---Selamat Membaca---
Malam itu angin berhembus kencang, membawa aroma daun basah dan tanah lembab. Anna menginjakkan kaki di depan rumah tua yang baru saja diwarisinya dari seorang kerabat jauh, yang bahkan tak pernah ia temui. Rumah itu tampak besar, tetapi kondisinya sudah memprihatinkan. Cat dinding mengelupas, jendela-jendela berdebu, dan pekarangan dipenuhi rumput liar. Walaupun rumah itu terlihat suram, Anna merasa keputusan pindah ke desa terpencil ini adalah pilihan terbaik setelah tragedi yang menghancurkan hidupnya.
“Aku butuh tempat yang baru,” bisiknya pada dirinya sendiri. “Tempat untuk memulai semuanya dari awal.”
Setelah membuka pintu depan, ia langsung disambut oleh aroma kayu tua bercampur debu. Sinar bulan yang masuk melalui jendela memberi penerangan samar pada ruang tamu, yang dipenuhi perabotan antik. Rak buku berisi buku-buku berdebu berdiri di satu sudut, sementara di sisi lain terdapat sebuah cermin besar berbingkai emas. Ukiran pada bingkainya tampak rumit, menyerupai akar pohon yang saling menjalin.
Anna mendekati cermin itu, matanya terpaku pada simbol-simbol yang aneh di sepanjang bingkai. Lingkaran-lingkaran kecil dengan garis-garis yang tampak seperti nadi terukir di permukaan emasnya. Meski cermin itu terlihat tua, pantulannya begitu jernih, seolah-olah baru saja dibersihkan.
“Luar biasa,” gumamnya, menyentuh permukaan kaca. Saat itu, ia merasa ada sesuatu yang aneh—dingin yang tidak biasa, hampir seperti sentuhan makhluk hidup.
Ia menarik tangannya dengan cepat, merasa sedikit gugup. Namun, ia mengabaikan perasaan itu dan melanjutkan mengamati bagian lain rumah. Ada ruang tamu kecil, dapur yang sudah lama tidak digunakan, dan kamar tidur di lantai atas. Semuanya terasa asing, namun sekaligus mengundang rasa penasaran. Ia menghabiskan beberapa jam untuk membersihkan sedikit demi sedikit, sebelum akhirnya memutuskan untuk tidur.
---
•Malam Pertama
Malam pertama di rumah itu terasa sunyi, hampir terlalu sunyi. Tidak ada suara jangkrik atau burung malam, hanya deru angin yang sesekali menggoyangkan pohon di luar jendela. Anna tidur di kamar atas, tapi pikirannya terusik oleh bayangan cermin di lantai bawah. Sebelum naik ke atas tadi, ia merasa ada yang aneh ketika melewati cermin itu. Bayangannya terlihat... lambat. Gerakannya seperti tertinggal beberapa detik, membuatnya merasa tidak nyaman.
“Mungkin aku hanya terlalu lelah,” pikirnya, mencoba mengusir rasa takut. Tapi malam itu ia sulit tidur. Suara bisikan samar mulai terdengar, seperti seseorang berbicara dalam bahasa yang tidak ia mengerti. Suara itu datang dari lantai bawah, dari arah ruang tamu tempat cermin itu berada.
Anna mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya suara angin. Namun, rasa penasaran membuatnya turun ke bawah. Ia menyalakan lampu dan berjalan perlahan menuju ruang tamu. Saat ia tiba di depan cermin, suara bisikan itu berhenti. Bayangannya dalam cermin terlihat normal, meniru setiap gerakannya dengan sempurna.
“Apa yang salah denganku?” gumamnya.
Ia kembali ke kamar, meskipun perasaan was-was tetap mengikutinya. Malam itu ia akhirnya tertidur dengan perasaan gelisah.
---
•Cermin yang Terkutuk
Hari-hari berikutnya dipenuhi keanehan. Suara bisikan di malam hari semakin sering terdengar, dan setiap kali ia melewati cermin itu, ia merasa ada sesuatu yang mengawasinya. Bayangannya terkadang terlihat berbeda—gerakannya tidak sinkron, atau matanya tampak lebih gelap dari seharusnya. Puncaknya terjadi pada malam ketiga, ketika ia melihat bayangannya tersenyum, meskipun ia sendiri tidak melakukannya.
Ketakutan mulai menguasai Anna. Ia memutuskan untuk bertanya kepada tetangganya, seorang pria tua bernama Pak Jaya yang tinggal tak jauh dari rumah itu. Ketika Anna menyebut tentang cermin besar di ruang tamu, wajah Pak Jaya langsung berubah pucat.
“Cermin itu?” tanya Pak Jaya dengan suara gemetar. “Itu bukan cermin biasa, Nak. Itu peninggalan keluarga Rengganis, pemilik pertama rumah itu. Mereka semua menghilang bertahun-tahun lalu, tanpa jejak.”
Anna terdiam, mendengarkan dengan saksama. “Menghilang? Apa yang terjadi?”
“Orang-orang mengatakan, cermin itu adalah pintu ke dunia lain,” jawab Pak Jaya. “Cermin itu membawa kutukan. Mereka yang terlalu lama tinggal di dekatnya akan mulai mendengar suara-suara, melihat bayangan yang bukan milik mereka. Pada akhirnya, mereka akan... hilang.”
“Ini hanya cerita lama, kan?” tanya Anna, berusaha terdengar skeptis meskipun hatinya berdebar.
Pak Jaya menatapnya tajam. “Apakah kamu sudah mendengar sesuatu? Atau melihat sesuatu?”
Anna tidak menjawab, tapi matanya yang penuh ketakutan cukup menjelaskan segalanya.
“Buang cermin itu, Nak,” ujar Pak Jaya. “Atau lebih baik, bakar saja.”
---
•Terjebak dalam Bayangan
Malam itu, Anna memutuskan untuk mengunci ruangan tempat cermin itu berada. Ia berharap keanehan akan berhenti jika ia menjauhkan dirinya dari benda itu. Namun, ketukan-ketukan mulai terdengar dari dalam ruangan yang terkunci. Awalnya pelan, tapi lama-lama semakin keras, seperti seseorang yang berusaha keluar.
Dengan senter di tangan, Anna memberanikan diri membuka pintu. Ketika ia menyalakan lampu, ia melihat cermin itu berdiri diam di sudut ruangan. Namun, bayangannya tidak ada. Permukaan cermin hanya memantulkan ruangan kosong di belakangnya, seolah-olah ia tidak berdiri di sana.
“Apa yang terjadi?” bisiknya dengan suara bergetar.
Tiba-tiba, bayangan muncul di cermin. Tapi itu bukan dirinya. Itu adalah sosok yang menyerupai Anna, tetapi dengan mata gelap dan senyuman mengerikan. Sosok itu mengangkat tangan, menunjuk langsung ke arahnya. Saat itu juga, suara bisikan kembali terdengar, kali ini jauh lebih keras hingga membuat kepala Anna terasa berdenyut.
Dengan napas terengah-engah, Anna meraih kursi tua di dekatnya dan menghantam cermin itu sekuat tenaga. Kaca itu retak, tapi tidak hancur. Sosok dalam cermin tertawa, suaranya menggema di seluruh ruangan.
“Kamu tidak bisa lari dari bayanganmu sendiri,” ujar sosok itu, suaranya menyerupai Anna tetapi lebih dingin dan penuh ejekan.
Anna terus memukul cermin itu, hingga akhirnya kaca itu pecah berkeping-keping. Suara bisikan langsung berhenti, dan sosok itu menghilang. Namun, perasaan bahwa ia diawasi tidak pernah benar-benar hilang.
---
•Akhir yang Menghantui
Hari berikutnya, Anna mencoba melupakan apa yang terjadi. Ia mengumpulkan pecahan kaca dan membuangnya ke pekarangan belakang. Tapi malam itu, ia merasa ada sesuatu yang berubah. Ketika ia melihat ke arah jendela, ia melihat bayangan samar seorang wanita berdiri di tengah pekarangan, menatapnya dengan senyuman yang tak wajar.
Anna mencoba mengabaikan hal itu, tapi bayangan itu semakin sering muncul. Terkadang di jendela, terkadang di cermin kecil di kamar mandinya. Ia sadar bahwa meskipun cermin besar itu telah hancur, sesuatu telah keluar darinya—sesuatu yang tidak bisa ia kembalikan.
Seminggu kemudian, Anna menghilang. Penduduk desa hanya menemukan rumah kosong dengan pecahan cermin berserakan di lantai. Di antara pecahan itu, jika dilihat dengan saksama, ada bayangan samar seorang wanita yang terus tersenyum, terjebak di dunia yang tidak lagi miliknya.
---TAMAT---