---
Di sudut kota yang diselimuti gemerlap lampu malam, deru mesin dan aroma bensin membumbung tinggi di udara. Dunia bawah tanah itu adalah panggung utama bagi Revan, pembalap liar yang namanya begitu terkenal hingga menjadi legenda. Ia tak pernah kalah. Jalanan adalah dunianya, medan perang yang selalu ia menangkan dengan satu aturan sederhana: kecepatan adalah segalanya. Namun, di balik kerasnya sikap Revan, ada sisi lain yang hanya diketahui oleh orang-orang terdekatnya.
Revan memiliki satu cinta dalam hidupnya—Alana, seorang wanita sederhana yang mencintainya tanpa syarat. Alana adalah cahaya kecil yang selalu menarik Revan keluar dari gelapnya dunia balapan liar. Namun, cinta mereka bukanlah kisah yang mudah. Hubungan itu diuji oleh bahaya yang selalu mengintai di setiap balapan.
---
1. Deru Mesin dan Janji
Malam itu, Revan bersandar di kap mobilnya, sebuah Nissan Skyline hitam yang penuh coretan grafiti, sambil menyalakan rokok. Alana berdiri di sampingnya, menatap wajah pria itu dengan tatapan penuh kecemasan.
“Revan, kapan kamu berhenti?” Alana bertanya, suaranya gemetar. “Kamu selalu bilang ini balapan terakhir, tapi nyatanya kamu selalu kembali.”
Revan memandangnya dan tersenyum kecil. “Aku janji, ini benar-benar balapan terakhirku. Setelah ini, aku akan meninggalkan semua ini dan kita akan hidup tenang.”
Alana menggeleng, matanya berkaca-kaca. “Kamu selalu bilang begitu, tapi aku tahu kamu suka hidup di ujung maut.”
“Percayalah kali ini, Lana. Setelah ini, aku selesai. Aku akan bawa kamu jauh dari sini. Aku janji.”
Alana akhirnya mengangguk, meski hatinya tak sepenuhnya yakin. Ia tahu Revan selalu menepati janji, tapi malam ini ada sesuatu yang terasa berbeda. Seperti firasat buruk yang tak bisa ia abaikan.
---
2. Panggung Terakhir
Di tempat balapan, suasana begitu riuh. Para penonton memenuhi jalanan kosong yang menjadi arena balapan malam itu. Nama Revan diteriakkan di mana-mana. Lawan malam ini adalah Jaka, pembalap yang dikenal licik dan tak segan bermain curang demi kemenangan.
“Aku dengar ini balapan terakhirmu, Van,” Jaka menyeringai sambil menepuk kap mobilnya sendiri. “Bagus, aku akan pastikan kau pergi dengan malu.”
Revan hanya tersenyum tipis. Ia tak pernah peduli pada provokasi lawannya. Baginya, jalanan adalah saksi siapa yang benar-benar raja. Namun, ada sesuatu yang tak ia sadari—di antara kerumunan itu, ada seseorang yang menyusun rencana gelap.
Di bawah arahan Jaka, seorang pria bernama Fadil, yang juga mantan teman Revan, bersiap melakukan sesuatu yang jauh lebih berbahaya daripada balapan itu sendiri. Malam ini bukan hanya tentang kecepatan; ada dendam lama yang mengintai.
---
3. Kecepatan dan Kegelapan
Balapan dimulai. Kedua mobil melesat seperti peluru, menembus jalanan yang penuh tikungan tajam. Penonton bersorak keras, mengiringi suara deru mesin yang memekakkan telinga. Revan memimpin, seperti biasanya. Ia seperti menyatu dengan mobilnya, mengendalikan setiap tikungan dengan presisi sempurna.
Namun, di saat-saat terakhir, Jaka melakukan sesuatu yang sudah ia rencanakan. Ia mencoba menabrakkan mobilnya ke arah Revan, memaksanya keluar jalur. Tapi Revan, dengan keahliannya, berhasil menghindar. Dalam sekejap, ia melintasi garis finis lebih dulu.
Sorak sorai penonton membahana. Revan kembali memenangkan balapan. Namun, kemenangan itu terasa hampa. Ia menepikan mobilnya, keluar, dan menatap Jaka dengan pandangan tajam.
“Ini balapan terakhirku, Jaka. Aku selesai,” kata Revan dengan nada datar.
Jaka hanya tersenyum sinis. “Kau pikir bisa keluar begitu saja dari dunia ini?”
Revan tak menjawab. Ia berjalan menuju Alana yang berdiri tak jauh, menunggunya dengan tatapan penuh harap. Ia menggenggam tangan wanita itu erat-erat.
“Sudah selesai, Lana. Aku berjanji.”
---
4. Peluru Pengkhianatan
Namun, saat mereka berdua berjalan menjauh, sesuatu yang tak terduga terjadi. Fadil, yang sejak tadi mengintai dari kerumunan, muncul dengan pistol di tangannya. Suasana seketika mencekam. Semua orang terdiam, termasuk Revan.
“Fadil?” Revan memandangnya dengan bingung. “Apa yang kau lakukan?”
“Aku muak denganmu, Revan,” suara Fadil bergetar, penuh kebencian. “Kau selalu menang, selalu menjadi yang terbaik. Aku lelah hidup di bawah bayanganmu.”
Alana berdiri di depan Revan, mencoba melindunginya. “Tolong, jangan lakukan ini,” pintanya dengan suara penuh ketakutan.
Namun, Fadil tak peduli. Dengan tangan gemetar, ia menarik pelatuknya. Suara tembakan menggema di malam itu, diikuti oleh teriakan histeris dari kerumunan. Revan terhuyung dan jatuh ke tanah, darah mengalir dari dadanya.
---
5. Janji yang Tak Selesai
Alana berlutut di samping Revan, memeluk tubuhnya yang perlahan kehilangan kekuatan. Air matanya mengalir deras, membasahi wajah pria yang selalu ia cintai.
“Revan, bertahanlah. Aku mohon,” suaranya parau, penuh kepanikan.
Revan tersenyum lemah, matanya mulai redup. “Maaf, Lana... Aku tak bisa menepati janjiku. Tapi aku ingin kau tahu... aku mencintaimu... selalu.”
Kata-kata itu adalah napas terakhirnya. Revan pergi, meninggalkan dunia yang telah menjadi panggung hidupnya. Malam itu, legenda seorang pembalap liar berakhir dengan tragis.
---
6. Kehilangan yang Abadi
Kabar kematian Revan menyebar dengan cepat. Dunia balapan liar berduka, mengenang sosok yang pernah menjadi raja jalanan. Namun bagi Alana, kehilangan itu lebih dari sekadar duka. Itu adalah luka yang tak pernah sembuh.
Ia sering duduk di tepi jalan tempat Revan biasa balapan, membayangkan pria itu masih ada di sana, tersenyum padanya. Kenangan mereka adalah satu-satunya yang ia miliki.
Namun, di balik kesedihan itu, Alana tahu satu hal. Cinta Revan padanya adalah sesuatu yang nyata, sesuatu yang tak akan pernah hilang, meski pria itu telah tiada.
Dan di bawah gemerlap lampu jalanan, dengan suara deru mesin yang masih menggema di telinganya, Alana berjanji untuk menjaga kenangan Revan tetap hidup.
“Karena kau selalu menjadi milikku, Revan. Dalam setiap deru mesin dan gemerlap malam.”