanya ia dengan keheranan. Lalu, salah seekor burung merpati pun memberikan ia sebuah kain dan medali. Belahan jiwaku dengan gelisah bertanya kembali.
“Apa maksudnya ini?” Lalu, seekor dari merpati pun menjawab.
“Kami mengucapkan bela sungkawa dan terimakasih yang sangat banyak atas turut andilnya belahan jiwamu dengan kami. Keikutsertaannya akan selalu dikenang oleh kami dan sejarah.”
Mendengarkan berita itu belahan jiwaku secara perlahan mengeluarkan air mata sebelum pada akhirnya menangis dengan tersedu-sedu. Ia tak menyangka bahwa pelukan dan ciuman yang kuberikan kepadanya pada waktu itu akan menjadi yang terakhir kalinya.
“Sekali lagi, kami mengucapkan terimakasih yang sangat banyak atas Keikutsertaannya, nyonya. Kami izin pamit, permisi.” burung merpati itu mengucapkan rasa terima kasihnya lagi dan kembali terbang meninggalkan belahan jiwaku dengan perasaan sedih.
Bertahun-tahun pun telah berlalu, sang surya kini dapat memancarkan cahayanya kembali. Bedanya kalin ini dapur tak mengeluarkan asapnya lagi seperti waktu dulu dan tak ada lagi roti yang dihidangkan. Yang ada hanyalah belahan jiwaku yang mulai termakan usia dan tengah duduk santai sendirian tanpa ku. Kini yang bisa dia lakukan hanyalah mengingat memori-memori indah saat bersamaku dan dia berdoa kepada yang mahakuasa agar dipertemukan lagi bersama ku di sisi lain. Tujuannya adalah agar dia bisa kembali memeluk ku dan membuatkan roti seperti di hari yang indah pada kala itu.