Disclaimer: Omniscient Reader's viewpoint selalu menjadi milik singshong-nim, penulis hanya meminjam nama dan cerita ini sepenuhnya milik imajinasi penulis.
Malam itu, suara detik jam dinding di kamar kos Kim Dokja terus berdetak, seolah menghitung setiap menit yang dia habiskan di depan laptop. Tugas kuliah yang dimulai sejak sore akhirnya selesai. Dengan punggung yang terasa kaku dan kepala sedikit pening, Dokja menghela napas panjang. Matanya melirik jam dinding—pukul 11 malam. Perutnya, yang sejak tadi sudah memberi sinyal lapar, kini semakin berteriak minta diisi.
Dia bangkit dari kursi kayu yang sudah agak reot, mengangkat kedua tangannya untuk meregangkan tubuh. Jaket tipis yang tergantung di belakang pintu dia ambil, lalu dompet kecil yang tergeletak di meja belajar dia masukkan ke saku. Setelah memastikan ponselnya ikut terbawa, Dokja keluar dari kamar kosnya, menuruni tangga pelan-pelan agar tidak membangunkan penghuni lain.
"Kayaknya nasi goreng enak, atau sate juga boleh," gumamnya pelan sambil melangkah ke jalan raya. Jalanan kecil di depan kosan sudah lengang. Lampu-lampu jalan memancarkan cahaya kekuningan, menciptakan bayangan samar di aspal basah yang masih sedikit lembab karena hujan gerimis sore tadi.
Langkahnya membawa dia ke jalan raya utama, tempat biasanya ada penjual makanan yang mangkal hingga larut malam. Namun, pemandangan di depannya membuatnya sedikit mengernyitkan dahi. Di depan sebuah rumah besar tua—rumah yang sudah lama dia tahu tak berpenghuni—ada gerobak nasi goreng yang terlihat asing. Gerobak itu belum pernah ada sebelumnya.
"Penjual baru kali ya? Tapi kok, sepi banget?" pikirnya sambil memperhatikan gerobak itu dari jauh. Pemilik gerobak, seorang pria muda dengan wajah datar, tampak sibuk mengaduk nasi di wajan besar. Tidak ada pembeli lain, dan suasana di sekitarnya benar-benar sunyi. Dokja menimbang sejenak, tapi perutnya yang semakin lapar membuatnya menyerah pada keraguan.
Dia mendekat. “Bang, nasi goreng spesial, satu. Makan di sini, ya,” katanya. Suaranya terasa nyaring di tengah sunyi malam. Pria muda itu hanya mengangguk singkat tanpa menatap langsung ke arahnya, lalu mulai memasak pesanan.
Dokja duduk di kursi plastik yang disediakan di belakang gerobak. Sambil menunggu, dia mengedarkan pandangannya ke sekitar. Rumah besar tua di belakang gerobak itu terlihat lebih menyeramkan dari biasanya. Catnya yang mengelupas dan jendela-jendela kayu yang retak menciptakan suasana yang dingin. Angin malam bertiup pelan, membawa aroma nasi goreng yang menggugah selera.
Tidak lama kemudian, pesanan Dokja tiba. Sepiring nasi goreng dengan telur, potongan ayam, dan beberapa udang terhidang di depannya. “Silakan,” ujar penjual itu datar, meletakkan piring di meja kecil tanpa menoleh.
“Wah, aromanya enak banget,” Dokja mencoba mencairkan suasana dengan pujian, tapi penjual itu tetap diam, hanya kembali ke tempatnya berdiri dan melanjutkan kegiatannya mengelap piring.
Dokja mengangkat bahu kecil. 'Mungkin orangnya memang pendiam' pikirnya. Dia mengambil sendok, mencicipi satu suapan, dan seketika matanya sedikit melebar. “Enak banget, serius,” gumamnya pelan. Rasa nasi goreng itu benar-benar berbeda—gurih, sedikit pedas, dengan rasa smoky yang pas. Porsinya juga lumayan besar, cukup untuk memuaskan perutnya yang keroncongan.
Sambil makan, Dokja sesekali melirik ke arah penjual nasi goreng itu. Pria itu masih berdiri di tempat yang sama, membersihkan piring dengan gerakan lambat, nyaris mekanis. Dokja ingin mengobrol, tapi keraguan terus menghantuinya. Entah kenapa, ada sesuatu yang terasa aneh pada suasana malam itu. Suasana yang terlalu... sunyi.
"Bang," akhirnya Dokja mencoba membuka pembicaraan. “Udah lama jualan di sini?”
Penjual itu menghentikan gerakannya sebentar, lalu menoleh sedikit. Wajahnya terlihat pucat dalam cahaya lampu jalan. “Belum. Baru malam ini,” jawabnya singkat.
Dokja mengangguk pelan. “Oh, pantas aja saya baru lihat. Biasanya lewat sini juga gak pernah ada gerobak.”
“Memang cuma jualan pas malam-malam aja,” balasnya tanpa banyak penjelasan. Suaranya datar, hampir tanpa emosi.
Dokja merasa suasana semakin ganjil, tapi dia memutuskan untuk mengabaikannya. Toh, nasi gorengnya enak, dan perutnya sudah hampir kenyang. Dia mempercepat makanannya, berharap bisa segera kembali ke kosan dan tidur. Namun, di sela-sela suapannya, Dokja mendengar sesuatu —suara langkah kaki.
Dia berhenti mengunyah, menajamkan pendengarannya. Langkah kaki itu terdengar samar, seperti berasal dari dalam rumah tua di belakang gerobak. Jantungnya berdegup sedikit lebih cepat. Dia mencoba melihat ke arah rumah itu, tapi hanya ada gelap pekat di balik jendela-jendela tua.
“Bang,” Dokja memberanikan diri bertanya lagi, “itu rumah... udah lama kosong, kan?”
Penjual nasi goreng itu berhenti mengelap piring, tapi tidak langsung menjawab. Setelah beberapa detik, dia hanya mengangguk pelan, wajahnya tetap tanpa ekspresi.
Dokja menelan ludah. Entah kenapa, hawa dingin tiba-tiba menyelimuti dirinya. Angin malam terasa lebih menusuk, dan suara langkah kaki itu seolah mendekat. Namun, saat dia menoleh lagi ke rumah tua itu, semuanya kembali hening. Tidak ada apa-apa.
“Udah selesai makannya?” tanya penjual itu tiba-tiba, suaranya terdengar lebih dalam dari sebelumnya.
“Eh, iya. Udah.” Dokja buru-buru menghabiskan suapan terakhirnya. Dia menyerahkan piring ke penjual itu dan mengeluarkan uang dari dompetnya. “Ini, Bang. Makasih, ya. Enak banget nasi gorengnya.”
Penjual itu menerima uangnya tanpa banyak bicara. Namun, saat Dokja berbalik untuk pergi, dia merasa ada sesuatu yang aneh di sudut matanya. Dia menoleh lagi, tapi penjual itu sudah kembali berdiri di tempatnya, diam, dengan piring di tangannya.
Dokja mempercepat langkahnya menuju kosan. Ketika dia menoleh sekali lagi ke arah gerobak itu dari kejauhan, dia melihat sesuatu yang membuatnya merinding. Penjual itu tidak ada di sana, dan gerobaknya pun hilang.