CERPEN
Pergi Sulit Bertahan Sakit
By. Asty L O
Senyap sepi terasa saat mobil yang kutumpangi memasukki kawasan perumahan elit. Berderet rumah-rumah klasik dengan pilar-pilar kokoh yang membantengi. Tidak kubayangkan bagaimana mereka menjalani hari dengan suasana yang membosankan.
Bagiku yang terbiasa dengan keriuhan tentu tidak akan betah jika berada di sini. Kami adalah kumpulan para orang kumuh yang menjajakan hasil karya kami untuk menyambung hidup.
Aku termangu saat mobil berhenti di rumah yang paling ujung. Rumah ini berbeda dari yang lain, semuanya berwarna putih. Aku membayangkan penghuninya mungkin adalah orang yang gila akan kebersihan.
Hanya membayangkan membuatku bergidik sendiri.
Saat melihatku turun dari mobil, sekuriti yang berjaga di luar langsung sigap membuka gerbang. Aku tersenyum sopan.
"Silakan masuk, Nona. Tuan Salim Rai sudah menunggu di dalam." Sekuriti itu mengarahkan jalan untuk kulalui.
Dari kejauhan, aku melihat seorang pria paruh baya membuka pintu rumah dengan lebar. Dari depan gerbang menuju pintu rumah jaraknya sedikit jauh. Aku merutuk dalam hati, orang kaya memang suka dengan halaman yang luas.
"Sopirmu bisa mengantar sampai ke dalam, Nona." Sekuriti seakan tau dengan apa yang kupikirkan.
"Benarkah?"
"Ya, Nona. Silakan masuk kembali ke dalam mobil."
Aku mengangguk mengikuti saran dari sekuriti. Lekas mobil yang kusewa kembali mengantar sampai ke dalam.
Pria paruh baya yang tadi membuka pintu berdiri dengan tegak menyambutku. Aku sedikit menunduk padanya.
"Nona, Zendaya?" tanyanya.
"Ya," jawabku datar.
"Anda bisa memanggil saya, Paman Addison. Mari ikut saya, Nona."
"Terima kasih, Paman Addison."
Langkah pertama saat menjejakkan kaki ke dalam rumah, pemandangan pertama yang kulihat ialah ornamen-ornamen mahal. Dengan segala furnitur yang ada semuanya serba putih. Yang kurasakan adalah aura seram penuh gelagat pemb*nuhan, namun berlindung di balik warna putih, lagi-lagi membuatku bergidik.
Aku terus mengikuti langkah kaki Paman Addison menjejakki anak tangga satu persatu. Kiri kanan dinding berhiaskan lukisan pria dan wanita yang serba kehitaman. Setelah menginjakkan kaki di lantai dua, mataku kembali membulat rupanya jauh lebih menyeramkan dari lantai satu.
Menapakki lorong demi lorong bersama Paman Addison untuk menemui pemilik rumah yang entah ada di ruang yang mana. Kami sudah berjalan begitu lama, tetapi seperti tak menemukan ujung.
Setiap lorong dibentangi karpet tebal berwarna hitam, dinding-dinding berhiaskan lukisan yang jika diperhatikan ada makna yang mendalam.
Setelah melewati lorong ketiga akhirnya Paman Addison berhenti di ruang yang paling ujung. Tangannya bergerak cepat mengetuk pintu kayu berukir bunga kasturi.
"Masuk!" seru seseorang dari dalam yang kutebak adalah Tuan Salim Rai.
Saat pintu terbuka lebar nampaklah seorang pria berusia sekitar 30 tahunan, alisnya berbentuk seperti mata pedang. Mata hazelnya memindaiku dari atas hingga ke bawah mata kaki.
Dia duduk di kursi dengan sebuah meja yang dipenuhi kertas-kertas berserakan.
"Tuan, ini Nona Zendaya." Paman Addison memperkenalkanku padanya.
Aku memberi hormat dengan bahu yang sedikit menunduk.
"Tidak perlu sungkan. Kemarilah," ucap Tuan Salim Rai.
Aku melangkah pelan ke arahnya dengan takut-takut sambil menggenggam tali tas lebih erat dari sebelumnya. Ini seperti berjalan di jurang kematian, detak jantungku bahkan berdentam lebih cepat.
Paman Addison pamit keluar setelah mengenalkan pria yang duduk di kursi itu padaku. "Dia adalah Tuan Salim Rai, Nona. Mendekatlah padanya." Aku mengangguk.
"Kamu masih gadis?" tanya Tuan Salim Rai.
"Iya, Tuan," jawabku.
"Itu bagus! Kapan kita akan menikah?"
"Terserah Tuan saja."
***
Di atas altar, setelah mengucapkan janji sucih pernikahan dengan tidak tahu malunya, Tuan Salim Rai menciumku.
"Ini adalah tradisi pernikahan," bisiknya pelan di telingaku. Suara seraknya membuatku merinding.
Pernikahan tanpa cinta antara aku dan Tuan Salim Rai terjadi begitu saja. Hanya karena sebuah perjodohan yang diungkapkan para orang tua di masa lalu.
Aku tidak tahu mengenai perjodohan itu pun dengan jatih diriku yang sebenarnya. Saat menjajakan kaligrafi di pasar, tiba-tiba orang kepercayaan Tuan Salim Rai menghampiriku.
Mereka menunjukkan foto masa kecilku dan juga orang tuaku. Lalu menceritakan kisah tragis yang dialami keluargaku beberapa tahun silam, yang mana seluruh keluargaku dit*mbak mati oleh seorang mafia k*jam dari Suriname. Sedangkan aku diselamatkan oleh Bibi Pengasuh.
Sedangkan orang tuaku dan orang tua, Tuan Salim Rai adalah sahabat karib, mereka menjalankan bisnis bersama. Setelah orang tuaku tiada bisnis itu diambil sepenuhnya oleh Tuan Rai. Yaitu, ayah dari pria yang kini telah menjadi suamiku.
Seprei putih bertaburan bunga mawar merah khas kamar pengantin pada umumnya. Tuan Salim Rai mendudukkanku di sisi ranjang.
"Tuan."
"Ssstt!" Tuan Salim Rai meletakkan ujung jari di bibirku. "Jangan memanggilku dengan sebutan tuan lagi. Sekarang kamu adalah istriku—my life."
"Panggil aku dengan sebutan honey," lanjutnya lagi. Meski agak kaku, namun aku membiasakan diri untuk memanggilnya honey.
Hari-hari berlalu, Tuan Salim Rai memperlakukanku dengan lembut menggetarkan hati yang teramat suram ini. Perlahan, benih-benih cinta itu mulai tumbuh.
Cinta ini semakin hari semakin dalam terhadapnya, aku mulai merasakan ketakutan, yang aku sendiri tidak tahu ketakutan melanda atas dasar apa.
Hingga tiba di mana hari, aku menemukan otak pemb*nuh orang tuaku. Laksana petir di siang bolong membuatku shock. Lemas tungkai kaki ini, luruh tubuh menghantam lantai.
Aku telah menikah dengan anak dari seorang pemb*unuh, yang mengaku sebagai sahabat karib, tetapi nyatanya dalang di balik kematian orang tuaku.
Tuan Rai adalah otak dari semua ini, demi menguasai semua bisnis, dia tega meleny*pkan nyawa sahabatnya sendiri.
Dan sialnya, aku justru menikah dengan anaknya, bahkan Junior Salim Rai kini bersemayam di rahimku.
*****
END