Deru sorak penonton begitu memekakkan. Tepukan dan teriakan mereka menyerupai ombak yang menghantam bebatuan di tepi pantai. Namun, semua itu bukanlah yang paling mengganggu pikiranku. Di hadapanku berdiri lawanku, pedangnya berkilauan di bawah sinar matahari. Aku menarik napas dalam-dalam, mengangkat pedangku, dan bersiap untuk bertarung. Tiupan trompet menjadi tanda dimulainya pertarungan.
Lawanku bergerak secepat kilat. Sebelum aku sempat bereaksi, rasa perih menyengat tubuhku. Darah hangat mengalir dari luka yang dalam. Lututku goyah, dan aku jatuh, dunia sekitarku perlahan memudar. Di tengah kegelapan yang merayap, aku menangkap pandangan wajah khawatir saudara lelakiku di antara kerumunan penonton sebelum semuanya menjadi gelap.
Aku membuka mata, mendapati diriku berada di sebuah ruangan asing. Kesadaran menghantamku dengan keras. Ini adalah kehidupanku yang terakhir.
Namaku Ranni, dan aku adalah seorang setengah peri. Namun, aku juga bagian dari keluarga yang terkutuk. Kutukan itu mengikat kami dengan lima nyawa, dan dengan setiap generasi, rentang hidup kami semakin pendek. Meskipun darah peri mengalir di dalam diriku, umurku tak lebih panjang dari manusia biasa. Berbeda dari keluargaku, aku selalu mati sebelum usia delapan belas tahun di setiap kehidupanku. Kutukan keluarga ini dimulai dari perbuatan seorang penyihir.
Bertahun-tahun yang lalu, istri leluhur keluarga kami jatuh sakit parah. Semua pengobatan, bahkan dari kaum peri, gagal menyembuhkannya. Dalam keputusasaan, leluhur kami memohon bantuan seorang penyihir. Namun, dalam perjalanan itu, dia mendengar kondisi istrinya semakin memburuk. Terburu-buru menuju menara penyihir, dia menyebabkan sebuah kecelakaan yang menghancurkan ramuan yang telah dikerjakan penyihir selama berbulan-bulan. Sebagai hukuman, penyihir itu mengutuk keluarga kami untuk memiliki lima nyawa, dengan setiap generasi memiliki rentang hidup yang semakin pendek.
Nama leluhur itu telah lama terlupakan, tetapi kutukan tetap menjadi beban kami. Duduk di tempat tidurku, aku merasakan kesedihan mendalam. Ini adalah kesempatan terakhirku untuk hidup penuh. Aku bertekad mematahkan kutukan ini dan merasakan bagaimana menjadi dewasa. Tapi, aku tak bisa melakukannya sendiri. Aku membutuhkan bantuan saudara kembarku, Rykard.
Saat berjalan ke kamar Rykard, ingatan akan kematian di kehidupan sebelumnya melintas di benakku. Dalam kehidupan pertama, aku mati karena amukan hippogriff. Di kehidupan kedua, racun dalam makananku merenggut nyawaku. Kehidupan ketiga, aku terjatuh ke sarang naga. Dan di kehidupan keempat, aku dituduh mencuri pusaka keluarga yang menyebabkan aku terjebak dalam duel mematikan. Semua kematian itu tampak seperti nasib buruk, tetapi aku tak boleh mengabaikan kemungkinan adanya pola.
Ketika aku memasuki kamar Rykard, dia menyambutku dengan senyum cerah. "Kenapa wajahmu murung? Kita berada di petualangan terakhir kita, bukan?"
"Aku hanya ingin hidup normal, Rykard. Aku ingin tahu bagaimana rasanya meninggal karena usia tua, bukan kecelakaan lagi," jawabku lirih. Dia menggenggam tanganku erat.
"Aku akan membantumu melewati usia delapan belas, Ranni. Sisanya, kau harus mengusahakannya sendiri." Meski baru berusia lima tahun dalam kehidupan ini, kami membawa semua kenangan dari kehidupan sebelumnya. Rykard selalu bersamaku, melalui suka dan duka. Aku mencintainya lebih dari apapun di dunia ini.
Tahun-tahun berlalu, dan malam sebelum ulang tahun kami yang kedelapan belas tiba. Aku mondar-mandir di ruang tamu, gugup menghadapi kemungkinan kematian. Rykard masuk, mengenakan mantel panjang hitam, dengan rantai emas berkilau di rompinya.
"Tenanglah, Ranni," katanya. "Kau akan berhasil mematahkan kutukan ini."
"Bagaimana kau bisa begitu yakin? Bukankah wajar jika aku khawatir?" tanyaku, suaraku gemetar.
Dia menggenggam tanganku dan berkata, "Aku akan selalu menjagamu. Percayalah."
Namun, malam itu, aku tetap cemas. Hari ulang tahun kami berlalu tanpa insiden. Aku berhasil! Aku menangis haru, merasa lega karena telah mematahkan kutukan yang membelengguku selama lima kehidupan.
Namun, ketika Rykard kembali dengan buket bunga putih, kebahagiaanku hancur dalam sekejap. Pelukan kami berubah menjadi rasa sakit ketika belati miliknya menembus perutku. "Rykard... kau berjanji akan melindungiku," lirihku.
Senyumnya yang dulu menenangkan kini terasa dingin. "Adikku tercinta, semua kematianmu adalah bagian dari rencanaku. Aku ingin mendapatkan kembali rentang hidup penuh seorang setengah peri."
Kata-katanya menggema dalam pikiranku saat aku terkulai di lantai, memeluk bunga yang diberikannya. Lima kehidupanku berakhir di tangan seseorang yang paling kucintai.