Suara keyboard terdengar dari ponsel yang kamu mainkan. Kamu terlihat begitu senang ketika mengatai seseorang saat sedang bermain game online.
"Makanya, kalau gak bisa gak usah main game ini. Kan akhirnya lo kena hujat," cercamu. Kamu seharusnya sudah tidur saat ini, tapi kamu berdalih, "Ah nanti saja, 15 menit lagi."
Suara pintu dibuka membuatmu menoleh, kakak perempuanmu melotot saat melihatmu. Kamu menelan ludah kasar, dirimu tahu bahwa mungkin ini adalah akhir hidupmu.
"Tidur! Gak liat jam? Awas nanti masuk ke dalam ponsel sendiri."
Kakakmu langsung membanting pintu dan pergi begitu saja, kalian hanya tinggal berdua karena orang tua kalian sedang pergi ke luar kota.
"Apa tadi katanya? Masuk ponsel sendiri? Haha, mana mungkin."
Kamu tertawa ketika mengingat ucapan yang dilontarkan olehnya, atau lebih tepatnya kakakmu menyumpahimu.
Kamu lanjut memainkan ponsel yang sedari tadi tetap menampilkan live streaming dari seorang gamer yang kamu hujat.
Saat baru ingin mengetik, ponsel itu mengeluarkan cahaya dari layarnya. Kamu memicing karena silau, tapi kamu malah tertarik oleh cahaya itu. Kamu memasuki ponselmu, badanmu terjun bebas ke bawah. Entah apa yang ada di bawah sana, kamu hanya bisa berharap kamu baik-baik saja.
Kamu terjatuh dengan cara tertelungkup, matamu masih memejam setelah terjatuh. Hidungmu sampai merah karena terbentur lantai.
"Sial, kenapa ucapan Kak Hany benar-benar kejadian, sih?" Kamu membatin dengan segala emosi yang ingin kamu lupakan. Coba tebak, apakah kamu anak yang terkena karma? Jawabannya, Iya!
Matamu mulai mengantuk, linangan air mata terlihat saat kamu memandang ke sekelilingmu. Putih, hanya warna putih yang dapat kamu lihat.
"Kakak, Kak Hany."
Kamu menangis cukup lama, sampai-sampai kamu benar-benar tak dapat menahan kantukmu. Kamu tertidur, sambil berharap ini semua hanyalah mimpi belaka.
Usapan lembut kamu dapatkan disaat sedang tertidur, kamu mengerjap beberapa kali karena melihat sesuatu di hadapanmu ketika kamu terbangun.
"Sudah bangun? Tidurmu nyenyak?" Seorang laki-laki berambut putih tersenyum saat melihatmu. Kamu dengan kesadaran yang belum terkumpul hanya bisa termenung dengan posisi yang masih tertelungkup.
Laki-laki itu bangkit dari duduknya, lalu mengulurkan tangannya untuk mengajakmu bangkit. Dengan nalurimu, kamu hanya mengikuti tindakannya.
Kamu berjalan beriringan dengannya mengikuti langkah kaki jenjangnya.
"Kamu mau pulang, kan? Sama aku juga, sayangnya aku tak tahu bagaimana caraku untuk pulang." Ungkap laki-laki itu dengan suara bergetar. Dia tersenyum padamu, tangannya ia taruh di dalam saku hoodienya.
"Oh ya, perkenalkan namaku Adrian Mahendra. Bisa dipanggil Adrian. Nama kamu siapa?" Adrian tersenyum ceria menatapmu, mungkin karena dirinya baru menemukan seseorang setelah sekian lama terjebak di ruang tanpa akhir ini.
"Nama? Oh nama. Namaku Azzahra Salsabila. Bisa dipanggil Salsa." Jawabmu sambil ikut tersenyum. Adrian memberikan energi yang positif padamu. Kamu menjadi tidak terlalu sedih lagi.
"Aku mau manggil kamu Asa, gimana dong?" Adrian memandangmu sambil terus berjalan entah ke mana. Keningmu berkerut ketika mendengar ucapan dari Adrian. "Aneh, tapi kenapa kedengarannya lucu."
"Kenapa manggil Asa?" heranmu. Adrian berhenti berjalan, membuatmu ikut berjalan sambil menatap matanya yang menyorotkan kekhawatiran.
"Asa, Adrian Salsa," jawab Adrian. Kalian berhenti di depan sebuah pintu. Entah bagaimana dan apa pun itu. Pintu ini bisa berada di antara ruang putih ini.
PINTU KELUAR
Tertulis dengan huruf kapital, entah ini jebakan atau bukan. Kamu hanya bisa mempercayai laki-laki di sampingmu.
"Jalan keluarnya dari sini, tidak ada syarat khusus. Hanya saja, di balik pintu ini akan banyak teriakan yang disusul suara benda jatuh. Kamu tak perlu menghiraukannya. Kamu hanya harus berjalan sampai menemukan cahaya, dan kamu akan kembali ke duniamu." Adrian memberikan tatapan hangatnya untukmu.
Kamu bingung, kalau dia tahu. Kenapa dia tidak pernah keluar? Kamu ingin bertanya, tapi Adrian segera maju untuk membukakan pintu untukmu.
"Silakan, selamat tinggal Asa." Ujarnya diiringi senyuman. Ah, apa itu bisa disebut senyuman?
Adrian memelukmu, lalu kemudian mwngusap rambutmu, "Tolong untuk tetap mengingatku."
Adrian memberikan sesuatu untukmu, cincin. Sebuah cincin berwarna emas yang berkilauan. Dia memakaikan cincin itu di jarimu. Pas, dan sangat cocok untukmu.
Adrian menyuruhmu untuk segera pergi, walaupun kamu tak tahu alasan kenapa ia tak ingin ikut denganmu.
Kamu sedikit ragu, tapi kamu tetap melangkahkan kakimu menuju pintu itu. Kamu melambaikan tanganmu padanya, lalu kamu mendapati Adrian menangis saat pintu itu perlahan tertutup.
Pintu itu sempurna tertutup ketika kamu memandang Adrian yang sama sekali tak berkutik. Tanpa kamu tahu, inilah awal tentang semuanya.
Kamu berjalan menyusuri lorong yang membuat badanmu merinding, di setiap sisi terdapat beberapa pintu usang yang terbuka.
"Huaaa, tolong aku. Tolong aku." Langkahmu terhenti ketika kamu mendengar suara itu. Terputar kembali perkataan Adrian yang menyuruhmu untuk menghiraukan segalanya.
"Apa ini? Aku harus bagaimana?" Kamu diam sejenak. Berpikir apa yang harus kamu lakukan.
Brak!
Kali ini pintu usang di sebelah kananmu tiba-tiba terbuka. Menampilkan sosok pria, ah bukan monyet. Atau apa pun itu. Dia itu monster.
"Apa lagi ini?" Kamu berlari sekuat tenaga untuk mencapai lorong di ujung sana. Namun, naasnya kamu tak menemukan jalan keluar sama sekali.
Kamu berhenti berlari, mulai berjalan dengan langkah yang tertahtih.
"Asa, ini Kakak. Ayo kita pulang, Dek." Suara itu berasal dari koridor yang berada di sebelah kananmu. Kamu tak menghiraukan lagi ucapan Adrian dan malah mengikuti instingmu.
Kamu berlari menyusuri lorong itu, di ujung lorong bukannya terdapat kakakmu, tapi malah senyum jahat dari seorang monster.
Kamu ingin lari, tapi terlambat. Kamu akhirnya tertangkap dan mulai dimakan oleh monster itu.
"Yang ini ternyata gagal juga, aku harus mencari orang lain lagi. Yang lebih pintar dari anak ingusan ini."