Aku tak tahu sekarang pukul berapa. Jam mendadak mati sejak magrib tadi, tepatnya sejak aku tiba di desa ini. Desa tempat tinggal Syialara—gadis yang berjanji untuk menyambutku di rumahnya setelah setahun kami berhubungan via udara.
Ponselku juga mendadak mati. Power Bank tidak berfungsi. Satu-satunya yang bisa kuandalkan adalah pemantik api tua bermerek Zippo milik Kakek.
Sudah belasan batang rokok filter yang kuhisap sejak tadi. Untungnya, aku membawa stok tiga setengah slop.
Tas gunung size besar tergantung di punggungku. Beratnya lumayan karena isinya penuh dan padat. Informasi dari Syialara yang mengatakan bahwa desanya jarang tersentuh oleh dunia luar menyebabkan aku merasa perlu untuk mempersiapkan segala sesuatu yang kuanggap penting. Anggap saja aku sedang bertualang di hutan atau gunung. Meski bukan bagian dari tim pencinta alam, aku cukup tahu bahwa pergi ke tempat yang asing membutuhkan banyak persiapan.
Di mulut desa tadi, semua normal. Aku yakin tak salah lokasi. Dari Maps yang kuikuti, semua pas dan tidak meleset. Ponselku mati setelah dari setting pemberitahuan waktu salat, azan berkumandang. Menunjukkan masuk waktu salat Magrib.
Tubuhku lelah sekali. Satu jam berjalan kaki sambil mendorong motor trail buatan Jepang yang juga mati sejak di mulut desa membuat perjalanan ini membosankan. Heran juga. Motor ini baru kubeli dan tadi baik-baik saja. Minyak juga masih banyak. Entah apa yang membuatnya mendadak tak mau diajak bekerja sama.
Aku belum menemukan satu orang dan satu rumah pun di sini. Jalan yang tak bercabang sejak tadi membuatku tak punya pilihan kecuali mengikutinya. Untuk mundur dan kembali ke kota, aku merasa rugi. Rencana ke sini sudah lama, persiapan sudah sangat matang, kerinduan pada Syialara juga sudah seperti mau meledak. Aku merasa bodoh jika pulang dan membatalkan pertemuan dengan gadis yang kucinta meski hanya berkenalan di dunia maya. Ini pertemuan pertama. Tentu saja aku tak ingin gagal.
Kaki sudah sangat pegal. Aku memilih berhenti di sebuah gubuk gelap tanpa lampu yang kuyakini tak berpenghuni. Tidak masuk ke gubuk meski pintunya terbuka, tapi motor kusandarkan di tiang tepat di depan mulut pintu.
Sekali lagi aku memeriksa ponsel dan coba mengaktifkannya. Tak berguna. Tetap saja mati. Aku berpikir positif saja. Mungkin ponselku memang rusak meski tetap saja ada pikiran bahwa itu mustahil karena ponselku juga baru.
Dengan pelan aku mengisap rokok dan mengembuskan asapnya. Aku mengenang ucapan Syialara di telepon pagi tadi sebelum aku berangkat.
“Kamu yakin kan, Weil, mau datang?”
“Tentu, Syil. Aku tak akan ingkar janji. Aku sudah siap berangkat sekarang.”
“Ya baiklah. Aku akan menunggumu.”
“Di mana?”
“Di hati.”
“Haha. Peta lokasinya sudah pas kan, Syil? Aku tak mau tersesat dan justru menyunting perempuan yang salah.”
“Apa kamu mau menyuntingku? Hehe, jangan bercanda. Kita belum pernah bertemu dan alasan kedatanganmu karena tertarik dengan curug di desaku, kan? Kamu tenang saja. Peta itu sudah benar.”
“Aku serius, Syil. Mungkin aku jatuh cinta padamu. Kedatanganku tentu tak hanya karena curug itu, tapi juga untuk mengenal kamu dan keluargamu lebih jauh.”
“Hanya mungkin, kan?”
“Kemungkinan yang hampir pasti karena sudah dicengkeram sebuah keyakinan. Aku yakin dengan perasaan. Kata mungkin itu karena kita belum pernah bertemu.”
“Kita lihat saja nanti. Apa kamu masih yakin dengan kemungkinan itu. Hehe. Sudah ya, aku tunggu kamu di sini. Rumahku paling ujung desa dekat hutan. Ikuti saja jalan yang paling besar dan jangan berbelok ke jalan yang lebih kecil. Kamu tak akan tersesat kalau mengikuti jalan terbesar.”
Aku menganggap enteng ucapannya. Tak mungkin tersesat kalau Maps yang dia berikan memang benar. Lagi pula, masih ada ponsel untuk berkomunikasi.
“Assiap. Kamu tak ingin terus bicara denganku untuk menemani perjalananku?”
“Hehehe, kamu tak bosankah berbicara denganku?”
“Hanya lelaki bodoh yang bosan berbicara pada gadis yang serupa putri raja begitu.”
“Kamu pandai menyenangkan hati perempuan. Sayangnya aku harus mempersiapkan pesta untuk nanti malam.”
“Desamu sedang ada pesta?”
“Iya. Pesta di depan curug Gialandara.”
Syialara adalah satu-satunya perempuan yang meski hanya kukenal dari Facebook, tapi mampu mengambil perhatianku. Dia cerdas dan asyik diajak bicara. Tampilan foto profilnya menunjukkan dia pencinta seni. Kepalanya menggunakan mahkota bertabur batu warna-warni. Hijau mendominasi. Pakaiannya juga ala Putri Keraton Jawa. Beberapa kali melakukan video call WhatsApp dengannya, dia selalu menggunakan pakaian yang bermodel sama.
“Siapa di depan itu? Singkirkan hewan peliharaan itu dari tiang rumahku!”
Suara bentakan yang kuperkirakan berasal dari seseorang yang berusia tua mengejutkan aku. Rokok yang terselip di bibir terlempar ke depan, tak menyangka di gubuk yang sepi ini ada penghuninya. Aku melihat ke asal suara.
“Ma-maaf, aku ....”
Aku tak bisa melanjutkan kata-kata.
Orang yang baru saja membentak berwajah aneh dan bagiku menakutkan. Meski remang, aku bisa jelas melihatnya karena jarak yang dekat. Tinggi, besar, dan ... wajahnya rata. Tidak ada mata, hidung, dan mulut. Aku berhadapan dengan hantu.
Secepat yang aku bisa, kularikan kaki mengikuti jalan yang semakin jauh masuk ke desa.
“Hey, tunggu! Aku Raga ....”
Tak kupedulikan teriakan itu. Otakku hanya berpikir bagaimana cara menjauhi makhluk itu.
Mungkin sepuluh menit berlari, di depanku ada tiga orang perempuan berjalan berdampingan. Orang di tengah memegang penerangan yang aku tak tahu berupa apa karena berada tepat di depan.
Aku segera berteriak.
“Tolooong, tolong aku! Ada hantu di belakang!”
Mereka bertiga menoleh.
“Hantu?”
Saat melihat mereka, aku justru semakin ketakutan. Wajah mereka pun rata!
Aku berlari lagi. Kali ini lebih cepat dari sebelumnya. Tak kupedulikan beratnya ransel di punggung. Jika aku tak bertemu Syialara malam ini, matilah aku ketakutan. Memalukan!
Aku sedikit lega ketika di depan ada seseorang yang berperawakan sepertiku. Aku yakin dia pemuda desa. Dari belakang bisa kulihat rambutnya gondrong sebahu. Sama sepertiku.
“Bang, tolong aku.” Aku berhenti di belakangnya sembari memegang lutut. Capek sekali.
“Kenapa?” Orang itu bertanya pelan.
“Di belakang sana ada hantu. Boleh aku mengikutimu?”
“Oh, boleh saja. Kau mau ke mana?” Orang itu bertanya tanpa menoleh. Tapi dia terus merokok sehingga membuat aku yakin dia bukan hantu berwajah rata. Dia manusia biasa.
“Aku mau bertemu Syialara. Benar dia tinggal di sini?”
“Oh, Lara. Iya. Dia di sini. Aku juga mau ke rumahnya. Ayo ikut!”
Orang yang kuminta pertolongan itu berjalan lebih dulu. Bersusah payah aku mengejarnya hingga bisa berada di sebelah kanannya.
“Aku Weili Adiandra. Boleh tau namamu?” tanyaku tanpa melihat ke arahnya karena jalanan di depan berbatu tajam dan perlu konsentrasi.
“Gantar Putrakala. Kau katakan tadi melihat hantu. Hantu apa maksudmu?”
“Hantu berwajah rata.”
Lelaki itu menoleh tepat di saat aku memandang wajahnya. Getaran di tubuhku semakin menjadi-jadi. Lututku lemas seperti baru saja sembuh dari demam malaria.
“Rata? Apa seperti ini?”
***
Tamat di KBMapp
Judul : Penghuni Desa Wajah Rata