“Aku baru saja mempelajari art style baru,” ucap Asha kepada Tizia.
Asha Silvania adalah seorang gadis yang energik, ramah, dan manis. Ia memiliki hobi menggambar dan sangat menyukai kegiatan tersebut. Baginya, dunia menggambar adalah bagian dari jiwanya, yang membuatnya tampak begitu hidup saat melakukannya.
Tizia Amarrisa, sahabat sekaligus teman sekelas Asha, juga memiliki hobi yang sama. Mereka sering pergi ke taman sekolah setelah pulang untuk menggambar bersama.
“Benarkah? Art style apa yang baru-baru ini kamu pelajari?” tanya Tizia.
“Semirealism,” jawab Asha. “Aku mempelajarinya sekitar sebulan yang lalu, dan rasanya cukup melelahkan.”
Asha dan Tizia berjalan beriringan di lorong sekolah menuju kantin karena saat itu adalah waktu makan siang. Sambil mencari tempat duduk, Asha berkata, “Tia, apakah kamu memiliki waktu luang setelah pulang sekolah nanti?”
“Sepertinya tidak, aku memiliki kelas seni lukis hari ini,” jawab Tizia.
“Sejak kapan kamu mengikuti kelas seni lukis?” tanya Asha, sedikit terkejut karena setahu Asha, Tizia tidak pernah mengikuti kelas tersebut.
“Sudah lama. Namun biasanya hari Sabtu, aku ganti jadwal . Jadi, hari ini aku tidak bisa menggambar bersamamu,” jelas Tizia.
Asha tampak sedikit murung. Menyadari hal itu, Tizia segera merangkul sahabatnya dan berkata, “Jangan sedih, Sha. Besok kita masih bisa menggambar bersama.”
Namun, tampaknya bukan karena hal itu Asha terlihat murung. Lalu, apa sebenarnya yang membuatnya bersedih?
Setelah pulang sekolah, kini hanya Asha yang pergi ke taman untuk menggambar. Kali ini, ia menggambarkan perasaannya saat ini: sedih, cemburu, dan senang. Cukup rumit untuk dijelaskan, tetapi untungnya Asha pandai menceritakan perasaannya melalui sebuah gambar.
“Aku cukup iri dengan Tizia. Aku juga ingin mendaftar ke kelas seni lukis,” ucapnya murung. “Tetapi orang tuaku pasti tidak akan menyetujuinya. Mereka tidak suka jika aku menjadi seorang seniman. Mereka ingin aku menjadi dokter,” lanjut Asha.
Sungguh berat rasanya jika hobi atau minat tidak didukung oleh orang tua. Terlebih lagi, Asha selalu dituntut ini dan itu oleh orang tuanya. Berbeda dengan Tizia, yang didukung penuh oleh orang tuanya. Itulah mengapa Asha terkadang merasa cemburu dengan sahabatnya itu.
Setelah selesai menggambar, Asha mengambil foto hasil karyanya dan mempostingnya di media sosial. Ketika ia tidak sengaja melihat akun media sosial milik Tizia, ia sangat kagum dengan hasil gambar sahabatnya yang terasa jauh lebih bagus—dua tingkat di atasnya. Asha mulai merasa pesimis, tetapi perasaan itu segera ditepis olehnya.
“Tidak boleh seperti itu, Asha! Itu sahabatmu! Jadi, dukung dia dan cintai dia,” ucapnya kepada dirinya sendiri.
Walaupun demikian, rasa cemburu tidak bisa begitu saja hilang. Namun, Asha justru semakin termotivasi dan bersemangat untuk terus belajar mandiri di rumah.
---
Keesokan harinya, Pak Hasen, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan, mengumumkan akan memilih peserta lomba nasional yang akan mewakili sekolah. Terdapat sepuluh siswa yang mencalonkan diri. Sebelum ditentukan, mereka harus mengikuti seleksi terlebih dahulu.
Di kelas Asha, ada tiga orang yang mencalonkan diri: Asha sendiri, Tizia sahabatnya, dan Kaivan, seorang anak laki-laki pendiam di kelas. Bahkan, Asha dan Tizia sempat meragukan Kaivan karena ia tidak pernah memperlihatkan hasil gambarnya kepada teman-teman.
“Asha, ayo kita daftar ke Pak Hasen,” ajak Tizia.
“Tunggu sebentar, Tizia. Aku ingin meletakkan buku sketsaku dulu,” jawab Asha.
Mereka berjalan bersama menuju ruang wakil kepala sekolah, yaitu Pak Hasen. Keduanya tampak sedikit gugup karena akan memasuki ruangan yang penuh keheningan.
“Tizia, kamu saja yang mengetuk pintunya,” ujar Asha sambil mendorong Tizia pelan.
“Kenapa harus aku? Kamu saja. Bukankah kamu sudah sering kesini?” ucap Tizia, menolak permintaan Asha.
Asha menatap pintu di depannya. Ia bersiap-siap ingin mengetuk, tetapi tiba-tiba menarik kembali tangannya. “Ih, aku sering lewat sini karena ini jalan menuju toilet, ya. Bukan karena aku sering ke ruangan ini,” ucapnya. “Lagipula, kamu juga, kan? Mau buang air kecil saja lebih memilih pergi ke toilet adik kelas.”
“Baiklah, aku yang mengetuk, tapi nanti kamu yang menjelaskan, ya,” ujar Tizia dengan senyum manis yang tampak dipaksakan.
Asha mengangguk setuju. Kemudian, Tizia mengetuk pintu tiga kali. Tak lama, seseorang keluar dari ruangan itu. Pak Hasen muncul dan menatap mereka dengan senyumnya yang ramah.
“Ada keperluan apa, Nak?” tanya Pak Hasen dengan lembut.
Tizia bersembunyi di belakang punggung Asha. Entah apa yang membuatnya merasa gugup di hadapan Pak Hasen.
“Selamat pagi, Pak. Saya Asha, dan ini teman saya, Tizia. Kami dari kelas XXX ingin mendaftar untuk mengikuti seleksi lomba yang akan mewakili sekolah,” ujar Asha dengan suara yang jelas.
“Sebentar, ya. Biar Bapak catat dulu,” ucap Pak Hasen. “Siapa tadi? Asha dan Tizia, ya?” lanjutnya sambil menuliskan nama mereka.
“Kalau sudah, kami pamit, Pak. Terima kasih,” ucap Asha dengan sopan. Mereka berpamitan kepada Pak Hasen sebelum kembali ke kelas.
Ternyata, di balik sikapnya, Tizia diam-diam mengagumi Asha yang pintar dan hebat dalam public speaking. Namun, sayangnya, Asha sendiri tidak menyadari kelebihan yang dimilikinya itu.
Asha merangkul Tizia saat mereka berjalan kembali ke kelas melewati kantin. “Kenapa kamu terlihat gugup sekali tadi?” tanyanya sambil tersenyum.
“Tidak apa-apa, itu hanya kebiasaan yang wajar,” ucap Tizia.
“Apa maksudmu?” tanya Asha.
---
Dua hari kemudian, mereka telah mengikuti seleksi dan kini hanya tersisa tiga peserta. Secara kebetulan, ketiga peserta tersebut berasal dari kelas Asha, yaitu Kaivan, Asha, dan Tizia.
Di ruang kelas yang sepi, Asha, Tizia, dan Kaivan tampak sibuk menyelesaikan tugas matematika yang diberikan kemarin karena mereka mengikuti seleksi.
“Asha, aku tidak percaya kita bisa lolos seleksi,” ucap Tizia sambil fokus mengerjakan bukunya.
“Aku juga,” sambung Asha. “Aku benar-benar ingin mewakili sekolah.”
“Yang akan dipilih hanya satu orang,” jawab Tizia santai. “Tentu saja aku yang akan terpilih.”
Asha awalnya menanggapi ucapan itu sebagai candaan. “Siapa tahu aku yang terpilih,” ucapnya disertai tawa kecil.
Namun, setelah mendengar itu, Tizia menghentikan aktivitasnya dan menatap Asha.
“Apa?” tanya Asha bingung.
“Itu tidak mungkin, Sha,” jawab Tizia sambil tersenyum. Namun, bagi Asha, senyum itu terlihat seperti sebuah ejekan.
“Memangnya kenapa?” tanya Asha, mencoba memastikan.
“Lomba ini lebih menekankan pada gambar dengan gaya realis. Maaf, tapi kamu sendiri bilang baru mempelajari semirealism akhir-akhir ini,” ucap Tizia. “Kamu tahu sendiri, kan, bahwa semirealism sangat sulit? Aku saja mempelajarinya selama enam bulan, dan itu pun terbilang cepat karena aku mengikuti kelas seni. Meski begitu, aku masih merasa gambarku kurang bagus. Memangnya kamu tidak merasa kalau hasil gambarmu sedikit… aneh?” lanjut Tizia.
Ucapan Tizia sukses membuat Asha merasa sakit hati. Ia tidak menyangka sahabatnya akan berbicara seperti itu. "Mengapa dia tidak bisa berbicara dengan lebih baik? Mengapa setega ini?" pikir Asha dalam hati.
Asha berdiri. “Kamu jahat sekali, Tizia. Memangnya aku ada salah denganmu?” ujar Asha dengan suara bergetar. “Aku tahu gambarku jelek, tidak seperti gambarmu yang ‘sempurna’ itu. Tapi setidaknya, aku punya semangat dan aku tidak mudah menyerah untuk terus belajar. Ucapanmu barusan tidak lucu. Itu menyakitkan bagiku.”
Tanpa menunggu jawaban, Asha meninggalkan kelas. Tizia hanya bisa terdiam dan menatap kepergian sahabatnya. Sementara itu, Kaivan yang sejak tadi berada di kelas ikut menyaksikan pertengkaran kecil mereka.
Asha berjalan sambil menahan air mata yang mulai membasahi pipinya. Karena tidak ada tempat sepi di sekitar sekolah, ia memutuskan untuk pergi ke gudang olahraga yang terletak tidak jauh dari taman. Di sana, ia melampiaskan semua perasaannya.
Asha duduk di atas matras dan menyeka air matanya secara bergantian.
“Padahal aku sudah cukup iri dengannya. Dia tahu betul bagaimana orang tuaku tidak seperti orang tuanya,” ucap Asha pelan.
“Iya, aku tahu dia mengikuti kelas seni. Itu sebabnya gambarnya jauh lebih baik dariku. Hah… aku selalu merasa pesimis karenanya. Kadang aku bingung dan ragu, sebenarnya aku ingin menjadi apa nantinya.”
“Ini hanya membuatku semakin meragukan hobiku…”
Asha meluapkan semua perasaannya di gudang itu, membiarkan dirinya menangis sepuasnya hingga hatinya merasa sedikit lebih lega.
---
Setelah kejadian di ruang kelas, Asha dan Tizia mulai menjaga jarak satu sama lain. Mereka tidak lagi berbicara, bahkan tidak menggambar bersama seperti biasanya. Meskipun berada di satu kelas, keduanya seperti orang asing. Asha lebih sering menyendiri, fokus menggambar di buku sketsanya saat istirahat.
Tizia, di sisi lain, tampak gelisah. Berkali-kali ia mencoba menghampiri Asha, tetapi selalu mengurungkan niatnya. Kaivan, yang selama ini diam saja, memperhatikan mereka berdua dari jauh.
**
Hari seleksi tiba. Ketiga peserta, Asha, Tizia, dan Kaivan, diminta mempresentasikan hasil karya mereka di depan dewan juri. Setelah itu, ketiganya menunggu hasil pengumuman dengan perasaan tegang.
Di ruang pengumuman, Pak Hasen berdiri di depan papan tulis dengan selembar kertas di tangannya.
“Baiklah, setelah melihat hasil karya kalian, kami telah memutuskan siapa yang akan mewakili sekolah dalam lomba nasional,” ujar Pak Hasen.
Tizia dan Asha saling melirik sekilas, namun dengan tatapan dingin. Kaivan hanya diam di tempatnya.
“Dan peserta yang akan mewakili sekolah adalah… Kaivan!”
Ruangan mendadak sunyi. Asha dan Tizia membelalakkan mata mereka.
“Kaivan?” bisik Asha pelan, nyaris tak percaya.
Kaivan maju ke depan dengan ekspresi tetap tenang, seperti tidak ada yang terjadi. Pak Hasen memberikan selamat dan menunjukkan hasil gambar Kaivan yang ditampilkan di layar proyektor.
Gambar Kaivan sangat luar biasa—tekniknya sempurna, detailnya tajam, dan terasa hidup. Bahkan jauh lebih baik daripada gambar Asha dan Tizia.
“Luar biasa, ya,” gumam Tizia dengan suara kecil, suaranya terdengar getir.
Asha hanya menatap layar tanpa berkata apa-apa. Dalam hati, ia mengakui bahwa karya Kaivan memang layak menang.
Setelah seleksi selesai, Tizia akhirnya memberanikan diri untuk menemui Asha. Mereka bertemu di taman, tempat favorit mereka menggambar dulu. Asha duduk di bangku, memandangi buku sketsanya yang kosong.
“Asha…” panggil Tizia pelan.
Asha menoleh sebentar, lalu kembali menatap sketsanya.
“Boleh aku duduk?” tanya Tizia ragu.
“Kalau mau,” jawab Asha singkat.
Tizia duduk di samping Asha, suasana hening menyelimuti mereka beberapa saat. Tizia menggenggam pensilnya dengan gelisah.
“Aku mau minta maaf, Sha,” ucap Tizia akhirnya, suaranya bergetar.
Asha menoleh, tatapannya datar. “Minta maaf untuk apa?”
“Untuk semua yang aku katakan waktu itu. Aku… aku benar-benar menyesal.”
Asha diam. Ia membiarkan Tizia melanjutkan.
“Waktu itu aku bilang gambarmu aneh, dan aku meremehkan kemampuanmu. Padahal, sebenarnya aku cuma… iri sama kamu.”
“Iri? Kenapa?” tanya Asha, keningnya berkerut.
Tizia menghela napas. “Karena kamu bisa mempelajari banyak gaya menggambar dengan cepat… secara mandiri. Sedangkan aku? Aku butuh kelas seni, guru, dan latihan berkali-kali. Tapi kamu… dengan usaha sendiri, kamu bisa menghasilkan sesuatu yang luar biasa.”
Asha terdiam. Ia tidak pernah berpikir bahwa Tizia, yang selama ini ia kagumi, ternyata merasa seperti itu.
“Aku hanya takut, Sha. Takut kamu akan melampaui aku, padahal kita berdua sama-sama suka menggambar. Ketakutanku malah membuatku jadi jahat sama kamu,” lanjut Tizia dengan suara pelan. “Aku sungguh minta maaf…”
Asha menatap Tizia cukup lama, kemudian tersenyum kecil. “Tizia, kamu tahu? Waktu itu, ucapanmu memang menyakitkan. Tapi aku sadar, mungkin aku juga terlalu cepat marah.”
Tizia mengangkat wajahnya, matanya mulai berkaca-kaca.
“Kalau kamu iri sama aku, sebenarnya aku juga iri sama kamu,” lanjut Asha.
“Kamu iri sama aku?” Tizia terlihat bingung.
“Iya. Kamu punya dukungan penuh dari orang tuamu untuk menggambar dan ikut kelas seni. Sementara aku? Aku harus berjuang sendirian. Tapi justru itu yang memotivasiku. Meskipun kita berbeda cara, kita punya tujuan yang sama, kan?”
Tizia tersenyum lega mendengar kata-kata itu. “Iya, kamu benar, Sha.”
“Lain kali, kalau ada yang mengganggumu, ngomong saja langsung. Jangan malah meremehkan aku,” ujar Asha sambil tersenyum jahil.
Tizia tertawa kecil dan menyeka sudut matanya. “Iya, janji!”
Asha menutup bukunya dan berdiri. “Ayo, mulai sekarang kita belajar bersama lagi. Kita harus lebih hebat dari Kaivan!”
“Setuju!” jawab Tizia antusias.
Keduanya tertawa kecil sambil berjalan meninggalkan taman. Kali ini, persahabatan mereka terasa lebih kuat dari sebelumnya, dengan saling memahami dan belajar dari kesalahan.